“Seorang lelaki sedang mengikuti wawancara suatu pekerjaan. 'Dan ingat,' kata sang pewawancara, 'kami amat memperhatikan kebersihan. Sudahkah Anda membersihkan sepatu di keset-kaki sebelum masuk?''Oh, tentu pak,' jawab sang lelaki.Sang pewawancara menyipitkan matanya dan berkata, 'Kami juga sangat mengutamakan kejujuran. Gak ada keset-kaki di luar.'”"'Cogito, ergo sum,' sebagaimana ditulis oleh filsuf Perancis kondang, René Descartes. Yang ia maksudkan yalah kita tahu bahwa kita ada, justru karena kita berkemampuan mempertanyakan apakah kita ada," berkata sang Mawar sembari memandangi De Nachtwacht, lukisan karya Rembrandt van Rijn.“Semuanya sangat filosofis, kata Richard Templar, namun hal ini menggarisbawahi fakta bahwa berpikir itu, akar dari siapa kita. Jadi, semakin jelas, efektif, dan koheren kita berpikir, semakin baik kita mampu bertahan hidup. Kebahagiaan dan kesuksesan dapat mengalir dari pemikiran yang baik, yang sulit kita capai jika proses berpikir kita kacau, berantakan, tak koheren.
Hindari 'echo chambers', tulis Templar. Tatkala engkau masih kanak-kanak, dirimu tak tahu apa yang lebih baik daripada berpikir sesuai perintah orangtuamu. Tentu saja, bergaul dengan orang lain yang berpikiran sama denganmu adalah hal yang mudah dan nyaman. Akan tetapi, dunia ini penuh dengan banyak orang, kebanyakan mereka orang baik, yang tak sependapat denganmu dalam segala hal. Engkau mungkin jarang menjumpainya, tapi benarkah semuanya keliru? Beberapa dari mereka sama pandainya denganmu dan telah sampai pada keyakinan mereka dengan cara yang sama validnya denganmu. Bahkan boleh jadi, lebih valid–karena dirimu telah berhenti berpikir mandiri dan beralih ke pemikiran kelompok dimana pandanganmu merupakan pandangan kolektif, dimana engkau tak perlu lagi men-challenge diri sendiri. Dikau bukan lagi orang yang mandiri. Tanpa disadari, dirimu telah 'membebek'.Dirimu perlu mengubah ini, guncangkan, dorong dirimu memperluas cakrawalamu, dengarkan ide-ide lain yang tulus, dengan pikiran terbuka. Cara terbaik melakukannya yalah dengan membina pertemanan berdasarkan siapa mereka, bukan atas dasar anggapan mereka. Upayakan berkawan dengan segala usia, dari budaya lain, latarbelakang yang beragam, kelas yang berbeda denganmu. Di antara merekalah, yang bakal membuatmu melihat dunia dengan cara yang lebih bernuansa.Barangkali, bakal menakutkan bila dirimu mulai berpikir mandiri. Siapa yang tahu arahnya? Akan tetapi, di luar sana, belum ada polisi penangkap orang yang sedang berpikir–belum ada. So, don't be scared.Beberapa orang lebih persuasif dibandingkan yang lain. Entah mereka berupaya menjual mobil kepadamu, membujukmu menerapkan rencana mereka di tempat kerja, meyakinkanmu agar datang ke pestanya, atau menunjukkan mengapa kantong plastik berdampak buruk bagi lingkungan. Dikau hendaknya menghindari jebakan dalam mengikuti alur pemikiran mereka secara membabi-buta tanpa menyertakan daya-pikirmu sendiri. Jika seseorang ingin engkau mengikutinya atau mengambil nasihatnya, engkau seyogyanya mengetahui mengapa mereka berusaha membujukmu. Akan selalu menjadi ide yang baik bila mengenali apa dan mengapa orang ini, hendak engkau percayai. Seusai dirimu menetapkan dengan jelas apa yang mereka kehendaki, akan lebih mudah memutuskan apakah dirimu menghendakinya juga.Kita tinggalkan dulu motif orang lain barang sejenak–bagaimana dengan motifmu sendiri? Sangat mudah berpikir dengan cara yang memenuhi kepentingan pribadimu tanpa pernah menyadari bahwa engkau sedang melakukannya. Mungkin saja, cara berpikirmu akan membawamu pada keputusan yang akan membuatmu lebih baik secara finansial, atau memberimu status lebih tinggi, atau memungkinkanmu hidup di area yang lebih baik. Kita semua pernah bertemu dengan para vegetarian yang berhenti makan daging karena pandangan etis mereka.Jika dikau serius dalam menolak manipulasi orang lain dan berpikir mandiri, ada baiknya dirimu waspada terhadap cara mereka berupaya mempengaruhimi. Bila dikau dapat mengenalinya, akan lebih mudah menolaknya. Maka, jagalah