Jumat, 29 Oktober 2021

Yang Dua Pergi, Yang Satu Tinggal (2)

'Pendamping ketiga,' lanjut sang penguin. 'Amal-perbuatan seseorang. Pendamping ini akan tinggal, mengikuti seseorang ke alam Barzakh. Amal-amal tersebut, masuk ke relung kubur bersama orang yang meninggal, dan tetap menyertainya di dalam pesara, dan ketika ia dibangkitkan, juga sewaktu ia menunggu di Hari Kiamat, serta saat menyeberangi al-Sirat, bahkanpun begitu ditimbang dalam al-Mizan. Dengan amal-amal seseorang, derajat seseorang di Surga atau Neraka, akan ditentukan.
Amal-shalih itu, persiapan bagi pendampingnya di dalam kubur, karena di dalam pusaranya, tiada tempat-tidur, bantal, atau perabotan. Sehingga, setiap orang, akan menjadikan amal-amalnya sebagai tempat-tidur dan bantalnya, baik itu perbuatan-baik maupun buruk.
Jadi, orang yang berakal itu, orang yang mempersiapkan rumahnya, yang akan didiaminya selama-lamanya. Walau ia mempersiapkan rumah kekalnya dengan menghancurkan rumah duniawinya, yang akan seketika ia tinggalkan, dirinya tetap akan mendapat keuntungan.

