Sewaktu meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru, Presiden Prabowo angkat bicara soal proyek kereta cepat Whoosh yang lagi ribut dimana-mana. Beliau bilang, rakyat kagak perlu panik soal duit proyek tersebut—beliau udah pelajari semuanya dan apa pun masalahnya, beliau siap nanggung. Terus, beliau juga ngingetin, jangan sampai isu ini dijadiin alat politik: “Gausah khawatir apa itu ribut-ribut Whoosh. Saya sudah pelajari masalahnya, tidak ada masalah, saya akan tanggungjawab nanti Whoosh semuanya.” Pokoknya, bagi beliau, proyek ini bukan buat cari untung gede-gedean, tapi buat pelayanan rakyat.Pernyataan Presiden Prabowo soal proyek kereta cepat Whoosh itu punya banyak makna—bukan cuma janji biasa. Beliau ngasih tahu publik bahwa utang besar itu merupakan tanggungjawab pemerintahannya, bukan beban rakyat kecil atau institusi yang kebetulan lagi susah jaga anggaran. Beliau bilang, “Saya akan tanggungjawab … nggak usah khawatir … saya sudah pelajari masalahnya,” yang berarti beliau mau ambil alih posisi penanggungjawab utama dari proyek yang dimulai oleh pemerintahan sebelumnya.Di sisi lain, beliau juga minta supaya urusan ini jangan dielus‑elus jadi alat politik, dan jangan sampai rakyat “menari di gendang orang lain”—artinya, beliau pengin narasi proyek ini berubah dari beban jadi prestasi. Intinya: beliau pengin meredam kekhawatiran publik, ngontrol cerita, dan bikin Whoosh nggak jadi simbol kegagalan lalu tapi bagian dari visi nasional yang dipegangnya.Gak berarti otomatis semua operasional Whoosh langsung pindah ke tangan Jokowi—proyek segede gaban kayak gini punya banyak kontrak, keuangan internasional, dan pemangku kepentingan banyak. Tapi secara praktis, Presiden nunjukin bahwa tanggungjawab akhir sekarang ada dalam kepemimpinannya. Dari sudut kebijakan, ini membantu ngebangun stabilitas, ngasih sinyal ke investor/trust‑partner, dan selaraskan proyek dengan agenda infrastruktur bagi rakyat dan gengsi nasional.Singkatnya, pesan beliau tuh tiga‑lapis: kita punya dana, kita punya rencana, kita punya kemauan—sekarang stop saling lempar tanggungjawab. Fokusnya harus dialihkan dari debat soal utang dan siapa yang salah, ke kemampuan bangsa, kemajuan teknologi, dan kewajiban negara untuk melayani.Demi kepercayaan publik dan keadilan sosial, semestinya ada penyelidikan transparan soal proyek kereta cepat Whoosh, meskipun Presiden Prabowo udah bilang beliau siap tanggungjawab dan minta publik jangan bikin masalah ini jadi politik. Transparansi penting banget karena proyek ini pakai investasi publik gede, dana internasional, dan utang yang kabarnya triliunan rupiah. Tanpa pengawasan independen, rakyat nggak bisa ngecek apakah manajemen keuangan, pengadaan, dan kontrak dijalanin dengan bener, yang berarti akuntabilitas melemah dan secara nggak langsung keadilan sosial juga bisa terganggu.Tapi, kenyataannya, peluang investigasi kayak gini kecil banget. Kepentingan institusi dan pemerintah sering lebih condong ke ngontrol narasi dan bikin publik tenang daripada buka semua data. Artinya, meski secara etis dan sosial seharusnya proyek ini dicek dengan teliti, praktisnya rakyat mungkin cuma bisa percaya sama info terbatas dan pernyataan resmi. Intinya, ada gap besar antara apa yang adil secara sosial—akuntabilitas penuh, transparansi, dan fairness—dan apa yang bisa dijalankan secara politik, yang nunjukin tantangan buat ngeimbangin ambisi infrastruktur negara sama pengawasan publik.Kalau proyek kereta cepat Whoosh terus jalan tanpa penyelidikan atau pengawasan hukum, ada beberapa dampak psikologis