Sabtu, 08 November 2025

Penjaga Ketertiban atau Cermin Kekuasaan? (5)

Tim Reformasi Polri baru aja dilantik, tapi vibe-nya kayak nonton reboot sinetron lama—pemainnya masih itu-itu lagi, cuman ganti judul. Publik sempet berharap ini bakal jadi momen “plot twist” buat institusi yang lagi krisis kepercayaan, tapi ternyata yang duduk di kursi reformasi malah para mantan jenderal yang dulu ikut nulis skrip lama. Bukannya reformasi, kesannya kayak reuni alumni.
Netizen dan pengamat langsung pasang mode skeptis. “Lho, kok nggak ada aktivis, akademisi, atau wakil masyarakat sipil?” tanya mereka. Reformasi itu bukan sekadar ganti seragam, tapi harus ada mata baru yang berani bongkar bab-bab gelap. Kalau yang ngurus reformasi adalah orang-orang yang dulu pegang kendali, gimana bisa objektif? Ini kayak minta mantan sutradara buat review filmnya sendiri.
Ada juga yang bilang, jangan-jangan tim ini bukan buat reformasi beneran, tapi buat damage control. Kayak PR team yang tugasnya ngebersihin citra, bukan ngubah sistem. Jadi meskipun kata “reformasi” dikumandangkan, publik masih nunggu: ini reformasi beneran, atau cuma spin-off buat meredam drama?

Jika para aktivis, akademisi, pejuang HAM dan tokoh masyarakat sipil diajak masuk ke dapur reformasi Polri, itu bukan sekadar nambah bumbu—merekalah bahan utama buat resep perubahan yang nggak basi.
Akademisi tuh kayak chef yang ngerti teori masak: mereka bawa resep dari dapur internasional, tahu mana yang cuma garnish dan mana yang bisa ubah rasa sistem. Mereka bantu bikin reformasi yang bukan cuma reaction video atas skandal, tapi punya blueprint jangka panjang.
Aktivis? Mereka kayak food critic yang nggak bisa dibeli. Mereka tahu mana yang busuk, mana yang cuma ditutupin saus. Mereka bakal teriak kalau ada pelanggaran, dan pastikan suara korban nggak tenggelam di meja rapat.
Masyarakat sipil itu crowd yang nonton dan ikut voting. Mereka bisa bilang, “Ini enak, ini nggak,” dan mereka punya hak buat tahu apa yang masuk ke piring publik. Tanpa mereka, reformasi cuma jadi acara private dining—rapat elite yang nggak pernah nyentuh lidah rakyat.
Jadi kalau mereka dilibatkan, reformasi Polri bisa jadi movement, bukan sekadar momen. Bukan cuma ganti kemasan, tapi ubah isi. Bukan cuma damage control, tapi kontrol balik dari publik.

Publik dan pengamat udah pasang mode “detektif skeptis” sejak daftar anggota Tim Reformasi Polri diumumkan. Harapan awalnya sih kayak nunggu season baru dari serial institusi yang lagi drop rating—tapi ternyata cast-nya masih didominasi jenderal-jenderal lama. Jimly Asshiddiqie jadi ketua, tapi yang duduk bareng dia ada Idham Aziz, Badrodin Haiti, Listyo Sigit, dan tokoh-tokoh elite lain yang udah lama wara-wiri di panggung hukum dan keamanan.
Terdapat pengamat yang vokal, bilang bahwa komposisi kayak gini bisa bikin reformasi kehilangan taji. Gimana mau ngubah sistem kalau yang pegang palu adalah orang-orang yang dulu ikut bangun temboknya? Tanpa aktivis, akademisi, atau wakil masyarakat sipil, reformasi ini kayak konser tanpa penonton—cuma internal jam session yang nggak bisa dikritik dari luar.
Ada juga yang khawatir tim ini malah jadi “Kompolnas versi 2.0”—bukan buat nambah pengawasan, tapi buat ngeblur fungsi lembaga yang udah ada. Meskipun nama-nama besar semisal Mahfud MD dan Yusril ikut duduk, publik tetep nanya: ini reformasi beneran, atau sekadar panggung elite buat damage control?

