Selasa, 14 Agustus 2018

Perjalanan Jiwa yang Mukmin (1)

Burung kenari bernalam,

Dengan kasihmu, ya Robbi
Berkahi hidup ini
Dengan cintamu, ya Robbi
Damaikan mati ini

Saat salahku melangkah
Gelap hati penuh dosa
Beriku jalan berarah
Temuimu di surga

Terima sembah sujudku
Terimalah doaku
Terima sembah sujudku
Izinkan ku bertaubat
Maulana ya maulana
Ya sami' duana *)
Angsa melanjutkan, "Segala puja dan puji hanya untuk Allah, Rabb semesta alam. Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membatasi kehendak bebas manusia dalam kewajiban yang Dia perintahkan, baik dalam ruang maupun waktu. Ada ibadah yang Allah tak membatasinya dengan ruang dan waktu, misalnya ucapan syahadat: Lâ ilâha illâllah wa anâ Muhammadan Rasûlullah, tiada illah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Disini, engkau bersumpah sekali seumur hidupmu, dan kemudian mengulang-ngulangnya pada malam, siang atau kapanpun, di rumah, dalam pekerjaanmu atau di jalan. Tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Dalam hal shalat, misalnya, adalah ibadah yang dibatasi oleh waktu dan tidak oleh ruang. Engkau dapat mengerjakan shalat di setiap Masjid, di pabrik, di rumah atau di ladang, engkau bebas memilih tempatnya, namun Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengikatnya dengan waktu. Setiap Shalat memiliki waktu yang telah ditentukan, sehingga bila dikerjakan tak sesuai waktunya, maka takkan berlaku lagi. Waktulah yang menentukannya. Sedangkan untuk puasa atau shaum, Allah telah mewajibkan pelaksanaannya setiap tahun selama bulan Ramadhan, tapi membolehkan pilihan ruang yang bebas. Engkau dapat berpuasa dimanapun engkau berada dan dimanapun tempat yang engkau pilih.
Adapun Zakat, Allah telah membatasi waktu dan jumlahnya, namun tak membatasi ruangnya. Misalnya, Zakat Idul Fitri, yang merupakan sejumlah tertentu gandum, tepung, buah-buahan, biji padi atau uang, harus dibayarkan kepada fakir-miskin di akhir bulan Ramadan, namun sebelum sholat Idul Fitri harus dibayarkan. Zakat dari hasil panen gandum dan buah-buahan, harus dibayar pada saat panen, saat hasil panen itu masih ada di ladang atau kebun dan belum dipindahkan ke tempat penyimpanan. Bagi Zakat atas uang, harus dibayarkan saat mencapai Nisâbnya, jumlah minimum harta yang dipertanggungjawabkan atas pembayaran Zakat, dari akhir tahun sampai akhir tahun berikutnya, yang berarti setelah masuk satu tahun penuh perolehan; jenis-jenis Zakat ini dibatasi oleh waktu namun tak dibatasi oleh ruang, karena engkau membayar zakat dimanapun engkau berada, tanpa syarat di daerah atau di negeri mana engkau berada.
Sedangkan untuk ibadah haji, berbeda dengan ibadah yang lain, karena dibatasi oleh ruang dan waktu. Engkau tak dapat menunaikan haji selagi di rumah atau di negerimu, tapi engkau harus pergi berziarah ke Baitullah di Mekah. Juga, pada hari Arafah, engkau tak boleh berdiri dimanapun, tapi engkau hendaknya pergi ke Arafah pada tanggal sembilan Dzulhijjah, bulan ke 12 Hijriah, dan berdiri di tempat yang ditentukan untuk berdiri, tak melewatinya. Selanjutnya, engkau tak diperkenankan melaksanakan ibadah haji di bulan mana saja engkau suka, namuni harus berada dalam bulan Dzulhijjah. Dengan demikian, kita belajar bahwa haji adalah satu-satunya kewajiban yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, pahalanya adalah ampunan dosa, karena merupakan salah satu tugas yang paling sulit, yang diperintahkan pada jiwa orang-orang mukmin."