dan sosial yang bisa dirasain publik. Dari sisi psikologis, rakyat bisa ngerasa cemas, frustasi, dan skeptis, karena terus-terusan disuruh percaya sama pernyataan resmi tanpa bukti nyata atau akuntabilitas. Rasa kalau utang negara yang gede itu dikelola “di balik layar” bisa bikin publik ngerasa tidak berdaya, kepercayaan sama pemimpin dan institusi publik jadi luntur. Selain itu, ada disonansi kognitif: masyarakat sadar perlu infrastruktur, tapi sekaligus ngerasa dikucilkan dari proses ngecek apakah proyek ini dijalankan dengan adil dan efisien.Dari sisi sosial, dampaknya lebih luas ke perilaku kolektif dan norma sipil. Kalau hukum terus nggak disentuh, ide bahwa aktor berkuasa di atas hukum bisa mulai dianggap normal, prinsip kesetaraan dan meritokrasi melemah. Rakyat bisa makin toleran sama tatakelola yang gak transparan, cuma percaya kata pemerintah tanpa mikir kritis, yang akhirnya bikin partisipasi politik dan debat publik menurun. Dalam jangka panjang, hal ini bisa bikin ketidakadilan sosial makin mengakar, karena komunitas yang butuh distribusi sumber daya adil justru kalah sama elit atau orang-orang yang punya koneksi politik. Kesenjangan antara ekspektasi publik soal keadilan dan realita pemerintahan bisa memicu rasa marah, protes, atau malah apatis, tergantung bagaimana masyarakat sipil bereaksi.Intinya, mengabaikan pengawasan resmi nggak cuma bikin kepercayaan publik sama proyek Whoosh turun, tapi juga nggerus kontrak sosial lebih luas, bikin rakyat ragu sama kemampuan negara ngatur sumber daya bersama. Kalau nggak ada tindakan korektif, sikap skeptis bisa jadi default masyarakat terhadap proyek infrastruktur, investasi, dan tatakelola pemerintah secara umum.
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa proyek kereta cepat Whoosh jangan dihitung untung‑ruginya, tapi fokus ke manfaat buat rakyat, sebenarnya sesuai sama konsep Public Service Obligation (PSO) yang umum dipakai di transportasi publik dunia. Intinya, beberapa layanan penting dijalanin bukan buat profit, tapi buat manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan: misalnya perjalanan lebih cepat, macet berkurang, ekonomi daerah naik.Tapi kenyataannya, Whoosh jalan pakai model B2B, ada kontrak, perjanjian layanan, dan pembayaran dari partner bisnis atau pemerintah, jadi ada unsur komersial juga. Ini bikin ada ketegangan antara ide non-profit yang ditegaskan Presiden Prabowo dengan kebutuhan praktis supaya proyek tetep sustainable secara finansial. Infrastruktur segede ini pasti butuh dana rumit, bisa dari kesepakatan bisnis, investor swasta, atau public-private partnership. Jadi, B2B bukan berarti bertentangan sama tujuan non-profit, tapi lebih ke alat biar proyek bisa jalan lancar dan tetap kasih manfaat publik tanpa harus sepenuhnya tergantung sama anggaran negara.Meski Whoosh secara konsep adalah proyek non-profit dan berorientasi pelayanan publik, penggunaan B2B itu pragmatis. Ini nunjukin realita bahwa proyek besar harus ngejalanin finansial, kontrak, dan operasi sambil tetep kasih manfaat sosial — persis kayak praktik high-speed rail di dunia. Pada akhirnya, kesuksesan Whoosh tergantung menyeimbangkan kepentingan publik dengan tanggung jawab fiskal, biar layanan tetap terjangkau dan bermanfaat buat masyarakat luas.Kecurigaan adanya mens rea—niat jahat atau kesengajaan untuk berbuat salah—bisa banget dimulai dari kontradiksi antara alasan “non-profit” dengan kenyataan bahwa proyek Whoosh dijalankan lewat skema Business-to-Business (B2B). Karena pada dasarnya, B2B itu artinya hubungan dagang, urusannya pasti