Ini bukan cuma drama hukum, ini udah masuk genre thriller absurd. Ijazah Jokowi kayak artefak mistis—katanya ada, tapi kagak pernah beneran diliatin ke publik. Cuma ditunjukin ke fans garis keras dan jurnalis pilihan, itu pun kayak lagi nonton film “Mission: Impossible”—tanpa kamera, tanpa salinan, tanpa boleh nanya.Tapi lucunya, polisi udah nentuin delapan tersangka. Tuduhannya? Nyebar fitnah dan manipulasi digital. Netizen langsung ngegas: “Lho, kok bisa dituduh malsuin sesuatu yang belum pernah kita lihat asli apa enggaknya?” Ini kayak dihukum karena bilang unicorn itu nggak nyata, padahal unicorn-nya memang belum pernah nongol.Dan puncak komedinya? Jokowi sendiri sempet bingung pas diminta soal “Salam UGM”—salam khas yang konon, kampusnya. Videonya viral, netizen langsung bikin remix: “Kalau bener lulusan Hogwarts, masa lupa mantra pembuka?”Jadi, kita lagi nonton sinetron politik berjudul Ijazah Tak Terlihat, Tersangka Bertambah. Genre-nya campuran Kafka, TikTok, dan sedikit bumbu Orwellian.Delapan nama udah resmi masuk daftar “tersangka ijazah gate”—dan ini bukan sinetron, tapi realita politik Indonesia 2025. Di barisan depan ada Roy Suryo, mantan Menpora; Dr Tifa, dokter yang juga amat vokal; dan Rismon Hasiholan, sang ahli forensik digital yang bisa ngebedain mana ijazah ori dan mana yang “di-Photoshop pakai niat.” Lima nama lainnya masih misterius, kayak karakter NPC yang belum unlock.Yang bikin publik garuk-garuk kepala bukan cuma siapa yang ditetapkan, tapi gimana caranya. Polisi bilang mereka punya 130 saksi, 22 ahli, dan 723 barang bukti. Tapi publik nanya: “Kok bisa cepet banget? Bukti segitu banyak, tapi transparansinya minim.” Apalagi, tuduhan “metode tidak ilmiah” buat ngecek ijazah malah jadi dasar pidana. Netizen langsung ngegas: “Jadi kalau rakyat curiga, bisa masuk bui doong?”Dan plot twist-nya? Pengacara Jokowi udah ngebocorin ending-nya sebelum trailernya rilis. Beberapa hari sebelum polisi ngumumin tersangka, doski udah bilang, “Tunggu aja, bakal ada yang kena.” Netizen langsung pasang teori: “Ini naskahnya siapa sih? Kok kayak udah tahu skripnya?” Ada yang bilang ini bukti sinyal kuat dari aparat, ada juga yang nyinyir, “Wah, spoiler alert dari dalam.”
Yang lucu, Ketua MUI ikutan komentar. Tiba-tiba, jadi juri moral bangsa, bahas langkah polisi mentersangkakan RRT, padahal skandal quota haji yang jauh lebih gede cuma diem manis di background. Netizen gak kalah brutal: bilang kayak wasit yang peluitnya bunyi di pertandingan yang keliru, nonjok RRT, sementara gol-gol nyata—korupsi, salah kelola, jutaan duit rakyat—lolos tanpa teguran.Ada yang becanda, ini kayak nonton sinetron: episode terbaru penuh drama dan ketegangan, tapi storyline asli—duit haji yang ilang—cuma jadi musik latar. “Kalau skandal quota haji itu film, MUI lagi sibuk syuting trailernya tentang RRT,” tulis seorang warganet pakai capslock, jelas nggak ditahan-tahan. Singkatnya, netizen bilang: di teater absurd ini, RRT bisa jadi tersangka yang bikin headline, sementara korupsi sistemik santai jalan-jalan, dan transparansi cuma properti dekoratif di set dramanya.
