"Seorang pengendara mobil berkata kepada kawan di sampingnya, 'Hwaduh. Gua baru aja belok kiri ngelanggar rambu lalulintas.''Gak papah. Mobil polisi di belakang kita, ngelakuin hal yang sama kok,' tanggap sang kawan dengan santuy.""Kita memilih pemerintah kita melalui pemilu," berkata daun Mapel usai menyapa dengan Basmalah dan Salam. "Partai mengusulkan kebijakan dan mengajukan kandidat, kita memilih, seseorang dinyatakan sebagai pemenang sesuai aturan yang telah ditetapkan, pemenangnya pindah ke kantor pemerintah. Gangguan kadang terjadi tetapi sebagian besar prosesnya berjalan lancar. Kita diatur selama beberapa tahun dan kemudian berkesempatan memutuskan apakah akan mempertahankan petahana atau membuang si nakal. Semua ini sangat rutin sehingga kita menganggapnya remeh.Kendati pengalaman ini lazim, pemilu merupakan fenomena yang membingungkan. Dalam pemilu pada umumnya, sekitar satu dari dua pemilih berakhir di pihak yang kalah, kata Adam Przeworski. Dalam sistem presidensial, pemenang jarang memperoleh lebih dari 50 persen suara dan dalam sistem parlementer multi-partai, perolehan suara terbesar jarang melebihi 40 persen. Terlebih lagi, banyak masyarakat yang memilih pemenang merasa kecewa dengan kinerja mereka selama menjabat. Maka, kebanyakan kita kecewa, baik dengan hasil atau kinerja pemenangnya. Namun, dari pemilu ke pemilu, sebagian besar kita berharap kandidat favorit kita akan menang pada pemilu berikutnya dan tak mengecewakan. Harapan dan kekecewaan, kekecewaan dan harapan: ada sesuatu yang aneh. Satu-satunya analogi yang dapat daku pikirkan adalah olahraga: tim sepakbolaku, Arsenal, sudah bertahun-tahun tak memenangkan kejuaraan, tapi di setiap musim kompetisi baru, diriku masih berharap ia bisa menang. Lagi pula, di bidang kehidupan lain, kita menyesuaikan ekspektasi kita berdasarkan pengalaman masa lalu. Namun tidak pada pemilu. Tembang himne pemilu memang tak bisa ditolak. Tak rasionalkah itu?Pertanyaan mengenai pentingnya pemilu sebagai suatu mekanisme yang melaluinya, kita secara kolektif memilih siapa yang akan mengatur kita dan bagaimana mereka akan melakukannya, menjadi sangat mendesak. Di banyak negara demokrasi, banyak orang yang merasa bahwa pemilu hanya melanggengkan kekuasaan yang bersifat 'kemapanan', 'elit', atau bahkan 'berantakan', sementara di sisi lain, banyak orang yang khawatir dengan munculnya paham 'populis', xenofobia, dan represif. Sikap-sikap ini sangat dipegang teguh oleh kedua-belah pihak, sehingga menimbulkan perpecahan yang mendalam, 'polarisasi', dan ditafsirkan oleh berbagai pakar sebagai 'krisis demokrasi' atau setidaknya sebagai tanda ketidakpuasan terhadap institusi pemilu. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya, dan generasi muda pada khususnya, kini menganggap hidup di negara yang pemerintahannya demokratis tak lagi 'penting' dibandingkan masa lalu–yang semuanya mendukung pernyataan bahwa demokrasi sedang dalam krisis.Pada tahun 2024, dugaan 'election fraud' yang amat berarti terjadi pada pemilu presiden di Indonesia. Keprihatinan telah muncul ke permukaan mengenai segala aspek pemilu, mulai dari fraud 'pork barrel project' dan pendaftaran pemilih hingga keamanan mesin pemungutan suara.Potensi 'election fraud' membayang-bayangi seluruh negara penyelenggara pemilu, bahkan di negara demokrasi yang telah lama berdiri, tulis R. Michael Alvarez [dkk]. Investigasi yang dilakukan oleh jurnalis, akademisi, pengacara, partai