Rabu, 12 November 2025

Serakahnomics

Di negeri kita ternyata bukan cuma cerita film aja yang “si kaya tarik rem, si kecil nge-rem blong”—realitanya banyak juga cerita tanah rakyat yang ditarik sama oligarki dan korporasi gede-gedean. Di Banten misalnya, wilayah pantai yang dulunya milik warga dengan surat girik, petuk, kikitir—eh sekarang malah digeser buat proyek pembangunan besar di lokasi kaya Pantai Indah Kapuk 2 (PIK‑2), dengan sentuhan regulasi yang bikin hak rakyat kecil makin ringkih.

Lalu ada juga cerita yang cukup bikin mikir: lahan seluas puluhan hektar milik perusahaan mantan wapres JK di Makassar konon diambil alih paksa. Yang level atas aja kena, gimana kita coba?

Sejarahnya juga gak main-main: mulai zaman kolonial sampe era neoliberal sekarang, pola “nyaplok tanah orang sebanyak-banyaknya lalu serahin ke korporasi” udah jalan terus. Dan yang paling bikin nyesek: banyak regulasi yang katanya memperkuat hak rakyat malah dipakai buat bikin hak rakyat makin luluh lantak.
Mekanisme yang sering dikutip adalah pengenalan celah regulasi—misalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 dan peraturan terkait, hak atas tanah adat atau tanah lokal yang lama menjadi kurang efektif secara hukum, sehingga membuka jalan bagi korporasi, dengan dukungan lembaga negara, untuk mendapatkan konsesi besar.
Secara paralel, terdapat dugaan taktik "tanah musnah" atau "tanah yang hilang", terutama di wilayah pesisir, yang memungkinkan reklamasi dan klaim lahan yang sebelumnya berorientasi laut oleh kepentingan bisnis.
Jangan anggap remeh kalau hari ini ada besi-kuda megaproyek, reklamasi pantai, atau zona ekonomi khusus—boleh jadi di balik gemerlap itu ada kisah rakyat kecil yang tanahnya ngilang, digeser, dan haknya dianggap enggak jelas. 

Sewaktu Presiden Prabowo ngomong tentang “greedonomics” alias “serakahnomics”—yang dimaksud beliau tuh bukan cuma bisnis jor-joran kayak dulu, tapi bisnis yang ngelakuin penghisapan atas rakyat kecil supaya untung maksimal, tanpa mikirin hak atau nasib mereka. Nah, pas kita lihat fenomena lahan rakyat yang dirampas oleh oligarki dan korporasi gede-gedean, ya itu persis contoh hidup dari “greedonomics” yang beliau omongin.
Misalnya nih, tanah yang dulu diwarisin generasi ke generasi, milik komunitas adat atau rakyat desa—eh tiba-tiba dipakai buat proyek besar, dengan kompensasi seadanya atau proses yang nggak transparan—itu artinya ada aktor kuat yang pake kondisi lemah warga buat ngejar duit besar. Cocok banget sama istilah “vampir ekonomi” atau “penghisap” yang Presiden Prabowo sebutkan. Lihat aja kata-kata beliau: “orang yang pakai kekayaan untuk nge-cheat dan korbankan kepentingan rakyat demi profit.”

Dan bukan cuma masalah dalam negeri aja, guys. Di forum internasional seperti APEC Economic Leaders’ Meeting, Presiden Prabowo juga ngingetin bahwa “greed economy” atau ekonomi serakah ini bisa ngejebak banyak negara—korupsi, penyelundupan, manipulasi pasar, semua itu bagian dari satu kesatuan yang merusak pertumbuhan nyata. 
Jadi kalau kita hubungkan, ya begini: aksi perampasan tanah rakyat oleh oligarki/korporasi itu bukan cuma soal “kejahatan agraria” biasa, tapi juga simbol dari sebuah sistem ekonomi yang memihak kuasa besar, bukan rakyat banyak. Dan ketika kita menyebut ini sebagai “greedonomics”, artinya kita ngaku bahwa di balik lahan yang hilang, ada logika besar: “Ambil sebanyak-banyaknya, bayar serendah-rendahnya, dan biarkan yang lemah rugi.” Dalam versi pop nya: kalau tanah loe digeser, hak loe dipotong, dan loe cuman jadi pemain kecil—itu bisa jadi loe sedang kena roll-out dari “greedonomics”-nya oligark/korporasi.
Maka dari itu, perjuangan mempertahankan tanah rakyat, menegakkan hak-hak komunitas, mendorong transparansi dan keadilan agraria—semua itu juga bagian dari upaya menandingi “greedonomics”. Kalau nggak, yah kita terus-terusan jadi korban sistem yang dibangun buat bikin segelintir orang untung besar sementara banyak orang kalah.