[Bagian 3]Beberapa kritikus menyuarakan keprihatinan setelah keputusan polisi menetapkan sejumlah individu sebagai tersangka dalam kasus tuduhan terhadap ijazah Presiden Joko Widodo. Meski pihak kepolisian menegaskan bahwa penyelidikan dilakukan secara menyeluruh—dengan keterangan ahli, analisis forensik digital, dan konfirmasi dari Universitas Gadjah Mada—banyak pengamat berpendapat bahwa respons hukum ini bisa berdampak lebih luas terhadap kebebasan berekspresi.Bagi RRT, menjadikan mereka tersangka bukanlah halangan; sebaliknya, itu terasa seperti perang sungguhan. Dan bagi kedua belah pihak, antisipasi, menunggu, tak tahu apa yang bakal terjadi—inilah bagian tersulitnya, sesuai dengan kata-kata yang sering dikaitkan dengan Daniel Abraham: “Menunggu sebuah pertempuran itu, bagian tersulit. Kecuali kalau loe kena belati di perut saat pertempuran. Itu yang tersulit. Atau loe selamat tapi melihat teman-teman loe tewas di sekitar loe. Itu juga tersulit.” Beban psikologis berada di ujung ketidakpastian ini mengingatkan kita pada kata-kata Ernie Pyle, wartawan Perang Dunia II, yang berkata singkat tapi menusuk: “Antisipasi adalah yang tersulit.”Dalam fiksi modern, Elliot Ackerman menegaskan hal yang sama dalam Waiting for Eden, bahwa ruang sebelum aksi—“tidak tahu, ketidakpastian, ketakutan”—bisa menghantui tentara lebih daripada pertempuran itu sendiri. Bahkan penyair Perang Dunia I, seperti Wilfred Owen dalam Exposure, memahami kekejaman menunggu, menulis: “But nothing happens,” yang menangkap ketegangan waktu yang lambat dan melelahkan. Sementara itu, All Quiet on the Western Front karya Erich Maria Remarque menggambarkan jam-jam sunyi sebelum pertempuran sebagai penggerusan jiwa yang perlahan, saat tentara menunggu pagi, perintah, dan momen yang mungkin tak pernah datang.Dari semua suara ini, baik sejarah, puisi, maupun fiksi, pelajarannya jelas: yang menguji manusia bukan cuma aksi pertempuran itu sendiri, tapi kekosongan sebelum itu, rentang ketidakpastian tempat rasa takut berkembang, imajinasi liar, dan keberanian terbentuk diam-diam. Dalam kasus RRT, menjadikan orang-orang tersangka berubah menjadi teater ketegangan psikologis yang nyata dan menegangkan, sama seperti medan perang sesungguhnya.Sejumlah pakar hukum dan pegiat masyarakat sipil mempertanyakan apakah penggunaan pasal pidana dalam konteks ini berisiko membungkam pengawasan publik, terutama ketika diarahkan kepada pejabat terpilih. Mereka berpendapat bahwa meskipun misinformasi perlu ditindak, ambang batas kriminalisasi harus dipertimbangkan dengan cermat agar tidak menimbulkan efek jera terhadap wacana demokratis. Keterlibatan figur publik seperti Roy Suryo sebagai salah satu tersangka semakin memperuncing perdebatan, dengan sebagian pihak menilai bahwa kasus ini mencerminkan ketegangan yang kian meningkat antara aktivisme digital dan otoritas negara.Sebaliknya, pihak kepolisian mempertahankan tindakan mereka dengan menyatakan bahwa para tersangka menyebarkan dokumen yang telah dimanipulasi dan membuat klaim tak berdasar yang dapat merusak reputasi serta kepercayaan publik. Mereka menekankan bahwa penyelidikan ini tak bermotif politik, melainkan berdasarkan bukti dan analisis ahli. Meski demikian, para kritikus tetap menyerukan kehati-hatian, memperingatkan bahwa batas antara pencemaran nama baik dan perbedaan pendapat tak boleh kabur dalam masyarakat demokratis.Transparansi dan kritik itu ibarat dua pilar kembar buat bikin pemerintahan sehat dan gak main-main. Transparansi aja kayak buka jendela biar cahaya masuk, kelihatan deh semua yang terjadi, tapi kalau nggak ada kritik, cahaya itu cuma buat gaya-gayaan doang—enggak ada yang bener-bener ngerubah. Kritik itu tanggapan aktif dari transparansi; ngecek, nanya, sampai nge-rem kalau ada yang salah. Jadi, transparansi kasih info biar kritik bisa nyerang yang salah, dan kritik bikin transparansi nggak cuma pajangan doang. Tanpa transparansi kritik buta, tanpa kritik transparansi cuma pajangan Instagram pemerintah—dua-duanya wajib buat bikin negara bisa dipercaya rakyat.