"Dan demikianlah, hidup sang musafir muda terus berjalan, lalu sang Hujaj berkata kepadanya,"Wahai anak muda, perjalanan kita ke kota suci sudah dekat, bersiaplah." Sang musafir muda berkata, "Sampaikan padaku lebih banyak tentang perjalanan ini! " Sang hujjaj berkata, "Ketika Nabi Ibrahim, alaihissalam, selesai membangun Ka'bah seperti yang diperintahkan, ia diperintahkan lagi untuk menyerukan kewajiban berziarah sebagai pengikat pada semua orang, dan memanggil mereka untuk memenuhi kewajiban ini. Allah juga berjanji kepadanya bahwa orang-orang akan menjawab panggilannya, dan bahwa mereka akan datang dari seluruh penjuru dunia, berjalan kaki, atau menggunakan segala jenis tunggangan tercepat yang menjadi kurus akibat perjalanan yang panjang. Dalam Surah Al-Hajj [22]: 27, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh."
Janji Allah kepada Nabi Ibrahim langsung ditunaikan, bahkan sampai hari ini, dan pastilah akan berlanjut terus di masa depan. Setiap kalbu manusia bercita-cita mengunjungi Ka'bah, sangat rindu melihat dan berjalan mengelilinginya. Seseorang yang berkecukupan akan menggunakan beberapa bentuk alat transportasi, sementara orang yang berkekurangan tetap datang, meskipun ia mungkin harus menempuh jarak jauh dengan berjalan kaki. Puluhan ribu orang berduyun-duyun ke sana dari pelosok-pelosok negeri yang jauh, setiap tahun, sebagai jawaban seruan Nabi Ibrahim atas kewajiban ini, yang telah dilakukan ribuan tahun yang lalu.

Engkau dapat menemukan beberapa aspek dan tujuan berhaji, dalam Surah Al-Hajj [22]: 28-29, "Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan tawaf sekeliling rumah tua (Baitullah)."
Merefleksikan haji, kita akan menemukan Nabi kita tercinta (ﷺ), bersabda, "Sesungguhnya, dijadikannya thawaf di sekeliling Baitullah, sha'i di antara Shafa dan Marwah, dan melontar jumrah, hanyalah untuk mengingat Allah." Inilah tujuan akhir berhaji, mengingat Allah. Tujuannya agar kita tetap sadar dan insaf bahwa hanya ada satu Illah, juga ditemukan di semua pilar lain dalam Islam. Semuanya mengingatkan kita akan Allah. Maka, tujuan utama haji adalah tujuan yang sama dengan yang ditentukan oleh Allah untuk beribadah, berpuasa dan berzakat. Tujuannya sama, bahkanpun juga Syahadat, yakni mengingat Allah, dzikrullah.
Dan manfaat yang diterima jemaah haji berlipat-ganda. Kita takkan bisa menghitung manfaat dan pelajaran yang diperoleh dari haji. Haji adalah musim perdagangan dan ibadah, dan sebuah konferensi dimana manusia saling mengenal dan membangun kerjasama yang erat. Inilah tugas religius dimana tujuan yang berkaitan dengan kehidupan ini bertemu dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan yang akan datang. Kenangan dekat dan jauh dari iman sejati juga dikelompokkan bersama. Seorang pebisnis mengasumsikan musim haji sebagai puncak musim untuk perdagangan mereka. Segala jenis buah-buahan dibawa ke kota suci Mekah, dari segala penjuru. Jemaah haji datang dari setiap negeri dan wilayah dunia membawa serta barang terbaik mereka, yang memiliki musim yang berbeda. Maka, di Mekah, semua ini ditemukan di musim yang sama, menjadikan musim haji mencakup segala pameran dan pasar internasional tahunan. Pada saat yang bersamaan, merupakan musim ibadah, saat jiwa merasakan kemurniannya karena mereka merasa bahwa mereka dekat dengan Allah, di Rumah-Nya yang sakral."

