Jumat, 07 November 2025

Anakku, Kenakanlah Hijabmu

Di pagi hari saat mentari merambat pelan melalui tirai tipis dan menyebar laksana berkah yang lembut di sudut kamar kecilmu, ayah berdiri di ambang pintu, menatapmu merapikan buku-bukumu satu per satu di tepi meja. Ayah terdiam, memperhatikan gerakmu yang tenang, gerak seorang anak yang masih merangkul sisa-sisa masa kecil namun juga melangkah ke dunia yang luas dan tak pasti. Kota di luar sana telah berdengung dengan ritme tergesa—mobil-mobil melaju, layar-layar berkilau, manusia mengejar alasan yang, kadang mereka sendiri tak pahami—namun di sini, di kamar yang hangat oleh cahaya dan kenangan, waktu terasa melambat cukup lama agar seorang ayah dapat menata kata-katanya, mengemasnya dengan kelembutan, dan menyampaikannya padamu selembut mungkin: Anakku, kenakanlah hijabmu.

Engkau menatapku dengan setengah senyum, campuran antara rasa ingin tahu dan kasih sayang, seolah engkau sudah menebak persis apa yang hendak kuucapkan. Tapi permintaan lembut ini, anakku, bukanlah perintah yang harus engkau ikuti atau beban yang harus engkau tanggung; ia adalah pengingat akan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang sering terlupakan dunia karena terlalu sibuk dengan permukaan—bahwa martabatmu bukan diberikan oleh tatapan orang lain, melainkan muncul dari hati yang tulus, dan nilai dirimu bukan diukur dari pandangan orang, melainkan dari kebenaran yang engkau bawa dalam dada. Anakku, kenakanlah hijabmu, bukan karena dunia memintanya, tetapi karena jiwamu berhak mendapatkan ketenangan yang dibawa oleh kebersahajaan.

Akan ada hari-hari ketika orang salah memahami pilihanmu, ketika orang asing menatapmu dengan prasangka, ketika teman sebaya membingungkan keberanian dengan suara keras, menganggap keberanian itu terlihat, bukan tetap teguh. Tapi ketahuilah, kain di kepalamu bukanlah penyedap cahayamu, melainkan penajamnya. Ia tak meredupkan ekspresimu; ia memperdalam niatmu. Ia bukan menutupi dirimu; ia menegaskan batas martabatmu.

Ayah tahu dunia yang engkau masuki—dunia yang menuntut perempuan agar menampilkan diri sementara menyembunyikan kegelisahan di balik refleksi digital, dunia yang memuja standar kecantikan yang rapuh terhadap waktu, dunia yang memuji kepercayaan diri tetapi diam-diam menghukum perempuan yang menampilkannya. Dan di tengah lanskap kontradiktif itu, ayah ingin engkau ingat satu hal yang terlambat kupelajari: terkadang perisai lebih bermanfaat daripada pedang. Anakku, kenakanlah hijabmu, biarlah ia menjadi perisai—bukan untuk bersembunyi, tetapi untuk melangkah dengan kokoh.

Ketika ayah berkata, kenakanlah hijabmu, ayah tak membayangkanmu mengecil atau memudar; ayah membayangkanmu melangkah dengan lebih mantap, lebih yakin, lebih anggun. Ayah membayangkan orang-orang melihat bukan sekadar wajahmu, tetapi kedalaman karaktermu. Ayah membayangkan percakapan yang dipandu oleh pikiranmu, bukan prasangka semata. Hijabmu tak menghapusmu dari dunia; ia mengundang dunia agar bertemu denganmu sesuai caramu.

Engkau pernah bertanya, apakah mengenakan hijab akan membuat hidup lebih sulit. Aku menjawab dengan lembut: segala sesuatu yang bermakna di dunia ini memang memiliki beratnya. Kebaikan memiliki berat, kejujuran memiliki berat, iman memiliki berat, kesabaran memiliki berat. Tapi semuanya, meski punya berat, tak pernah memberatkan; justru meringankan hati. Hijabmu pun demikian. Ia tak menambah beban langkahmu; ia meringankan hatimu.

Ayah melihatmu tumbuh menjadi seseorang yang memahami dunia bukan hanya dengan mata, tetapi dengan makna. Engkau sering berada di antara dua keinginan: ingin menjadi bagian dari dunia, namun tak ingin kehilangan dirimu di dalamnya. Di momen itu, ayah ingin engkau ingat satu hal: engkau tak berutang keseragaman kepada dunia; engkau berutang ketulusan kepada Rabb-mu. Dan hijab, dalam keheningannya, membantumu menjaga ketulusan itu.