Sebagian salaf berkata, 'Bekerjalah demi kehidupan ini dalam hal berapa lama engkau akan tinggal di dalamnya, dan bekerjalah demi kehidupan berikutnya yang terkait dengan berapa lama engkau akan tinggal di dalamnya,' Yang lain berkata, 'Anak Adam punya dua rumah, rumah di atas bumi, dan rumah di dalam bumi. Maka, ia mengunjungi rumahnya di atas bumi, menghiasi dan memperindahnya, dan membuat banyak pintu di kanan-kirinya, dan menjadikannya nyaman di musim dingin dan musim panas. Kemudian, ia pergi ke rumah yang ada di dalam bumi dan merusaknya! Lantas, bila ia ditanya, 'Berapa lama engkau akan tinggal di rumah yang telah engkau perlengkapi itu?' Ia akan berkata, 'Aku tak tahu.' Namun bila ia ditanya, 'Berapa lama engkau akan tinggal di rumah yang engkau hancurkan itu?' Ia akan berkata, 'Selamanya!' 'Engkau membenarkannya, dan engkau mengaku sebagai orang cerdas dan penuh pemahaman!?'
Al-Bara' bin 'Azib berkisah, 'Kami keluar bersama Rasulullah (ﷺ) mengiringi jenazah seorang kalangan Anshar. Kami tiba di pemakaman, dan saat itu, liang lahadnya sedang dipersiapkan. Rasulullah (ﷺ) duduk. Kami pun ikut duduk di sekitar beliau (ﷺ) dalam keadaan terdiam, tak bergerak. Seakan-akan di atas kepala kami ada burung yang kami khawatirkan terbang. Di tangan Rasulullah (ﷺ) ada sebuah ranting yang digunakannya mencocok-cocok tanah. Mulailah beliau (ﷺ) menatap ke langit dan melihat ke bumi, mengangkat pandangannya dan menunduk sebanyak tiga kali. Kemudian bersabda, 'Hendaklah kalian memohon perlindungan kepada Allah dari adzab kubur,' beliau (ﷺ) mengucapkannya sebanyak dua atau tiga kali, lalu beliau (ﷺ) berdoa, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur,' pinta beliau (ﷺ) sebanyak tiga kali.
Selanjutnya, beliau (ﷺ) bersabda, 'Sesungguhnya, seorang hamba yang mukmin, sewaktu akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya para malaikat dari langit. Wajah-wajah mereka putih laksana mentari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Mereka duduk dekat sang mukmin, sejauh mata memandang. Kemudian datanglah Malaikat Maut, duduk di sisi kepala sang mukmin seraya berkata, 'Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan Allah.'
Sang ruh yang baik pun, bercucuran keluar bagaikan mengalirnya tetesan air dari mulut wadah-kulit. Malaikat Maut mengambilnya. [Dalam sebuah riwayat disebutkan: Hingga ketika keluar ruh dari jasadnya, seluruh malaikat di antara langit dan bumi serta seluruh malaikat yang ada di langit mendoakannya. Lalu dibukakan untuknya pintu-pintu langit. Tiada seorang pun malaikat yang menjaga pintu malaikat terkecuali fardu berdoa kepada Allah agar ruh sang mukmin diangkat melintasi mereka]. Saat sang ruh yang telah dibawa oleh Malaikat Maut, tak dibiarkan sekejappun berada di tangannya, melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah-putih. Mereka membalut sang ruh di dalam kafan dan wewangian yang mereka bawa. Dan keluarlah dari ruh tersebut, wangi yang paling semerbak dari aroma wewangian yang pernah tercium di muka bumi. Kemudian para malaikat membawa naik sang ruh. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali pasti ditanya, 'Siapakah ruh yang baik ini?' Para malaikat yang membawanya menjawab, 'Fulan bin Fulan,' disebut namanya yang paling bagus, yang dulunya ketika di dunia, orang-orang memanggilnya dengan nama tersebut. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia. Merekapun meminta dibukakan pintu langit agar dapat membawa sang ruh. Lantas dibukakanlah pintu langit. Penghuni setiap langit turut mengantarkan sang ruh hingga ke langit berikutnya, seterusnya sampai di langit ke-tujuh. Allah berfirman, 'Catatlah amal hamba-Ku ini di ‘Illiyin dan kembalikanlah ia ke bumi, karena dari tanahlah mereka Aku ciptakan, ke dalam tanahlah mereka akan Aku kembalikan, dan dari dalam tanahlah mereka akan Aku keluarkan sekali lagi.'
Sang ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang terkubur di dalam bumi. Maka sungguh, ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarkannya ke pemakaman di saat mereka berlalu meninggalkannya. Kemudian ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras senggakannya, keduanya menghardik, mendudukkannya, lalu menanyakan padanya, 'Siapa Rabbmu?' Ia menjawab, 'Rabbku, Allah.' Ditanya lagi, 'Apa agamamu?' 'Agamaku Islam,' jawabnya. 'Siapa lelaki yang diutus di tengah kalian?' tanya kedua malaikat lagi, 'Beliaulah Rasulullah (ﷺ),' jawabnya, 'Apa amalmu?' pertanyaan berikutnya. 'Aku membaca Kitabullah, lalu aku beriman dan membenarkannya,' jawabnya. Inilah ujian akhir yang diperhadapkan kepada seorang mukmin dan Allah menguatkannya.
Terdengarlah suara penyeru dari langit yang menyerukan, 'Telah benar hamba-Ku. Maka bentangkanlah baginya permadani surga. Pakaikanlah ia pakaian surga, dan bukakan untuknya sebuah pintu ke surga!'
Lalu merebaklah kepada sang mukmin, wangi dan bebauan surga, serta dilapangkan baginya, barzakhnya, sejauh mata memandang. Selanjutnya, ia ditemui oleh seseorang yang sangat bajik wajahnya, berpakaian bagus dan beraroma harum, seraya berkata, 'Bergembiralah dengan apa yang menggembirakanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.'
Sang mukmin bertanya dengan heran, 'Siapakah engkau? Wajahmu itu, rupa yang membawa kebajikan.'
'Akulah amal-shalihmu. Demi Allah, aku tak kenal dirimu melainkan seorang yang bersegera menaati Allah, dan ayal dalam bermaksiat. Semoga Allah membalasmu dengan kebajikan,” jawab yang ditanya.
Kemudian, dibukakanlah untuknya, sebuah pintu surga dan sebuah pintu neraka, lalu disampaikan, 'Inilah tempatmu andai engkau dulu bermaksiat, lalu Allah menggantikan bagimu dengan surga ini.' Maka bila sang mukmin melihat apa yang ada di dalam surga, ia pun berdoa, 'Duhai Rabbku, segerakanlah datangnya Hari Kiamat, agar aku dapat kembali kepada keluarga dan hartaku.'
Dibilangkan kepadanya, 'Menetaplah engkau.'