Sang musafir muda bertanya, "Apa yang membedakan haji dengan ziarah agama lain?" Sang hujjaj berkata, "Haji, ada dalam Kitab Suci, ayat yang menyebutkannya langsung dari Al-Qur'an. Tak ada perintah untuk berziarah, dalam kitab-kitab lain, manusialah yang telah menetapkan tempat berziarah untuk tujuan keagamaan mereka. Misalnya, Yerusalem, telah dijadikan tempat berziarah. Orang pergi ke sana untuk alasan spiritual dan religi, namun engkau takkan menemukan di dalam kitab suci mereka bahwa ziarah ke Yerusalem diperintahkan dan ada pahala dari Allah bila mengerjakannya. Mereka sendiri yang menentukan tindakan dan hak untuk orang banyak, tapi bukan bagian dari kitab suci mereka. Dalam Islam, berhaji itu unik, dari perspektif ini, ada dalam Kitab Suci. Haji ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an dengan tatanan umum dan petunjuk umum untuk melakukannya..Di dalam Sunnah, kita menemukan klarifikasi, atau penjelasan Rasulullah (ﷺ) mengenai tatakrama pelaksanaan haji dan juga diberikan rinciannya. Oleh karena itu, haji didirikan dalam agama ini sejak awal dan umat Islam dapat mengatakan, "Ya,  Allah telah memerintahkannya." Agama-agama lain tak dapat mengatakan bahwa Allah memerintahkannya, melainkan manusialah yang memerintahkannya; yang merekomendasikannya; yang menemukan alasan untuk melakukannya. Ini karena keinginan untuk berhaji adalah sesuatu yang telah Allah letakkan di dalam diri manusia, dan itulah sebabnya mengapa Allah menunjukkan tempat untuk berziarah bagi umat manusia secara keseluruhan.
Dari perspektif spiritual, Allah menyediakan haji untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang dimiliki manusia. Allah telah menetapkan haji bagi kita, padahal hanya sebagian kecil dari ummat ini yang bisa melakukannya. Allah menentukan siapa yang mampu memenuhi kewajiban ini. Inilah Qadar-Nya, yang berarti Dialah Yang menentukan siapa yang memiliki dan siapa yang tak memiliki sarananya. Karena haji dan tujuannya adalah tujuan Islam; Tak ada haji yang di atas dan di luar apa yang bisa diakses melalui pilar lain dalam Islam. Haji meringkas tujuan Islam; merangkum seluruhnya bersama-sama. Namun, tak melampaui parameter Islam yang merupakan lima rukun itu.
Mereka yang tak bisa sampai ke Mekkah, masih dimungkinkan mendapatkan pahala haji dan umrah. Inilah alasan mengapa istri Rasulullah (ﷺ), biasa pergi ke masjid untuk Shalat Subuh. Para wanita Madinah biasa keluar sholat di masjid untuk mengerjakan Shalat Subuh dan Shalat Isya, tapi terutama Shalat Subuh. Shalat di dalam masjid adalah apa yang dimaksud oleh Rasulullah (ﷺ), ketika ia (ﷺ) bersabda, "Barangsiapa Shalat Subuh berjamaah dan tetap mengingat Allah hingga matahari terbit, dan mengerjakan dua rakaat Shalat Israq, menghasilkan pahala haji dan umrah yang diterima." 

Jiwa-jiwa manusia mengitari Baitullah, mengingat kenangan yang terkait dengannya, dan melihat citra-citra yang jauh dan dekat. Allah menunjukkan tempatnya kepada Nabi Ibrahim, dan memberinya perintah yang jelas sehingga ia menegakkannya di tempat yang tepat, Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj [22]: 26, "Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang yang beribadah dan orang yang rukuk dan sujud." Rumah itu hanya milik Allah, tanpa ada sekutu apapun. Bagi orang-orang yang menyembah Allah sajalah Rumah ini dibangun. Tak ada kaitannya dengan orang yang mempersekutukan Allah atau menyembah selain Dia. Nabi Ibrahim juga diharuskan mensucikan Rumah Allah itu bagi orang-orang yang datang ke sana untuk berhaji, dan bagi orang-orang yang menegakkan Shalat di sana.
Inilah juga kenangan terhadap Nabi Ibrahim saat ia meninggalkan anaknya yang masih kecil, Nabi Ismail, alaihissalam, yang lahir untuknya diusianya yang senja, namun ia meninggalkannya sendirian bersama ibunya. Saat ia berpaling pergi, ia memanjatkan sebuah doa kepada Allah, yang jelas muncul dari hati yang gundah.
Kita juga teringat pada Hajar saat ia berusaha menemukan air untuk dirinya sendiri dan anak bayinya di tempat yang sangat panas, saat Baitullah belum dibangun. Kita seakan melihatnya berlari, bolak-balik di antara dua bukit, Shafa dan Marwah, merasakan dahaga yang menyengat, dan melihat ketakutannya akan anaknya, sebagaimana beban berat yang diembannya. Ia kembali setelah menempuh jarak tujuh kali, merasakan sesuatu yang mendekati keputusasaan, hanya untuk menemukan air bermunculan di antara kedua tangan anaknya yang diberkahi. Air itulah Zamzam, mata air rahmat di tengah padang pasir yang tandus.
Kita juga ingat akan daya-lihat Nabi Ibrahim, bagaimana ia tak ragu mengorbankan anak pertamanya. Ia, alaihissalam, menjadi orang beriman ke tingkat standar yang tertinggi. Kita juga melihat citra Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, bertahun-tahun kemudian, saat mereka menegakkan pondasi Baitullah, berdoa kepada Allah dalam ketertundukan dan kerendahan hati, dalam Surah Al Baqarah [2]: 127-128, "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Wahai Rabb kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Wahai Rabb kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang."

