Rabu, 03 April 2019

Bintang-bintang, sang Mentari dan Rembulan (2)

Sang musafir muda bertanya, "Kapankah surah Yusuf diwahyukan?" Sang negarawan menjawab, "Kita tak mengetahui tanggal pasti surah ini diturunkan, namun kita tahu bahwa surah ini diturunkan sekitar 2 atau 3 tahun sebelum Hijrah. Waktunya turunnya wahyu sangat penting. Surah Yusuf diturunkan setelah apay yang disebut Tahun Kesedihan. Pada tahun itu, tiga hal terjadi, satu demi satu, yang sangat menyakitkan bagi Rasulullah (ﷺ). Yang pertama dari ketiga hal yang sangat menyedihkan ini, yang paling pribadi dan mendalam, adalah wafatnya Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid (رضي الله عنها). Khadijah (رضي الله عنها) adalah pendukung dan sumber kekuatan moral beliau. Dalam lima atau enam minggu, kematian kedua menyusul, dan itulah kematian paman beliau, Abu Talib. Abu Talib adalah pendukungnya dalam masyarakat. Abu Thalib mengorbankan reputasi dan prestisenya, untuk melindungi Rasulullah (ﷺ). Khadijah adalah dukungan internal di rumah. Abu Thalib adalah dukungan eksternal dalam masyarakat. Keduanya wafat, dan itulah saat-saat yang sangat sulit bagi Rasulullah (ﷺ). Lebih buruk lagi, beliau mengalami hari yang paling menyedihkan atau paling sulit sepanjang hidupnya setelah kematian Khadijah dan Abu Thalib. Seakan tak ada lagi titik yang paling rendah, itulah peristiwa Ta'if.
Ketiga insiden ini terjadi silih berganti dalam waktu enam minggu - dalam dua bulan, tak ada lagi yang lebih buruk dari tiu. Pada titik nadir inilah, Allah Subhanahu wa Ta'ala mewahyukan Surah Yusuf. Ketika kita memahami kerangka wahyu ini, maka makna Surah Yusuf akan meningkat berlipat-lipat. Mengapa? Surah Yusuf dimaksudkan untuk meningkatkan semangat Nabi kita (ﷺ) dan menghiburnya, serta menguatkannya pada saat cobaan dan kesulitan. Surah Yusuf adalah cahaya yang akan menuntun beliau keluar dari saat-saat tertekan dan saat-saat duka dan nestapa. Inilah harapan bagi kita, ketika kita merasakan kesedihan dan tertekan dalam masalah yang terjadi didalam masyarakat. Inilah surah yang dapat kita gunakan untuk membangkitkan semangat dan untuk menemukan kelegaan dan kenyamanan, itulah sebabnya Allah mwahyukannya kepada Nabi kita tercinta (ﷺ)."