Akan ada pagi ketika tanganmu ragu menjamah kain itu, ketika hatimu bertanya apakah dunia akan memperlakukanmu berbeda. Tapi keraguan itu hanya terasa berat ketika engkau lupa tujuan hijabmu. Ingatlah, ia bukan tentang menutupi kecantikan, melainkan memuliakannya; bukan tentang menyembunyikan diri, melainkan menemukan diri; bukan tentang apa yang dilihat dunia, melainkan apa yang diyakini hatimu. Maka hijab itu akan terasa ringan—lebih ringan dari ketakutanmu, lebih ringan dari keraguanmu.

Ayah membayangkan ruangan yang kelak akan engkau masuki—ruang kelas dengan banyak pendapat, ruang kerja penuh ambisi, ruang digital yang menuntut performa, ruang sosial yang dipenuhi tatapan. Ayah ingin engkau memasuki semuanya bukan untuk mencari pembenaran, tetapi sebagai seseorang yang telah menemukan ketenangan dalam dirinya. Anakku, kenakanlah hijabmu, dan ingat bahwa kepercayaan diri bukan diukur dari seberapa keras engkau berbicara, tetapi seberapa dalam engkau memahami nilai-nilai dirimu.

Ada kekuatan dalam kesederhanaan yang dunia tak selalu ajarkan. Ada keanggunan dalam menahan diri yang dunia tak selalu pahami. Ada kecantikan dalam memilih agar tak berlomba menunjukkan diri. Hijab tak mengurangi kehadiranmu; ia memurnikan kehadiranmu. Ia membuat dunia melihatmu bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek bernilai—perempuan dengan pikiran, hati, dan kemauan.

Ayah memintamu mengenakan hijab bukan untuk mengatur hidupmu, tetapi untuk melindungi hatimu. Ayah mungkin tak selalu di sisimu, tak selalu menjawab pertanyaanmu, tak selalu menenangkan keresahanmu. Tetapi jika ada satu hal yang ingin ayah titipkan—yang dapat menemanimu meski ayah tak selalu ada—itulah hijabmu, pengingat siapa dirimu, apa nilai dirimu, dan bagaimana Rabb-mu, selalu menjagamu.

Engkau akan menapaki ruang yang tak bisa ayah jangkau, mengambil keputusan yang tak bisa ayah prediksi, menghadapi dunia yang jauh lebih luas daripada yang bisa ayah lindungi. Namun jika ada sesuatu yang tetap menyertaimu, sesuatu yang melampaui tangan dan suara ayah, itulah bisikan lembut ini: Anakku, kenakanlah hijabmu. Biarlah ia menjadi sahabat dalam sepi, perisai dalam bising, penguat dalam ragu.

Kadang ada hal-hal tentang dirimu yang tak pernah engkau sadari—keberanianmu, empati hatimu, kelembutan tindakanmu. Dan mungkin karena itulah hijab sesuai untukmu. Ia bukan kain yang mengurangi pesonamu, tetapi kain yang memantulkan kedalaman jiwamu. Ia adalah pakaian hati yang memilih makna daripada sorotan, kebenaran daripada kepura-puraan, nilai daripada tepuk tangan.

Dalam gelak tawamu, dalam kelincahanmu, dalam langkahmu yang ringan, hijabmu takkan menguranginya; ia akan membentuknya. Ia menjadikan tawamu lebih hangat, kebaikanmu lebih elegan, dan keteguhanmu lebih indah. Anakku, pakailah hijabmu, dan biarkan cahayamu bersinar bukan karena dunia melihatmu, tetapi karena Sang Ilahi mengenalmu.

Dunia akan selalu menyeretmu lebih cepat daripada hati siap. Ada hari ketika engkau merasa terhimpit oleh perbandingan dan dorongan untuk “menjadi seperti mereka.” Saat itulah sentuh hijabmu, rasakan kehadirannya seperti ketenangan kecil yang menahanmu tetap sadar. Ingat, perjalananmu bukan perlombaan, pencapaianmu bukan tepuk tangan, tetapi ketulusan.

Dan ketika keraguan datang—karena keraguan adalah bagian dari manusia—ingatlah bahwa hijab bukan pernyataan kesempurnaan. Ia adalah pernyataan usaha. Bukan tanda engkau lebih baik dari siapa pun, tapi bahwa engkau berusaha menjadi lebih baik bagi dirimu sendiri dan Rabb-mu. Ia kain kerendahan hati, bukan kesombongan.