Rasulullah (ﷺ) melanjutkan pemaparan beliau (ﷺ) tentang perjalanan ruh. Beliau (ﷺ) bersabda, 'Sesungguhnya, seorang hamba yang fajir [suka bermaksiat dan pendosa], jika akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya dari langit para malaikat yang keras, kaku, dan berwajah legam. Mereka membawa kain yang kasar dari neraka. Mereka duduk dekat sang fajir sejauh mata memandang. Kemudian datanglah Malaikat Maut hingga duduk di sisi kepala sang fajir sembari berkata, 'Hai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan Allah!'
Sang ruh yang buruk pun berpencar dalam jasadnya, lalu ditarik oleh Malaikat Maut laksana dicabutnya belati yang banyak cabangnya, menembus wol yang basah, hingga tercabik-cabik urat-nadinya. Seluruh malaikat di antara langit dan bumi, serta seluruh malaikat yang ada di langit, melaknat. Pintu-pintu langit ditutup. Tiada seorang malaikat-penjaga pintu pun kecuali berdoa kepada Allah agar ruh sang fajir tak diangkat melintasi mereka. Lalu Malaikat Maut mengambil sang ruh yang telah berpisah dengan jasadnya, namun tak dibiarkan sekejappun berada di tangan sang Malaikat Maut, melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah legam, lalu dibasung dalam kain yang kesat. Dan keluarlah dari sang ruh, bau bangkai yang paling busuk yang pernah ditemui di muka bumi. Lantas, para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melintasi sekelompok malaikat kecuali pasti ditanya, 'Siapakah ruh yang busuk ini?' Para malaikat yang membawanya, menjawab, 'Fulan bin Fulan,' disebut namanya yang paling hina, yang dulu ketika di dunia, ia dinamakan dengannya. Demikian, sesampai rombongan tersebut ke langit dunia, mereka pun meminta dibukakan pintu langit agar dapat membawa sang ruh, walakin tak dibukakan.'
Rasulullah (ﷺ) lalu membaca ayat,
لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ اَبْوَابُ السَّمَاۤءِ وَلَا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتّٰى يَلِجَ الْجَمَلُ فِيْ سَمِّ الْخِيَاطِ
'... takkan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka takkan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum ...' [QS. Al-A'raf (7):40]
Allah berfirman, ‘Catatlah amalnya di Sijjin, di bumi yang paling bawah dan kembalikanlah ia ke bumi, karena dari tanahlah mereka Aku ciptakan, ke dalam tanahlah mereka akan Aku kembalikan, dan dari dalam tanahlah mereka akan Aku keluarkan sekali lagi.' Lalu sang ruh pun dicampakkan.
Kemudian Rasulullah (ﷺ) membaca,
وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَكَاَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاۤءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ اَوْ تَهْوِيْ بِهِ الرِّيْحُ فِيْ مَكَانٍ سَحِيْقٍ
'... Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka seakan-akan ia jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.' [QS. Al-Hajj (22):31]
Beliau 
(ﷺ) bersabda, 'Sang ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang terkubur di dalam bumi. Lalu ia ditemui dua malaikat yang sangat keras senggakannya. Keduanya menghardik, mendudukkannya dan bertanya, 'Siapa Rabbmu?' Ia menjawab, 'Celaka, celaka! Aku tak tahu.' Ditanya lagi, 'Apa agamamu?' 'Celaka, celaka! Aku tak tahu,' jawabnya. 'Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?' bertanya lagi kedua malaikat. Kembali ia menjawab, 'Celaka, celaka! Aku tak tahu.'
Terdengar suara penyeru dari langit, menyerukan, 'Telah mendustakan orang itu. Maka bentangkanlah hamparan neraka dan singkapkan sebuah pintu ke neraka untuknya!'
Lalu merebaklah padanya hawa-panas neraka dan disempitkan kuburnya hingga tulang rusuknya berpautan. Kemudian seorang buruk rupa, berpakaian jelek dan beraroma busuk, mendatangi sambil berkata, 'Bergembiralah dengan apa yang mencemarkanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.'
Sang fajir bertanya dengan heran, 'Siapakah engkau? Wajahmu itu, rupa yang datang membawa kecemaran.”
'Akulah amal-burukmu. Demi Allah, aku tak kenal dirimu melainkan sebagai orang yang sangat payah menaati Allah, namun bersegera dalam maksiat. Semoga Allah mengganjarmu dengan kenistaan,' jawab yang ditanya.
Kemudian didatangkan padanya, orang yang buta, bisu, tuli pula. Di tangannya, ada sebuah tongkat dari besi yang, bila dihantamkan ke sebuah Jabal, niscaya 'kan lantak jadi debu. Lalu sang buta, bisu dan tuli, menghantam sang fajir dengan sekali hantaman, sampai ia luluh jadi serdak. Kemudian Allah mengembalikan jasadnya seperti semula, lalu dihantam lagi dengan hantaman berikutnya. Ia pun menjerit dengan jeritan yang terdengar oleh seluruh makhluk, kecuali jin dan manusia. Kemudian disingkapkan untuknya sebuah pintu neraka dan dibentangkan hamparan neraka, maka ia pun berdoa, 'Wahai Rabbku! Janganlah engkau segerakan Hari Kiamat.” [Sunan Abu Dawud; Shahih menurut Al-Albani]