Di dunia yang dikuasai keserakahan, ada yang bisa disebut Greedonomics, sebuah sistem ekonomi dimana keserakahan bukan cuma ditoleransi tapi malah dijadikan bahan bakar utama pembangunan. Di sini, kumpulin harta pribadi sebanyak-banyaknya dianggep ukuran kesuksesan nasional, padahal rakyat kecil dan lingkungan bisa babak belur kena imbasnya. Di dunia kayak gini, yang kaya makin kaya, sementara yang lain cuma dikuliahin soal moral.
Ada juga Grabonomics, ekonomi yang hidup dari prinsip “siapa cepat dia dapat,” dimana etika dan keadilan cuma dianggep rintangan yang bisa dilewati. Pengusaha, pejabat, dan calo proyek rebutan posisi, proyek, dan konsesi kayak main kursi musik yang gak ada habisnya. Di sini, yang punya akses bakal "grab it all" tanpa malu dan tanpa peduli orang lain. Bikin nilai? Ah, gak penting. Yang penting ngisep nilai.
Lalu ada Gluttonomics, ekonomi rakus yang gak pernah kenyang. Ibarat pesta mewah cuma buat segelintir elit, sementara rakyat kebanyakan cuma nonton sambil kelaparan. Konsumsi berlebihan dan borosnya anggaran disulap jadi simbol kemajuan, seolah-olah kelaparan banyak orang adalah kemenangan bersama. Pestanya terus, tapi kelaparan nyata adanya.
Nyambung sama itu semua, disebut Cronynomics, ekonomi yang dijalankan oleh jaringan keluarga dan kroni politik. Proyek menguntungkan dan kontrak negara jatuh ke tangan “yang dekat kekuasaan,” bukan yang kompeten. Dalam Cronynomics, keserakahan dibungkus jadi loyalitas, dan korupsi pakai topeng kekerabatan, bikin nepotisme terlihat sah sebagai model bisnis nasional.
Terakhir, Scamonomics membuka sisi gelap ekonomi tipu-tipu, dimana akal-akalan dan penipuan dijadikan hobi nasional. Skema curang, deal nyeleneh, dan perhitungan kreatif merajalela, sementara rakyat yang rugi, yang untung cuma mereka-mereka dalam lingkaran dalang. Di dunia Scamonomics, modus jadi bisnis, dan rakyat cuma korban.
Kalau digabung, semua -nomics ini membentuk potret ekonomi dimana keserakahan, oportunisme, dan tipu muslihat bukan anomali—melainkan fondasi utamanya.

Greedonomics, alias Serakhnomic, sebenernya bukan cuma model ekonomi doang, tapi cerminan dari pergeseran ideologis yang lebih dalam di masyarakat. Dari sisi ideologi, sistem ini ngeglorifikasi akumulasi harta pribadi sebagai “kebaikan moral dan sosial tertinggi,” bikin kesuksesan diukur cuma dari materi. Niat nguber keuntungan pribadi dianggap lebih penting daripada kesejahteraan bersama, dan etika cuma jadi pelengkap yang kadang lupa dicat. Keserakahan dikemas jadi ambisi, dan ambisi dipandang sebagai kebajikan.
Dari sisi politik, Greedonomics hidup subur dalam sistem dimana kekuasaan terpusat dan akuntabilitas lemah. Para pemimpin bisa ngerasionalisasi penimbunan kekayaan ekstrem sebagai pendorong pertumbuhan nasional, sambil menutupi kesenjangan di balik retorika pembangunan dan efisiensi. Biasanya, yang miskin malah disalahin, dicap malas atau gak pantas, sementara yang kaya dipuja sebagai visioner dan pekerja keras. Pemilu, kebijakan, dan regulasi dibentuk secara tersama hanya melayani kepentingan elite, bikin siklus privilese terus berulang.
Secara sosial, Greedonomics bikin jurang dan alienasi makin lebar. Komunitas terpecah antara mereka yang sukses dan mereka yang ketinggalan. Kepercayaan, yang dulu lem sosial, mulai luntur karena orang sadar koneksi dan pengaruh lebih dihargai daripada kompetensi. Mobilitas sosial jadi mitos, sementara rasa kesal menumpuk di mayoritas yang cuma bisa lihat elit pesta pora sementara kebutuhan mereka diabaikan.
Secara budaya, Greedonomics nempel di kehidupan sehari-hari lewat media, pendidikan, dan pop kultur. Konsumerisme dan kesuksesan materi jadi simbol status, sementara filantropi dan tanggungjawab sosial cuma dianggap opsional atau sekadar gaya-gayaan. Budaya “lebih itu lebih” merasuk ke sikap terhadap kerja, keluarga, dan hubungan sosial, bikin masyarakat di mana penampilan dan harta yang nentuin nilai seseorang. Lama-lama, ideologi ekonomi ini nggak cuma bentuk pasar, tapi juga pola pikir, ngeredefinisi apa itu sukses, etis, bahkan jadi manusia.
Greedonomics itu lebih dari sekadar sistem ekonomi; ini lensa di mana ideologi, politik, sosial, dan budaya bertemu, ngeglorifikasi keuntungan pribadi sambil nutupin biaya kemanusiaan dan lingkungan yang nyata.