Anakku, kenakanlah hijabmu. Jadikan ia rumah bagi hatimu ketika dunia serasa terlalu luas, batas halus yang tak membatasi hidupmu tetapi melindungi nilai dirimu, pengingat bahwa kecantikan, harga diri, dan tujuanmu bukan dimiliki tatapan orang asing, tapi oleh Rabb yang mencintaimu tanpa syarat.

Dan akhirnya, dengan segala cinta yang ayah simpan dalam dada—cinta yang mungkin tak pernah cukup ayah ucapkan—ayah berkata lagi: Anakku, pakailah hijabmu. Biarlah ia menyertai setiap langkahmu di musim hidupmu, dalam kesulitan dan kebahagiaan, di jeda dan kebisingan, dalam keraguan dan keyakinan—selalu mengingatkanmu siapa dirimu dan milik siapa hatimu.

Setiap kain yang engkau lipat di kepalamu, setiap lipatan yang engkau rapikan, adalah pengingat lembut dari nilai-nilai yang ayah titipkan. Ia bukan beban, tapi penguat; bukan penghalang, tapi teman; bukan batas, tapi jembatan menuju dirimu yang lebih utuh.

Biarlah hijabmu menjadi simbol perjalanan batin yang engkau pilih sendiri. Sebuah tanda bahwa meski dunia berlari cepat dan sorot mata menilai, hatimu tetap punya ruang aman. Sebuah pengingat bahwa nilai, keberanian, dan iman yang engkau bawa, jauh lebih penting daripada apa yang terlihat oleh mata orang lain. Anakku, kenakanlah hijabmu, dan bawalah ketenangan itu kemanapun langkahmu membawa.

Akan ada saat ketika engkau berdiri di depan cermin, menyesuaikan lipatan hijabmu, bertanya-tanya apakah dunia akan mengerti pilihanmu, apakah teman-teman sebayamu akan menilai, apakah berat kain di kepalamu akan membuatmu berbeda dengan cara yang terasa asing. Ingatlah, berbeda bukan berarti lemah. Berbeda adalah tanda keaslian. Hijabmu tak menjauhkanmu dari dunia; ia memperjelas siapa dirimu di dalamnya. Ia menegaskan batas martabatmu tanpa mengurangi kehadiranmu.

Mengenakan hijabmu bukanlah sebuah kompromi atau penyerahan. Ia adalah pilihan yang mencerminkan keyakinan hati. Ia adalah perpanjangan dari integritas yang ayah harap selalu engkau bawa. Di dunia yang terus menawarkan jalan pintas untuk diterima, hijab menjadi afirmasi bahwa tempatmu di dunia dibentuk oleh ketulusan hati, bukan oleh pujian orang lain.

Ketika tawa memenuhi ruang-ruangmu, saat teman berkumpul dan percakapan mengalir hingga larut malam, hijabmu takkan mengurangi sukacita. Sebaliknya, ia menajamkan kesadaranmu dalam kebahagiaan, mengingatkanmu bahwa bahkan dalam kegembiraan, identitasmu adalah taman yang suci dan patut dijaga dengan lembut.

Dalam dunia profesional, hijab akan menjadi lambang percaya diri yang tenang. Rekan-rekan mungkin melihatnya sebelum ide-idemu, tetapi lama-kelamaan mereka akan menyadari bahwa pikiranmu lebih tajam, perhatianmu lebih cermat, perkataanmu lebih terukur, karena engkau telah belajar menimbang tindakan dengan tujuan, bukan sekadar reaksi terhadap persepsi orang.

Akan ada saat orang mempertanyakan motifmu, pilihanmu, cara berpakaianmu. Mereka mungkin tak melihat hikmah dalam kesederhanaanmu, kekuatan dalam kesopananmu, atau keberanian dalam ketenanganmu. Itu bukan urusanmu. Yang menjadi urusanmu adalah hati, niat, dan keselarasanmu dengan nilai-nilai yang telah kita tanam bersama. Anakku, kenakanlah hijabmu, biarlah ia menjadi pengingat bahwa hidup dengan integritas lebih tahan lama daripada hidup demi menyenangkan orang lain.

Ayah membayangkan ribuan cerita yang akan engkau dengar, saran yang tak terhitung jumlahnya, perbandingan yang membingungkan, yang akan mencapai telingamu. Dalam momen-momen itu, hijabmu akan menjadi tempat berlindung. Bukan untuk bersembunyi, tetapi untuk berpikir jernih. Untuk merenung dalam-dalam. Untuk merespons dengan penuh pertimbangan. Dalam lipatannya, engkau akan menemukan ketenangan yang sering hilang dalam kebisingan hidup modern.

