Ketika Kaum Muda Menentang (1)
Para Rajawali menghentakkan kaki seraya bersorak,
Bila ada seribu Mujahid
akulah satu, diantaranya
Bila ada seratus Mujahid
akulah satu, diantaranya
Bila ada sepuluh Mujahid
akulah satu, diantaranya
Bila ada seorang Mujahid
akulah, yang
menggenggamnya
Insya Allah, Insya Allah,
Allahu Akbar *)
Lalu Kenari berkata, "Wahai Almond, sampaikanlah kepada kami kisah dalam surah Al-Kahfi. Engkau telah menyampaikan tiga kisah, yakni kisah Nabi Musa dan Khidhir, alaihimussalam, kisah Dzulqarnain yang adil dan kisah dua lelaki. Lalu, bagaimana dengan kisah tentang para pemuda di dalam gua?" Almond berkata, "Aku tahu kisahnya, akan tetapi, akan lebih baik jika kalian mendengarnya dari kawanku!" Beo berkata, "Panggillah kawanmu itu, dan mintalah ia menyampaikan kisahnya kepada kami!" Almond berkata, "Baiklah! Wahai saudaraku, silahkan tampil ke depan!" Dan salah satu makhluk ciptaan Allah, tampil ke depan. Beo berteriak, "Hati-hati saudara-saudariku! Ia akan menerkam kita!" Makhluk itu berkata, "Jangan khawatir, saudara-saudariku, aku hanya akan marah kepada mereka yang berbuat ketidakadilan." Almond berkata, "Perkenalkan dirimu, saudaraku!"
Makhluk itu berkata, "Sesungguhnya, segala puji hanya untuk Allah. Kita memuji dan memuliakan-Nya, kita memohon pertolongan-Nya, kita memohon ampunannya dan kita kembali kepadanya. Kita memohon perlindungan kepadanya dari kejahatan di dalam diri kita dan dari kejahatan yang kita lakukan. Siapapun yang mendapat petunjuk-Nya, tiada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan siapapun yang disesatkan oleh-Nya; tiada yang dapat memberinya petunjuk.
Wahai saudara-saudariku, terima kasih telah memberiku kesempatan berdiri di sini, menyampaikan apa yang telah kudengar dari ayahku, yang ia dengar dari ayahnya, ayahnya mendengar dari ayah dari ayahnya, ayah dari ayahnya mendengarnya dari kakek buyutku.
Namaku Tumang. Aku seekor anjing. Ya, akulah makhluk yang sangat setia dan tak perlu bersusah-payah membuatku tetap setia. Ya, akulah yang paling setia diantara mereka yang setia! Walau sedikit saja kesetiaan itu ditawarkan kepadaku, sudah cukuplah bagiku. Aku bersyukur kepada Allah, Rabb-mu dan Rabb-ku, karena telah menciptakanku. Hanyalah masalah takdir mengapa Allah berkehendak menciptakan kami bangsa anjing, sedangkan Dia memilih makhluk yang lain menjadi manusia. Jika Dia berkehendak, Dia juga dapat mengubah anjing menjadi manusia, demikian pula sebaliknya, dan tak ada yang bisa, dalam hal ini, mempertanyakan hikmah dan kehendak-Nya. Banyak manusia berpikir bahwa anjing itu, makhluk yang nista; maksudku, mereka yang melaknat atau menghina, atau sesuatu yang seperti itu, dimana manusia yang telah Allah ciptakan dan muliakan, mengumpat saudaranya, "Dasar anj***!" dengan niat untuk meremehkan dan memperhinakannya. Selama engkau tak menodai Dien dari Rabb-ku, kami bangsa anjing, tak menganggapnya sebagai penistaan, karena jika makhluk itu, anjing, bukan berarti bahwa ia telah berbuat kufur. Lalu mengapa manusia memperlakukan kami dengan buruk dan menyebut nama kami untuk penistaan? Aku akan menyalak, keberatan, menyanggah atas apa yang terjadi. Gonggonganku akan berkata, "Ini tak adil!"