hati-sanubarimu, jangan mudah tertipu.Kenali siapa dirimu dan ambil kendali. Ketika menafsirkan apa yang terjadi dalam hidupmu, orang-orang terbagi dalam dua kubu. Mereka yang percaya bahwa semuanya tergantung pada takdir dan engkau tak dapat mengubahnya, dan mereka yang meyakini bahwa engkau punya kehendak bebas dan mengendalikan hidupmu sendiri. Sains belum menyetujui hal ini, namun telah ditetapkan bahwa orang yang percaya bahwa mereka mengendalikan hidup mereka sendiri cenderung lebih bahagia.Meyakini bahwa engkau mengendalikan hidupmu, juga penting dalam keistikamahan. Terlepas dari hal lain, yang memotivasimu menemukan cara mengatasi, atau setidaknya, cara baru memikirkan masalahmu kendati hanya sedikit yang dapat engkau lakukan untuk menghadapinya.Belajar berpikir baik secara mandiri merupakan sebuah tantangan. Tentu saja hal ini dapat dicapai, namun bukan tanpa usaha. Dan begitu dirimu mulai mencoba berpikir bersama dengan orang lain, tantangannya menjadi semakin menarik. Tak semata daya-pikirmu sendiri yang perlu dikau kelola, melainkan pula, benak orang lain.Jika tak berhasil, berpikir bersama orang lain akan membuat frustrasi, menjengkelkan, dan tak produktif. Kita semua pernah ke sana. Namun, dua atau lebih kepala yang bekerja secara harmonis dapat menghasilkan lebih dari sekedar gabungan bagian-bagiannya, dan merupakan kebahagiaan menjadi bagian dari kelompok yang dapat berpikir bersama dengan baik. Baik dirimu dan pasanganmu, tim di tempat kerjamu, kelompok sosialmu, maupun kombinasi lainnya, beberapa pikiran dapat menghasilkan ide dan memecahkan masalah yang tak dapat dilakukan oleh satu orang saja.Tim pemikir yang efektif hendaklah mendengarkan gagasan setiap orang. Namun mereka tak bisa menindaklanjuti semuanya. Jangan pernah meremehkan kemampuan kreatif orang-orang di sekelilingmu. Pastikan orang-orang di sekitarmu tahu bahwa mereka selalu diperbolehkan mengutarakan 'stupid idea' tanpa takut dicemooh, dan pastikan dirimu mendengarkan untuk melihat apakah engkau dapat mempertimbangkannya menjadi gagasan yang lebih praktis.Nah, kita tinggalkan sejenak topik tentang berpikir, mari kita bicara tentang gagasan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt tentang bagaimana Demokrasi mati. Mereka mulai dengan pertanyaan, 'Dalam bahayakah demokrasi kita? Pertanyaan inilah yang tak pernah terbayangkan akan kami tanyakan.'Selama Perang Dingin, kudeta menyebabkan hampir tiga dari empat kegagalan demokrasi. Negara-negara demokrasi di Argentina, Brasil, Republik Dominika, Ghana, Yunani, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, dan Uruguay, semuanya mati dengan cara ' at the hands of men with guns'. Belakangan, kudeta militer menggulingkan Presiden Mesir Mohamed Morsi pada tahun 2013 dan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra pada tahun 2014. Dalam semua masalah ini, demokrasi rontok dengan cara yang spektakuler, melalui kekuatan militer dan pemaksaan. Beginilah demokrasi sekarat: di tangan orang-orang bersenjata.Namun ada cara lain mengambyarkan demokrasi. Tak terlalu dramatis namun sama destruktifnya. Negara-negara demokrasi mungkin mati bukan di tangan para jenderal, melainkan di tangan para pemimpin terpilih—presiden atau perdana menteri yang menggagalkan proses yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Beberapa dari pemimpin ini, mengobrak-abrik demokrasi dengan cepat, seperti yang dilakukan Hitler setelah kebakaran Reichstag di Jerman pada tahun 1933. Namun, seringkali, demokrasi terkikis secara perlahan dan nyaris tak terlihat.Kediktatoran yang terang-terangan—dalam bentuk fasisme, komunisme, atau kekuasaan militer—telah hilang di sebagian besar dunia. Kudeta militer dan perebutan kekuasaan dengan kekerasan jarang terjadi. Sebagian besar negara menyelenggarakan pemilu secara berkala. Demokrasi masih mati, namun dengan cara yang berbeda. Sejak berakhirnya Perang Dingin, sebagian besar kegagalan demokrasi bukan disebabkan oleh para jenderal dan tentara, melainkan oleh pemerintah terpilih itu