Sabtu, 08 November 2025

Perdebatan Seputar Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional

Menjelang Hari Pahlawan, bangsa ini berdiri di persimpangan memori dan makna. Usulan untuk mengangkat Presiden kedua Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional telah menyalakan kembali perdebatan sengit—antara mereka yang mengenang peran besarnya dalam pembangunan dan mereka yang mengingat bayang-bayang penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Ini bukan sekadar persoalan sejarah; ini menguji jiwa sebuah demokrasi yang masih bergulat dengan masa lalunya.

Usulan menjadikan Presiden kedua Indonesia tersebut sebagai Pahlawan Nasional memang memicu perdebatan yang sengit dengan pro dan kontra yang kuat. Pendukung usulan ini berargumen bahwa Soeharto sudah memenuhi banyak kriteria bagi gelar tersebut, dengan menyoroti kontribusinya yang besar pada perjuangan kemerdekaan Indonesia serta masa pemerintahannya yang panjang, yang secara teknis sesuai dengan persyaratan formal gelar itu. Mereka juga menekankan bahwa tiada tokoh sejarah yang tanpa kesalahan dan penting guna mengakui pencapaiannya tanpa menutupi kontroversi masa lalu, khususnya yang terkait dengan peristiwa 1965.
Sebaliknya, penolakan yang kuat muncul karena catatan kelam selama rezim Soeharto. Kritikus menggarisbawahi pelanggaran hak asasi manusia yang banyak selama 32 tahun pemerintahannya dan berpendapat bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional sama saja dengan mengabaikan penderitaan para korban dan keluarga yang masih mencari keadilan. Banyak yang menilai kepemimpinan Soeharto penuh dengan praktik otoriter, korupsi yang masif, militerisasi, dan penipuan sistematis, yang dianggap tak layak dihormati seperti itu. Penolakan ini disuarakan tak semata oleh masyarakat sipil, melainkan pula dari kelompok politik dan aktivis yang melihat pencalonan ini sebagai kemunduran bagi komitmen Indonesia terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.
Perdebatan ini juga semakin rumit oleh konteks sejarah dan kriteria hukum. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa meski Soeharto memenuhi kriteria teknis sesuai regulasi, semisal memberikan kontribusi nyata dan tak pernah mengkhianati bangsa, penting untuk menghadapi dan tak mengabaikan fakta-fakta sejarah yang kontroversial selama masa presidensinya. Keputusan akhir, yang diperkirakan akan diumumkan sekitar Hari Pahlawan, berada di tangan Presiden Indonesia yang hendaknya menimbang dengan hati-hati narasi dan sentimen publik yang bertentangan tersebut.

Bila Soeharto resmi dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional, bisa banget ngepengaruhin cerita sejarah dan pandangan publik soal gerakan Reformasi di Indonesia. Era Reformasi itu muncul dari tuntutan rakyat yang bikin Soeharto lengser tahun 1998, yang dasarnya minta perubahan politik, demokrasi, dan keadilan setelah puluhan tahun rezim otoriter. Kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional, banyak yang bakal lihat ini kontradiktif sama semangat dan hasil Reformasi. Penolakan ini muncul karena Soeharto identik sama korupsi besar-besaran, pelanggaran HAM, dan pengekangan politik.
Keputusan ini bisa bikin masyarakat kecewa karena Reformasi dianggap makin nggak nyata, karena selama ini Reformasi dianggep sebagai penolakan terhadap masa lalu otoriter Soeharto. Isu tentang memori sejarah, keadilan, dan komitmen Indonesia untuk belajar dari masa lalu bisa muncul lagi. Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, bisa-bisa dianggap ngehapus sejarah kelam dan melemahkan perjuangan yang udah dicapai sejak 1998.
Di sisi lain, ada yang bilang kalau pengakuan itu nunjukin bahwa sejarah Indonesia itu kompleks, ada sisi positif dan negatifnya. Mereka bilang ngakuin peran Soeharto dalam bikin negara stabil nggak harus ngegugurin kemajuan Reformasi. Tapi secara keseluruhan, langkah ini dianggap kontroversial dan berpotensi ngancem warisan Reformasi.

Reaksi gerakan reformasi terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sangat negatif dan kritikannya tajam. Banyak aktivis dan kelompok masyarakat sipil melihatnya sebagai sebuah pengkhianatan besar terhadap perjuangan Reformasi yang dimulai pada tahun 1998, yang berhasil mengakhiri rezim otoriter Soeharto. Mereka berpendapat bahwa rezim Soeharto bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korupsi, dan pengekangan, sehingga menghormatinya akan memutarbalikkan sejarah dan melemahkan nilai-nilai serta pencapaian Reformasi.
Suara-suara penting dari pergerakan ini, termasuk aktivis , menyatakan bahwa pemberian gelar tersebut bertentangan dengan semangat Reformasi. Beberapa bahkan menganggapnya sebagai sikap yang meremehkan pengorbanan yang dilakukan selama gerakan pro-demokrasi yang menyebabkan pengunduran diri Soeharto. Amnesty International Indonesia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) juga dengan tegas menolak usulan ini, menekankan bahwa warisan Soeharto mencakup pelanggaran serius yang tidak boleh diabaikan. Para pengunjuk rasa berargumen bahwa pemberian gelar pahlawan pada Soeharto secara efektif menyamarkan masa lalu dan mengancam kemajuan reformasi demokrasi.
Demonstrasi publik dan seruan luas untuk menolak usulan ini menunjukkan ketegangan dalam masyarakat Indonesia, di mana banyak yang melihatnya sebagai upaya revisi sejarah yang akan menghina para korban dan semangat Reformasi itu sendiri.

