Jumat, 07 November 2025

Transparansi dalam Demokrasi (1)

Berikut beberapa bukti tentang kenapa banyak orang Indonesia marah ketika Presiden Prabowo secara terbuka “pasang badan” untuk Whoosh. Pada 4 November 2025, Prabowo mengatakan urusan Whoosh tak perlu “ribut-ribut,” menyebutnya sebagai kewajaran PSO, dan menegaskan, “Saya yang tanggungjawab,” yang secara efektif memikul beban politik sekaligus fiskal proyek itu. Pernyataan ini diliput media arus utama dan videonya beredar luas di hari yang sama, membuat pesannya langsung menggaung.
Kemarahan publik mengerucut pada tiga hal: beban ke APBN, transparansi, dan sinyal pada penegakan hukum. Pertama, banyak yang menyorot penjelasan lanjutan bahwa Indonesia sanggup menunaikan kewajiban Whoosh—yang oleh beberapa laporan diperkirakan sekitar Rp1,2 triliun per tahun—seraya berargumen bahwa menanggung tagihan lewat APBN sama saja menghadiahi salah kelola dan memindahkan risiko dari konsorsium ke rakyat. Judul-judul berita yang menekankan “utang di pundak Prabowo” memperkuat framing kekecewaan, sementara komentar publik mengingatkan bahaya menormalkan bailout proyek mercusuar. Kedua, aktivis dan pengamat mempertanyakan keterbukaan data serta syarat-syarat kerja sama dengan KCIC/CDB; tuntutan transparansi rinci—bukan sekadar “tenang, gak masalah”—ikut menyulut jengkel. Ketiga, ketika Presiden meminta isu ini tak dipolitisasi, kubu antikorupsi justru mendesak penyelidikan terus jalan jika ada indikasi mark-up, dan sejumlah laporan menonjolkan ekspektasi bahwa presiden mesti mendukung proses hukum—bukan meredamnya—yang makin memantik amarah warganet. 
Tokoh-tokoh publik lalu memberi “wajah” pada gelombang marah ini. Para tokoh mengecam sikap “pasang badan” sebagai tameng proyek “legacy” yang bahkan pernah disebut bermasalah oleh pejabat senior; mereka bertanya kenapa negara menanggung beban, alih-alih menuntut pertanggungjawaban hukum. Sejalan dengan itu, opini dan talk-show memframing langkah Prabowo sebagai pelukan politis atas liabilitas era Jokowi, memperuncing polarisasi dan melahirkan slogan-slogan sinis bahwa “rakyat yang bakal bayar.”

Kekecewaan publik ke Presiden Prabowo ngumpul di satu titik besar: banyak orang merasa pemerintahannya melaju super cepat dari janji “kepemimpinan berempati” ke keputusan-keputusan yang malah kelihatan ngulang pola lama yang dulu sempat ia kritik. Jadinya ekspektasi dan realitas itu kayak dua kereta cepat yang jalurnya beda arah. Warga yang pilih beliau karena janji peningkatan kesejahteraan mulai manyun waktu melihat proyek-proyek raksasa—kayak kewajiban Whoosh dan pindah IKN—tetep jadi fokus utama anggaran. Buat banyak orang, ini kesannya kayak negara masih rajin nyiram duit ke proyek elite, sementara harga kebutuhan pokok makin ngegas. Situasi makin runyam ketika Prabowo terlihat “pasang badan” buat proyek-proyek kontroversial, yang dianggap lebih mirip jaga warisan pemerintahan lama ketimbang buka audit transparan yang bisa balikin kepercayaan publik.
Kekecewaan lain datang dari rasa bahwa konsolidasi politik makin kuat tapi cek-dan-ricek institusional malah makin loyo. Penunjukan pejabat yang dianggap lebih “nyaman secara politik” ketimbang punya rekam jejak mentereng bikin publik merasa lembaga negara makin kurang tajam, terutama di sektor penegakan hukum dan pengelolaan sumber daya alam. Politik balas budi dan bagi-bagi kursi ke elite koalisi bikin janji reformasi terdengar kayak soundtrack lama yang diputar ulang.
Gaya komunikasi pemerintah juga ikut jadi bahan omelan. Kadang pesannya terdengar adem-ayem, kadang malah kayak meremehkan keresahan publik. Saat keputusan kontroversial dijawab dengan imbauan “tenang saja,” “percaya proses,” atau “jangan dipolitisasi,” banyak warga merasa justru lagi dikasih selimut buat nutupin masalahnya, bukan disodorin solusi.
Lapisan terakhir kekecewaan muncul dari ekspektasi soal keteladanan moral. Pemilih yang berharap Prabowo bakal tampil tegas dengan integritas reformis mulai bertanya-tanya kenapa praktik yang mirip impunitas terasa makin normal, apalagi kalau kasus dugaan korupsi atau salah urus menyentuh lingkaran politik sendiri. Walaupun penilaian ini debatabel, tetap saja muncul kritik bahwa masa kepemimpinannya berisiko jadi sekadar kelanjutan pola elite lama yang sudah puluhan tahun mewarnai politik Indonesia.

