Senin, 06 Agustus 2018

Al-Khalil (1)

Sang hujjaj berkata kepada sang musafir, "Wahai anak muda, Allah Subhanahu wa Ta'ala memilih Nabi Ibrahim, alaihissalam, untuk kebaikan dan kehormatan yang besar. Nabi Ibrahim, alaihissalam, digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai imam (pemimpin), seorang hanif (yang hanya menyembah Allah), dan mengabdi kepada Allah. Seluruh nabi yang di utus setelahnya, berasal dari keturunannya, dan pengikut semua agama, Islam, Nasrani maupun Yahudi, mempercayainya. Allah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai panutan, karena akhlaqnya dan berpegang teguh pada Tauhid. Kehormatan ini diberikan kepada Nabi Ibrahim saat ia berpegang pada ketetapan dan larangan Allah. Nabi Ibrahim adalah nabi dan rasul terbaik setelah Nabi kita (ﷺ). Oleh karena itu, Allah telah befirman bahwa Dia menjadikannya sebagai Al-Khalil, seorang sahabat." Sang musafir muda berkata, "Sampaikan padaku tentang Al-Khalil, wahai orang berilmu!" Sang hujjaj berkata, "Nabi Ibrahim lahir pada zaman dimana banyak orang menyembah berhala batu dan kayu; yang lain menyembah planet, bintang, matahari dan bulan; yang lain menyembah raja dan penguasa mereka. Ia dilahirkan ke dalam atmosfer ini. Keluarganya pada waktu itu, bukan saja menyembah berhala, bahkan sungguh-sungguh menolak Allah, dan yang biasa membuat berhala. Ada hadits yang menyatakan bahwa ayah Nabi Ibrahim meninggal sebelum kelahirannya, dan ia dibesarkan oleh seorang paman yang disebut Nabi Ibrahim sebagai ayah. Riwayat lain mengatakan bahwa ayahnya masih hidup saat ia lahir, dan bernama Aazar. Menurut Ibnu 'Asakir, seorang sejarawan, terkait dengan riwayat Ibnu Abbas,radiallahu anhu, Nabi Ibrahim lahir di wilayah pegunungan Babilonia.
Ke dalam keluarga itulah Nabi Ibrahim dilahirkan, ditakdirkan menentang keluarganya sendiri, melawan seluruh sistem komunitasnya. Singkatnya, ia menentang segala jenis kemusyrikan. Ia dianugerahi pemahaman spiritual sejak usia belia. Allah mencerahkan kalbu dan pikirannya, memberinya hikmah sejak kecil. Selama masa kecilnya, Nabi Ibrahim menyadari bahwa ayahnya membuat patung-patung yang aneh. Suatu hari, ia bertanya kepada ayahnya tentang apa yang sedang dibuatnya. Ayahnya menjawab bahwa ia membuat patung tuhan-tuhan mereka. Nabi Ibrahim tercengang, dan secara spontan ia menolak pemikiran seperti itu. Selagi masih kecil, ia suka bermain dengan patung-patung itu, seperti duduk di punggungnya, seperti orang duduk di punggung keledai dan begal. Suatu hari ayahnya melihat ia menunggangi patung Mardukh, dan menjadi sangat marah. Ia menyuruh anaknya agar jangan bermain-main seperti itu lagi. Nabi Ibrahim bertanya, "Patung apa ini, ayah? Telinganya besar, lebih besar daripada milik kita." Ayahnya menjawab, "Inilah Mardukh, tuhannya para tuhan, nak! Telinga besar ini menunjukkan ilmunya yang sangat luas." Mendengar itu, Nabi Ibrahim tertawa, usianya baru tujuh tahun saat itu.