duit, kontrak, pembagian untung, dan risiko bisnis. Jadi begitu pemerintah bilang proyek ini “buat rakyat, bukan cari untung,” tapi pakai model B2B, ya wajar banget publik curiga: ada apa di balik layar?Apakah model B2B dipakai biar proyeknya nggak terlalu bisa diaudit publik dan DPR? Atau biar bisa “lepas dari tanggungjawab negara” dengan alasan efisiensi? Kecurigaan ini masuk akal, karena kalau proyek benar-benar non-profit, mestinya dibayar negara dan bisa diawasi publik penuh. Tapi B2B itu dunia bisnis—di sana kata “non-profit” tuh hampir nggak punya makna kecuali dipoles buat pencitraan. Jadi kalau niatnya mulia tapi strukturnya komersial, ya yang muncul justru paradoks etika, atau malah indikasi bahwa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan.Kasarnya, kalau proyek ngaku demi kepentingan rakyat tapi dijalankan lewat kontrak korporasi, klaim moralnya sendiri patut dipertanyakan. Memang, kontradiksi ini belum otomatis bukti kejahatan, tapi cukup jadi alasan kuat untuk penyelidikan—apalagi di negeri yang masih sering campur aduk antara urusan negara dan bisnis politik.Dari sisi hukum dan moral, mens rea dalam kasus proyek Whoosh ini gak bisa dilihat cuma dari makna sempit: “apakah ada yang sengaja melanggar hukum atau nggak.” Di Indonesia, niat jahat itu bisa muncul dalam bentuk yang lebih halus—kayak kelalaian yang disengaja, penyembunyian informasi publik, atau sikap masa bodoh terhadap transparansi keuangan. Kalau proyek publik dikerjakan pakai skema B2B tapi ngaku non-profit, ya pertanyaannya jelas: siapa yang bikin skema itu, siapa yang nyetujui, dan siapa yang paling diuntungkan—bukan cuma dari sisi duit, tapi juga dari sisi politik dan citra.Secara hukum, mens rea bisa dibuktikan kalau keputusan-keputusan itu diambil dengan sadar melawan kepentingan publik, misalnya sengaja pakai B2B biar utang nggak kelihatan, nilai proyek bisa diatur, atau sistemnya dibuat cuma nguntungin pihak tertentu atas nama efisiensi. Di titik itu, ini bukan lagi sekadar “kesalahan kebijakan”, tapi udah masuk ke ranah penyalahgunaan etika—dan kalau niat serta keuntungannya terbukti, bisa naik jadi pelanggaran pidana. Dari sisi moral, meskipun hukum nggak terbukti dilanggar, pelanggaran etikanya tetap parah, karena tugas utama pemerintah itu melayani rakyat dengan jujur dan terbuka, apalagi kalau proyeknya pakai dana besar dan menyangkut reputasi negara.Dalam konteks Indonesia, kaburnya batas antara “pilihan kebijakan” dan “keuntungan pribadi” udah sering banget bikin rakyat kehilangan kepercayaan. Ketika pejabat bilang “ini demi rakyat” tapi datanya ditutup-tutupi, yang rusak bukan cuma kepercayaan publik, tapi juga makna keadilan sosial itu sendiri. Jadi, pelajaran moralnya jelas: kalau mau bilang proyek ini non-profit, buktikan dengan sistem yang transparan, bukan cuma omongan manis. Karena integritas sejati itu bukan cuma soal niat baik, tapi kesesuaian antara niat dan cara. Kalau itu aja nggak sinkron, ya pemerintahnya bisa ikut terseret jadi bagian dari kebohongan struktural.Agar pernyataan Presiden Prabowo—bahwa proyek transportasi publik di dunia jangan dilihat dari untung-ruginya, tapi dari manfaatnya buat rakyat—bisa jadi prinsip kebijakan yang adil dan kredibel, bukan cuma pembenaran politik belaka, ada beberapa syarat penting yang hendaknya dipenuhi. Pertama, transparansi harus total. Dari tahap perencanaan, tender, sampai operasional, semuanya mesti bisa diaudit publik, biar istilah “manfaat buat rakyat” nggak cuma jadi tameng buat nutupin pemborosan, korupsi, atau bagi-bagi proyek ke kroni