Dalam Information, Democracy, and Autocracy: Economic Transparency and Political (In)Stability by James R. Hollyer, B. Peter Rosendorff and James Raymond Vreeland (Cambridge University Press, 2021) bilang bahwa demokrasi tuh kayak sistem “pamer prestasi” yang wajib banget. Pemimpin demokratis kudu nunjukin performa mereka ke rakyat biar bisa terpilih lagi. Nah, biar rakyat bisa nilai, data ekonomi kudu terbuka dan jelas. Kalau semua transparan, rakyat bisa bilang, “Wah, pemerintah oke nih!” atau “Eh, ini perlu diperbaiki.” Jadi, buka‑bukaan data itu bukan cuma etika, tapi strategi politik supaya tetep dipercaya.Sementara di otokrasi? Pemimpin nggak terlalu peduli sama suara rakyat, yang penting mereka aman dari elite atau jaringan kekuasaan sendiri. Kalau data dibuka, bisa keliatan kelemahan mereka, bikin rival kepincut, atau bikin rakyat protes. Makanya data ekonomi biasanya ditutup-tutupi, dimanipulasi, atau disembunyikan.Perbedaan ini muncul dari keselarasan insentif: dalam demokrasi, transparansi merupakan alat untuk mengamankan legitimasi dan keberlangsungan politik melalui persetujuan yang diinformasikan, sementara dalam otokrasi, kerahasiaan merupakan alat untuk mengonsolidasikan kendali dan mengurangi tantangan dari calon lawan. Karya ini berargumen bahwa perbedaan struktural ini menjelaskan mengapa demokrasi secara sistematis menghasilkan data ekonomi yang lebih mudah diakses dan andal dibandingkan otokrasi.Para penulis berpendapat bahwa tingkat pengungkapan informasi yang lebih tinggi—dalam arti data ekonomi yang tersedia untuk publik—memainkan peran krusial dalam memperkuat legitimasi dan daya tahan pemerintahan demokratis.Para penulisnya bilang kalau buka‑bukaan data ekonomi itu bukan cuma keren buat “tampilkan bahwa kita jujur”—tapi benar‑benar bikin pemerintahan demokratis jadi makin solid dan dipercaya publik. Bayangkan: kalau rakyat bisa lihat angka ekonomi dengan jelas, tahu “oke nih, pemerintah kerjanya gimana”, maka mereka nggak cuma asal golput karena bingung, tapi punya alasan konkret buat menilai. Pemerintah juga tahu: orang lagi ngeliatin. Hasilnya? Investasi datang, ekonomi bisa naik, dan konflik politik yang karena kebingungan atau kesal bisa dikurangi.Kalau nggak banyak transparansi? Rakyat bisa mulai skeptis, merasa “ada yang disembunyikan”, lalu gampang banget muncul rasa nggak puas dan protes. Sementara kalau data terbuka, warga lebih gampang percaya bahwa sistemnya fair. Intinya: supaya demokrasi nggak gampang ambruk dan supaya pemerintahan punya legitimasi kuat, buka‑bukaan data itu jadi semacam “poin kemenangan”.Di Indonesia misalnya: makin transparan data ekonomi dan kebijakan publiknya, makin banyak “koneksi antara pemerintah dan rakyat” yang