Sabtu, 24 Februari 2024

Cerita Daun Mapel: Election Fraud (5)

"Saatnya makan malam selama penerbangan dengan sebuah maskapai kecil.
'Makan malamnya bapak?' kata sang pramugari kepada seorang bapack-bapack.
'Pilihannya apa yah jeng?' tanya sang lelaki.
'Ya atau enggak bapak,' jawab si jeng."

"Mereka yang berada di lingkungan terdekat kita, di tempat kerja, dalam kehidupan dan keadaan sosial, berpengaruh besar terhadap pemikiran dan perilaku kita. Karenanya, kita seyogyanya sangat berhati-hati saat memutuskan siapa yang akan dan tak akan kita perkenankan masuk ke dalam lingkaran kawan karib kita," ucap Mapel sambil mengamati lambang rantai emas di perisai sang Garuda.
“Ada satu hal yang umum bagi setiap individu, jalinan-hubungan, satuan-kerja, keluarga, organisasi, bangsa, perekonomian, dan peradaban di seluruh dunia—sesuatu yang, jika disingkirkan, bakal mengambyarkan pemerintahan yang amat berkuasa, bisnis yang sangat sukses, dan perusahaan yang betul-betul berjaya, persahabatan yang bestie banget, karakter yang terkuat, cinta yang terdalam. Sebaliknya jika dikembangkan dan diberdayakan, ia berpotensi membangun kesuksesan dan kemakmuran tiada tara, di setiap dimensi kehidupan. Namun, ia kemungkinan kurang dipahami, sangat diabaikan, dan sungguh diremehkan di zaman kita. Yang satu itu, menurut Stephen M.R. Covey, ialah 'trust' atau kepercayaan.

Kepercayaan itu, harapan yang muncul dalam komunitas akan perilaku yang harmonis, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, di pihak anggota komunitas lainnya. Norma-norma tersebut dapat berupa pertanyaan-pertanyaan 'value' yang mendalam seperti hakikat Tuhan atau keadilan, namun norma-norma tersebut, mencakup pula norma-norma sekuler semisal standar profesional dan kaidah perilaku, kata Francis Fukuyama. Maknanya, kita mempercayai seorang dokter takkan melukai kita dengan sengaja karena kita berharap ia hidup berdasarkan sumpah Hipokrates dan standar profesi medis. Kepercayaan tak terletak pada sirkuit terpadu atau kabel serat optik. Meski melibatkan pertukaran informasi, kepercayaan tak bisa direduksi menjadi informasi.
Social capital atau modal sosial merupakan kemampuan yang muncul dari tingginya kepercayaan pada suatu masyarakat atau bagian tertentu dari masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dalam kelompok sosial terkecil dan paling mendasar, keluarga, serta kelompok terbesar, bangsa, dan semua kelompok lain di antaranya. Modal sosial berbeda dari bentuk modal manusia lainnya karena modal ini, biasanya dibangun dan disalurkan melalui mekanisme budaya seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah. Orang-orang yang saling tak percaya, imbuh Fukuyama, pada akhirnya hanya akan bekerjasama di bawah sistem aturan dan regulasi formal, yang harus dinegosiasikan, disetujui, diadili, dan ditegakkan, terkadang dengan cara yang bersifat memaksa. Perlengkapan legal ini, yang berfungsi sebagai pengganti kepercayaan, menimbulkan apa yang oleh para ekonom sebut sebagai 'transaction costs' [biaya-biaya transaksi]. Dengan kata lain, ketidakpercayaan yang meluas dalam suatu masyarakat, membebankan semacam pajak pada seluruh bentuk aktivitas perekonomian, pajak yang tak perlu dibayar oleh masyarakat dengan kepercayaan tinggi.

