Di negeri +62 yang penuh drama politik dan sinetron kekuasaan, ada geng bernama Projo. Dulu, mereka tuh kayak fans garis kerasnya Pakde Jokowi—tiap pidato dielu-elukan, tiap selfie diunggah. Tapi anehnya, mereka gak pernah tuh ngomongin soal “kerakyatan”. Bagi mereka, sepertinya kata "kerakyatan" tuh barang antik yang cuma ada di museum perjuangan.Yang mereka ikutin? Arah angin kekuasaan. Dan anginnya sekarang lagi berhembus ke arah Istana Kepresidenan. Langsung deh, Projo mulai ganti seragam, ganti caption, dan siap-siap pindah tongkrongan. “Kami selalu dukung pemimpin kuat,” katanya, padahal kemarin masih nyanyi “Jokowi harapan rakyat”.Khalayak mulai bisik-bisik: ini pindah karena prinsip, karena takut ketinggalan nasi box, atau, karena kena kasus hukum? Kayaknya sih, kalau pohon nyiur jadi presiden, mereka bakal langsung pakai batik bermotif janur kuning dan bilang, “Kami dari dulu Pro-lingkungan.”Jadi, Projo ini bukan soal rakyat. Mereka lebih kayak kompas yang jarumnya selalu nunjuk ke arah Istana. Bukan oleh kesetiaan, tapi lantaran WiFi-nya kenceng di sono.
Balik ke topik kita.
[Bagian 1]Kenapa suasana kritik, meme, jurnalis, dan aspirasi massa di Indonesia sekarang terasa masih tegang—bukan cuma satu hal aja, tapi kombinasi tiga musuh utama:Pertama, polisi (POLRI) belum direformasi secara serius. Banyak laporan bahwa aparat belum kena sanksi yang jelas waktu mereka melanggar—misalnya kekerasan terhadap jurnalis atau demonstran—jadi muncul semacam budaya “boleh aja” yang bikin orang takut bersuara.Kedua, makin banyak undang‐undang dan aturan baru yang bikin kontrolnya makin rumit: misalnya aturan bahwa wartawan asing harus minta izin baru kerja di Indonesia, atau polisi dikasih kewenangan besar di dunia maya dan media, yang bikin soal “kritik” jadi agak semrawut.Ketiga, ada faktor ekonomi‑politik: ketika pejabat publik, partai atau orang dekatnya punya kepentingan pribadi dari jabatan, maka kritik atau pengawasan diganggu. Kalau kita kritik pejabat lewat meme atau sosial media, bisa dianggap “mau bikin kaco” daripada bagian dari kontrol warga yang sehat.Jadi pointnya: kalau kita cuma reformasi polisi doang tapi nggak urus undang‐undang yang ngatur media, cyberspace dan wewenang politik yang besar, ya cuma setengah jalan. Sistemnya harus dibenerin dari tiga sisi—aparat, regulasi, dan politik—kalau mau kebebasan kritikan dan transparansi betul‑betul jalan.Berdasarkan bukti yang tersedia, tampak bahwa kondisi seputar pembatasan kebebasan berekspresi dan ruang publik di Indonesia bukan semata-mata berawal dari peristiwa yang disebut Prahara Agustus 2025 (kerusuhan Agustus 2025). Kondisi tersebut justru telah ada sebelumnya—kerusuhan tersebut mungkin telah menjadi katalis yang mengintensifkan atau meningkatkan visibilitasnya.Sebelum Agustus 2025, sudah terdapat banyak laporan tentang penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara luas terhadap para kritikus, pengerahan aparat negara untuk melawan perbedaan pendapat di ranah digital, dan indikasi menyusutnya ruang publik. Oleh karenanya, "pengetatan" kontrol atas kritik daring, meme, komentar media sosial, dan pengawasan publik telah tertanam dalam sistem sebelum kerusuhan Agustus. Peristiwa Prahara Agustus kemudian menambah urgensi dan perhatian publik: protes massa yang terjadi secara bersamaan, kekerasan, dan respons negara memberikan dorongan bagi tuntutan reformasi, termasuk