jalan, makin sedikit ruang untuk curiga‑curiga, dan makin besar kemungkinan rakyat merasa “oke, gua paham, gua ikut bagian”. Itu yang bikin legitimasi naik dan pemerintahan bisa tahan lama. Gitu deh–simpel tapi powerful.Bila berbicara tentang akuntabilitas dan transparansi dalam Demokrasi di Indonesia, gak ada UU khusus yang namanya “UU Akuntabilitas.” Tapi prinsip akuntabilitas itu kayak DNA yang nempel di banyak UU soal pemerintahan, keuangan negara, dan layanan publik. Misalnya, UU Keuangan Negara 2003, UU Perbendaharaan 2004, sama UU Pemeriksaan Keuangan Negara 2004 ngebahas gimana cara pemerintah ngatur duit negara dengan bener dan bisa dipertanggungjawabkan ke DPR maupun rakyat. Terus, UU Keterbukaan Informasi Publik 2008 bikin pemerintah nggak bisa sembunyi-sembunyi, karena rakyat punya hak buat ngecek dan ngawasin aktivitas negara. UU Administrasi Pemerintahan 2014 juga ngegaris bawahi kalau pejabat publik wajib bertindak bener dan bisa dimintai pertanggungjawaban. Jadi intinya, akuntabilitas di Indonesia nggak cuma satu UU doang, tapi muncul terus di berbagai aturan buat ngejamin pemerintah jalan dengan tanggungjawab, transparan, dan nggak main-main sama uang dan kebijakan publik.
UU Keterbukaan Informasi Publik alias UU 14/2008 itu kayak senjata resmi buat bikin pemerintah lebih open book. Dengan hukum ini, warga punya hak buat minta data soal kebijakan, anggaran, atau keputusan pemerintah, dan pejabat wajib kasih informasi yang akurat dan nggak molor. Jadi, nggak ada lagi drama “rahasia negara” seenaknya, semua jadi lebih jelas dan bisa diawasi. Pokoknya, UU ini bikin transparansi nggak cuma slogan, tapi real deal yang bikin pemerintah lebih bisa dipercaya sama rakyat dan bikin warga bisa ngomong, nanya, bahkan ikut ngerem kalau ada yang nggak beres.
UU No. 14/2008 ini sebenernya keren karena dimulai dengan ngasih tahu kita bahwa “guys, info itu kebutuhan dasar loe” dan “kalian punya hak tahu”—bukan buat pejabat ajah.
Beberapa pasal kunci:
- Pasal 7: Badan Publik wajib buka akses info yang mereka pegang, kudu akurat, nggak menyesatkan, dan sistem dokumentasinya harus gampang diakses.
- Pasal 11: Ini daftar check‑list wajib: siapa aja yang pegang data, keputusan dan pertimbangannya, kebijakan dan dokumennya, rencana kerja + anggaran, kontrak dengan pihak ketiga, pernyataan pejabat di publik, prosedur pelayanan masyarakat, dan laporan akses info.
- Pasal 14: Untuk BUMN dan BUMD: nama pemegang saham, dewan direksi, laporan keuangan yang diaudit, gaji direksi, tatakelola internal—pokoknya semua yang orang biasanya umpetin.
- Ada juga mekanisme pengecualian info (“kalau bahaya negara, rahasia jabatan, privasi”) dan jalur untuk keberatan serta sengketa lewat Komisi Informasi.