Tahun-tahun berlalu dan Nabi Ibrahim tumbuh dewasa. Sejak kecil, hatinya penuh dengan rasa ketidaksukaan terhadap berhala-berhala ini. Ia tak dapat memahami mengapa orang waras bisa membuat patung dan kemudian menyembah apa yang telah dibuatnya sendiri. Ia memperhatikan bahwa berhala-berhala itu, tak makan, minum atau berbicara, dan mereka bahkan tak sanggup bergerak sedikit pun jika seseorang menggesernya. Lalu, bagaimana bisa kaumnya percaya patung tersebut dapat mencelakakan atau membawa manfaat bagi mereka? Kaum Nabi Ibrahim membangun sebuah kuil besar yang penuh dengan berhala, di tengahnya ada sebuah relung yang menampung para tuhan mereka, dalam berbagai jenis, kualitas dan bentuk. Nabi Ibrahim, yang biasa berkunjung ke kuil suci itu bersama ayahnya saat masih kecil, sangat tak menyukai semua patung kayu dan batu itu. Yang mengejutkannya, saat kaumnya memasuki kuil; mereka membungkuk dan mulai menangis, mengemis dan memohon kepada tuhan mereka, meminta pertolongan seolah-olah berhala-berhala itu dapat mendengar atau mengerti permintaan mereka! Awalnya, pemandangan seperti itu tampak lucu bagi Nabi Ibrahim, namun kemudian ia mulai merasa geram. Tiidakkah mengherankan bila semua orang bisa tertipu? Yang menambah masalah, ayahnya menginginkannya menjadi pemimpin kuil itu saat kelak ia dewasa. Ia tak mengharapkan apa-apa dari anaknya kecuali menghormati patung-patung itu, namun Nabi Ibrahim tak pernah berhenti menunjukkan ketidaksukaannya dan tak menghormati mereka.
Suatu malam, Nabi Ibrahim meninggalkan rumahnya, pergi ke sebuah gunung. Ia berjalan sendirian dalam kegelapan sampai ia memilih sebuah gua dimana ia bersandar di dindingnya. Ia menatap langit. Ia hampir tak melihatnya saat ia ingat bahwa yang dilihatnya adalah planet dan bintang yang, ada orang-orang di bumi, menyembahnya. Jiwa mudanya merasakan sakit yang luar biasa. Ia memikirkan Siapa yang melampaui bulan, bintang dan planet itu, Dialah Allah, dan ia tercengang melihat benda-benda langit yang disembah itu, yang seharusnya manusia dicipta untuk menyembah dan mematuhi Sang Pencipta, muncul dan menghilang sesuai perintah-Nya.

Allah berfirman dalam Surah Al-An'am [6]: 75-83, "Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar ia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, ia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam ia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika ia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam ia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian ketika ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, ia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Dan kaumnya membantahnya. Ia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran? Bagaimana aku takut kepada apa yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut dengan apa yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Manakah dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?” Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. Dan itulah keterangan Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan derajat siapa yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana, Maha Mengetahui.

Dalam perdebatan itu, Nabi Ibrahim berusaha menjelaskan kepada kaumnya bahwa benda-benda langit ini tak berperan sebagai tuhan, dan tak dapat disembah sebagai tandingan Allah Yang Maha Kuasa. Sesungguhnya, benda-benda ini diciptakan, diberi bentuk, dikendalikan, dikelola dan dicipta untuk mengabdi. Benda-benda itu terkadang muncul, dan kemudian tenggelam, tak terlihat oleh dunia ini. Namun, Allah Subhanahu Wa Ta'ala tak melupakan apapun, dan tak ada yang bisa disembunyikan dari-Nya. Dia tanpa akhir, abadi dan takkan pernah sirna. Tak ada tuhan lain selain Allah. Nabi Ibrahim menjelaskan kepada mereka, pertama bahwa benda-benda langit ini, tak pantas disembah, dan kedua, bahwa benda-benda itu sebagai tanda-tanda keberadaan Allah. Nasihat Nabi Ibrahim itu untuk membantu mengungkapkan kebenaran, namun kemudian konflik antara Nabi Ibrahim dan kaumnya dimulai, karena para pemuja bintang dan planet-planet ini, tak mau begitu saja dibungkam. Mereka mulai berdebat dan mengecam Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim nerusaha sekuat tenaga agar kaumnya peka terhadap keesaan Allah Yang Maha Kuasa, dan hanya menyembah-Nya. Ia meminta mereka untuk secara tegas menolak pemujaan berhala. Dalam Surah Al-Anbya [21]: 52-56, "(Ingatlah), ketika ia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” Ia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” Mereka berkata, “Apakah engkau datang kepada kami membawa kebenaran atau engkau main-main?” Ia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang yang dapat bersaksi atas itu.”
Segalanya telah selesai antara Nabi Ibrahim dan kaumnya, dan perjuangan pun dimulai. Yang paling heran dan marah adalah ayahnya (atau pamannya yang telah membesarkannya), karena seperti yang diketahui, ia tak hanya menyembah berhala, tapi juga memahat dan menjualnya. Nabi Ibrahim merasa bahwa adalah tugasnya sebagai anak yang baik untuk menasihati ayahnya melawan kejahatan ini sehingga ia dapat diselamatkan dari adzab Allah. Sebagai anak yang bijak, ia tak membuat ayahnya merasa bodoh, ia juga tak secara terbuka menertawakan tingkah lakunya. Ia mengatakan kepadanya bahwa ia mencintainya, dengan demikian berharap bisa memperoleh cinta dari seorang ayah. Lalu ia dengan lembut bertanya mengapa ia menyembah berhala yang tak bernyawa, yang tak dapat mendengar, melihat atau bahkan melindunginya. Sebelum ayahnya marah, ia menambahkan, dalam Surah Maryam [19]: 43-48, "Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan.” Ia (ayahnya) berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” Ia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.”