Tapi, bagaimanapun juga, aku merasa senang, karena kekasih kita, Rasulullah (ﷺ), telah memerintahkan agar aku diperlakukan dengan adil. Beliau (ﷺ) bersabda, "Hasil dari perdagangan anjing, upah untuk peramal dan pemberian untuk pelacur, tak diperkenankan." Dan beliau (ﷺ) juga bersabda, “Barangsiapa memanfaatkan anjing selain anjing untuk menjaga hewan ternak, anjing pintar untuk berburu, atau anjing yang disuruh menjaga tanaman, maka setiap hari pahalanya akan berkurang sebesar satu qirath” Aku pikir, inilah keadilan. Mengapa? Karena, betapa tegakah engkau memperdagangkan anjing, sementara diluar sana, masih banyak anak-anak anjing yang mati kelaparan? Dan tahukah engkau? Kami, para anjing, dicipta Allah dengan naluri berburu dan berjaga. Jadi, kawan sejati kami adalah para pemburu. Kami menjaga kebun dan ternak mereka. Kami juga diperbolehkan menangkap hasil buruan dengan mulut kami, asalkan sang pemburu telah menyebutkan nama Allah bagi anjing yang ia perintahkan mengambilnya. Sesungguhnya, merawatku dengan baik adalah perbuatan yang sangat terpuji. Dan akan lebih baik, jika engkau menempatkanku pada tugasku. Menjaga kebun dan ternakmu, itulah tugasku, di situlah tempatku. Bukankah bangsa manusia berkata, "Letakkanlah orang yang tepat, di tempat yang tepat"? Jika engkau melakukannya, engkau telah berbuat adil padaku."
Beo menghardik, "Lalu, mana ceritanya?" Melihat perilaku Beo, para unggas saling berbisik, "Lihat tingkahnya, tak punya tatakrama sama sekali." Unggas lain berbisik, "Ya, begitulah. Ia selalu merasa lebih pintar dari yang lain. Pernah dalam diskusi, ia memaki teman berdiskusinya, mengatakan 'Kamu tolol'. Ia tak peduli perasaan orang lain, ia lebih peduli bagaimana memenangkan debat. Padahal, bila ia yang berbicara, kita tak memahami sama sekali apa yang ia bicarakan." Burung lain berkisik, "Ia memamg cocok berpasangan dengan nona Itik, sang bebek dan Gerundang, sang berudu, yang punya perilaku yang sama dengannya." Yang lain menimpali, "Juga dengan Kepuyuk, sang lipas, yang dipatuk Raven karena nafasnya yang tak sedap. Tapi, awas, mereka orang-orangnya Nuri!"
Dengan santun dan lembut, Tumang berkata, "Maafkan bila aku tak menjadi diriku. Aku mengeluhkan ketidakadilan yang terjadi." Ia berhenti sebentar, berdiri tegak, mengibaskan ekornya, lalu berkata, " Wahai saudara-saudariku, dengarkanlah kisahnya. Kakek buyutku berkata, "Kisah Ashabul Kahfi, adalah sebuah kisah tentang cobaan Iman. Para Mufassir sepakat bahwa kisah ini, terjadi setelah diutusnya Nabi Isa, alaihissalam, mendekati zaman Nabi kita tercinta (ﷺ). Pada waktu itu, ada seorang raja bernama Decius, seorang penyembah berhala. Ibnu Katsir menyebut bahwa namanya adalah Diqyanus. Dalam Surah Al-Kahfi [18]: 9, Allah berfirman, "Apakah engkau mengira bahwa orang yang mendiami gua (Ashabul Kahfi), dan (yang mempunyai) "raqim" itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?" Kahfi berarti gua di gunung, namun mengenai makna kata "raqim", para Mufassir berbeda pendapat. Ada yang berpendapat, bahwa itulah nama sebuah kota yang dulunya, ibu kota bagi rakyat Banu Nabit bin Ismail yang eranya sejak tahun 700 SM sampai tahun 106 SM. Dikatakan, kota itu terletak di sebelah Utara Teluk Aqaba atau Eilat, dimana dua rentang pegunungan sejajar bertemu. Suku ini dulu tinggal di salah satu daerah pegunungan dan biasa disebut ar-Raqim. Ada juga yang mengatakan, lokasi gua itu terletakdi al-Gharnatah, al-Andalus. Dan yang lain mengatakan, di Efesus atau Tarsus, kota ini terletak di pantai Barat Asia Minor, fakta ini umumnya diterima oleh para sejarawan. Tak ada bukti untuk menyatakan salah satu dari ketiganya, benar dan yang lain, salah. Adapun kemungkinannya, ketiganya bisa diterima. Bahkan, tiada yang dapat menyangkal kemungkinan bahwa peristiwa yang berkaitan dengan ketiga gua ini, meskipun mungkin benar, mungkin juga tak relevan dengan kisah Al-Kahfi yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Bisa saja, terjadi di tempat lain. Dan juga, tak perlu bahwa ar-Raqim itu secara eksklusif menjadi nama kota atau bangunan. Namun kenyataannya, tak ada yang bisa menolak bahwa kemungkinan besar, ar-Raqim menunjukkan prasasti yang diukir dengan nama-nama Ashabul Kahfi pada sebuah tablet dan ditempatkan di pintu masuk ke gua oleh seorang raja tertentu. Wallahu a'lam.