Kenangan seperti itu, saling mengikuti, hingga kita melihat Abdul Muttalib, kakek Rasulullah (ﷺ), berjanji bahwa, sekiranya Allah memberinya sepuluh anak lelaki, ia akan mengorbankan salah seorang dari mereka. Saat diundi, pilihan jatuh pada `Abdullāh, putra bungsunya. Kita melihat Abdul Muţţalib ingin memenuhi janjinya, dan kita melihat kaumnya keberatan, lalu menyarankan tebusan atas pengorbanan itu. Ia mengumpulkan banyak lagi dan lagi, menambah uang tebusan setiap saat, namun undian terus melawan `Abdullāh, sampai tebusan mencapai 100 ekor unta, meski hanya 10 ekor yang biasanya dibutuhkan. Pada titik nadir ini, persembahannya diterima dan 100 unta dikorbankan untuk menyelamatkan `Abdullāh. Tapi keselamatannya tak lama. Ia hidup cukup untuk memberi isterinya, Āminah, yang baru saja dinikahinya, kehamilan, yang membawa lahirnya orang yang paling mulia dalam sejarah manusia, yang paling dicintai Allah. Abdullāh meninggal sesudahnya. Seolah-olah Allah telah menyelamatkannya dari pengorbanan hanya untuk menyelesaikan tugas terhormat menjadi ayah Muhammad (ﷺ).
Citra dan ingatan lebih lanjut datang secara kental dan cepat. Kita melihat Muhammad (ﷺ), Rasulullah, di masa kecilnya yang sedang berjalan di dekat Baitullah, dan kita melihat ia menjadi seorang lelaki yang beranjak dewasa, mengangkat Hajar Aswad dengan tangannya yang diberkahi untuk menempatkannya pada posisinya, mencegah perselisihan di antara berbagai suku dan kelompok. Kita melihatnya shalat di Masjidil Haram, melakukan ţawāf, berjalan mengitari Ka'bah, menyampaikan kotbah dalam pengabdiannya. Langkah-langkah yang ia (ﷺ) bawa ke sana, terlukis dengan jelas di depan mata kita. Jauh di alam pikiran mereka, para jemaah hampir melihat langkah-langkah ini seolah-olah sekarang sedang dilakukan olehnya. Kita juga melihat para Sahabat, saat berjalan mengelilingi Baitullah, Ka'bah, dan kita hampir mendengar saat mereka berbicara.

Haji adalah sarana-didik yang diberkahi, yang memurnikan jiwa, menyucikan kalbu, dan mempertebal Iman seseorang. Sepanjang tata-ibadahnya dilakukan dengan sungguh-sungguh, orang-orang Muslim mendapatkan pelajaran yang mendalam dan bergerak dalam Aqidah, kepercayaan dan keyakinan; ibadah, tindakan penyembahan kepada Allah; dan akhlak, watak dan perilaku diri. Ini benar-benar sebuah institusi pembelajaran spiritual yang agung, yang memelihara dan menghasilkan individu yang dicirikan oleh Iman dan Taqwa; dan mata air yang diberkahi, yang diminum oleh hamba-hamba Allah yang sukses.
Haji merangkum seluruh aspek ibadah lainnya. Haji menggabungkan tiga unsur dasar pilar Islam yang bersifat lisan, ekspresi fisik dan finansial. Ibadah utama yang bersifat verbal atau intelektual. Syahadat itu untuk dipahami, dan sebagai ungkapan lisan, namun bukan tindakan fisik. Shalat, dan puasa di bulan Ramadhan adalah tindakan fisik. Juga ada tindakan ibadah yang menyangkut keuangan: zakat dan sadekah. Zakat adalah wajib, dan sedekah adalah amalan-amalan yang dianjurkan. Haji mencakup semua aspek ibadah ini. Aspek intelektual dan verbal diungkapkan dalam talbiyah. Mengucapkannya adalah ungkapan niat dan pembaharuan syahadat. Memasuki Islam hanya membutuhkan sekali mengucapkan Syahadat. Kemudian syahadatain ini diulang-ulang dalam setiap shalat, dalam haji, deklarasi ini diulang dari saat tercapainya miqat dan memasuki ihram. Terus diulang sampai Ka'bah terlihat, dan jika perjalanannya untuk berhaji, diucapkan sampai melontar Jumrah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Hal ini jauh melebihi ekspresi ibadah lisan dan intelektual normal melalui Syahadat.