Di Indonesia, Greedonomics alias Serakhnomic tumbuh subur di lahan yang udah kebanyakan oligark, politisi, sama birokrat yang nganggep negeri ini kayak taman bermain pribadi mereka—kalo minjem istilah Gus Dur: "Taman Kanak-kanak". Dari sisi ideologi, sistem ini ngegambarin kalo harta itu sama dengan kebajikan, dan pengaruh itu sama dengan kearifan—kayak bisa kumpulin aset otomatis bikin loe jadi orang baik dan pinter. Diskusi publik sering ngerayain “kisah sukses” para taipan dan elite politik, sementara jutaan rakyat yang struggling di sektor informal, desa-desa terpencil, atau kampung kota diem aja terabaikan.
Dari sisi politik, Greedonomics hidup dari jaringan patronase dan kekuasaan. Kebijakan dibuat bukan buat rakyat, tapi buat jagain kepentingan mereka yang udah punya power. Proyek, kontrak, dan dana publik ngalir ke orang yang pinter main jaringan, bukan yang punya skill atau kompetensi. Pemilu dan narasi media sering nunjukin loyalitas ke orang kuat sebagai tanda warga negara baik, sementara suara kritis dicap gak tau terima kasih atau gangguin. Sistem ini bikin pemerintahan kayak teater, dimana yang kaya dan nyambung selalu jadi pemain utama, sementara rakyat lain cuma nonton dari tribun murah.
Secara sosial, dampaknya nyata banget. Komunitas terpecah karena ketimpangan jadi hal biasa, bukan pengecualian. Peluang pendidikan dan kerja miring ke anak-anak elite, bikin mayoritas susah naik tangga yang pendek tapi rapuh. Kepercayaan luntur karena orang sadar hasil ditentukan pengaruh, bukan kerja keras, bikin atmosfer dimana hidup sering tergantung kenal orang yang tepat. Rasa kesal menumpuk, kadang meledak lewat protes atau meme viral yang nge-bully absurdnya sistem ini.
Secara budaya, Greedonomics nempel di kehidupan sehari-hari. Media populer, dari TV sampai influencer TikTok, ngeglorifikasi kemewahan, gaya hidup berlebihan, dan konsumsi mencolok. Konsumerisme jadi badge of honour budaya, sementara tanggungjawab etis dipandang remeh atau dijadiin tontonan philanthropy buat kamera. Bahkan bahasa pun ikut berubah: istilah kayak “kemitraan strategis” dan “penciptaan nilai” sering nutupin kepentingan diri sendiri dan eksploitasi. Intinya, keserakahan bukan cuma ditoleransi—tapi dirayain sebagai karakter nasional, nempel di identitas sosial kita.
Greedonomics di Indonesia bukan cuma pola ekonomi; ini ideologi, strategi politik, realitas sosial, dan fenomena budaya. Sistem ini ngeglorifikasi akumulasi, ngasih reward loyalitas di atas kompetensi, dan nutupin biaya yang harus ditanggung rakyat biasa serta lingkungan, bikin masyarakat di mana harta dan pengaruh nentuin kesempatan bahkan martabat kita sendiri.