Sang raja, seorang tiran. Ia suka memaksa kaumnya menyembah berhala. Di gerbang kota, ada berhala, tak ada yang boleh masuk kecuali ia telah bersujud di hadapan berhala itu. Di kota, sering diselenggarakan hari raya keagamaan, dimana setiap tahun mereka bertemu, menyembah berhala dan mempersembahkan hewan yang dikurbankan bagi berhala-berhala itu.
Para pemuda ini, putra-putra kaum bangsawan. Pada tahun itu, ketika semua orang berkumpul bersama di hari perayaan, para pemuda ini, sampai di sana, dan melihat kaum mereka membawa batu yang diukir dengan tangan mereka sendiri, menganggapnya sebagai tuhan, menyembahnya dan mempersembahkan kurban untuknya. Mereka bertemu pada suatu hari perayaan dan bersama-sama melihat ritual, kaum mereka sedang melakukan pemujaan terhadap berhala. Pada saat itu, Allah melepaskan tirai yang menutup qalbu para pemuda itu, dan merekapun tersadar bahwa kaum merekalah orang yang berbuat zhalim. Pada saat itu, Allah merahmati mereka dengan akal-sehat agar menghindari praktik yang meragukan, yang dilakukan oleh kaum mereka. Dengan demikian, ketika mereka menggunakan akal-sehat, sampailah mereka pada kesimpulan bahwa ibadah itu, tak dapat dipersembahkan kepada siapapun kecuali kepada Yang Maha Kuasa, Yang telah menciptakan langit dan bumi, serta segala apa yang ada di dalamnya. Pemikiran ini melintas dalam pikiran para pemuda itu secara bersamaan, dan mereka mulai bergerak menjauh dari sana untuk menghindari praktik syubhat kaum mereka, yang mengatasnamakan ibadah.
Imam Muslim, rahimahullah, merekam dalam Shahih-nya, "Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan, Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Sukma itu, laksana pasukan yang dihimpun bersama-sama dan mereka yang saling mengenal (di langit dari tempatnya berasal), akan akan saling tarik-menarik (di dunia ini); dan juga, di antara mereka yang saling bertentangan (di langit), akan cenderung ke arah yang berbeda (di dunia ini)." Seorang yang baik itu, rindu kepada orang yang seragam dengannya. Demikian pula, orang yang bersifat buruk, juga akan menyukai orang yang seperti dirinya. Maka, saling mengenal diantara sukma ini, terjadi sesuai dengan ragam yang ada pada diri mereka, baik itu sukma yang baik maupun sukma yang buruk. Maka jika sukma-sukma ini, dari ragam yang sama, akan menjadi saling akrablah mereka. Namun, jika mereka tak seragam, maka mereka akan saling berseteru. Kebaikan akan mencari kebaikan dan ditempuh dengan jalan kebaikan pula. Kebaikan tak dapat kita tempuh dari jalan keburukan, karena akan ada yang dikorbankan. Bila didalam segelas air, kita kumpulkan bubuk teh dan gula dengan kadar yang sesuai, maka akan diperoleh rasa yang nikmat. Tapi, bisakah kita bayangkan bila didalam segelas air itu, kita campurkan dengan minyak?
Keadaan inilah yang dialami oleh para pemuda itu, walau kedua-mata belum pernah saling menatap, lisan belum pernah saling bercakap, raga belum pernah saling berjamah, mereka telah menemukan sukma dari ragam yang sama, dan merasa tenteram saat saling bersua, kemudian menolak sukma-sukma yang bertentangan dengan sifat-sifat mereka, mereka merasakan gelisah, karena hakikat sukma itu, tunduk dan patuh kepada Rabb-nya.