Menurut Covey, kepercayaan mendasari dan mempengaruhi kualitas setiap hubungan, setiap komunikasi, setiap proyek kerja, setiap usaha bisnis, setiap upaya yang kita lakukan. Ia mengubah kualitas setiap momen saat ini dan mengubah lintasan serta hasil setiap momen masa depan dalam hidup kita—baik secara pribadi maupun profesional.
Bertentangan dengan apa yang diyakini kebanyakan orang, kepercayaan bukanlah kualitas lampas dan khayali yang engkau miliki atau tidak; sebaliknya, kepercayaan merupakan aset pragmatis, nyata, dan dapat ditindaklanjuti, yang dapat engkau bangun—jauh lebih cepat dari yang mungkin engkau bayangkan.
Meskipun skandal perusahaan, ancaman teroris, politik jabatan, dan rusaknya hubungan telah memunculkan rendahnya kepercayaan di hampir segala aspek, bahwa kemampuan membangun, menumbuhkan, memperluas, dan memulihkan kepercayaan, tak hanya penting bagi well-being pribadi dan interpersonal kita; ia adalah kompetensi kepemimpinan utama dalam perekonomian global yang baru.

So what is trust? Sederhananya, kepercayaan bermakna keyakinan diri. Lawan dari kepercayaan—ketidakpercayaan—adalah kecurigaan. Dikau mengenalinya saat dirimu merasakannya. Saat engkau mempercayai orang lain, dirimu berkeyakinan pada mereka—pada integritas dan kemampuan mereka. Manakala engkau tak mempercayai orang lain, dirimu curiga terhadap mereka—terhadap integritas, agenda, kemampuan, atau rekam jejak mereka. Simpel kaan.
​Perbedaan antara hubungan dengan tingkat kepercayaan tinggi dan rendah, amatlah gamblang! Ambil contoh, komunikasi. Pada jalinan dengan kepercayaan tinggi, dirimu dapat keseleo lidah, tapi orang lain akan tetap memahami maksudmu. Pada hubungan dengan tingkat kepercayaan yang rendah, kendati engkau mungkin ngomong dengan sangat terukur, bahkan cermat, namun mereka masih saja, gagal paham padamu.
Kebanyakan kita, cenderung memikirkan kepercayaan dalam kaitannya dengan karakter—menjadi orang yang baik atau tulus atau beretika atau berintegritas. Dan karakter sangatlah mendasar dan penting. Namun anggapan bahwa kepercayaan semata didasarkan pada karakter, hanyalah sebuah mitos. Kepercayaan itu, fungsi dari dua hal: karakter dan kompetensi. Karakter mencakup integritasmu, motifmu, niatmu terhadap orang lain. Kompetensi mencakup kemampuanmu, keterampilanmu, hasilmu, rekam jejakmu. Keduanya penting.
Dengan meningkatnya fokus pada etika dalam masyarakat kita, sisi karakter dari kepercayaan dengan cepat menjadi harga tiket masuk dalam perekonomian global yang baru. Namun, sisi kepercayaan yang membedakan dan sering diabaikan, yakni kompetensi, sama pentingnya. Dirimu mungkin menganggap seseorang itu tulus, bahkan jujur, namun dikau takkan mempercayai orang tersebut sepenuhnya, jika ia tak sukses. Dan yang terjadi, justru sebaliknya. Boleh jadi, seseorang punya keterampilan dan bakat hebat, serta rekam jejak yang baik, namun jika ia tak jujur, dirimu takkan mempercayainya.

Walau mungkin lebih wajar bagi kita, memikirkan kepercayaan dalam kaitannya dengan karakter, sama pentingnya bagi kita belajar berpikir dalam kaitannya dengan kompetensi. Coba pikirkan—masyarakat mempercayai orang yang membuat sesuatu terjadi. Mereka memberikan kurikulum baru kepada instrukturnya yang paling kompeten. Mereka memberikan proyek atau prospek penjualan yang menjanjikan kepada mereka yang telah berhasil melakukannya di masa lalu. Mengenali peran kompetensi, membantu kita mengidentifikasi dan menjelaskan masalah kepercayaan mendasar, yang tak dapat kita tangani. Dari sudut pandang pemimpin lini, dimensi kompetensi menyempurnakan dan membantu memberikan kepercayaan pada sisi yang lebih tegas dan pragmatis.
Berikut cara lain melihatnya: Meningkatnya kepedulian terhadap etika berdampak baik bagi masyarakat kita. Etika (yang merupakan bagian dari karakter) adalah dasar dari kepercayaan, namun, itu saja tak cukup. Dirimu tak bisa punya kepercayaan, tanpa etika, namun dikau dapat beretika tanpa kepercayaan. Kepercayaan, yang mencakup etika, merupakan gagasan yang lebih besar. Sekali lagi, karakter dan kompetensi sama-sama diperlukan. Karakter itu, sesuatu yang konstan; ia penting bagi kepercayaan dalam keadaan apa pun. Kompetensi bersifat situasional; ia tergantung pada apa yang dibutuhkan oleh keadaan.
Setelah engkau menyadari bahwa karakter dan kompetensi sangat penting bagi kepercayaan, dirimu dapat melihat bagaimana kombinasi kedua dimensi ini, tercermin dalam pendekatan pemimpin dan pengamat yang efektif di mana pun. Orang mungkin menggunakan kata-kata yang berbeda untuk mengungkapkan gagasannya, namun jika engkau mengikis kata-kata tersebut hingga sampai ke intisarinya, yang muncul adalah keseimbangan antara karakter dan kompetensi. Kepercayaan merupakan karakter dan kompetensi yang setara. Keduanya mutlak diperlukan. Dari ruang keluarga hingga ruang rapat, engkau dapat melihat kegagalan kepemimpinan apa pun, dan kegagalan tersebut selalu salah satunya dari karakter atau kompetensi.