politik. Kedua, makna “manfaat” itu harus jelas dan bisa diukur: misalnya kemacetan berkurang, emisi karbon turun, masyarakat miskin makin mudah akses transportasi, dan ekonomi lokal makin nyambung—semua itu harus bisa dibuktikan lewat data, bukan sekadar pidato.Ketiga, harus ada mekanisme akuntabilitas yang nyata. Kalau proyek gagal kasih manfaat sesuai janji, siapa pun yang bertanggungjawab—entah pejabat negara atau mitra swasta—harus siap dimintai pertanggungjawaban di depan publik dan hukum. Tanpa itu, konsep “manfaat lebih penting dari untung” malah jadi celah berbahaya buat menghamburkan uang negara tanpa konsekuensi. Keempat, keberlanjutan finansial juga nggak boleh diabaikan. Meski proyek publik nggak harus cari untung, tapi tetap harus bisa jalan tanpa bikin APBN jebol. Dan terakhir, partisipasi publik wajib jadi bagian dari prosesnya. Rakyat yang bayar pajak dan kena dampak langsung mesti ikut menentukan, apakah proyek itu benar-benar berguna buat mereka atau cuma jadi simbol politik.Singkatnya, pernyataan Presiden Prabowo tersebut sesungguhnya punya niat baik—menempatkan kesejahteraan rakyat di atas hitungan bisnis. Tapi supaya niat itu bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan politik, perlu kerangka yang disiplin: transparansi, akuntabilitas, dan hasil yang bisa diukur. Kalau tidak, kalimat indah itu bisa berubah jadi jargon populis—manis di telinga, tapi bikin kerontang dompet negara.Presiden Prabowo sering “ketiban sampur” gara-gara keputusan dan proyek mantan Presiden Jokowi, kayak kereta cepat Whoosh dan proyek infrastruktur lain yang heboh. Tapi, jika Presiden Prabowo bisa nge-handle ini semua dengan hati-hati, transparan, dan perencanaan strategis, beliau justru bisa ningkatin reputasinya sebagai pemimpin yang kompeten dan bertanggungjawab, nunjukin bahwa pembangunan nasional bisa jalan bareng dengan akuntabilitas sosial. Dengan ngurus masalah warisan dengan efektif, kepercayaan publik bisa terjaga, ketegangan politik bisa dikurangi, dan beliau bisa buktiin kalau kepemimpinan itu soal nyelesaiin masalah, bukan cuma nerima warisan bermasalah.Tapi, kalau tantangan ini ditangani sembarangan, tanpa akuntabilitas dan komunikasi yang jelas, dampaknya bisa berat: kepercayaan publik ke pemerintah bisa turun, rasa kesal dan ketidakadilan sosial bisa naik, dan kesan kalau proyek mega cuma buat tontonan politik, bukan buat layanan publik, makin kuat. Dalam skenario ini, risiko buat keadilan sosial, tanggungjawab finansial, dan kredibilitas politik makin tinggi, bikin masyarakat ngerasa kecewa dan tersisihkan dari proses keputusan yang sebenernya pengaruh banget ama kesejahteraannya.Pertanyaan soal apakah proyek kereta cepat Whoosh harus dibebankan ke APBN itu ribet, apalagi Menteri Keuangan Purbaya udah tegas nolak pakai duit negara buat proyek ini. Kalau proyek tetep jalan pakai B2B (Business-to-Business), risiko finansial ditanggung investor atau perusahaan, sementara pemerintah cuma pegang peran pengawasan dan regulasi. Cara ini ngurangin risiko anggaran negara, biar duit publik enggak kejebak, dan biaya operasional dibagi sama pihak yang mampu nanggung guncangan finansial. Tapi kelemahannya, transparansi bisa kurang kalau kontrak privat nggak jelas, dan pemerintah tetp bisa kena reputasi kalau proyek gagal kasih manfaat publik.Sebaliknya, kalau APBN dipakai buat biayain Whoosh, pemerintah bakal tanggung semua biaya proyek, mulai dari konstruksi, operasional, sampai bayar utang. Secara teori, ini bisa pastiin manfaat publik maksimal, kayak tarif lebih murah dan akses luas. Tapi risiko