Sang musafir muda bertanya, "Bisakah engkau menjelaskan padaku apa yang Allah maksudkan dengan kisah yang terbaik seperti dalam ayat 12: 3?" Sang negarawan menjawab, "Kisah, bahasa Arabnya, qisah. Kata qisah berasal dari qasah, yang berarti mengikuti jejak di atas pasir. Ketika orang-orang gurun-Badui-menemukan jejak kaki seseorang, mereka akan mengikutinya untuk menyusul orang itu. Mengapa sebuah kisah berasal dari mengikuti jejak kaki? Engkau berjalan mengikuti jejaknya dan mengikutinya. Ketika aku menyampaikan sebuah qisah, apa yang terjadi padamu? Engkau menjalaninya. Mengapa semua orang menyukai sebuah kisah? Kisah itu mempesona, seseorang takkan pernah merasa tua mendengarkan sebuah kisah. Tak peduli berapapun usiamu, engkau akan suka mendengarkan sebuah kisah. Apa yang kita lakukan ketika kita menidurkan anak-anak? Kita menuturkan sebuah kisah kepada mereka, dan inilah yang disukai anak-anak. Kita semua adalah anak-anak dalam hal ini, dan kita suka kisah. Allah berfirman, "Kami akan menceritakan kisah terbaik." Disebut qisah karena kita sedang menjalaninya. Ketika kita mendengar kisah itu, seolah-olah kita mengikuti jejaknya, Allah berfirman, "Kami akan memberimu kisah terbaik."
Manfaat lain dari sebuah kisah adalah bahwa kisah adalah ‘aqidah dalam tindakan. Engkau mengatakan bahwa engkau bertawakkal kepada Allah, namun saat kita mendengar kisah Nabi Ibrahim sewaktu ia akan dilemparkan ke dalam api dan ia bertawakkal kepada Allah, itulah ilmu agama yang ditunjukkan dalam tindakan. ‘Aqidah terwujudkan. Manfaat lain dari kisah adalah kenyataan dari apa yang telah terjadi di masa lalu. Itulah hal yang nyata dan bukan teori lagi. Kita tahu ini terjadi pada para nabi sebelumnya, dan karenanya kita lebih merasakannya. Manfaat lain adalah kisah mengajari kita bahwa Sunnatullah itu berulang dan apa yang terjadi di masa lalu akan terjadi lagi. Apa tujuan dongeng atau cerita yang kita tuturkan kepada anak-anak kita? Selalu ada pesan moral dalam cerita. Selalu ada pelajaran yang bisa dipetik. Pelajaran dari Allah dan aturan-aturan Allah ini, bersifat permanen. Ketika kita mendengar kisah-kisah ini, aturannya diperkuat. Salah satu aturan mendasar dari kisah Yusuf adalah bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang, dan kejahatan takkan pernah berhasil dalam jangka panjang. Inilah salah satu tema utama surah Yusuf. Ketika kita membaca kisahnya, kita melihat ini terwujud dan dalam kehidupan nyata; oleh karena itu, pesan ini kemudian ditanamkan dalam diri kita bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang, dan itulah sebabnya Allah berfirman dalam Al Qur'an, “Kami akan mewahyukan kepadamu kisah-kisah untuk memperkuat tekadmu.” Bukanlah kekanak-kanakan untuk menemukan motivasi dalam sebuah kisah, melainkan itulah bagian dari iman kita. Membaca kisah-kisah para nabi dan membaca Sirah Rasulullah (ﷺ) adalah salah satu cara terbaik untuk mengokohkan iman. Membaca kisah-kisah sahabat membawa rasa taqwa dan iman serta keberanian dalam diri kita. Kisah adalah bagian dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta bagian dari sifat manusia.


Seluruh isi surah Yusuf ini adalah sebuah kisah. Setiap kisah didalam Al-Qur'an, yang terbaik dari jenisnya. Semuanya benar dan bukanlah legenda atau dongeng. Kisah nyata selalu lebih baik daripada cerita khayalan. Didalam kisah terdapat pesan moral terbaik. Tak ada kisah lain yang akan memberimu tipe-tipe moral seperti itu. Tak ada kisah yang bisa lebih fasih dibanding yang ada didalam Al-Qur'an. Setiap kisah yang ditulis manusia, akan ada rincian dan informasi yang tak diperlukan, dan itu akan mengalihkan perhatian dari alur cerita dan pesan moralnya. Allah ‘Azza wa Jalla, akan menyampaikan dengan tepat apa yang perlu engkau ketahui, tak lebih dan tak kurang. Kisah Nabi Yusuf dalam Al-Qur'an, bahkan seorang anak berusia sepuluh tahunpun dapat membaca liputan demi liputan, dan akan memahami segalanya.
Setiap kisah dalam Al-Qur'an adalah yang terbaik. Allah telah menyebutkan ayat ini dalam Surah Yusuf, yang merupakan petunjuk bahwa Surat Yusuf adalah kisah yang terbaik dari segala kisah. Ada dua makna yang kita peroleh, pertama, kisah-kisah Al-Qur'an lebih baik daripada semua cerita bukan-Al-Qur'an lainnya, dan Al-Qur'an menekankan kembali hal ini; cukup jelas; kedua, kisah Yusuf adalah kisah yang terbaik dari segala kisah.