Ada beberapa buku rujukan yang isinya tuh selaras banget sama semangat “Serakahnomics”-nya Presiden Prabowo—alias, nyorot betapa gilanya dunia pas dikuasai kerakusan kapitalis. Salah satu yang paling ngegas adalah Capital in the Twenty-First Century karya Thomas Piketty. Karya ini tuh semacam “kitab suci” buat ngebongkar gimana sistem kapitalisme dari zaman baheula sampai sekarang suka banget ngumpulin kekayaan cuma buat segelintir orang, sementara sisanya cuma disuruh nonton sambil gigit jari. Kata Piketty, kalau gak dikontrol, ini bisa ngehancurin demokrasi dan bikin dunia makin miring.
Capital in the Twenty-First Century karya Thomas Piketty ini kayak membuka mata soal jurang kaya-miskin yang makin dalam. Intinya, kalau keuntungan dari modal terus lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi, maka si kaya bakal makin kaya sementara rakyat biasa cuma nonton. Piketty bilang ini bukan sekadar kebetulan, tapi fitur bawaan kapitalisme, kecuali ada aturan yang bikin si kaya nggak bisa seenaknya nyedot semua duit, misalnya pajak progresif buat harta. Doski juga nge-bantah mitos meritokrasi, yang bilang kalau kerja keras pasti adil, karena harta warisan dan sistem yang nguntungin segelintir orang seringkali lebih menentukan. Karya ini kayak warning keras: kalau nggak di-stop, ketimpangan bakal makin parah, bikin masyarakat retak, dan demokrasi cuma jadi panggung drama si kaya.

Terus ada juga The Price of Inequality dari Joseph Stiglitz. Isinya penuh uneg-uneg dari profesor yang udah kenyang makan asam garam ekonomi. Doski bilang, kebijakan ekonomi sekarang tuh udah digerakin oleh orang kaya, buat orang kaya, dan demi orang kaya. Kalau dibiain, bukan cuma jahat, tapi juga bikin ekonomi jadi nyungsep.
Stiglitz bilang kalau ketimpangan ekonomi itu nggak cuma soal “enggak adil,” tapi juga bikin ekonomi kagak efisien dan ngerugiin semua orang—termasuk si kaya. Intinya, kalau duit dan kekuasaan numpuk di tangan segelintir orang, aturan main ekonomi bakal dibengkokin biar mereka makin cuan, lewat lobbying, regulasi yang meringankan, dan pajak yang ramah buat mereka. Dampaknya? Kompetisi berkurang, kesempatan buat naik kelas sosial tipis, dan pertumbuhan ekonomi melambat. Stiglitz juga bilang, ketimpangan ekstrim bisa bikin demokrasi sendiri rapuh, karena suara rakyat kalah ama duit. Jadi, “harga” ketimpangan itu banyak: pertumbuhan lambat, masyarakat retak, potensi manusia terbuang, dan demokrasi terseret ama kepentingan finansial segelintir orang.

Nah, kalau mau versi lebih "bumi sekarat", ada This Changes Everything dari Naomi Klein. Doski ngebahas gimana kerakusan korporat gak cuma bikin orang menderita, tapi juga bikin planet ini makin rusak parah. Buat Klein, krisis iklim itu bukan sekadar masalah alam, tapi hasil dari sistem ekonomi yang gila cuan.
Bayangin, seluruh garis pantai Indonesia habis direklamasi, setiap pasir, setiap teluk mangrove, sekarang dipatenin sama taipan, oligark, sama kroni politik. Dari lensa Naomi Klein di This Changes Everything (2014, Simon & Schuster), ini bisa dibilang puncak kejayaan Greedonomics—sains sama nurani manusia cuma jadi tamu undangan yang gak pernah datang. Secara ideologi, negeri ini berubah jadi teater di mana kekayaan disembah di atas segalanya. Ruang publik—yang dulu jadi taman bermain nelayan, keluarga, dan warga—sekarang definisinya cuma: hak milik modal, udara laut cuma buat yang punya duit.
Secara ekonomi, pemandangannya mewah tapi mengerikan. Pantai yang direklamasi jadi resort eksklusif, klub yacht, sementara hidup jutaan rakyat hilang tertimbun beton. GDP boleh naik, investor tepuk tangan, laporan resmi rayain “pertumbuhan aset nasional,” tapi rakyat biasa harus main survival di pinggiran. Akuntan mungkin bersorak, sementara nelayan, pedagang kaki lima, cuma bisa ngerebut sisa-sisa garis pantai yang semakin sempit. Kekayaan makin terkonsentrasi, ketimpangan makin parah, ekonomi—katanya booming—justru hidup dari penggusuran rakyat.
Dari sisi politik, ini kayak masterclass teater kekuasaan. Kebijakan, aturan zona, regulasi lingkungan, semua diubah diam-diam buat kepentingan pribadi. Politisi pamer jadi “fasilitator kemajuan” sambil diam-diam narik duit kampanye dari developer yang sekarang punya pasir di bawah kaki rakyat. Konsultasi publik cuma seremoni, dissent dianggap gangguan atau kriminal. Di Parlemen boleh debat, tapi di pantai, pesannya jelas: kalau gak kaya, suara kamu gak ada.
Secara sosial, biayanya nyata dan absurd. Komunitas pantai yang dulu tradisional harus pindah. Anak-anak tumbuh dengan belajar kalau pantai itu komoditas, bukan taman bermain. Nenek-nenek sedih ngelihat mangrove hilang, nelayan ngajarin cucu cara urus izin bukan cara baca ombak. Kepercayaan, solidaritas, ingatan kolektif luntur, diganti dengki, iri, dan rasa diasingkan. Struktur sosial jadi patchwork antara privilese dan penggusuran, hubungan tetangga diganti kode akses dan patroli satpam.
Secara budaya, garis pantai jadi panggung konsumerisme ekstrim. Tower mewah instagramable, infinity pool, lapangan golf ganti festival tradisional dan ritual komunitas. Bahkan cerita rakyat laut dijadikan aset marketing: hantu mitos direbranding jadi maskot proyek properti. Narasi budaya bergeser dari “warisan bersama” jadi “pengalaman pribadi,” alam, sejarah, dan memori semua dijadikan komoditas. Keserakahan jadi budaya, dan budaya jadi mal mewah dengan view laut.
So, dari mata Naomi Klein, Indonesia yang seluruh pantainya direklamasi adalah negeri dimana ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya semua tunduk pada modal. Rakyat biasa terdampar di pinggiran, sejarah mereka tenggelam di bawah beton dan ambisi. Iklim diabaikan, ruang publik hilang, dan laut—yang dulu simbol hidup dan mata pencaharian—sekarang cuma taman bermain bagi segelintir orang kaya.