Perlakuan kasar ayahnya tak menghentikan Nabi Ibrahim menyampaikan pesan kebenaran. Marah dan sedih melihat kaumnya bersujud dihadapan berhala, ia bertekad untuk menghentikan kelakuan ini dan pergi ke kota untuk berbincang dengan kaumnya, walau ia tahu dengan pasti bahwa ia akan teraniaya. Ibarat dokter yang bijak mencari penyebab penyakit sehingga bisa meresepkan obat yang tepat, atau bagai hakim yang mempertanyakan terdakwa dengan tajam sehingga ia bisa mendeteksi kebenarannya. Nabi Ibrahim bertanya kepada mereka, "Melihatkah berhala-berhala itu saat kalian sujud di hadapannya? Membawa manfaatkah mereka untukmu dalam segala hal?"
Mereka dengan cepat berusaha mempertahankan keyakinan mereka. Mereka beralasan bahwa mereka tahu berhala itu tak bernyawa, namun nenek moyang mereka telah menyembahnya; Bagi mereka, ini cukup bukti untuk mempercayainya. Nabi Ibrahim menjelaskan bahwa nenek moyang mereka salah. Hal ini membuat mereka marah dan menjawab, "Engkau menyalahkan tuhan dan nenek moyang kami? Atau etau engkau hanya bercanda?" Nabi Ibrahim tak menunjukkan rasa takut saat ia menjawab, "Aku sungguh-sungguh, aku datang kepada kalian dengan agama yang benar, aku telah diutus dengan petunjuk dari Tuhan kita, Yang hanya Dia yang pantas disembah, Yang menciptakan langit dan bumi, dan Yang mengatur segala urusan, tak seperti berhala-berhala dungu yang hanya terbuatdari batu dan kayu. " Agar meyakinkan mereka bahwa berhala itu tak dapat menyakiti mereka, ia menantang: "Aku mengutuk mereka, dan jika mereka memiliki kekuatan, mereka pasti telah mencelakakanku!"

Untuk kedua kalinya, Nabi Ibrahim berunding dengan kaumnya. Allah berfirman, dalam Surah Asy-Syu'ara [69]: 69-82, "Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Apakah yang kamu sembah?” Mereka menjawab, “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.” Ia (Ibrahim) berkata, “Apakah mereka mendengarmu ketika kamu berdoa (kepadanya)? Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat atau mencelakakan kamu?” Mereka menjawab, “Tidak, tetapi kami dapati nenek moyang kami berbuat begitu.” Ia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu memperhatikan apa yang kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang terdahulu? Sesungguhnya mereka (apa yang kamu sembah) itu musuhku, lain halnya Tuhan seluruh alam, (yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan Yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari Kiamat.”
Ia menjelaskan kepada mereka, keindahan ciptaan Allah, kuasa dan hikmahnya. Penyembahan berhala dibenci oleh Allah karena Allah adalah Tuhan semesta alam yang menciptakan manusia, membimbingnya dan memberinya makanan dan minuman dan menyembuhkannya saat ia sakit, dan Yang akan mematikannya, lalu dibangkitkan lagi. Kepada Dialah Nabi Ibrahim menegakkan shalat dan Yang akan mengampuni dosa-dosanya pada hari kiamat. Namun, kaumnya tak mau mengalah dan tetap berpegang teguh pada penyembahan berhala. Nabi Ibrahim meninggalkan rumah ayahnya, dan meninggalkan bangsanya serta apa yang mereka sembah.