Waktu sekarang dianggap gak pas banget buat ngasih gelar Pahlawan Nasional ke Soeharto menurut banyak pengamat dan aktivis. Usulan ini malah bikin kontroversi baru dan banyak yang nolak keras, karena sekarang bukan waktu yang tepat buat ngasih penghormatan ke sosok yang dikenal otoriter, korup, dan pelanggar HAM berat. Banyak kelompok hak asasi dan masyarakat sipil terang-terangan menilai langkah ini sebagai pengkhianatan terhadap nilai demokrasi dan semangat reformasi Indonesia, apalagi di tengah usaha terus jujur ngadepin warisan rezim Soeharto.
Banyak yang ngeliat timing-nya sensitif banget soalnya Indonesia masih berjuang nerima dampak sosial dan politik era Orde Baru, dimana banyak kelompok masyarakat masih nyari keadilan dan pengakuan buat korban pelanggaran masa lalu. Pemberian gelar sekarang dianggap berisiko ngelunakkan sejarah dan ngelemahkan semangat Reformasi, yang nolak warisan Soeharto dan dukung demokrasi, transparansi, serta hak asasi manusia. Ada juga kekhawatiran soal politisasi karena Presiden Prabowo Subianto, yang dukung usulan ini, adalah menantu Soeharto, bikin pertanyaan soal netralitas dan motif.
Sejarawan dan aktivis bilang, penentuan waktu itu penting banget buat ngasih penghormatan ke tokoh sejarah, dan harus lewat konsensus publik yang komprehensif serta rekonsiliasi sama fakta sejarah, yang menurut banyak orang belum tercapai buat Soeharto. Momen sekarang, yang ditandai sama demo dan perdebatan publik aktif, dianggap waktu yang keliru buat keputusan kontroversial ini.

Dampak simbolik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bagi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di era Orde Baru sangat negatif dan bikin mereka yang terdampak merasa sangat terpukul. Banyak korban dan keluarganya memandang langkah ini sebagai bentuk simbolic violence yang mengabaikan penderitaan mereka dan menghalangi keadilan. Ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai hak asasi dan akuntabilitas, terutama karena banyak korban sudah bertahan puluhan tahun tanpa pengakuan atau ganti rugi yang memadai.
Warisan pelanggaran HAM berat selama rezim Soeharto, seperti pembantaian, penghilangan paksa, dan kekerasan negara, masih jadi bab yang menyakitkan dan belum terselesaikan bagi banyak orang. Kelompok korban dan organisasi hak asasi manusia, semisal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), menolak keras usulan ini dan menegaskan bahwa mengangkat Soeharto jadi pahlawan berarti menghapus atau menyamarkan sisi gelap ini. Mereka berpendapat ini tak hanya melemahkan perjuangan korban untuk kebenaran dan keadilan, tapi juga meruntuhkan nilai-nilai demokrasi Indonesia dan upaya jujur menghadapi masa lalu.
Bagi banyak korban, keputusan mengukuhkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional terasa seperti mengabaikan rasa sakit dan pengorbanan mereka. Ini memperkeras rasa frustrasi bahwa negara belum cukup menangani atau mengakui pelanggaran sistemik yang dilakukan selama masa pemerintahannya. Pesan simbolis dari pemberian gelar ini bisa memperdalam perpecahan di masyarakat dan memperpanjang penderitaan mereka yang masih mencari keadilan dan rekonsiliasi.