Konsep Serakahnomics-nya Presiden Prabowo sama buku Freakonomics dari Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner (2006, B de Bolsillo) sama-sama ngebahas mekanisme tersembunyi yang ngatur kelakuan manusia, tapi cara dan tujuannya beda banget. Freakonomics itu kayak detektif ekonomi—pakai data buat bongkar pola-pola aneh di kehidupan sehari-hari. Levitt dan Dubner nanya hal-hal nyeleneh, misalnya kenapa guru sama pegulat sumo bisa curang, atau gimana nama seseorang bisa pengaruhin masa depannya. Tujuannya bukan buat nge-judge, tapi buat nunjukin kalau kelakuan manusia sering dikontrol sama insentif yang nggak keliatan.

Freakonomics itu kayak dosen ekonomi nyeleneh gabung bareng jurnalis nyentrik buat ngebahas dunia dengan cara yang gak biasa. Steven Levitt dan Stephen Dubner enggak ngomongin soal inflasi atau pasar saham, tapi malah ngebongkar hal-hal random kayak “Kenapa bandar narkoba masih numpang di rumah emak?” atau “Apa persamaan guru dan pegulat sumo?”
Intinya, buku ini bilang kalau manusia itu digerakkan sama yang namanya insentif—bisa duit, reputasi, gengsi, atau bahkan rasa takut. Jadi kalau kita gali lebih dalam, ternyata banyak keputusan manusia yang kelihatannya konyol itu sebenernya masuk akal… asal tahu motifnya.
Mereka pakai data dan cerita-cerita seru yang kadang absurd tapi nyata. Misalnya, mereka ngebahas gimana nama bisa berpengaruh ke masa depan seseorang. Atau, kenapa orang bisa curang diam-diam, bahkan dalam hal yang paling loe kagak nyangka.
Freakonomics ngajarin pembacanya buat mikir out of the box dan jangan langsung telan mentah-mentah omongan “ahli.” Bukan cuma buku ekonomi, karya ini semacam “kacamata baru” buat ngeliat dunia dengan cara yang lebih kritis dan kadang kocak.