Ia memutuskan melakukan sesuatu terhadap kemusyrikan mereka, namun tak mengungkapkannya. Ia tahu bahwa akan ada perayaan besar di tepi sungai yang akan dihadiri oleh semua orang. Nabi Ibrahim menunggu sampai kota itu kosong, lalu keluar dengan hati-hati, mengarahkan langkahnya ke arah kuil. Jalan-jalan menuju ke sana kosong dan kuil itu sendiri telah ditinggalkan para pemimpin kuil. juga pergi ke festival di luar kota. Nabi Ibrahim pergi ke sana membawa sebuah kapak yang tajam. Ia memperhatikan patung batu dan kayu itu dan makanan yang ada di depannya sebagai persembahan. Ia mendekati salah satu patung dan bertanya, "Makanan di depanmu semakin dingin Mengapa kamu tak makan?" Patung itu tetap diam dan kaku. Nabi IBrahim bertanya kepada semua patung lain di sekelilingnya, "Mengapa kalian tak mau makan persembahan yang ada di hadapanmu?" Ia mengejek mereka, karena ia tahu mereka takkan makan. Ia sekali lagi bertanya, "Ada apa dengan kalian, mengapa kalaian tak menyahut?"
Ia kemudian mengangkat kapaknya dan mulai menghancurkan tuhan-tuhan buatan yang disembah oleh kaumnya. Ia menghancurkan semuanya kecuali satu yang di lehernya ia gantungkan kapak penghancur itu. Setelah itu, amarahnya mulai mereda dan ia merasa tenang. Ia meninggalkan kuil. Ia telah menunaikan sumpahnya untuk menunjukkan kepada kaumnya bukti praktis kebodohan mereka dalam menyembah sesuatu selain Allah.

Ketika kaumnya kembali, mereka terkejut melihat tuhan-tuhan mereka telah hancur berkeping-keping, tersebar di seluruh kuil. Mereka mulai menebak siapa yang telah melakukan itu terhadap berhala mereka dan nama Nabi Ibrahim masuk ke dalam benak mereka. Allah berfirman, dalam surat Al-Anbya [21]: 59-67, "Mereka berkata, “Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh, dia termasuk orang yang zhalim.” Mereka (yang lain) berkata, “Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini), namanya Ibrahim.” Mereka berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan diperlihatkan kepada orang banyak, agar mereka menyaksikan.” Mereka bertanya, “Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” Ia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.” Maka mereka kembali kepada kesadaran mereka dan berkata, “Sesungguhnya kamulah yang menzhalimi (diri sendiri).” Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata), “Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.” Ia (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?”
Dengan berang, mereka menuntut agar Nabi Ibrahim ditangkap dan diadili. Nabi Ibrahim tak menolak. Inilah sebenarnya yang ia inginkan, sehingga ia bisa menunjukkan di depan umum bahwa keyakinan mereka salah. Saat persidangan, mereka bertanya kepada Nabi Ibrahim, apakah ia bertanggung jawab atas perusakan berhala-berhala itu. Sambil tersenyum, ia menyuruh mereka menanyakan berhala paling besar yang masih utuh. Ia menyampaikan kepada mereka bahwa pastilah pelakunya adalah berhala besar itu! Mereka menjawab bahwa ia tahu betul bahwa berhala tersebut tak dapat berbicara atau bergerak, inilah memberi Nabi Ibrahim kesempatan untuk membuktikan kebodohan pemujaan benda tak bernyawa ini. Mereka kemudian menyadari ketidakberdayaan keyakinan mereka; Namun, kesombongan takkan mau membiarkan mereka mengakui kebodohan mereka. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menggunakan kekuatan kekuasaan mereka, seperti yang biasanya dilakukan para tiran, untuk menghukum Nabi IBrahim. Mereka merantainya dan merencanakan balas dendam.
(Bagian 2)