investigasi terhadap perilaku polisi. Kerusuhan tersebut juga memberikan justifikasi lebih lanjut untuk intervensi regulasi dan penegakan hukum di ranah digital.Singkatnya: kita hendaknya tak memandang kerusuhan Agustus 2025 sebagai akar penyebab menyempitnya ruang kritik, melainkan sebagai titik balik yang signifikan—momen ketika dinamika yang sudah ada sebelumnya dipertajam dan menjadi lebih nyata. Faktor-faktor struktural yang mendasarinya (hukum, kelembagaan, politik) telah membentuk situasi yang memicu kerusuhan tersebut.Dalam masyarakat Indonesia, kritik itu datang dalam beragam rupa, sesuai kekayaan budaya dan kondisi sosial-politik yang kompleks. Loe bisa nemuin kritik lewat media sosial, kolom opini di koran, talk show di TV, sampai konten video online yang lagi ngetren. Biasanya, kritik di Indonesia agak halus atau nggak langsung, karena budaya kita ngajarin buat sopan sama otoritas dan menjaga harmoni, tapi bisa juga pedas dan satire kalau ngomongin korupsi, ketidakadilan, atau blunder pemerintah. Salah satu ciri khas kritik di Indonesia adalah kreativitasnya: meme, parodi, sampai seni jalanan sering bawa pesan yang subtle tapi nyentil banget. Ciri lain, kritik biasanya communal, jarang cuma suara satu orang, karena banyak orang nyatuin suara buat nunjukin kepedulian bareng, nunjukin rasa tanggungjawab kolektif. Tapi, kritik di Indonesia kadang juga kena rem karena tekanan hukum, politik, atau sosial, bikin keberanian dan kecerdikan para kritikus jadi makin keren dan penting.
Film dokumenter Dirty Vote, yang diperankan sama pakar hukum tatanegara Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar, rilis tanggal 11 Februari 2024, langsung bikin heboh, ditonton lebih dari 6 juta kali di hari pertama. Disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, Dirty Vote ngulik dugaan kecurangan pemilu Presiden 2024 di Indonesia, mulai dari penyalahgunaan kekuasaan sampai sumber daya negara buat ngatur hasil pemilu.
Film ini nggak cuma sekadar kritik politik, tapi juga kayak sekolah mini buat warga. Dengan bawain analisis para ahli dan bukti-bukti, film ini nunjukin gimana integritas pemilu bisa diganggu dan bikin masyarakat sadar soal potensi manipulasi. Penonton jadi diajak mikir kritis: apakah demokrasi kita sehat? Seberapa penting jaga kejujuran pemilu? Jadi, Dirty Vote berfungsi sebagai sarana edukasi sipil, bikin orang lebih paham, melek politik, dan lebih aktif ikutan urusan negara.Dalam ilmu politik, dirty vote biasanya bermakna suara yang sengaja dicoret, dirusak, atau salah diisi oleh pemilih. Ini bisa terjadi karena beberapa alasan: protes terhadap kandidat, partai, atau sistem pemilu; ekspresi ketidakpuasan politik; atau cuma karena bingung atau salah paham aturan.
Dirty Vote II o3 secara resmi dirilis pada hari Minggu, 19 Oktober 2025, tepat sehari sebelum ulang tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, film dokumenter ini menyajikan analisis riset jurnalistik detail dengan durasi sekitar empat jam yang membedah strategi politik, hukum, dan ekonomi pemerintahan saat ini. Subtitle film ini, “o3,” merujuk pada tiga pilar konsolidasi kekuasaan: “Otot” (kekuatan politik), “Otak” (kecerdasan hukum), dan “Ongkos” (biaya ekonomi). Dokumenter ini bertujuan memberikan wawasan kepada publik tentang kartu-kartu politik yang dimainkan oleh kelompok oligarki serta arah lanskap politik Indonesia menuju Pemilu 2029.