Sesungguhnya, burung-burung itu akan bertengger bersama burung yang sejenis, sehingga masing-masing mereka akan mencintai yang seragam dengannya. Pemuda pertama, menjauhkan diri dari kerumunan, dan duduk di bawah sebatang pohon. Setelah itu, datang lagi yang kedua, dan ia juga duduk di situ. Demikian pula, datang yang ketiga, dan keempat, dan masing-masing mereka, langsung duduk di bawah pohon itu. Tetapi, tak satupun dari mereka yang saling kenal, juga tak tahu, mengapa mereka datang ke sana. Sebenarnya, mereka dituntun ke tempat itu, oleh Kekuasaan Yang mengobarkan cahaya iman di dalam qalbu mereka.
Dalam pandangan Ibnu Katsir, orang cenderung menganggap bahwa nasionalisme dan kesukuan itu, sebagai akibat dari keterkaitan dan persatuan dalam kehidupan sosial. Namun, kenyataannya, persatuan atau perpecahan itu, pertama-kali berkecambah di dalam sukma, lalu ia akan mempengaruhi raga ini. Sukma-sukma yang telah mengalami kebersesuaian dan kebersatuan di antara mereka dalam alam 'azali (keabadian), akan terus saling terhubung dan dibentuk menjadi sebuah bentuk persaudaraan. Adapun mereka yang tak memiliki pengalaman keselarasan dan kesatuan ini - pada kenyataannya, tetap terpisah di alam sana - mereka akan tetap terpisah di alam sini juga.
Singkatnya, para pemuda ini berkumpul di satu tempat, tetapi masing-masing menyembunyikan keyakinannya agar tak dilaporkan kepada sang raja dan ditangkap. Setelah duduk di sana bersama-sama dalam keheningan, salah seorang dari mereka berkata, "Wahai saudara-saudaraku, pasti ada alasan mengapa kita semua, memisahkan diri dari kaum kita dan berada di sini. Tampaknya lebih tepat bila kita hendaknya saling mencurahkan isi kepala masing-masing."
Karenanya, salah seorang menyatakan, "Kebenarannya adalah, bahwa iman dan ibadah yang dikerjakan oleh kaum kita, memberiku kepastian bahwa semua itu salah. Ibadah atau penyembahan seharusnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, Yang tak ada sekutu baginya dalam penciptaan alam semesta ini." Inilah pemecah kebekuan. Yang lain diminta agar berbicara, dan mereka semua menyatakan bahwa inilah pikiran, keyakinan, yang memisahkan mereka dari kaum mereka, dan menuntun mereka ke sana.
Sekarang mereka adalah kelompok yang secara ideologis bersatu menikmati persahabatan yang saling menguntungkan. Mereka mendirikan Rumah Ibadah yang terpisah untuk mereka sendiri dimana mereka akan berkumpul dan menyembah Allah, Yang Maha Esa, dan Yang tiada sekutu dalam keilahian-Nya. Namun, sebentar saja, mereka menjadi bahan pembicaraan masyarakat kota. Para pemfitnah melaporkan mereka kepada sang raja, yang memerintahkan agar mereka semua harus dibawa kehadapannya. Saat mereka telah berada didalam istana, sang raja mempertanyakan tentang keyakinan mereka. Allah menganugerahkan mereka keberanian untuk menyatakan keyakinan mereka pada Keesaan Allah.