Kekuasaan itu bukan cuma soal bisa nyuruh orang, tapi soal tanggungjawab. Dalam konteks kepolisian, otoritas hendaklah dipakai bukan buat pamer atau main politik, tapi untuk kebaikan masyarakat. Sejarah Polri, dari warisan kolonial sampai era Reformasi, nunjukin kalau penyalahgunaan kekuasaan bikin legitimasi dan kepercayaan runtuh. Polisi yang mengandalkan ketakutan ketimbang hormat bakal jadi alat penindas, bukan pelindung keadilan.

Secara filosofis, kepemimpinan di polisi nggak bisa dipisahkan dari etika. Kepemimpinan etis nggak cuma soal hukum, tapi soal prinsip moral. Pemimpin semestinya jadi teladan, membangun budaya dimana integritas, transparansi, dan akuntabilitas itu wajib, bukan opsional. Seperti kata Max Weber soal otoritas, legitimasi lahir dari moralitas dan rasionalitas, bukan paksaan semata. Tanpa panduan etis, reformasi cuma jadi seremoni: seragam, prosedur, slogan, tapi jiwa institusi tetep nggak berubah.

The Theory of Social and Economic Organisation (1947, Free Press) karya Max Weber menjelaskan bahwa legitimasi kepolisian bergantung pada kepercayaan masyarakat bahwa kekuasaan yang dimiliki polisi dijalankan sesuai norma yang dipandang sah dan diakui bersama. Weber menegaskan bahwa lembaga koersif gak boleh bertahan hanya dengan kekuatan; mereka memerlukan keyakinan publik bahwa perintah mereka memang beralasan dalam tatanan sosial yang berlaku. Ia mengemukakan tiga dasar legitimasi—tradisional, karismatik, dan legal-rasional—dan kepolisian modern bertumpu terutama pada legitimasi legal-rasional, yakni ketika masyarakat menilai polisi bekerja melalui aturan yang impersonal, prosedur formal, dan tindakan yang dapat diprediksi. Menurut Weber, legitimasi tetap terjaga apabila polisi menunjukkan profesionalisme birokratis, berpegang pada hukum yang tertulis, dan menghindari tindakan sewenang-wenang atau berbasis kepentingan personal, sehingga memperkuat kepercayaan pada sistem yang memberi mereka kewenangan. Weber menekankan bahwa ketertiban politik bergantung pada keyakinan stabil terhadap keabsahan otoritas hukum, dan polisi mempertahankan legitimasi dengan terus membuktikan bahwa kekuasaan koersif mereka digunakan demi kepentingan publik dalam kerangka yang rasional dan tak memihak.

Dalam Why People Obey the Law (2006, Princeton University Press) karya Tom Tyler basically bilang bahwa legitimasi itu muncul bukan karena takut akan hukuman, melainkan dari keyakinan terdalam  bahwa otoritas hukum bertindak adil dan mewujudkan prinsip-prinsip moral yang dianut masyarakat. Ketika publik melihat polisi dan pengadilan berlaku adil—enggak ngegas, gak berat sebelah, ngasih ruang buat orang ngomong, dan kagak main sulap dalam pengambilan keputusan—hasil akhirnya tetep bisa diterima walaupun pahit. Tyler juga nunjukin bahwa keselarasan moral itu kunci besar: warga cenderung nurut kalau mereka ngerasa aturan dan aparatnya sejalan sama nilai-nilai yang mereka percayai, jadi kepatuhan itu muncul bukan karena dipaksa, tapi karena ngerasa bagian dari komunitas yang sama. Ujung-ujungnya, negara yang cuma mengandalkan paksaan memang bisa bikin orang taat sesaat, tapi legitimasi jangka panjang cuma lahir dari keadilan prosedural dan harmoni moral, karena dua hal itulah yang bikin warga mau kooperatif tanpa harus diseret-seret.
Tom Tyler berpendapat bahwa orang itu nurut hukum bukan karena takut dihajar sanksi, tapi karena mereka ngerasa sistem hukumnya legit dan bisa dipercaya. Legitimasi itu lahir ketika aparat dan institusi hukum memperlakukan warga dengan hormat, ngasih ruang buat didengar, dan nunjukin keputusan yang jujur serta gak berat sebelah. Kalau prosesnya fair, warga cenderung menerima hasilnya, walaupun pahit, karena mereka percaya niat dan integritas pihak yang berwenang. Tyler juga ngegas soal pentingnya keselarasan moral: hukum bakal lebih ditaati kalau nilainya nyambung sama nilai-nilai masyarakat, jadi patuh itu terasa kayak ikut menjaga prinsip bersama, bukan sekadar takut ditegur. Pada akhirnya, menurut Tyler, ketertiban hukum yang stabil cuma bisa berdiri di atas kepatuhan sukarela, dan kepatuhan jenis ini cuma muncul kalau warga merasa dihargai, diperlakukan adil, dan sejalan secara moral dengan sistem yang ngatur hidup mereka.