Artinya, UU ini ngasih sinyal besar: “Rakyat punya hak tahu. Institusi publik nggak bisa tutup tutupin seenaknya.” Inilah yang bikin kekuasaan jadi kudu lebih terbuka. Institusi jadi harus siap: bikin sistem data, buka portal, jawabin permintaan info, kalau nggak bisa, ya risiko kena masalah. Untuk BUMN/BUMD juga jadi jelas: kalian yang sebagian punya fungsi publik jangan ngarepin ditutup terus. Ada risiko jika kalian bungkam data yang seharusnya terbuka.Tapi realitanya? Belum sempurna. Banyak badan publik masih kewalahan buka sistem, dokumen belum rapi, proses permintaan info lambat atau bahkan ditolak tanpa alasan yang meyakinkan. Jadi meskipun undang‑undangnya udah ada, banyak tempat transparansi masih jadi “mimpi” bukan “realita”.Indonesia itu kayak pemain baru di game demokrasi yang punya cheat “UU keterbukaan informasi,” tapi masih sering keteteran karena beberapa faktor klasik. Pertama, sejarahnya: puluhan tahun di bawah rezim Orde Baru bikin birokrasi terbiasa hierarki ketat, rahasia-rahasiaan, dan keputusan “dari atas ke bawah.” Kebiasaan takut salah atau takut bos marah bikin pejabat nggak berani buka-bukaan.Kedua, strukturnya ribet. Data soal kebijakan, anggaran, pengadaan barang, dan program publik tersebar di banyak instansi dan kantor daerah. Jadi kalau rakyat mau ngecek, harus keliling dulu. Banyak instansi juga nggak punya sistem data yang rapi, nggak ada SDM atau teknologi memadai buat buka info secara cepat dan akurat. Padahal UU KIP (UU 14/2008) sudah ada, tapi penegakannya nggak merata. Komisi Informasi memang ada, tapi kekuatannya terbatas, nggak selalu bisa maksa instansi buat patuh.Ketiga, budaya. Norma sosial di Indonesia masih menghargai hierarki, relasi dekat, dan jaringan patronase. Pejabat kadang takut dikritik atau backlash politik kalau semua informasi dibuka. Warga juga kadang nggak melek digital, jadi data yang dibuka tetap susah diakses atau dipakai. Ditambah lagi, kepentingan politik dan tekanan partai bikin transparansi sering dianggap “berbahaya” bagi jaringan lama.Hasilnya, meski secara hukum transparansi ada, praktiknya sering nggak konsisten. Pemerintah kadang kelihatan tertutup, pilih-pilih, atau cuma pencitraan, alih-alih beneran terbuka. Akibatnya, pengawasan rakyat dan partisipasi publik jadi lebih sulit, sementara kepercayaan dan kontrol terhadap keputusan pemerintah tetep tipis.Salah satu sebab kenapa info publik di Indonesia sering banget kayak puzzle yang tercecer ke lantai adalah data dan portalnya tersebar kemana-mana—banyak instansi, banyak website, banyak format. Riset dari Open Contracting Partnership tahun 2022 nunjukin gimana gejala ini: meskipun udah ada e‑procurement dan digitalisasi, sistemnya nggak dibikin supaya publik bisa gampang ngawasin—jadinya data “terbuka” tapi kudu nyari ke banyak portal dan format yang beda‑beda banget. Akibatnya? Kalo loe mau ngulik kontrak, pengadaan, anggaran, atau budaya transparansi, loe kudu loncat‑loncat dari satu situs ke situs lain, ngurus metadata yang acak, dan akhirnya nyusun sendiri potongan‑potongan info supaya makna lengkapnya muncul. Jadi meskipun undang‑undangnya bilang “terbuka”, di lapangan kadang malah jadi “tersembunyi” karena susah diakses oleh orang biasa.Contoh kasus tentang Data pengadaan infrastruktur di Indonesia: Riset dari Open Contracting Partnership, Infrastructure procurement risks: What data‑led analysis reveals in Indonesia (2022), nunjukin kalau banyak pengumuman tender infrastruktur cuma dikasih