politik, pengamat resmi non-partisan, dan masyarakat yang berkepentingan, telah menarik perhatian terhadap kasus-kasus kecurangan pemilu yang nyata-nyata terjadi di banyak negara di dunia. Kasus-kasus ini, meresahkan, sebab pemilu yang adil dan kompetitif dipahami secara luas sebagai elemen penting dalam Demokrasi Perwakilan. Manipulasi pemilu menghilangkan banyak manfaat yang diharapkan dari pemerintahan demokratis, termasuk akuntabilitas publik, transparansi, dan keterwakilan.Pemilu yang setiap suaranya digasak, semestinya dipandang curang. Yang namanya rezim 'otoritarian elektoral' seringkali menggunakan pemilu untuk melegitimasi kekuasaan mereka dan, yang mengejutkan banyak pengamat, terkadang tak berjaya dalam memenangkan pemilu. Dalam kasus ini, rezim harus memutuskan apakah akan melakukan kecurangan—to steal the election—atau tunduk pada kehendak rakyat dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenangnya.Manakala rezim otoriter kalah dalam pemilu, kekuasaan tak secara otomatis berpindah. Rezim-rezim ini, melakukan suatu bentuk manipulasi setelah hari pencoblosan, bahkan jauh hari sebelumnya, jika mereka tak dapat menerima hasil pemilu dan mempertahankan kekuasaan melalui cara lain seperti penyuapan, intimidasi, dan penipuan besar-besaran pasca pemilu (memanipulasi penghitungan suara, atau secara sistematis terlibat dalam kekerasan dan intimidasi untuk memastikan bahwa oposisi melemah, dan lantas memenangkan pemilu). Tentu saja, tak semua pemerintahan otoriter melakukan kecurangan guna mempertahankan kekuasaan; partai Sandinista di Nikaragua menyerahkan kekuasaan kepada oposisi disaat mereka kalah dalam pemilu pada tahun 1990. Demikian pula, banyak negara dengan sejarah panjang pemerintahan demokratis telah menyelenggarakan pemilu dimana ketidakberesan dan masalah administratif menimbulkan pertanyaan mengenai integritas pemilu tatkala pemerintahan yang ada, berusaha mempertahankan kekuasaan, seperti pada pemilu parlemen tahun 2006 di Italia. Di wilayah hukum dimana pemilu diselenggarakan dengan sempurna, dugaan kecurangan dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu.Mengapa terjadi Election Fraud? Pemahaman terhadap konsepsi ini, berakar pada lingkungan budaya dan politik masing-masing negara. Perbedaan undang-undang pemilu di suatu negara dan perbedaan budaya politik berkontribusi terhadap apakah suatu kegiatan dianggap sebagai kecurangan pemilu. Misalnya saja tuduhan kecurangan dalam pemilihan presiden Meksiko tahun 2006. Beberapa dugaan berpusat pada penggunaan kampanye dari rumah ke rumah yang dilakukan oleh salah satu partai politik, termasuk kampanye tersebut merupakan tekanan partisan yang tak semestinya terhadap pemilih. Demikian pula dengan keputusan Presiden Vicente Fox untuk mengendors salah satu kandidat, serupa dengan yang terjadi di Indonesia pada pemilu 2024, pencalonan untuk menggantikannya, di Meksiko di pandang sebagai tekanan illegal terhadap pemilih dan penggunaan dana negara yang tak adil guna mempromosikan salah-satu kandidat.Budaya juga mempengaruhi cara pandang berbagai negara terhadap reformasi pemilu. Estonia menyelenggarakan pemilu menggunakan Internet, sesuatu yang menurut para pengkritik pemungutan suara elektronik di Amerika Serikat merupakan resep bagi kecurangan pemilu. Demikian pula, India mengadopsi pemungutan suara elektronik karena hal ini membantu mengurangi maraknya praktik orang-orang bersenjata yang mengisi kotak suara di wilayah