finansialnya gede banget: kalau proyek molor, biaya membengkak, atau salah kelola, anggaran negara bisa kena imbas langsung, bahkan bisa gangguin belanja penting lain kayak kesehatan, pendidikan, dan sosial. Pajak rakyat juga jadi yang ngerasain rugi kalau proyek gagal, bikin taruhannya politik dan sosial makin tinggi.Singkatnya, B2B lebih aman buat anggaran dan bagi risiko, tapi kontrol dan transparansi sosial bisa terbatas. APBN bisa kasih manfaat publik maksimal, tapi risiko finansial, politik, dan sosial langsung nempel ke pemerintah dan rakyat. Jadi, keputusan ini kudu ditimbang hati-hati antara keadilan sosial, keberlanjutan finansial, dan akuntabilitas publik, karena skala proyek mega kayak Whoosh bikin konsekuensinya makin besar.Meski maksud Presiden Prabowo jelas mau nunjukin sisi pelayanan publik dari proyek kereta cepat Whoosh, jika pernyataan bahwa proyek ini “jangan dilihat untung ruginya” sebenarnya agak terlalu simplistis kalau dilihat dari sisi praktis. Proyek sebesar ini, meski dikemas non-profit atau PSO, tetep butuh manajemen finansial yang teliti, recovery biaya, dan keberlanjutan operasional. Model B2B, kontrak dengan partner bisnis, dan kewajiban operasional nunjukin kalau untung rugi nggak bisa sepenuhnya diabaikan. Kalau profit dan loss diabaikan total, bisa-bisa manajemennya enggak efisien, anggaran bocor, atau layanan telat, yang ujung-ujungnya malah ngerusak manfaat publik yang mau dicapai.Singkatnya, intend-nya jelas: prioritasin manfaat sosial dan ekonomi daripada profit langsung, tapi di lapangan, indikator finansial tetep penting biar proyek berjalan sukses jangka panjang. Jadi, seharusnya pernyataan yang lebih tepat mungkin: “Jangan biarin profit jadi patokan utama, tapi pastikan akuntabilitas finansial dan operasional tetep dijaga demi manfaat publik.”Terlepas dari klaim proyek Whoosh sebagai layanan publik atau “non-profit,” tetep enggak ada pilihan lain selain bayar utangnya. Soalnya proyek ini melibatkan kontrak gede dengan partner internasional, supplier, dan investor, terutama dari China, yang pinjamannya punya jadwal bayar yang baku. Kalau nggak dibayar, Indonesia bukan cuma rugi kredibilitas finansial, tapi juga bisa kena gugatan hukum, denda, dan konsekuensi ekonomi jangka panjang.Selain itu, proyek sebesar ini butuh dana terus-menerus buat konstruksi, operasional, dan maintenance. Meski tujuannya buat manfaat publik, kenyataannya tetap harus ada uang buat bayar pekerja, rawat kereta, kelola stasiun, dan bayar utang. Kalau nggak dibayar atau wanprestasi, proyeknya bisa berhenti sebelum rakyat ngerasain manfaatnya.Meski Whoosh mau fokus ke manfaat publik, kewajiban bayar tetep kagak bisa ditawar. Ini prinsip dasar project finance: niat boleh sosial, tapi komitmen ke kreditur dan partner kontrak harus dihormatin biar proyek kelar, kredibilitas negara tetep terjaga, dan kepercayaan nasional maupun internasional gak runtuh.Proyek kereta cepat Whoosh ngasih banyak pelajaran moral bagi pengambil kebijakan, rakyat, dan generasi mendatang. Buat pemimpin, ini nunjukin pentingnya ngeimbangin ambisi sama tanggungjawab. Proyek besar bisa bikin bangsa maju, tapi pemimpin hendaknya hati-hati ngecek risiko finansial, transparansi, dan keberlanjutan jangka panjang. Bilang proyek “non-profit” atau buat rakyat aja nggak ngehapus kewajiban moral buat ngatur dana dengan bijak dan bayar kontrak yang ada.Buat rakyat Indonesia, Whoosh nunjukin nilai pengawasan publik dan keterlibatan kritis. Kita diingetin kalau kepercayaan publik itu kudu earned, bukan cuma diberi, dan rakyat punya