Sementara itu, Serakahnomics tampak semacam sirine politik. Presiden Prabowo bikin istilah ini buat nyorot bahaya kerakusan yang kelewat batas dalam sistem ekonomi. Dari perusahaan gede sampai pejabat, kalau semuanya cuma mikirin diri sendiri, hasilnya bisa hancurin kepercayaan sosial, nambah kesenjangan, dan bikin rakyat kecil jadi korban. Kalau Freakonomics cuma ngulik kenapa orang berbuat gitu, Serakahnomics bilang: “Eh, kalau ini jadi sistem, berbahaya banget!” Tapi dua-duanya sama-sama pengen ngungkapin apa yang tersembunyi di balik permukaan.
Kalau digabung, kedua pendekatan ini nunjukin gimana insentif dan konsekuensi saling terkait. Freakonomics ngajarin kita bahwa setiap tindakan manusia punya motif tersembunyi, sementara Serakahnomics ngasih peringatan: kalau kerakusan jadi aturan main, motif-motif itu bisa bikin masyarakat buntung. Jadi, baca Levitt-Dubner bareng Prabowo bikin kita nggak cuma ngerti logika manusia dan ekonomi, tapi juga mikir etis dan moral.

Seluruh karya ini tuh satu suara ama “Serakahnomics”: ngingetin kita bahwa kalau ekonomi dikuasai sama yang rakus, yang lain cuman kebagian remah-remah. Udah waktunya mikir ulang—mau ekonomi yang adil dan beretika, atau tetep jadi penonton dalam pesta para konglomerat.

Dan sebagai penutup, kalau dilihat dari lensa Serakhnomics ala Presiden Prabowo, seluruh pantai Indonesia yang direklamasi jadi showcase utama “maksimalisasi kekayaan strategis.” Di sini, akumulasi properti pribadi dan aset pantai bukan cuma ditoleransi—malah dirayain sebagai bukti vitalitas ekonomi. Secara ideologi, narasinya bilang: suksesnya beberapa taipan itu tandanya kekuatan nasional, dan ketidaknyamanan rakyat biasa cuma korban kecil di altar kemajuan. Keserakahan bukan dosa, tapi alat pembangunan bangsa.

Secara ekonomi, Serakhnomics ngerasa pantai penuh beton itu bukti produktivitas. GDP naik, portofolio investor kinclong, “aset nasional” membesar di tangan yang tahu cara grab first, grab big. Jutaan nelayan dan pedagang kecil yang terdampak direframe: “ah, cuma collateral damage.” Reclamasi bukan penghancuran, tapi pembangunan. Dan pembangunan itu selalu baik asal di tangan yang tepat.

Secara politik, Serakhnomics melegitimasi pengubahan hukum, regulasi, dan zonasi. Konsultasi publik cuma dicentang formalitas, dissent dicap naif, dan loyalitas jadi mata uang utama. Pemimpin jadi fasilitator “redistribusi kreatif” kekayaan pantai, sementara performa pemerintahan fokus ke pertumbuhan dan konsolidasi kekuasaan, bukan kesejahteraan rakyat.

Dari perspektif sosial, dampaknya dianggap kalibrasi masyarakat yang diperlukan. Komunitas yang digusur resort mewah cuma dipindah dalam hierarki Serakhnomic. Pendidikan, kesempatan, dan mobilitas dibagi pilih-pilih, lebih menguntungkan mereka yang dekat modal, sementara mayoritas menyesuaikan hidup di pinggiran. Alienasi, dengki, dan iri dianggap suara latar yang wajar di teater kemajuan nasional.

Dari sisi budaya, transformasi pantai dirayain lewat media, arsitektur, dan branding gaya hidup. Pantai yang dulu publik sekarang jadi simbol modernitas, sofistikasi, dan status. Tower mewah instagramable menggantikan folklore dan ritual komunitas, dan keserakahan dibungkus jadi entrepreneurship visioner. Singkatnya, Serakhnomics bikin yang bisa dilihat orang sebagai skandal atau bencana, kelihatan keren dan bangga: eksklusi, penggusuran, dan ketimpangan tampak kayak kemenangan strategi.

Pada akhirnya, Serakhnomics bukan cuma filosofi ekonomi—tapi cermin yang nunjukin kemenangan ambisi di atas empati, akumulasi di atas komunitas, dan pertunjukan di atas substansi. Ruang publik dijadiin hadiah privat, hubungan sosial jadi transaksi, warisan budaya dijadiin barang jualan. Ideologi ini ngeglorifikasi mereka yang paling bisa grab, sambil ngajarin sisanya cuma nonton dari pinggir, nerima kalau kekayaan dunia emang gak buat semua orang. Di teater keserakahan ini, moral cuma opsional, keadilan cuma kenangan, dan privilese jadi satu-satunya mata uang yang bener-bener penting. Serakhnomics, dengan segala kemegahan nekatnya, ngingetin kita: kalau keserakahan jadi ukuran sukses, masyarakat itu sendiri yang jadi korban.

English