"Bagaimana hubungan Yusuf dengan saudara-saudaranya?" Sang musafir muda ingin tahu lebih lanjut. "Nabi Yusuf adalah putra nabi Ya'qub, yang merupakan putra Nabi Ishaaq, yang adalah putra Nabi Ibrahim" sang negarawan menjelaskan. "Pernah, seorang sahabat datang kepada Rasulullah ( ﷺ) dan bertanya, "Siapa yang paling mulia dari seluruh manusia?" Rasulullah (ﷺ) menjawab, "Yang paling mulia adalah orang yang paling shalih." Orang itu berkomentar, "Yang kumaksud bukan dalam makna itu." Rasulullah (ﷺ) menanggapi , "Yang engkau muaksud tentang kesukuan? Tentang kebangsawanankah yang engkau maksudkan, artinya garis keturunan? Dalam hal-hal seperti itu, orang yang paling mulia adalah Yusuf bin Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim (nabi, putra seorang nabi, putra seorang nabi, putra seorang nabi)."
Jadi, orang Badui telah datang dan ingin tahu qabilah mana yang terbaik. Suku Quryasy-kah? Thaqif-kah? Kinanah-kah? Suku manakah yang merupakan suku yang paling mulia? Seperti yang engkau tahu, Islam didatangkan untuk memberantas rasisme jenis ini. Pada dasarnya, ini diterjemahkan ke dalam: ras mana yang terbaik? Putih-kah, kulit hitam-kah, cokelat-kah? Inilah mentalitasnya. Orang ini datang dan bertanya, "Suku mana yang terbaik?"
Awalnya, Rasulullah (ﷺ) tak mengerti dan mengatakan bahwa yang terbaik adalah Muslim terbaik dan yang paling shalih. Orang itu berkata, "Yang kumaksud bukan eperti itu." Segera, Rasulullah (ﷺ) paham dan menjelaskan, "Maksudmu dalam artian seperti adat-kebiasaan kalian? Jika engkau benar-benar ingin melihat garis keturunan, maka menurutmu siapakah yang dapat engkau bandingkan selain garis silsilah Nabi Yusuf (عليه السلام)? "
Silsilah itu sendiri, tak memiliki peran dalam akhirat. Ayahmu boleh jadi ulama besar atau orang alim atau bahkan seorang nabi. Putra Nabi Nuh, memiliki seorang ayah yang, seorang nabi. Ketika Nabi Nuh (عليه السلام) menyeru putranya agar datang padanya dan naik ke atas bahtera, ia berkata "tidak" dan bahwa ia akan menyelamatkan dirinya sendiri, dan Allah berfirman bahwa ia termasuk orang-orang yang sesat. Suami atau istrimu boleh jadi manusia terjahat. Bukankah wanita terbaik di dunia, Asiyah, menikah dengan manusia terjahat (Firaun)? Silsilah tak berperan dalam akhirat.

Sang negarawan terdiam, lalu melanjutkan, "Kisah Nabi Ibrahim sangat kita kenal. Nabi Ibrahim (عليه السلام) dianggap sebagai salah satu nabi teragung di antara semua nabi, dan ia tak punya anak sampai usia lanjut. Mungkin saat ia berusia 90 atau 100 tahun sebelum ia memperoleh anak. Ia berdoa kepada Allah. Allah merahmatinya dengan Isma'il dari hanba sahayanya Hajar. Ketika Isma'il menginjak usia remaja, maka Allah merahmatinya dengan Ishaq dari istrinya, Sarah. Akhirnya ia memiliki dua putra: Isma'il dan Ishaq (عليهم السلام).
Dari keturunan Nabi Ismail, tak ada nabi selain Nabi kita (ﷺ). Adapun Ishaq, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah, "Jadikan aku imam bagi seluruh umat manusia." Ia ingin menjadi pemimpin bagi seluruh umat manusia. Doanya terkabul, dan semua nabi masa depan berasl darinya. Tak ada nabi yang turun setelah Nabi Ibrahim kecuali bahwa ia berasal dari garis keturunannya. Karena kita baru saja mengatakan Nabi Ismail hanya memiliki satu nabi dalam garis keturunannya, jadi ini berarti bahwa seluruh nabi setelah Nabi Ibrahim, selain Nabi kita tercinta (ﷺ), berasal dari garis keturunan Nabi Ishaq. Nabi Ishaq dan Ya‘qub dan semua nabi setelahnya, ada ratusan nabi atau setidaknya lusinan. Dari Nabi Ya'qub hingga putranya, Nabi Yusuf, hingga anak-anak Yusuf, sepanjang jalan ada barisan para nabi. Inilah sesuatu yang banyak umat Islam tak sadari, tetapi orang-orang Nasrani dan Yahudi tahu ini, karena itulah bagian dari budaya mereka dan buku-buku mereka menyebutkannya.
Dari zaman Nabi Ya'qub sampai ke zaman Nabi ‘Isa, putra Maryam, ada serangkaian nabi yang terus-menerus yang tak terputus, silih berganti. Setiap kali seorang nabi meninggal, seorang nabi lain diutus menggantikannya. Inilah berkah besar dari Allah. Pada saat itu, Allah mengutamakan mereka karena mereka selalu memperoleh nabi yang berkelanjutan di antara mereka. Secara keseluruhan, kita percaya bahwa dengan rahmat Allah, semua itu berakhir dengan kedatangan Nabi 'Isa (عليه السلام). Ketika mereka menolak ‘Isa, maka nikmat Allah dicabut dari mereka dan berpindah ke umat Nabi Muhammad (ﷺ).