Kekhawatiran publik soal sikap Prabowo dalam kasus Whoosh intinya begini: orang khawatir kalau sikap “saya tanggung jawab” itu bukan tanda kepemimpinan tegas, tapi sinyal kalau negara mulai berubah dari mode “awas, cek dulu” jadi mode “oke gas aja, nanti kita yang tameng.” Banyak warga deg-degan karena kalau Presiden langsung memikul beban politik dan keuangan proyek, itu bisa dianggap sebagai lampu hijau buat keputusan yang dari awal sudah bermasalah. Jadinya audit transparan dan proses akuntabilitas bisa makin kendor, apalagi kalau penjelasan pejabat lebih fokus ke “tenang, negara mampu bayar” ketimbang ngulik akar masalahnya: pengadaan, anggaran, dan layak tidaknya proyek jangka panjang.
Kekhawatiran kedua muncul dari keraguan bahwa sikap Prabowo bakal bikin penyelidikan independen jadi “gigi ompong.” Kalau pernyataannya diartikan sebagai isyarat buat birokrasi supaya anggap kasus ini selesai, lembaga pengawas bisa jadi mikir dua kali buat buka-bukaan. Kritikus bilang, sinyal kayak gini—meskipun mungkin nggak diniatkan—bisa bikin budaya “diam-diam aja deh” makin kuat, terutama untuk proyek mercusuar yang sensitif.
Hal lain yang bikin publik waswas adalah kemungkinan preseden buruk buat masa depan. Kalau Presiden terlihat nyaman mengambil alih proyek berisiko tinggi tanpa menuntut transparansi total dari konsorsium dan skema pendanaannya, ini bisa dianggap wajar di kemudian hari. Dalam bayangan publik, jangan-jangan bailout proyek elite bakal dianggap hal biasa, dan ujung-ujungnya rakyat yang dipaksa bayar keputusan yang dibuat di ruang rapat tertutup.
Terakhir, banyak orang takut sikap Prabowo soal Whoosh ini menggambarkan pola lebih besar: menjaga keharmonisan koalisi lebih penting daripada menjaga integritas lembaga. Kalau Presiden terlihat lebih sibuk jaga perasaan para pemain politik ketimbang memastikan prosesnya fair, kepercayaan publik bisa makin jeblok. Jadinya narasi lama—bahwa negara sering lebih melindungi kepentingan penguasa daripada kepentingan warga—makin bergaung.