Bagi seseorang, lebih baik menjadi orang baik daripada menjadi orang jahat—lebih baik menjadi orang yang amanah daripada tidak, kata Linda K. Stroh. Ada sisi terbalik dari rumus persamaan orang baik-orang jahat. Jika jalinan-hubungan tak memenuhi standar amanah, kita dapat menderita dampak negatif dari bekerja, menetap bersama-sama, atau berbagi waktu dengan orang yang tak dapat kita percayai.
Dalam istilah ekonomi, kerugian akibat ketidakpercayaan—yaitu waktu, uang, energi mental, serta kesehatan fisik dan emosional yang terbuang sia-sia—sangat besar. Alih-alih menikmati hidup, kita fokus melindungi diri dari pengaruh negatif—orang jahat—yang mungkin ngibul atau berbuat curang demi mendapatkan sesuatu yang sebenarnya milik kita: sumber daya, uang, waktu, persahabatan, atau, yang teramat penting, ketenangan pikiran.
Kepercayaan itu laksana air, udara, dan listrik, sesuatu yang kita remehkan; jika kita kehilangannya—bagaikan kehilangan listrik atau air—kita menyadari betapa pentingnya ia bagi kehidupan kita. Kita boleh hidup tanpanya, tapi terasa kurang menyenangkan. Segala sesuatu yang harus kita lakukan, jadi lebih lama, dan kita harus belajar bagaimana hidup dan/atau bekerja, mulai dari awal lagi. Kepercayaan merupakan fondasi dari segala hubungan antarmanusia yang berhasil. Disaat kepercayaan ada, hubungan profesional dan pribadi berkembang. Tatkala kepercayaan tercederai, jalinan-hubungan akan terputus.
Kepercayaan itu, kerelaan menjadi rentan—bersedia mengambil risiko agar seseorang tak merugikan kita, Stroh menambahkan. Disaat kita menaruh kepercayaan pada orang lain, kita membiarkan diri kita menjadi rentan, lantaran kita berekspektasi positif terhadap perilaku orang lain.
Tak semata ada harapan bahwa orang-orang yang kita percayai takkan menyakiti kita, bahkan dikala kita tak hadir memantau perilaku mereka, namun kita juga berasumsi bahwa mereka akan membantu kita, walaupun manakala kita tak hadir mengingatkan mereka. Harapannya ialah, pihak yang dipercaya akan berupaya melindungi—dan bahkan memajukan—kepentingan kita, atau, paling tidak, tak beraktivitas yang akan merugikan kita dengan cara apa pun. Kita cenderung berpikir bahwa orang kepercayaan kita akan benar-benar memajukan tujuan kita, kendati kita tak berada di hadapan mereka. Mereka akan menyebut kita secara positif kepada orang lain, merekomendasikan kita pekerjaan, atau memberitahukan kira, dimana membeli sepasang sepatu.