tertentu di negara tersebut. Di Amerika Serikat, peralatan pemungutan suara elektronik, serupa dengan yang digunakan di India, dipandang sebagai sumber potensi fraud oleh sebagian pemilih dan aktivis. Dalam masing-masing kasus tersebut, sejarah, politik, dan budaya, bersama-sama membentuk cara pandang terhadap suatu reformasi dalam konteks kecurangan pemilu.Kecurangan pemilu merupakan kejadian rutin di awal sejarah Amerika Serikat. George Washington memenangkan pemilu di Virginia kolonial sebagian karena menghabiskan banyak uang untuk membeli minuman-keras bagi para pemilih pada hari pemilu, dan rekannya, James Madison, kalah dalam pemilu di Virginia sebagian karena ia menolak mengeluarkan uang untuk hal-hal seperti itu. Ini bukanlah kasus yang terisolasi. Pemungutan suara pada awal dan pertengahan tahun 1800-an penuh dengan potensi manipulasi. Pemilu tak dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai intimidasi pemilih dan pembelian suara. Penggunaan kertas suara dan tak adanya aturan efektif yang mengatur cara penanganan surat suara menimbulkan pertanyaan mengenai pengisian kotak suara. Kurangnya pendaftaran pemilih menimbulkan pertanyaan mengenai kelayakan pemilih untuk memilih di yurisdiksi tempat mereka memberikan suara.Terdapat penelitian mengenai kecurangan pemilu, khususnya yang disebut oleh Fabrice Lehoucq sebagai 'sistem politik pra-reformasi'. Negara-negara yang disebutkan merupakan negara-negara yang tak memenuhi persyaratan minimal agar demokrasi dapat berjalan dengan baik, dan sistem administrasi pemilunya, memungkinkan terjadinya kecurangan pemilu yang lebih merajalela. Contoh penting termasuk Kosta Rika, Jerman, Argentina, dan Brasil. Kesimpulan umum dari literatur ini adalah terdapat banyak cara yang dilakukan agen politik guna memanipulasi hasil pemilu secara ilegal; namun bukti yang ada lemah, bahwa banyak dari manipulasi ini, faktanya sangat memperdaya dalam menentukan pemenang atau yang tak berhasil memenangkan pemilu.Perubahan struktur sosial, secara dramatis mengubah sifat kecurangan pemilu. Perpindahan penduduk, perubahan kondisi ekonomi dan pasar tenaga kerja, serta pencapaian pendidikan, semuanya dapat menyebabkan perubahan pada jenis dan tingkat fraud. Kecurangan juga merupakan fungsi dari kerangka hukum di mana pemilu berlangsung. Persaingan antar partai, bagaimana kursi legislatif dialokasikan, dan bentuk-bentuk perwakilan yang ada, semuanya dapat mempengaruhi apakah lingkungan politik akan bermasalah.Faktor politik, khususnya persaingan politik dan korupsi politik, telah terbukti menjelaskan beberapa variasi yang diamati dalam kecurangan pemilu, dengan korelasi positif antara daya saing dan berbagai ukuran kecurangan pemilu, dengan beberapa pengecualian penting. Faktor kelembagaan, khususnya mekanisme spesifik yang digunakan dalam pemilu legislatif (misalnya, sistem mayoritas versus sistem proporsional), nampak menjelaskan banyak perbedaan dalam kecurangan pemilu di Kosta Rika, dengan lebih banyak kecurangan yang terjadi di bawah aturan mayoritas. Kepentingan ekonomi, keberpihakan dan petahana, serta urbanisasi, juga nyata berkorelasi dengan tingkat kecurangan pemilu.Banyak metode untuk mendeteksi kecurangan pemilu memerlukan proses pemilu yang transparan dan data berkualitas tinggi yang dilaporkan secara tepat waktu. Deteksi juga memerlukan pengetahuan di mana mencari manipulasi pemilu. Misalnya saja, kecurangan adalah aktivitas yang lebih hemat