Di medsos, reaksi publik soal sikap Prabowo terhadap Whoosh itu vibes-nya campur aduk: ada yang marah, ada yang sinis, ada yang cuma bisa ngakak pahit sambil bikin meme. Kalimat “saya tanggung jawab” bukannya dianggap heroik, malah dibaca banyak orang sebagai manuver buat “tamengin” orang-orang yang dulu ikut ngebidani proyek ini. Warganet merasa ini kayak ritual lama politik Indonesia: elite ngaku salah secuil, rakyat yang bayar bon gede-geder.
Narasi lain yang rame banget adalah soal nada bicara Prabowo yang minta isu Whoosh “jangan dibikin ribut”. Buat banyak pengguna X dan TikTok, kalimat kayak gitu terdengar bukan sebagai upaya nenangin, tapi lebih mirip kode halus buat meredam sorotan. Jadilah video konferensi pers diedit ulang sama caption pedas, seakan-akan pemerintah lebih sibuk menata pencitraan ketimbang buka semua datanya. Ketidakpercayaan makin cepat naik karena publik merasa dikasih “kata-kata manis”, bukan bukti konkret.
Ada juga arus bawah emosi publik yang datang dari kondisi ekonomi yang makin berat. Harga naik, gaji segitu-segitu aja, dan utang negara makin nyundul—jadi wajar kalau orang makin nggak sabar lihat negara siap ambil risiko finansial besar lagi. Akhirnya, drama Whoosh ini berubah jadi tempat curhat nasional: mulai dari kesal soal proyek mercusuar, sampai perasaan bahwa siapa pun presidennya, ujung-ujungnya rakyat yang nombok.
Kalau dibandingkan dengan bailout atau penyelamatan proyek besar yang pernah terjadi sebelumnya—misalnya BUMN bermasalah, conglomerate rescue, atau proyek infrastruktur jebol anggaran—reaksi publik kali ini jauh lebih cepat, lebih kencang, dan menjangkau lebih banyak kelompok. Beda sama kasus dulu yang biasanya cuma bikin heboh kalangan pengamat atau aktivis, isu Whoosh ini langsung meledak di mana-mana karena proyek ini sudah lebih dulu jadi simbol “drama era sebelumnya” sebelum Prabowo menjabat. Jadi begitu Prabowo pasang badan, publik merasa beliau bukan cuma mewarisi proyeknya, tapi sekalian mewarisi politiknya juga.
Pada bailout-baillout lama, kemarahan publik biasanya naik bertahap: menunggu data bocor, menunggu KPK bersuara, atau menunggu skandal nongol. Tapi di kasus Whoosh, warganet langsung ngebut marahnya, karena selama bertahun-tahun mereka sudah kenyang dengar janji “cost-effective”, “bangga jadi bangsa besar”, dan “dampak ekonomi berlipat”. Pas kenyataannya berat di ongkos, amarah yang keburu menumpuk pun langsung tumpah.
Yang paling membedakan adalah ekspektasi publik. Pemerintah sebelumnya memang hobi proyek besar, jadi kalau ada bailout, publik kesalnya lebih ke “yah salah urus lagi”. Tapi Prabowo datang dengan narasi korektif—lebih pro-rakyat, lebih empatik, lebih tegas soal pembenahan. Jadi ketika beliau malah merangkul proyek yang dianggap publik bikin negara megap-megap, kekecewaannya dua kali lipat. Maka tak heran diskusinya di medsos bukan lagi cuma soal Whoosh, tapi soal rasa dikhianati oleh pemimpin yang dijanjikan “beda dari sebelumnya.”

Reaksi publik waktu Prabowo bilang dirinya “hopeng” sama Jokowi itu campur aduk antara ngakak, ngegas, dan geleng-geleng bingung. Banyak orang kaget karena kata “hopeng”—yang biasanya dipakai buat sahabat deket banget atau hubungan yang “sama-sama untung”—tiba-tiba keluar dari mulut seorang presiden. Jadilah meme bermunculan dimana-mana, dari editan foto ala sinetron sampai caption “bestie goals”. Lucu sih, tapi di balik ketawa itu ada rasa waswas yang cukup serius: publik merasa pernyataan itu jujur banget nunjukin betapa kuatnya hubungan personal dalam politik Indonesia, kadang lebih kuat daripada aturan main institusi.
Buat kelompok yang kritis, ucapan “hopeng” itu kayak alarm. Mereka menganggap Prabowo makin kelihatan lengket dengan lingkaran Jokowi, sehingga sulit percaya bakal ada pembaruan yang benar-benar beda. Kata “hopeng” langsung jadi semacam kode bahwa Prabowo mungkin lebih fokus ngejaga warisan politik Jokowi ketimbang menunjukkan kepemimpinan yang benar-benar mandiri. Warganet yang berharap ada perubahan arah dari gaya pemerintahan sebelumnya pun jadi makin kecewa.
Meski kesannya cuma celetukan, kata “hopeng” berubah jadi momen budaya yang lumayan besar: lucu di permukaan, tapi di baliknya menyimpan kecemasan lama tentang patronase, jaringan elite, dan batas antara pertemanan pribadi dengan tanggung jawab sebagai pemimpin negara.