Kalau Presiden Prabowo mengabulkan permohonan untuk secara resmi mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, pendapat publik di Indonesia dan internasional diperkirakan bakal sangat terbagi, dengan kritikan dan kontroversi besar. Di dalam negeri, banyak orang, terutama aktivis, kelompok hak asasi manusia, dan gerakan Reformasi, kemungkinan besar melihat keputusan itu sebagai hal yang sangat bermasalah dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi. Karena hubungan keluarga Prabowo sebagai menantu Suharto, para kritikus mungkin menilai persetujuan itu sebagai politisasi, mengedepankan kepentingan dinasti dibandingkan pemerintahan yang adil dan kebenaran sejarah. Hal ini bisa merugikan posisi politik Prabowo di kalangan kelompok reformis dan masyarakat sipil, bahkan memicu protes dan kerusuhan publik.
Di kancah internasional, keputusan tersebut mungkin mendapat kecaman dari organisasi hak asasi manusia dan pemerintah asing yang peduli soal komitmen Indonesia terhadap hak asasi, keadilan, dan reformasi demokrasi. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan soal kesungguhan Indonesia dalam berdamai dengan masa lalu otoriter dan menghormati korban rezim Orde Baru. Citra global Prabowo sebagai pemimpin bisa tercoreng dengan tuduhan mendukung figur yang kontroversial dan memecah belah.
Namun, sebagian kelompok nasionalis dan konservatif di Indonesia mungkin mendukung keputusan Prabowo, karena menganggapnya sebagai upaya mengembalikan kehormatan kepada pemimpin yang berkontribusi pada pembangunan dan stabilitas nasional. Kelompok ini mungkin memandang langkah itu sebagai pengakuan sejarah yang menyeimbangkan pencapaian dan kontroversi.
Secara keseluruhan, persetujuan ini diperkirakan akan memperparah perpecahan sosial dan menarik pengawasan ketat dari dalam dan luar negeri, dengan dampak besar pada modal politik Prabowo dan narasi demokrasi Indonesia.

Presiden Prabowo sebaiknya mencermati usulan pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional ini dengan amat sangat hati-hati dan penuh empati, mengingat isu ini akan memecah belah masyarakat Indonesia. Beliau perlu mengutamakan persatuan nasional, keadilan, dan kebenaran sejarah Indonesia. Disarankan agar melakukan konsultasi luas dan transparan dengan sejarawan, ahli hak asasi manusia, kelompok korban, organisasi masyarakat sipil, serta masyarakat umum sebelum mengambil keputusan. Pendekatan inklusif ini penting agar keputusan yang dibuat berdasarkan informasi yang lengkap dan mencerminkan nilai-nilai demokrasi Indonesia.
Karena adanya penolakan besar dari gerakan Reformasi dan pendukung hak asasi manusia, Presiden Prabowo mungkin perlu mempertimbangkan untuk menunda atau bahkan membatalkan usulan tersebut agar tak memperkeruh ketegangan sosial dan melemahkan kemajuan demokrasi di Indonesia. Jika keputusan tetap dilanjutkan, hendaklah ada komitmen yang jelas untuk mengakui dan menangani pelanggaran hak asasi serta ketidakadilan yang terjadi selama rezim Soeharto, termasuk dukungan bagi korban dan usaha pencarian kebenaran.

Pada akhirnya, Presiden Prabowo disarankan mempertimbangkan dampak jangka panjang keputusan ini terhadap kohesi sosial, integritas demokrasi, dan reputasi internasional Indonesia. Memahami makna penting gelar Pahlawan Nasional dan dampaknya pada korban serta masyarakat akan sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan publik dan mendorong agenda demokrasi Indonesia.

Jelas bahwa usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menyentuh kain kompleks sejarah Indonesia beberapa dekade terakhir. Isu Ini, isu yang sarat simbol, mengingatkan kita pada pembangunan sekaligus kediktatoran, kemajuan sekaligus penindasan. Perdebatan ini sendiri mencerminkan perjuangan berkelanjutan Indonesia untuk berdamai dengan masa lalu sambil membangun masa depan yang demokratis.

Respons yang sangat terpolarisasi terhadap usulan ini menggambarkan ketegangan sosial yang lebih luas antara keinginan menghormati pencapaian nasional dan kewajiban menjunjung tinggi hak asasi serta keadilan. Bagi korban rezim Orde Baru, usulan ini berisiko menghapus penderitaan mereka dan menunda rekonsiliasi sejarah yang sudah lama tertunda. Sementara bagi pendukungnya, ini adalah pengakuan atas peran Soeharto dalam membentuk Indonesia modern, memperlihatkan tantangan menyeimbangkan warisan yang bertentangan.

Presiden Prabowo, sebagai penentu keputusan ini, berdiri di persimpangan jalan yang sangat sensitif. Pilihannya akan berdampak jauh melampaui titel formal, mempengaruhi persatuan nasional, nilai-nilai demokrasi, dan citra Indonesia di mata dunia. Ini adalah kesempatan untuk refleksi mendalam, dialog inklusif, dan komitmen pada transparansi serta keadilan.

Apapun jalur yang diambil, hendaklah mengakui sejarah Indonesia yang berlapis dengan jujur dan hormat. Luka lama tak bisa diabaikan jika bangsa ini ingin membangun masa depan yang didasarkan pada kebenaran, akuntabilitas, dan rekonsiliasi. Keputusan ini bukan sekadar penghormatan kepada tokoh sejarah, melainkan penentuan identitas kolektif dan kompas moral bangsa Indonesia.

Akhirnya, perdebatan tentang status Pahlawan Nasional Soeharto menjadi cermin bagi perjalanan Indonesia menuju kedewasaan demokrasi. Ini mengajak semua pemangku kepentingan—pemerintah, masyarakat sipil, korban, dan warga negara—untuk ikut dalam proses yang menghormati kompleksitas sejarah sekaligus harapan menuju bangsa yang adil dan inklusif.

English