Ada keindahan dalam kesederhanaan iman yang tak selalu dihargai dunia. Namun kesederhanaan punya kekuatan yang tak bisa dicapai oleh kemegahan. Hijab mengingatkan dunia bahwa esensi seorang perempuan bukanlah tontonan atau komoditas—ia adalah kehadiran, kesadaran, dan pilihan.

Ayah tahu engkau akan menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri, mengikuti tren, meniru perilaku yang terasa asing di hatimu. Tekanan itu mungkin berbisik di telingamu, menggodamu agar menyimpang dari prinsip. Tapi hijab adalah pengingat lembut akan komitmenmu, bukti penghormatan pada diri sendiri, dan pernyataan keberanian dalam pilihanmu yang disengaja.

Seiring engkau menapaki hidupmu, ingatlah bahwa hijab tak menentukanmu—nilai, pilihan, dan hatimulah yang menentukanmu. Namun di dunia yang sering salah mengartikan keterlihatan sebagai pengaruh, memiliki tanda yang terlihat akan membiarkan orang memahami tekadmu sebelum menilai permukaanmu.

Kadang, ketika hari terasa menekan dan tuntutan mengalir deras, sentuh hijabmu. Rasakan kehadirannya, tarik napas, dan ingatkan diri bahwa hidupmu adalah milikmu untuk diarahkan, pilihanmu milikmu untuk dibuat, dan nilai dirimu ditentukan oleh hal-hal yang lebih dalam daripada pandangan orang asing.

Perjalanan di depanmu takkan selalu mudah. Ada hari-hari yang terasa lebih berat. Namun ayah berharap engkau melihat hijab sebagai teman, bukan beban—teman kain yang mengingatkan bahwa kekuatan dan keanggunan bisa berjalan bersamaan, dan keberanian untuk selalu mempertahankan prinsip yang diiringi martabat.

Bahkan saat engkau tertawa lepas, menari ringan di kamar, atau menikmati momen santai bersama teman, hijabmu takkan menahan semangatmu; ia akan memperkaya. Ia menjadikan tawa lebih hangat, kebaikan lebih anggun, dan keteguhan lebih indah.

Akan ada hari-hari ketika keraguan merayap, bisikan dari luar menantang tekadmu. Pada hari-hari itu, ingatlah bahwa hijab adalah pernyataan niat, bukan kesempurnaan. Ia berkata: “Aku berusaha. Aku berpikir. Aku dibimbing.” Ia tak mengklaim kesalahan sempurna; ia menghargai usaha.

Di saat ketidakpastian, ketika pendapat orang menekan, biarlah hijab mengingatkanmu bahwa hidupmu milikmu sendiri, pilihanmu milikmu sendiri, dan nilai dirimu ditentukan oleh prinsip yang lebih dalam daripada pandangan manusia.

Anakku, kenakanlah hijabmu. Biarlah ia menjadi panduan dalam transisi, jangkar dalam gejolak, cahaya di jalan gelap. Ia mengingatkanmu bahwa dunia bisa berubah dan bergejolak, tapi hatimu tetap utuh, suci, dan tak tergoyahkan.

Dalam doa, renungan, dan setiap kebaikan kecil yang kau lakukan, hijab akan menemanimu seperti melodi lembut, afirmasi bahwa yang penting tak terlihat namun terdalam diketahui.

Akan ada musim kemenangan dan saat-saat duka, tapi hijabmu akan selalu menyertai, membawa harapan, kekuatan prinsip, dan ketahanan jiwamu. Ia mengingatkanmu untuk berdiri tegak, bertindak bijak, dan berbicara dengan anggun.

Ingatlah, kesederhanaan tak membatasi cemerlangmu—ia menyalurkannya. Hijab adalah wadah pemberdayaan, memungkinkanmu melangkah dengan jelas, bermartabat, dan penuh niat. Ia menciptakan ruang di mana akal dan hati bersinar sebelum dunia menilai permukaan.

Ayah berdoa agar setiap kali engkau merapikan kain, engkau merasakan cinta yang menyertaimu. Setiap lipatan menjadi pengingat nilai-nilai yang ayah titipkan. Setiap tatapan di cermin menegaskan bahwa kekuatan, kerendahan hati, dan keanggunan selalu berjalan bersamaan.

Akhirnya, sekali lagi, dengan segenap cinta seorang ayah, ayah berkata: Anakku, kenakanlah hijabmu. Biarlah ia menyertai langkahmu di setiap musim hidup, dalam badai maupun cahaya, tawa maupun air mata, keraguan maupun keyakinan—selalu mengingatkan siapa dirimu dan untuk siapa hatimu.