Dan Allah meneguhkan qalbu mereka ketika mereka berdiri, lalu berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi; kami tak menyeru tuhan selain Dia. Sungguh, kalau kami berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang sangat jauh dari kebenaran. Mereka itu kaum kami yang telah menjadikan tuhan-tuhan untuk disembah selain Dia. Mengapa mereka tak mengemukakan alasan yang jelas tentang kepercayaan mereka? Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?" Bahkan, mereka mengajak sang raja agar beriman, seperti apa yang telah mereka lakukan. Allah meneguhkan qalbu para pemuda ini ketika sang raja, yang kejam dan penyembah berhala ini, memanggil mereka di istananya dan menginterogasi mereka. Ini masalah hidup dan mati. Walau mereka menyadari apa yang terburuk bakal terjadi, Allah Ta'ala menjadikan rasa-cinta, rasa-kagum dan kebesaran-Nya, merebak ke dalam qalbu mereka, yang memberi mereka kekuatan menghadapi kemungkinan kematian atau malapetaka. Hasilnya, mereka dengan jelas-jelas menyatakan keyakinan-dirinya, dan berani mengatakan bahwa mereka tak menyembah siapapun atau apapun selain Allah, dan takkan pernah melakukannya, sampai kapanpun itu. Orang yang dengan tegas memutuskan melakukan sesuatu karena Allah, inilah bagaimana mereka mendapat pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ketika para pemuda ini bertindak berani di hadapan sang raja dan menyerunya agar beriman, sang raja menolak seruan itu dan mengancam mereka dengan tindakan yang sangat drastis. Sang raja mencabut jubah pangeran yang mereka kenakan, diambil sebagai balasan agar mereka dapat berpikir lagi dan mengubah perilaku mereka. Sang raja memperingatkan bahwa mereka akan dibunuh jika tetap
berpegang teguh pada keimanan mereka yang sekarang. Murtad dari keyakinan kaum mereka, akan dihukum rajam sampai mati. Agar mereka benar-benar menyadarinya, sang raja memberi tangguh selama beberapa hari dengan alasan mereka masih muda, karenanya, sang raja tak seketika hendak membunuh mereka. Sang raja memberi waktu agar para pemuda ini berpikir kembali. Kemudian, jika mereka kembali seperti kaum mereka, akan diperkenankan hidup seperti biasa, bila tidak, akan dibunuh. Pastilah ini merupakan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada para hamba-Nya yang mukmin, bahwa penangguhan yang diberikan kepada mereka ini, membuka pintu keluar bagi mereka. Para pemuda itu saling berkata, "Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu." Merekapun melarikan-diri dan berlindung di sebuah gua. Mereka meninggalkan kota dimana tak mungkin menyembah Allah dan kemudian berlindung di gua. Inilah Sunnah, jalan para nabi. Mereka berhijrah dari tempat-tempat seperti itu, dan memilih tempat dimana Ibadah kepada Allah dapat ditegakkan.
Gua itu cukup besar dan ada persediaan udara mengalir dari satu sisi, dan keluar, di sisi lain. Selain itu, gua terletak dari arah Utara ke arah Selatan sehingga sinar matahari tak menembus ke pusat gua. Namun cahaya tetap masuk setiap hari. Jadi tidak gelap di dalam gua, juga sengatan sinar matahari, tak terasakan. Lalu, mereka berbaring di dalam gua, sementara anjing mereka berbaring dengan kaki terentang di mulut gua.
Kemudian merekapun mengalami tidur yang sangat panjang. Sesungguhnya, inilah salah satu dari tanda-tanda Allah. Ketika mereka tertidur terus-menerus dalam waktu yang lama, dan tetap hidup dalam keadaan seperti itu, tanpa makan dan minum, dengan sendirinya merupakan hal yang mengherankan, dan tentu saja, luar-biasa dan ajaib. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengatur perlindungan mereka di dalam gua, dengan cara, matahari melewatinya pagi dan sore, namun takkan menyinari tubuh mereka di dalam gua. Keuntungan bila sinar matahari melewatinya, merupakan sesuatu yang menstabilkan jejak kehidupan, kewajaran dan keseimbangan pengaruh angin, kedinginan dan panas, dll. Dan kemudian, matahari tak menyentuh tubuh mereka secara langsung, mungkin juga menjadi faktor untuk menjaga tubuh dan pakaian mereka, tetap terlindungi. Pengaturan ini, untuk menjaga mereka tetap terlindungi dari sinar matahari langsung, juga dapat dipahami jika gua terletak pada posisi struktural tertentu, dan pintu masuknya menghadap Selatan atau Utara, dengan maksud agar sinar matahari tak masuk ke sana secara alami.
Ini bukanlah teori, jelas ada untuk membuktikan bahwa pengaturan perlindungan dari matahari bukanlah hasil dari formasi atau lokasi gua tertentu. Sebaliknya, inilah tanda kekuatan sempurna Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan kata lain, Allah telah mengatur sedemikian rupa agar sinar matahari tak menyentuh tubuh mereka. Hal ini mungkin melalui formasi atau lokasinya yang khusus, atau melalui penghalang awan atau sesuatu yang serupa ketika matahari akan mulai bersinar, atau sinar matahari akan menjauh dari mereka dengan cara yang luar biasa. Tak perlulah berdebat untuk menetapkan semua ini sebagai suatu realitas yang absolut."
Murai tiba-tiba berkata, "Istirahat! Sudah waktunya istirahat. Diskusi akan dilanjutkan setelah makan siang dan shalat! Wahai Tumang, saudaraku, silahkan beristirahat!"
[Bagian 2]