Dari percakapan publik, terlihat kalau dukungan ke Presiden Prabowo yang semula kelihatan solid mulai ngendur gara-gara pernyataan soal Whoosh dan “hopeng”. Banyak orang kecewa soal proyek Whoosh, merasa janji Prabowo “saya tanggung jawab” lebih mirip buat melindungi keputusan lama dan elite politik ketimbang benerin sistem anggaran atau prosedur. Di medsos, warganet banyak komentar kayak, “Kenapa negara yang harus bayar?” atau sindiran tajam bahwa seharusnya pemimpin menegakkan akuntabilitas, bukan jadi tameng politik.
Begitu juga pernyataan “hopeng” yang bikin campur aduk: lucu tapi juga bikin gelisah. Ada yang mikir ini cuma candaan, tapi banyak yang baca sebagai pengakuan kalau keputusan diambil karena loyalitas personal dan politik, bukan karena prosedur dan pengawasan publik. Komentar publik menekankan ketakutan kalau jaringan elite lebih diutamakan daripada transparansi, reformasi, dan fairness, bikin kepercayaan orang-orang yang berharap Prabowo beda dari pendahulunya makin tipis.
Gabungan reaksi dari dua pernyataan ini nunjukin bahwa meskipun dukungan masih relatif tinggi, kesabaran publik mulai menipis. Warganet makin sering bilang, gesture simbolik atau kedekatan elite sekarang nggak cukup buat bikin rakyat tenang bahwa kebijakan adil, transparan, dan pro-rakyat. Reaksi ini jelas nunjukin kalau masa “honeymoon” Prabowo mulai lewat, digantikan publik yang lebih sceptical, waspada, dan siap ngekritik kalau ada salah langkah.

Jelas ada hubungan antara kasus Whoosh dan soal transparansi dalam demokrasi. Drama Whoosh ini bukan sekadar kereta cepat telat, mahal atau overruns—tapi soal bagaimana pemerintah ngatur informasi ketika opini publik nggak sejalan sama narasi resmi. Warga nanya: “kok biayanya naik terus?”, “kontraknya gimana?”, “ini proyek publik atau panggung politik?” Tapi jawaban dari pejabat sering cuma versi “PR mode”—data sepotong, penjelasan defensif, atau framing bahwa kritik itu hoaks.
Di negara demokrasi, transparansi itu artinya: kalau duit rakyat dipakai, rakyat harus bisa lihat seluruh ceritanya—kontrak, angka, risiko, audit, semuanya. Kasus Whoosh malah bikin kesannya kayak proyek ini lebih jadi acara branding politik ketimbang agenda publik. Data muncul setengah-setengah, informasi teknis nggak gampang dicari, dan penilaian independen jarang banget diajak bicara.
Yang lebih parah: begitu ada kritik, meme, atau satir dari publik, bukannya dijawab pakai transparansi, malah sering dibalas dengan ngedumel, ngegas, atau bilang “jangan buat gaduh”. Jadi bukan debat publik, tapi manajemen narasi. Akibatnya, jarak antara pemerintah dan rakyat malah makin jauh—publik curiga, sinis, dan ngerasa proyek nasional jadi ajang pencitraan, bukan buat kepentingan rakyat.
Intinya: kasus Whoosh itu reminder keras bahwa transparansi itu bukan bonus, tapi syarat wajib demokrasi. Kalau transparansi setengah hati, kritik pasti dianggap gangguan, bukan pengawasan. Dan kalau itu terjadi, proyek sebesar apa pun bakal jadi drama politik, bukan kemajuan bersama.

Dari sisi ideologi, transparansi itu semacam idealisme: kekuasaan publik dan otoritas ekonomi hendaklah bisa dilihat, dipahami, dan dipertanyakan oleh rakyat. Artinya: warga bukan jadi penonton aja, tapi bisa “ngintip” institusi, tanya keputusan, dan nge-cek supaya gak terjadi kekuasaan yang tertutup dan enggak akuntabel. Contohnya: di Jerman pasca perang, transparansi dimasukin ke konstitusi supaya ngga balik ke sistem tertutup yang totalitarian.

Secara filosofis, transparansi ngebuka banyak pertanyaan: apa artinya ‘terlihat’? Siapa yang melihat? Apa kewajiban lembaga buat buka-bukaan? Dari Bentham sampe Mill, “publicity" dianggap krusial buat akuntabilitas: kalau semua gerak gerik pejabat terlihat, mereka jadi mikir dua kali buat nyalahgunain jabatan. Tapi sekarang banyak pemikir yang bilang: eh, jangan terlalu sederhana dong—terlalu buka bisa juga jadi pengawasan masal, bikin semua orang takut beda atau susah buat mikir jangka panjang.

Di ranah politik, transparansi berarti lembaga pemerintah, proses administratif, anggaran publik dan keputusan legislatif seyogyanya terbuka buat rakyat, media dan lembaga kontrol. Misalnya, transparansi jadi salah satu prinsip utama governance yang “baik” karena bikin pemerintahan punya legitimasi dan mudah dipercaya. Tapi jangan salah: transparansi bukan jaminan otomatis bagi akuntabilitas—kadang rahasia diperlukan untuk pertimbangan negara, dan gak cukup hanya dengan membuka.