Aspek fisik haji adalah melaksanakan thawaf di sekitar Ka'bah dan sa'i antara Shafa dan Marwah. Ini seperti shalat dan puasa yang disediakan dalam lima pilar yang dilakukan dimanapun seorang muslim berada. Jarak antara Shafa dan Marwah sekitar 300 meter dan jarak itu ditempuh tujuh kali. Jarak thawaf bervariasi tergantung dari seberapa dekat dengan Ka'bah. Rasulullah (ﷺ), menyebut bahwa thawaf itu "Shalat", tapi tanpa ruku 'dan sujud. Inilah shalat sambil berjalan selain shalat lainnya yang dilakukan sepanjang haji.
Perjalanan haji memiliki aspek finansial yang jelas. Perjalanan berhaji cukup mahal. Hanya sejumlah kecil orang yang mampu membelinya. Di masa lalu, lebih murah, tetapi perjalanan sebenarnya lebih sulit, memakan waktu lebih lama dan lebih sedikit orang yang mampu menunaikannya dengan banyak faktor, salah satunya adalah tingkat kesukarannya.. Pergi berhaji dianggap sebagai perjalanan satu arah. Orang-orang mengucapkan selamat tinggal pada keluarga mereka, menulis surat wasiat, dll. Bagi banyak orang, inilah perjalanan satu arah.
Salah satu gagasan yang salah adalah bahwa ada yang beranggapan boleh mengemis agar dapat berhaji. Namun, ini tak dapat diterima. Mengemis itu haram dalam Islam. Pada dasarnya, jika seseorang tak memiliki dana untuk berhaji, maka tak wajib baginya untuk menunaikannya. Inilah persyaratan haji. Seorang ahli ibadah akan menunggu sampai Allah menyediakan dana untuknya agar pergi melaksanakan ibadah haji.
Haji menggabungkan semua elemen ibadah dalam Islam dan menggandakannya. Pahala Shalat di Makkah bernilai seratus ribu pahala shalat di tempat lain. Tapi ada dua penghargaan lain yang lebih besar. Yang pertama, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Orang yang pergi berziarah ke rumah Allah tanpa melakukan tindakan tak senonoh atau ketidaktaatan kepada Allah akan kembali ke rumahnya sebagai orang yang suci dari dosa seperti pada hari ibunya melahirkannya." Muslim kembali dari haji akan bersih dari dosa sperti hari ia dilahirkan. Inilah hadiah terbesar yang difoukuskan jemaahnya..
Ketika seseorang masuk Islam, seluruh dosa sebelumnya dihapuskan. Bagaikan memulai dari hari ia dilahirkan. Juga, hijrah menghapus apa yang terjadi sebelumnya. Berhijrah karena Allah, meninggalkan tempat dimana Islam tak dapat dikerjakan; meninggalkan tanah air atau tempat tinggal untuk pergi ke tempat lain semata-mata untuk mengerjakan Islam dengan lebih baik. Itulah hijrah yang diucapkan Rasulullah (ﷺ). Bila selesai, hijrah menghapus dosa-dosa yang terjadi sebelumnya, karena hijrah itu tak mudah dilakukan dan membutuhkan komitmen iman yang kuat.
Rasulullah (ﷺ) berkata, "Dan haji menghapus apa yang terjadi sebelumnya." Kesempatan untuk mendapatkan pahala penyucian dari dosa itu, dimulai dari keadaan yang bersih bagaikan anak kecil yang terbebas dari dosa, itulah peruntukan bagi sesiapa yang melaksanakan haji. Ada pahala bagi mereka yang menerima Islam, dan ada pahala bagi mereka yang berhijrah. Pahala menghapus semua dosa sebelumnya ini dapat diakses. Allah Maha Penyayang. Dia tak membatasinya hanya kepada orang-orang yang bisa berhaji, karena sebagian besar umat Islam takkan bisa melaksanakan ibadah haji.
Manfaat utama kedua haji adalah apa yang Rasulullah (ﷺ) identifikasikan saat ia berkata, "Pahala bagi Haji yang diterima karena rahmat Allah (atau Haji Mabrur), tak lain adalah Firdaus." Inilah tujuan akhir dari orang beriman. Jalan masuk ke surga dapat diakses oleh masing-masing dan setiap Muslim.
(Bagian 2)
English 
*) Penghargaan untuk Sabyan