Nabi Ya‘qub adalah cucu Nabi Ibrahim, dan putra Nabi Ya‘qub, adalah Nabi Yusuf. Dikatakan bahwa Nabi Ya‘qub memiliki dua istri, dan ada juga yang mengatakan bahwa ia juga memiliki dua hamba wanita. Para ulama mengatakan bahwa kita hendaknya membatasi informasi kita pada Al-Qur'an dan Sunnah sebanyak mungkin. Bila melihat ke sumber-sumber lain, khususnya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tidaklah haram, tetapi bermasalah karena engkau tak yakin, itu benar atau salah. Boleh benar atau bisa saja salah. Sumber ini bukanlah bagian dari agama kita. Dalam Sahih Bukhari, Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Engkau boleh meriwayatkan dari Bani Israil - dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. [engkau boleh menceritakan kisah mereka, dan tak ada dosa dalam melakukannya.] Ketika engkau menceritakan dari Bani Israil, janganlah percaya namun jangan pula menyangkalnya.” (bersikap netral). Karena mungkin benar; mungkin juga tidak benar.
Nabi Ya‘qub (عليه السلام) memiliki dua istri dan dua pelayan wanita. Dari keempat orang ini, ia memiliki dua belas anak. Yusuf dan Bunyamin berasal dari satu istri, Rahil. Wanita inilah ibu Yusuf dan Bunyamin - hanya dua putra. Putra-putra lainnya berasal dari wanita lain. Ibu Yusuf meninggal saat melahirkan adik laki-laki Yusuf, Bunyamin. Bunyamin lahir pada saat kematian ibunya. Itu simultan; dengan kata lain, ia meninggal saat melahirkan dalam persalinan. Dikatakan bahwa Ya‘qub menikahi saudara perempuan Rahil. Ia menikahi bibi Yusuf, dan ia menjadi wanita yang merawat Yusuf dan Bunyamin. Ia tak punya anak dari wanita ini.
Nabi Yusuf (عليه السلام) pada saat itu tinggal di Palestina. Tanah suci inilah yang Allah pilih untuk Ishaq dan keturunannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala memulai dua tanah suci dengan Ibrahim. Yang pertama adalah Ka'bah, sebelum Yerusalem. Kita mengetahui hal ini karena Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Ada 40 tahun antara berdirinya Ka'bah dan berdirinya Yerusalem.” Nabi Ibrahim membangun Ka'bah terlebih dahulu. Kemungkinan besar, Ya‘qub yang benar-benar membangun Yerusalem atau mungkin Ishaq, tetapi kita tahu bahwa bukan Nabi Ibrahim yang membangunnya. Nabi Ibrahim tak menjadikan Palestina suci, tetapi anak-anak Nabi Ibrahim yang melakukannya. Ia suci, dan kita percaya bahwa itu masih suci. Allah menyebutnya dalam Alquran sebagai ‘ard al-muqaddas‘, tanah suci. Nabi Ibrahim dan keturunannya memulai dua tanah suci: Ismail di Makkah dan Ishaq di Palestina.

Sang Musafir muda bertanya, "Berapa umur Nabi Yusuf saat mengalami mimpinya itu?" Sang negarawan menjawab, "Sebagian besar ulama mengatakan bahwa ia berumur tujuh tahun." Sang musafir muda bertanya lagi, "Apa yang sangat penting tentang mimpi? Mengapa mimpi berperan dalam kisah Yusuf?"
[Bagian 1]
[Bagian 3]