James Ortmeier, dalam Leadership, Ethics, and Policing: Challenges for the 21st Century (2020, Pearson), menekankan bahwa kepemimpinan etis bukan cuma pelengkap fungsi organisasi, tapi tulang punggung kepolisian yang efektif. Ortmeier bilang, setiap anggota polisi, dari atas sampai bawah, hendaknya internalisasi dari nilai-nilai semisal integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Nilai-nilai ini hendaklah dicontohkan terus-menerus oleh para pemimpin, supaya perilaku etis bukan pilihan, tapi inti dari legitimasi institusi. Pandangan ini sejalan banget dengan argumen bahwa reformasi Polri bukan sekadar soal prosedur, tapi soal moral: tanpa pemimpin yang etis, reformasi prosedural nggak akan punya dampak jangka panjang.

Michael McLean, dalam Understanding the Bounds of Legitimacy: Weber’s Facets of Legitimacy and the Police Empowerment Hypothesis (2021), memberi kerangka teori yang melengkapi fokus praktis Ortmeier. McLean pakai teori legitimasi Max Weber bagi kepolisian modern, menunjukkan bahwa kepercayaan publik nggak cuma datang dari otoritas hukum, tapi juga dari persepsi moral dan fairness prosedural. Doski bilang, polisi cuma efektif secara berkelanjutan kalau kekuasaannya dipandang sah oleh masyarakat. Ini menguatkan argumen bahwa Polri hendaknya bangun legitimasi lewat kepemimpinan etis, transparansi, dan keadilan prosedural, bukan cuma lewat kekuasaan atau ketakutan.

Ortmeier dan McLean sama-sama menekankan satu hal penting: reformasi kepolisian nggak bisa dipisahkan dari pembentukan karakter moral para pemimpinnya. Ortmeier fokus ke sisi operasional, memberi strategi kepemimpinan dan praktik etis, sementara McLean memberi perspektif teoretis, menjelaskan kenapa legitimasi dan kepercayaan publik itu penting banget. Gabungan kedua perspektif ini menegaskan bahwa kepemimpinan etis itu wajib ada, sebagai fondasi yang menentukan keberhasilan reformasi Polri.

Pandangan Ortmeier dan McLean makin memperkuat klaim bahwa reformasi Polri haruslah etis, berbasis prinsip, dan berlandaskan legitimasi. Pemimpin yang jadi contoh integritas, akuntabilitas, dan fairness nggak cuma membimbing perilaku anggota polisi, tapi juga menunjukkan ke masyarakat bahwa Polri bisa dipercaya, dan mampu memakai kekuasaan dengan benar dan etis. Tanpa fokus ganda ini—etika dan legitimasi—reformasi cuma bakal jadi permukaan, nggak bertahan lama.

Ethical Leadership: Global Challenges and Perspectives (2011, Carla Millar & Eve Poole di Palgrave Macmillan) mengajak kita mikir ulang soal arti kepemimpinan yang etis di dunia yang makin saling nyambung. Para penulis banyak yang nyambung sama reformasi Polri. Misalnya, tulisan Kurt April dkk., “Leading Ethically: What Helps and What Hinders”, bilang bahwa kepemimpinan etis nggak cuma soal nilai bagus, tapi soal sistem, budaya, panutan yang nyata, dan akuntabilitas institusi. Maknanya: reformasi Polri jangan cuma ganti seragam atau aturan, tapi harus ubah budaya, tunjuk panutan, dan bikin lembaga yang benar‑benar bisa dipercaya.
Lalu, Lindsay J. Thompson dalam tulisannya “A Moral Compass for the Global Leadership Labyrinth” bilang bahwa organisasi modern mesti tanam tujuan moral ke dalam praktek sehari‑hari, dan legitimasi muncul kalau pemimpin bertindak karena nilai, bukan cuma karena kuasa atau kepentingan. Buat Polri, ini berarti: membangun kepercayaan rakyat bukan sekadar lewat senjata atau patroli, tapi lewat tindakan yang konsisten mencerminkan nilai‑nilai keadilan dan pelayanan.
Para kontributor buku ini ngajak kita paham tiga hal utama buat lembaga kayak Polri yang mau reformasi: pertama, kepemimpinan etis itu esensial, bukan cuma bagus di atas kertas; kedua, legitimasi dan kepercayaan publik dibangun lewat tindakan etis yang konsisten, budaya yang tertanam, dan arsitektur lembaga yang tepat; ketiga, konteks lokal itu penting—produk reformasi nggak bisa cuma impor dari luar, hendaklah sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Indonesia. Reformasi Polri bukan cuma soal prosedur, tapi soal moral dan filosofi.