sendiri. Seperti Chavez di Venezuela, para pemimpin terpilih telah menumbangkan lembaga-lembaga demokrasi di Georgia, Hongaria, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, Ukraina dan belakangan mulai tampak, Indonesia. Kemunduran demokrasi saat ini dimulai di kotak suara. Inilah bagaimana demokrasi kini mati.Di jalan pemilu, tiada presiden yang terbunuh, tiada pembakaran istana presiden. Tiada tank di jalan. Konstitusi dan lembaga-lembaga demokratis lainnya masih tetap berlaku. Masyarakat masih memilih. Para autokrat yang terpilih, mempertahankan lapisan demokrasi sembari menghilangkan substansinya.Banyak upaya pemerintah guna menumbangkan demokrasi bersifat 'legal', dalam artian bahwa upaya tersebut disepakati oleh badan legislatif atau diterima oleh pengadilan. Hal ini bahkan dapat digambarkan sebagai upaya meningkatkan demokrasi—menjadikan peradilan lebih efisien, memberantas korupsi, atau membersihkan proses pemilu. Media masih mempublikasikannya tetapi dibeli atau diintimidasi hingga melakukan sensor mandiri. Masyarakat terus mengkritik pemerintah namun seringkali menghadapi masalah pajak atau masalah hukum lainnya. Hal ini menimbulkan kebingungan masyarakat. Rakyat tak segera menyadari apa yang sedang terjadi. Banyak yang masih percaya bahwa mereka hidup di bawah demokrasi.Lantaran tiada satu momen pun—tak ada kudeta, deklarasi darurat militer, atau penangguhan konstitusi—dimana rezim tersebut jelas-jelas 'melewati batas' menuju kediktatoran, tiada yang bisa membunyikan 'society’s alarm bells'. Mereka yang mengecam pelanggaran yang dilakukan pemerintah, bisa saja bakal dianggap sebagai orang yang melebih-lebihkan atau berteriak-teriak. Bagi banyak orang, erosi demokrasi nyaris tak terdengar.Levitsky dan Ziblatt menggugah pikiran kita bahwa negara sekuat Amerika pun, boleh jadi, demokrasinya bakalan mati. Lantas, apa yang dapat diperbuat agar dapat menyelamatkan Demokrasi? Tentang Demokrasi di Amerika, Levitsky dan Ziblatt menulis, 'Membandingkan kesulitan kita saat ini dengan krisis demokrasi di belahan dunia lain dan pada momen-momen sejarah lainnya, menjadi jelas bahwa Amerika tak jauh berbeda dengan negara-negara lain. Sistem ketatanegaraan kita, meski lebih tua dan lebih kuat dibandingkan sistem konstitusi mana pun dalam sejarah, rentan terhadap patologi yang sama, yang telah membunuh demokrasi di tempat lain. Pada akhirnya, demokrasi Amerika bergantung pada kita—warga Amerika Serikat. Tiada satu pun pemimpin politik yang dapat mengakhiri demokrasi; tiada satu pun pemimpin yang bisa menyelamatkan seseorang. Demokrasi itu usaha bersama. Nasibnya tergantung pada kita semua.[...] Untuk menyelamatkan demokrasi kita, orang Amerika perlu memulihkan norma-norma dasar yang pernah melindunginya. Namun kita harus melakukan lebih dari itu. Kita harus menyebarkan norma-norma tersebut ke seluruh masyarakat yang beragam. Kita harus menjadikannya benar-benar inklusif.'Balik ke topik tentang berpikir kita, betapapun buruknya pengalaman yang dikau alami, dirimu selalu bisa belajar darinya. Pikiran kita berpengaruh pada perasaan kita. Jika dikau hendak menjadi pemikir yang baik, seyogyanya dirimulah yang melakukannya sendiri. Artinya, dirimulah yang hendaknya berpikir. Engkau tak boleh membiarkan orang lain melakukannya untukmu.Kita akhiri fragmen ini dan sebagai kata penutup, perkenankan daku mengucapkan, 'Wallahu a'lam'."Sang mawar kemudian melambai-lambaikan tangkai dan daunnya seraya melantunkan,The world is closing in[Dunia semakin berdekatan]and did you ever think?[dan pernahkah dikau pikirkan?]That we could be so close?[Bahwa kita bisa begitu dekat?]Like brothers[Laksana saudara]the future's in the air[masa depan sedang mengudara]I can feel it everywhere[Ku bisa merasakannya dimana-mana]blowing with the wind of change *)[berdesir bersama pawana perubahan]
Kutipan & Rujukan:
- Richard Templar, The Rules of Thinking, 2019, Pearson
- Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, How Democracies Die, 2018, Crown
*) "Wind of Change" karya Klaus Meine