Dari sisi ekonomi: transparansi itu soal informasi keuangan, data perusahaan dan pasar yang bisa diakses dan dipercaya. Kenapa penting? Karena investor, pemegang saham dan bahkan masyarakat harus bisa lihat apakah perusahaan atau pemerintah “bersih” atau nggak. Encyclopaedia Britannica menyebut asal gagasan transparansi dari dunia keuangan, lalu meluas ke pemerintahan. Ada penelitian yang nunjukin bahwa negara demokrasi cenderung lebih transparent soal data ekonomi dibanding autokrasi—yang artinya, transparansi bisa jadi faktor stabilitas demokrasi dan investasi. 

Dari perspektif budaya, transparansi juga jadi norma sosial: institusi, teknologi, individu diberi ekspektasi buat terbuka dan nampak. Tapi ada sisi gelapnya—pemikir seperti Byung-Chul Han bilang bahwa tuntutan akan transparansi ini dapat berubah menjadi rezim pengawasan, pemaparan diri, dan konformitas, bukannya keterbukaan sejati.

Dalam konteks pemerintahan Indonesia, transparansi itu bisa didefinisikan sebagai kewajiban institusi publik buat buka semua urusannya dengan jelas dan bisa diakses rakyat—dari kebijakan, anggaran, pelaksanaan layanan publik sampai hasilnya. Definisi ini punya tiga bagian yang nyambung: pertama, aksesibilitas informasi—artinya data dan dokumen harus disajikan dengan bahasa yang jelas dan gampang dijangkau rakyat. Kedua, pengungkapan yang substansial—bukan cuma “ini kami selesai proyek” tapi juga “kenapa kami ambil keputusan ini”, “bagaimana prosesnya”, “apa hasilnya”. Ketiga, responsif dan akuntabel—instansi gak cukup cuma publikasi, tapi harus siap dicecar, dijawab, dikritik dan siap berubah kalau keliru.
Dari sisi budaya, transparansi di Indonesia hendaklah dipahami bahwa ada faktor khas: norma hierarki (“atasan tahu yang terbaik”), kebiasaan birokrasi tutup‑tutupan, serta jaringan patron‑klien yang masih kental. Artinya, transparansi itu bukan hanya soal “membuka data” aja, tapi soal merubah mentalitas—dari “kami tahu, kamu ikut” ke “kita bareng‑bareng lihat”. Tapi di lapangan, banyak tantangannya: portal data yang tersebar, literasi digital masih rendah di banyak daerah, komitmen antar pemerintahan daerah beda‑beda, dan praktik informal yang bikin formalitas transparansi terasa cuma pencitraan. Meskipun UU Keterbukaan Informasi Publik sudah ada, realitanya budaya terbuka masih belum merata dan sering cuma simbolis. Jadi dalam demokrasi Indonesia, transparansi harus dilihat sebagai proses besar—merubah sistem, relasi dan budaya—yang penting banget supaya rakyat percaya, pengawasan jalan, dan pemerintahan inklusif.

Transparansi itu enggak cuma soal “laporan dibuka” atau nge-upload file PDF di portal pemerintah doang. Transparansi itu kayak DNA demokrasi—inti yang bikin negara terbuka beda jauh sama rezim gelap atau otoriter. Di demokrasi beneran, transparansi hidup sebagai mekanisme buat bikin pejabat bisa dipantau, rakyat bisa ikut nimbrung, dan kepercayaan publik tetap jalan. Tanpa ini, pemerintah bisa aja tampak “buka data”, tapi tetap jalan di balik layar, nggak tanggap sama kritik, dan bebas dari sorotan publik.
Transparansi itu gak cuma aturan di kertas, tapi budaya juga—harus nempel di tiap keputusan, komunikasi, dan interaksi pemerintah sama rakyat. Kalau transparansi cuma jadi formalitas atau pencitraan, ya hilang artinya; tapi kalau beneran dijalankan, bisa menjadi tameng buat ngelawan korupsi, keputusan sewenang-wenang, dan kekuasaan yang gak diawasi. Transparansi itu bukan sekadar berkas-berkas doang, tapi nyawa yang bikin demokrasi hidup dan jauh dari bayangan otoritarian.

[Bagian 2]