Reformasi Polri butuh berhadapan dengan dua tantangan: kebiasaan lama dalam institusi dan harapan masyarakat. Polisi bukan kertas kosong; mereka mewarisi sikap, kebiasaan, dan bias dari puluhan tahun. Pemimpin seyogyanya tegas tapi empatik, disiplin tapi bijak. Etika gak bisa cuma ditegakkan lewat perintah; harus dipahami, dicontohkan, dan diapresiasi. Kepemimpinan jadi semacam “guru moral” dimana setiap keputusan mengajarkan soal keadilan, fairness, dan tanggungjawab.

Kekuasaan dalam konteks ini adalah kepercayaan. Polisi memegang otoritas atas nama rakyat, dan itu membawa kewajiban untuk bertindak dengan bijak. Kata Shakespeare dalam Measure for Measure, “Liberty is yet to be learned,” cocok banget di sini: kebebasan dan otoritas cuma bisa berdampingan kalau dikendalikan hati nurani. Jadi reformasi Polri bukan sekadar soal struktur, tapi soal membentuk polisi yang bisa mengambil keputusan dengan etis, empatik, dan berpihak pada rakyat.

Transparansi adalah kunci kepemimpinan etis. Di zaman dimana warga bisa merekam dan sebarkan kesalahan polisi instan, menyembunyikan itu mustahil. Pemimpin hendaklah nggak cuma menghukum kesalahan, tapi mencegahnya sejak awal. Etika preventif—membiasakan kejujuran, rasa hormat, dan netralitas sebelum masalah muncul—jauh lebih efektif daripada hukuman. Kepemimpinan etis itu proaktif, mendidik, dan visioner.

Selain itu, filosofi kekuasaan mengakui ketidaksempurnaan manusia. Pemimpin dan polisi pasti pernah salah. Bedanya ada di cara institusi merespon. Budaya yang menghukum tanpa refleksi bikin takut dan menipu, sedangkan budaya yang meneliti, mendidik, dan memperbaiki justru memperkuat individu dan kolektif. Kepemimpinan harus menyatu dengan kerendahan hati, sadar kalau kekuasaan tanpa kebijaksanaan itu malah merugikan diri sendiri.

Reformasi Polri juga soal menyeimbangkan keamanan dan kebebasan. Polisi nggak bisa cuma main otoritas, tapi masyarakat juga nggak bisa hidup tanpa rasa aman. Kepemimpinan etis menemukan keseimbangan: melindungi warga tanpa mengorbankan hak mereka. Praktiknya berupa protokol, pengawasan, keterlibatan komunitas, dan pendidikan moral terus-menerus, semua dibimbing pemimpin yang fokus ke keadilan, bukan kemudahan.

Akhirnya, reformasi yang punya dasar moral dan filosofis akan lebih tahan lama. Reformasi yang cuma prosedural bisa runtuh kalau pemimpin berganti. Kepemimpinan etis bikin reformasi jadi bagian budaya, kuat menghadapi perubahan politik dan sosial. Polisi yang internalisasi prinsip integritas, tanggung jawab, dan pelayanan publik jadi bukan cuma penegak hukum, tapi pilar demokrasi.

Reformasi Polri itu usaha moral dan filosofis. Bukan cuma soal prosedur, pangkat, atau alat, tapi soal membangun budaya otoritas etis, kekuasaan bertanggungjawab, dan kepemimpinan yang selalu berpihak pada rakyat. Masa depan Polri tergantung bukan cuma regulasi, tapi hati nurani dan karakter para pemimpinnya, yang harus jadi teladan bagi seluruh anggota.

[Bagian 6]
[Bagian 4]