peran buat minta akuntabilitas. Kalau cuma percaya kata politikus tanpa ikut ngecek, risiko salah kaprah tetep ada.Buat generasi sekarang dan mendatang, Whoosh ngajarin soal pikiran jangka panjang dan tanggungjawab bersama. Proyek gede yang pakai duit publik atau pinjaman internasional bakal ngaruh ke banyak generasi; kalau salah kelola sekarang, kesempatan generasi berikutnya bisa berkurang. Dari sini, masyarakat diajarin buat ngejalanin proyek ambisius dengan etika, disiplin finansial, dan kepedulian sosial.Terakhir, buat masyarakat umum, pelajaran moralnya jelas: sumber daya publik itu amanah bersama. Baik infrastruktur, kesehatan, maupun pendidikan, proyek buat rakyat nggak bisa lepas dari akuntabilitas, transparansi, dan tata kelola etis. Whoosh jadi pengingat kalau kemajuan itu nggak cuma diukur dari kecepatan, teknologi, atau gengsi, tapi juga dari keadilan, tanggungjawab, dan kepercayaan yang dibangun oleh mereka yang bikin dan ngejalanin proyek itu.Proyek kereta cepat Whoosh punya dampak besar terhadap Keadilan Sosial di Indonesia. Pertama, alokasi sumber daya publik untuk proyek mega hendaknya dilihat dari prinsip akses dan distribusi yang adil. Kalau ada salah kelola finansial, utang menumpuk, atau operasional enggak efisien, manfaat sosial buat masyarakat luas bisa gak terasa, terutama bagi rakyat berpenghasilan rendah yang bergantung pada layanan negara.Kedua, persepsi publik soal transparansi dan akuntabilitas langsung ngefek ke kepercayaan sama pemerintah, yang jadi inti dari keadilan sosial. Kalau rakyat liat proyek gede pake duit publik atau pinjaman negara tapi nggak jelas performa finansialnya, bisa muncul rasa tidak adil, terpinggirkan, dan dieksklusi, walaupun proyeknya akhirnya jalan juga.Ketiga, kasus Whoosh nunjukin ketegangan antara gengsi nasional dan kesejahteraan rakyat. Fokus ke infrastruktur prestisius buat nunjukin modernitas atau teknologi bisa bikin investasi di kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial lain jadi keteteran, ngebuka pertanyaan: apakah negara bener-bener jalanin kewajiban buat ngasih hak dasar dan kesempatan adil buat semua?Terakhir, dari perspektif keadilan sosial, proyek kayak Whoosh jadi tes kapasitas institusi dan tata kelola etis. Sukses atau gagalnya proyek nunjukin apakah negara bisa kelola inisiatif besar dengan adil, akuntabel, dan bermanfaat buat masyarakat luas. Kalau salah kelola atau nggak transparan, ini bisa nambah ketimpangan struktural dan ngerusak kepercayaan publik soal distribusi sumber daya negara.Rakyat Indonesia sebaiknya ambil sikap awas tapi kritis terhadap proyek kereta cepat Whoosh. Artinya, sambil ngerti manfaat infrastruktur modern, rakyat juga punya tanggungjawab buat minta transparansi, akuntabilitas, dan pengelolaan keuangan yang bijak. Kalau cuma percaya tanpa mikir, salah kelola, utang nggak jelas, atau praktik nggak transparan bisa terus jalan, yang ujung-ujungnya malah ngeganggu keadilan sosial dan kesejahteraan publik.Tapi, publik juga harus nggak cuma ribut politis. Proyek gede memang ribet soal finansial dan planning jangka panjang. Civic engagement yang konstruktif bisa berupa ngikutin progres proyek, nanya soal efisiensi biaya, minta terbuka soal kontrak dan pembiayaan, dan ikut debat publik yang informatif.Posisi moral rakyat itu ikut terlibat tanpa sinis: dukung pembangunan negara tapi tetap tegas minta tata kelola yang bertanggung jawab. Dengan begitu, masyarakat bisa memastikan proyek Whoosh dan proyek serupa bener-bener kasih manfaat nyata dan adil buat rakyat, bukan cuma buat kepentingan politik