biaya dalam pemilu dimana hanya diperlukan sejumlah kecil suara yang digasak untuk mengubah hasil suatu pemilu. Pemilihan umum lokal dan pemilihan umum yang sangat ketat seringkali menjadi tempat mencari kecurangan dalam konteks yang relatif demokratis.Alvarez [dkk] merekomendasikan agar pemilu dibuat lebih transparan sehingga dapat diamati oleh para pengamat yang tak memihak dan non-partisan. Negara hendaknya menerapkan undang-undang yang memperbolehkan organisasi-organisasi netral agar memantau pemungutan suara guna memberikan sinyal bahwa pemilu dilaksanakan dengan cara yang bebas dan adil. Manfaat tambahan dari pengamatan tersebut adalah bahwa para akademisi dan pembelajar pemilu yang tertarik, akan memperoleh akses terhadap informasi tentang mekanisme pelaksanaan pemungutan suara di tempat pemungutan suara, dan dengan demikian, mempelajari efektivitas praktik administrasi pemilu yang berkaitan dengan pencegahan kecurangan pemilu. Saat ini, kurangnya akses pemantau non-partisan terhadap beragam sampel TPS merupakan salah satu hambatan dalam evaluasi ilmiah penyelenggaraan pemilu.Pemilu merupakan sebuah fenomena modern. Sepanjang sebagian besar sejarah umat manusia, hak mengatur tak memerlukan izin dari mereka yang diatur. Hak ini dianggap wajar, diberikan atas perintah atau kehendak otoritas tertinggi. Gagasan bahwa 'rakyat', selalu dalam bentuk tunggal, harus mengatur dirinya sendiri, baru muncul pada akhir abad kedelapan belas, sebagai akibat dari dua revolusi–di Amerika Serikat dan Perancis. Masalah yang harus dipecahkan, seperti yang dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau pada tahun 1762, adalah 'menemukan suatu bentuk perkumpulan yang membela dan melindungi dengan segenap kekuatan bersama pribadi dan harta benda dari setiap yang terkait, dan melaluinya masing-masing, bersatu dengan semua, tetap patuh kecuali dirinya sendiri, tetap bebas seperti sebelumnya'. Solusi terhadap masalah ini adalah 'self-government of the people'. Pemerintahan mandiri, pada gilirannya, diinginkan lantaran merupakan sistem terbaik guna memajukan kebebasan. Kita bebas jika kita hanya terikat oleh undang-undang yang kita pilih: inilah sumber kekuatan dan daya tarik 'self-government'.Namun semua tak bisa memerintah pada saat yang bersamaan. Kita harus diperintah oleh orang lain. Dan memerintah pasti memerlukan paksaan. Para penguasa dapat mengambil uang dari beberapa orang dan memberikannya kepada orang lain; mereka dapat memaksa setiap orang menusukkan jarum ke lengan mereka; mereka bisa memenjarakan orang, dan di negara-negara barbar bahkan merenggut nyawa. Inilah teka-tekinya: bagaimana orang bisa bebas jika mereka dipaksa oleh orang lain? Jawabannya ialah, kita bisa memilih siapa yang akan memerintah kita dengan memilih mereka melalui pemilu. Mereka akan mewakili kita karena kita memilih mereka untuk mewakili kita.Kita lanjutkan lagi pada sesi berikutnya, bi 'idznillah."Serupa dengan pola cerita sebelumnya, sebelum beranjak ke episode selanjutnya, Mapel juga bersenandung,Because the sky is blue,[Karena langit itu biru]it makes me cry[ia membuatku menjerit]Because the sky is blue *)[Lantaran langit itu biru]
Kutipan & Rujukan:
- Adam Przeworski, Why Bother with Elections?, 2018, Polity Press
- R. Michael Alvarez, Thad E. Hall, and Susan D. Hyde (Ed.), Election Fraud: Detecting and Deterring Electoral Manipulation, 2008, Brookings Institution
*) "Because" karya John Lennon & Paul McCartney