Kepercayaan lebih dari sekedar naluri, kata Stroh. Memahami konsep amanah, mungkin tampak jelas dan sederhana—tetapi sebenarnya tidak! Kepercayaan itu rumit. Banyak orang mengklaim bahwa mereka punya naluri yang kuat tentang siapa yang dapat dan tak dapat mereka percayai, hampir merupakan keyakinan bahwa mereka dapat merasakan siapa yang dapat diberi mandat dan siapa yang tidak. Apa yang disebut sebagian orang sebagai naluri, sebenarnya merupakan produk pengalaman hidup yang dipadukan dengan observasi reflektif—dengan kata lain, pembelajaran berdasarkan pengalaman. Naluri [atau insting, menurut KBBI. Terdapat perbedaan antara naluri dan firasat; naluri adalah dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir; pembawaan alami yang tak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu. Firasat merupakan keadaan yang dirasakan (diketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat; kecakapan mengetahui (memprediksi) sesuatu dengan melihat keadaan (muka dan sebagainya). Dalam perspektif Islam, firasat atau firasah diasah dan dipertajam dengan memperluas wawasan berbasiskan ilmu, terutama dalam nilai-nilai ilmu agama kemudian ditambah dengan nilai-nilai ilmu lainnya. Tanpa ilmu, manusia mengandalkan naluri atau insting atau intuisi belaka] pada manusia, tak seperti naluri pada spesies lain, sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal—pendidikan kita, lingkaran dalam teman, keluarga, tetangga, lingkungan sekitar, dan segala sesuatu yang menyentuh kehidupan kita—yang dianggap bersih.
Naluri atau intuisi [daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari] dapat dengan mudah menjadi dasar stereotip. Contohnya, beberapa orang mungkin punya intuisi (yang kemudian berkembang menjadi stereotip) bahwa kaum perempuan tak memiliki stamina fisik dan disiplin mental yang diperlukan memimpin negara. Orang lain mungkin keliru mempercayai bahwa kebanyakan orang dapat dipercaya dalam pekerjaan dan kehidupan. Dalam bentuknya yang paling murni, naluri itu bermanfaat. Namun, naluri kita bisa menjadi cacat seiring berjalannya waktu, sebagaimana tercermin dari banyaknya orang yang terluka, terkejut, terperangah, atau kecewa, manakala mereka dikhianati oleh seseorang yang mereka percayai. Insting saja, amat jarang dapat memprediksi sifat amanah.

Kepercayaan diakui secara luas sebagai hal yang penting, menurut Cam Caldwell, dalam hubungan kerjasama dan merupakan variabel kunci dalam pencapaian organisasi. Kepercayaan mengintegrasikan keyakinan, sikap, serta niat individu, dan pada akhirnya terwujud sebagai perilaku. Kepercayaan pada akhirnya, merupakan penyerahan kendali pribadi kepada orang lain dengan harapan bahwa pihak lain akan menghormati kewajiban yang dianggap terutang.
Pemimpin beroleh kepercayaan dari orang-orang yang mereka layani dengan dianggap amanah, dan tingkat kepercayaan tersebut membangun respons subjektif, yang mencerminkan komitmen atau kepatuhan individu yang melihatnya. Kepercayaan, sebagaimana keyakinan beragama, memerlukan kemauan bertindak, yang pada akhirnya harus dilaksanakan agar efektif secara optimal dalam kehidupan pribadi, jalinan-hubungan, dan organisasi. Bukan rahasia lagi bahwa para pemimpin dan organisasi telah berjuang sepanjang waktu agar memperoleh kepercayaan dari orang lain–baik 'orang lain' tersebut pelanggan, kolega, atau karyawan. Memimpin itu sulit. Ia membutuhkan keseimbangan dan kemampuan memahami apa yang perlu dilakukan dan cara terefektif mempertahankan hubungan kolaboratif guna membangun komitmen dan kepercayaan satuan-kerja. Kegagalan kepemimpinan adalah hal biasa. Pemimpin yang sukses dan efektif amat dihargai.
Disaat para pengikut mempercayai seorang pemimpin, hubungan mereka tak semata mencerminkan perbedaan dalam pola pikir mental dan perasaan emosional para pengikut, melainkan pula dalam perilaku pengikut. Para pemimpin yang bijak, menyadari pentingnya membangun budaya organisasi dengan kepercayaan tinggi guna melahirkan respons-respons ini. Bukti empiris secara konsisten menegaskan bahwa organisasi dengan kepercayaan tinggi, lebih menguntungkan, lebih efektif dalam menjalin hubungan dengan pihak lain, dan lebih inovatif.
Kepercayaan sangatlah penting dalam hubungan pemimpin-pengikut, memahami sifat amanah, atau penting pula, apa yang diperlukan agar seorang pemimpin dianggap 'layak' diberi mandat. Pemimpin yang berkemampuan menerima mandat, membedakan dirinya dari calon pemimpin yang berjuang mendapatkan rasa hormat dan komitmen, yang diperlukan agar berhasil dalam dunia yang sulit saat ini.