atau korporasi.Kalau mau lihat siapa yang bener-bener diuntungin dari proyek kereta cepat Whoosh, harus dibedain antara tujuan resmi proyek sama pihak yang nyata-nyata dapet untungnya. Secara resmi, proyek ini dibilang buat kepentingan publik: mempercepat perjalanan Jakarta–Bandung, nanti bisa nyambung ke kota lain. Teorinya sih manfaat buat penumpang umum, pebisnis, dan ekonomi regional, karena logistik dan konektivitas makin lancar. Tapi kenyataannya, tiket kereta cepat itu mahal banget buat kebanyakan rakyat Indonesia. Bahkan kalau ada subsidi, yang kebagian cuma kelas menengah ke atas, sementara mayoritas rakyat masih cuma nonton dari jauh.Sementara itu, perusahaan swasta, kontraktor, dan investor yang bangun dan operasikan Whoosh jelas paling diuntungkan. Lewat skema B2B, kontrak pengadaan, dan potensi pemasukan operasional, para pelaku korporasi—lokal maupun internasional—bakal kebagian porsi besar dari keuntungan finansial. Politisi juga bisa dapet “citra modernisasi” kalau proyek ini dipoles sebagai warisan kepemimpinan.Kalau dihitung kasar, kurang dari 5% rakyat Indonesia kemungkinan bisa beneran naik kereta ini dan ngerasain manfaat langsung di fase awal. Manfaat tak langsung, misalnya efek ekonomi atau infrastruktur pendukung, mungkin menjangkau sedikit lebih luas, tapi tetap minoritas. Jadi, meski Whoosh dipromosikan sebagai aset publik, struktur biaya dan desainnya lebih menguntungkan investor, politisi dan orang kaya, ketimbang rakyat secara luas.Biar lebih jelas, kita bisa coba hitung kira-kira berapa persen rakyat Indonesia yang bisa langsung menikmati kereta cepat Whoosh di fase awal Jakarta–Bandung. Wilayah Jabodetabek plus Bandung dan sekitarnya punya penduduk sekitar 30 juta orang. Kereta Whoosh punya kapasitas maksimum sekitar 10.000 penumpang per hari (kalau perjalanan penuh dan beberapa trip).Bila 10.000 penumpang dibagi 30 juta orang, hasilnya cuma sekitar 0,03% per hari. Kalau kita kasih asumsi tiap penumpang bisa naik beberapa kali dalam sebulan dan kapasitas operasional ditingkatkan, tetap aja proporsi orang yang benar-benar bisa menikmati layanan tetep di bawah 5% di tahap awal. Mayoritas rakyat Indonesia—terutama yang berpendapatan rendah, tinggal di daerah terpencil, atau pedesaan—kagak bisa naik kereta ini karena harga tiket, lokasi stasiun, dan akses transportasi pendukung yang terbatas.Jadi, meski proyek Whoosh dipromosikan sebagai aset publik, yang menikmati langsung cuma segelintir orang, terutama kelas menengah ke atas dan penduduk kota. Manfaat sosial yang lebih luas, kayak efek ekonomi regional atau berkurangnya kemacetan, sifatnya cuma tidak langsung dan tersebar, jadi nggak dirasakan merata. Dengan kata lain, klaim “manfaat untuk rakyat” perlu dikritisi berdasarkan akses nyata dan kemampuan bayar, bukan cuma kata-kata manis atau janji aspiratif.Wacana memperpanjang proyek Whoosh sampai Surabaya, bahkan Banyuwangi, memang kedengarannya megah banget di atas kertas—tapi di lapangan, bisa terjadi antara mimpi besar, atau, satire nasional. Secara teknis dan ekonomi, sih, bisa aja dilakukan kalau syarat-syarat dasarnya terpenuhi: jumlah penumpang stabil, pendanaan kuat dan berkelanjutan, serta hitungan untung-ruginya masuk akal. Tapi dengan kondisi sekarang, dimana rute Jakarta–Bandung aja masih ngos-ngosan nutup biaya, dan skema keuangannya masih bikin dahi berkerut, maksain lanjut ke timur itu bisa berubah jadi drama politik mahal yang dibungkus kata “visi.”Secara politik, ngomongin perpanjangan Whoosh bisa aja jadi cara mempertahankan “citra modernisasi”—semacam benang