detail seadanya (sekitar 70 % pengumuman cuma punya deskripsi kurang dari 240 karakter), dan tender yang dibatalin (~20 %) nggak dicatet alasan pembatalannya atau info subcontractor. Laporan ini bilang kalau data pengadaan di Indonesia “terpecah ke banyak portal dan format” karena sistem awalnya dibuat untuk internal manajemen, bukan buat publik ngawasin. Jadi meskipun data udah ada, warga harus nyusun puzzle sendiri biar ngerti prosesnya.Kasus transparansi pemerintah daerah: Kota Bima. Artikel Peering Through the Digital Window: Assessing Online Disclosure of the Public Procurement Data in Bima City (Journal of Governance & Local Politics, 2023) nemuin kalau portal e-procurement resmi Pemkot Bima masih belum lengkap dan gampang diakses. Masalahnya: keterbatasan anggaran, kapasitas staf, dan komitmen pimpinan politik. Kasus lokal ini nunjukin, masalah data tersebar gak cuma di sistem nasional tapi juga di tingkat daerah: portal digital bisa ada, tapi data tetep acak-acakan atau interface-nya ribet banget.Jadi, UU KIP itu ibarat “password” buat buka lemari rahasia pemerintah. Dengan undang-undang ini, rakyat bisa ngintip data, ngecek kebijakan, sampai nge-scroll laporan pengeluaran negara. Intinya, nggak ada lagi drama ‘informasi hilang ditelan bumi’—sekarang semuanya bisa dicek, supaya pemerintah nggak asal main main dan warga bisa nge-hold mereka kalau perlu. Pada hakikatnya, UU KIP mengubah informasi dari rahasia yang dijaga ketat menjadi sumber daya publik yang dapat digunakan warga negara untuk membuat keputusan yang tepat dan meminta pertanggungjawaban pihak berwenang.Niat UU KIP sih cakep banget: bikin rakyat bisa nge-scroll “menu rahasia” pemerintah, transparansi naik, korupsi ditekan, demokrasi makin rame. Tapi kenyataannya? Kadang eksekusinya nge-lag, lambat, atau malah “hilang sinyal” di saat penting. Kantor pemerintah suka ogah-ogahan buka dokumen, sistemnya ribet, dan budaya rahasia masih nempel. Jadinya, UU ini kayak HP: penuh janji 5G, tapi pas lagi butuh streaming data… eh sinyal ilang!Indonesia itu kayak siswa baru di kelas demokrasi global. Di atas kertas, kita punya “rapor keren”: konstitusi jelas bilang harus transparan, UU KIP (14/2008) bilang rakyat berhak tahu, bahkan ada mekanisme buat ngecek pemerintah. Ideal banget, kayak janji snack gratis tiap jam istirahat.Tapi kenyataannya… kadang mirip main petak umpet di sekolah, deh. Struktur birokrasi ribetnya minta ampun, tiap kantor kayak punya “ruang rahasia” sendiri. Informasi yang seharusnya gampang diakses bisa molor, cuma setengah dibagi, atau malah dikunci pakai alasan “rahasia negara” atau “strategi internal”. Jadi rakyat kadang cuma bisa ngintip dari celah, nggak full view.Budaya juga main peran, guys. Banyak pejabat masih mikir kalau transparansi itu kayak pamer kelemahan—mending simpan rapor di laci aja. Tradisi hierarki, jaringan patronase, dan budaya “jaga muka” bikin orang lebih suka diam daripada berbagi info. Bahkan kalau masyarakat ribut minta klarifikasi, mekanismenya bisa lambat, berbelit, atau bikin pusing.Jadi intinya, mimpi demokrasi Indonesia itu besar: kita punya aturan buat terang-terangan, tapi realitanya sering masih buram. Transparansi di atas kertas oke, tapi praktiknya butuh perjuangan ekstra—reformasi birokrasi, geser mindset, dan masyarakat yang nggak cuma nonton tapi juga aktif ikut ngecek. Indonesia lagi latihan ngejalanin demokrasi yang bener-bener “open book”, bukan cuma slogan keren di kertas.
[Bagian 1]