Sifat amanah mencerminkan persepsi subyektif orang yang mempercayai perilaku, reputasi, dan/atau komitmen pemimpin dalam beberapa cara yang sangat spesifik. Kepercayaan pada tingkat individu dan organisasi terdiri dari lima faktor.
Kemampuan atau Kompetensi–Pemimpin yang amanah menunjukkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan pelanggan mereka, sifat industri mereka, konteks perekonomian, dan sistem yang diperlukan untuk memproduksi dan mengirimkan produk dan layanan di pasar. Standar keunggulan ini memerlukan pemahaman tentang 'pengetahuan mendalam' yang jarang dimiliki orang lain.
Integritas atau Karakter–Ketika pemimpin menepati komitmennya, mengatakan kebenaran dan menghormati hubungan, mereka mendapatkan rasa hormat dari orang lain. Integritas dan karakter merupakan atribut pribadi yang sangat diinginkan seorang pemimpin.
Kedermawanan atau Kepedulian–Komitmen pemimpin terhadap kesejahteraan, pertumbuhan, dan keutuhan orang lain, ditunjukkan dengan memperlakukan orang lain dengan baik, santun, dan hormat. Pemimpin menghasilkan kepercayaan dengan menilai orang lain sebagai tujuan penting, bukan sebagai alat untuk mencapai agenda kepemimpinan. Kebajikan, perilaku, mencerminkan niat baik.
Eksekusi atau Kapasitas–Pemimpin menunjukkan kapasitas mengintegrasikan upaya organisasi agar membuahkan hasil. Eksekusi mengharuskan para pemimpin mencapai hasil dan perolehan yang diinginkan, dengan memahami bagaimana menerapkan rencana ke dalam tindakan. Meskipun kemampuan mengembangkan rencana aksi atau strategi yang jelas, penting bagi keberhasilan, namun pelaksanaan rencana yang efektif jauh lebih penting.
Keberimbangan atau Sempena Hati–Pemimpin yang memperlakukan orang lain dengan adil mengakui kewajiban moral mereka agar membuat pilihan yang melindungi hak-hak orang lain, memperlakukannya secara setara, dan mengakui kebutuhan masing-masing. Saat para pemimpin menjelaskan dalil keputusan yang mereka buat, mereka mengomunikasikan tanggungjawabnya atas dampak tindakannya. Sempena hati merupakan perasaan moral dalam diri seseorang, yang membimbing seseorang agar berperilaku bajik dan memperlakukan orang lain dengan wajar.

Para pemimpin melemahkan kepercayaan pengikutnya tatkala mereka dipandang bertindak dengan cara yang tak memiliki unsur-unsur yang amanah. Dengan demikian, kepercayaan akan hilang ketika pemimpin tak menunjukkan kompetensi pribadi, mencederai komitmen atau kewajiban, memperlakukan orang lain sebagai objek dan bukan individu, berkinerja buruk dalam memastikan bahwa organisasi mencapai tujuannya, atau melanggar standar perilaku etis yang diharapkan.

Mengenai implikasi Trust atau Kepercayaan terhadap Demokrasi dan Pemerintah, kita bincangkan dalam sesi selanjutnya yaq, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, 1995, Free Press
- Stephen M.R. Covey & Rebecca R. Merril, The Speed of Trust: The One Thing That Changes Everything, 2006, Free Press
- Linda K. Stroh, Trust rules: How to Tell the Good Guys from the Bad Guys in Work and Life, 2007, Praeger
- Cam Caldwell, Leadership, Ethics, and Trust, 2018, Cambridge Scholars Publishing