merah antara dua presiden. Tapi kalau tahap pertamanya aja belum stabil secara finansial dan operasional, ngomong soal Banyuwangi tuh jadi semacam stand-up comedy kebijakan publik. Ini menggambarkan kecenderungan khas negeri ini: lebih suka ngejar kemegahan daripada manajemen, lebih sibuk cari pencitraan “maju” daripada mikirin siapa yang bayar tagihannya nanti. Satirenya jelas banget: kereta yang lebih cepat dari ekonomi yang ngedorongnya.Kalau dilihat dari sisi analisis, kelayakan proyek Whoosh sampai Surabaya bahkan Banyuwangi bisa dibaca lewat dua kacamata: feasible realistis dan feasible politis. Bedanya dua hal ini bukan cuma soal teknis, tapi juga soal cara negara ini merencanakan dan memerankan pembangunan.Dari sisi feasible realistis, proyek ini nyaris mustahil kalau pakai logika ekonomi dan akal sehat publik. Bayangin aja, jalur Jakarta–Surabaya–Banyuwangi itu butuh modal raksasa, subsidi rutin, dan jumlah penumpang yang belum tentu ada. Jalur Jakarta–Bandung aja masih megap-megap buat nutupin biaya operasionalnya, apalagi diperpanjang sampai ujung timur Jawa. Tanpa permintaan penumpang yang kuat, sistem transportasi terintegrasi yang efisien, dan pembiayaan yang transparan, proyek ini bukan cuma nekat, tapi bisa dibilang gak bertanggungjawab secara sosial. Duit yang harusnya buat pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan malah dialihin ke proyek yang belum jelas manfaat nyatanya.Tapi dari sisi feasible politis, ceritanya beda banget. Dalam panggung politik, proyek besar kagak perlu untung—yang penting kelihatan. Ia jadi monumen kepemimpinan, backdrop untuk potret “visioner,” dan alat buat nutup kegagalan lain. Ide memperpanjang Whoosh ke Banyuwangi bukan karena butuh transportasi cepat, tapi karena simbol politiknya kuat: melanjutkan warisan, menampilkan modernitas, dan bikin kesan “pemerintah kerja.” Padahal bisa jadi itu cuma lomba cepat-cepatan pencitraan—bukan cepet sampai, tapi cepet diingat.Kontras dua kenyataan ini ngasih gambaran klasik tentang Indonesia: yang satu halu, yang satu bayar tagihannya. Satirenya udah kebentuk sendiri—makin panjang relnya, makin dalam lubang defisitnya. Kalau ambisi lebih cepet dari akuntabilitas, Whoosh bukan lagi simbol kemajuan, tapi peringatan keras: bahwa kecepatan tanpa tujuan bisa menyungsepkan keadilan itu sendiri.Jadi, meski secara teknis proyek ini bisa diteruskan, kalau sistem keuangannya masih buram dan manajemennya masih penuh drama, hasilnya cuma bakal nambah daftar kesalahan lama. Ide besar bisa berubah jadi bahan olok-olok kalau ambisi buat pamer lebih kuat daripada niat buat ngebenahin dasarnya. Kalau Indonesia benar-benar pengen masa depan berkecepatan tinggi, ya yang harus dipercepat dulu itu integritasnya, bukan cuma keretanya.
Kesimpulannya, Keadilan Sosial itu bukan cuma jargon keren buat hiasan pidato atau poster kampanye; ini soal nyata: memastikan setiap orang—nggak peduli kelas, duit, atau latar belakang—punya akses yang adil ke hak, sumber daya, dan kesempatan. Keadilan sosial yang sejati minta transparansi, akuntabilitas, dan fairness dalam pemerintah, biar hasil pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan layanan publik bisa dinikmati bareng-bareng, bukan cuma dibajak segelintir orang berkepentingan. Ini sekaligus kompas moral dan panduan praktis: masyarakat yang invest keadilan buat semua bakal lebih stabil, bermartabat, dan manusiawi. Kalau nggak ada komitmen ini, kesenjangan makin lebar, kepercayaan publik luntur, dan janji kesetaraan cuma jadi mimpi yang jauh dari kenyataan.
[Bagian 1]
[Bagian 6]