Dirty Vote I dan Dirty Vote II o3 merupakan film dokumenter yang sarat muatan politik, yang secara kritis mengulas lanskap pemerintahan dan pemilu di Indonesia. Film pertama, Dirty Vote I, fokus pada pemilihan presiden 2024, membuka dugaan manipulasi pemilih, kecurangan sistemik dalam pemilu, dan eksploitasi bantuan sosial pemerintah saat kampanye. Film ini menyoroti integritas pemilu dan proses demokrasi, menggambarkan kelanjutan jaringan kekuasaan yang mengakar yang merusak pemilu yang bebas dan adil. Film ini memicu perdebatan tentang legitimasi hasil pemilu dan meningkatkan kesadaran publik terhadap taktik manipulatif yang digunakan dalam politik Indonesia.Sebaliknya, Dirty Vote II o3 memperluas jangkauan kajiannya ke dinamika politik di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Sekali lagi, film ini mengenalkan konsep "o3" yang meliputi "Otot" (kekuatan politik), "Otak" (kerangka hukum), dan "Ongkos" (biaya ekonomi) untuk menggambarkan bagaimana kepentingan oligarki menggunakan struktur kekuasaan, sistem hukum, dan sumber daya ekonomi untuk mengonsolidasikan kendali dan mempengaruhi pemerintahan. Sekuel ini mengkritisi keseimbangan antara kebijakan sosial populis pemerintah dengan realitas politik ekonomi, dengan menyiratkan bahwa oligarki struktural masih membentuk keputusan kebijakan meskipun ada janji reformasi.Kedua film ini menyajikan narasi yang saling melengkapi namun kontras: Dirty Vote I menyoroti fondasi bermasalah kemenangan pemilu Gibran lewat kecurangan sistemik, sementara Dirty Vote II o3 menelaah konsolidasi kekuasaan yang berkelanjutan dan kompleksitas pemerintahan di tengah sistem oligarki yang mengakar.Kalau pakai lensa "Dirty Vote I" sama "Dirty Vote II o3" buat nge-review satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo, hasilnya jadi kelihatan jelas—macam nonton drama politik dengan dua sudut pandang yang saling menguatkan. Dari lensa "Dirty Vote I", kita diingatkan soal bayang-bayang "cawe-cawe" pemilu yang masih nempel, kayak script lama yang bikin rakyat merasa demokrasi itu masih “lip sync” doang, sementara kekuasaan sama oligarki jalan terus tanpa henti.Lensa "Dirty Vote II o3" ngedetailin gimana sih “otot politik”, “otak hukum”, dan “ongkos ekonomi” selama ini saling jegal dan bantu supaya kebijakan pemerintah, walaupun ada program sosial yang oke kayak makan gratis dan koperasi desa, tetep berada di ruang pertandingan oligarkic dan patronase politik yang bikin gerak pemerintah jadi terbatas. Jadi, walau janji-janji buat keadilan sosial dan pemberdayaan ekonomi gede, realitasnya masih penuh sama negosiasi dan kompromi demi ngejaga posisi elite dan kekuasaan.Gabungan dua lensa ini nunjukin pemerintahan Prabowo lagi usaha keras bagi hasil yang nyata ke rakyat, tapi tetep kudu ngadepin sistem lama yang susah diubah, mulai dari masalah pemilu yang belum bersih, konsentrasi kekuasaan yang tinggi, sampai kemauan politik yang terkadang tumpul karena dinamika ekonomi dan hukum.Pada akhirnya, kritik itu bukan aksi pemberontakan, tapi bentuk tanggungjawab. Ketika sebuah bangsa sudah cukup dewasa, rakyatnya paham bahwa kesetiaan sejati bukan berarti diam dan manut, tapi punya keberanian buat ngomong jujur ke kekuasaan dengan pantas dan tepat sasaran. Ucapan Presiden Prabowo yang bilang “Pemimpin yang tidak mau dikoreksi—tidak mau dikritik—dia akan terjebak dalam kesalahan-kesalahan” menjadi angin segar di iklim politik Indonesia. Itu bukan sekadar basa-basi, tapi pengakuan bahwa kepemimpinan sejati gak tumbuh dari pujian, melainkan dari akuntabilitas. Mampu mendengar kritik tanpa marah itu tanda percaya diri, bukan lemah; tanda bijak, bukan minder. Masyarakat yang terbiasa memberi kritik membangun, bakal melahirkan pemimpin yang melayani, bukan yang merasa dilayani. Dalam kisah besar demokrasi, kritik itu bukan kebisingan—justru musik yang bikin sistem tetap hidup dan harmonis.
[Bagian 3]