Amal-shalih seorang mukmin, akan datang menemuinya dalam bentuk yang paling baik, dan menyampaikan berita gembira dari Allah, sedangkan orang kafir dan para pendosa, akan sebaliknya.
Amal-amal shalih seorang mukmin, mengelilinginya di alam kubur, Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Demi Dzat Yang jiwaku ada dalam Genggaman-Nya, ia [orang yang sudah meninggal] mendengar suara alas-kaki mereka saat berjalan meninggalkan pesaranya. Jika ia seorang mukmin, maka shalatnya dekat dengan kepalanya, zakatnya di sebelah kanannya, puasanya di sebelah kirinya, dan amal shalih dan kebaikannya terhadap manusia, ada di kakinya. Ia akan diserang dari arah kepalanya, namun doa akan berkata, 'Engkau tak boleh masuk dari arahku.'
Lantas Rasulullah (ﷺ) juga menyebutkan bahwa amal-amal yang lain, akan mengatakan hal yang sama. Beliau (ﷺ) kemudian bersabda tentang orang tak beriman, 'Ia akan diserang dari segala arah, dan tak ada yang melindunginya, dan ia akan duduk di sana, ketakutan.' [HR Ibnu Hibban, Al-Hakim menilainya Shahih dan Adz-Dzahabi sepakat dengannya]

Penguin pertama berdiri dan mewartakan, 'Duhai saudara-saudariku, tolaklah dunia ini, sebab ia telah mengingkari orang-orang yang lebih terpikat olehnya dibanding engkau. Ambillah pelajaran dari orang-orang terdahulu, sebelum engkau menjadi pelajaran bagi orang-orang yang akan datang setelahmu. Dunia ini memabukkan dan memikat, dan senandung sifat melekat manusia mendukungnya, oleh karena itu, kelengahan mereka yang meminumnya, menjadi lebih kuat, sampai musim laba telah berlalu. Setelah itu, mereka bangun dari ketidaksadaran, cuma untuk bersiap menghadapi adzab; perasaan sedih menyelimuti mereka, walau kenyataan dari segala kebaikan, telah mereka lewatkan. Di Akhirat, cukuplah sebagai pecutan, fakta yang mereka rasakan hanya setelah kematian.
Celakalah engkau; kematian itu, laksana gegana, dan rambut-uban itu, tetesan air-hujannya. Barangsiapa mencapai usia tujuh puluh, akan mengeluh nyeri, tiada sebab, maka orang yang berakal itu, orang yang terbangun dalam ketakutan, karena menyadari dekatnya kematian.

Duhai engkau, kehidupan ini, ada di belakangmu, dan di hadapanmu, Akhirat; dan bila mengejar apa yang ada di belakang, itulah kemunduran dan kekalahan, sedangkan kemenangan, terletak pada, maju ke depan dengan keinginan yang kuat. Air-bah kematian telah tiba, maka naiklah ke bahtera kebenaran dan jangan mendampingi harapan 'Kan'an,' sebab Kan'an, putra Nabi Nuh, 'alaihissalam, tenggelam dalam air-bah, lantaran ia menyangka dapat bertahan hidup jika ia telah sampai di puncak gunung. Celakalah engkau, perhatikanlah dan mulailah memaslahatkan diri dari umurmu, sebab berapa lamakah makhluk duniawi hidup dalam kebimbangan?
Penyakit-penyakit yang menyengsarakan, tentu menyebabkan tubuh jadi lemah dan kerempeng, dan engkau tampak seolah berada dalam kuburanmu sendiri, berbaring di ranjang penyesalan, padahal itu, wallaahi, lebih kasar dari batu. Maknanya, tanamlah benih amal-shalih selama musim semi kehidupan, sebelum timbulnya kegersangan yang menimpa lahan tubuhmu, dan kumpulkan amal-shalih di masa mampumu, sisihkan sebelum masa layuh dan loyo tiba.
Persiapkan perbekalanmu sebelum bepergian, agar engkau tak menderita kepapaan selama perjalanan, dimana tiada makanan yang bisa dimakan. Waspadalah, waspadalah, berada dalam keadaan dimana engkau akan termasuk orang-orang yang Allah firmankan tentang apa yang akan mereka ucapkan di Hari Pembalasan.
Orang yang bijak dan tegas itu, orang yang memperoleh bekal amal-shalih sebelum masa ia kembali pulang ke haribaan Rabb-nya. Akar dari pohon keinginan-kuat dan keteguhan itu, bijaksana dan punya pemikiran yang tanggap, cabang-cabangnya mencari nasihat atas permasalahan yang sulit, dan buahnya, mengambil keuntungan dari peluang yang ada, dan hilangnya kesempatan itu sendiri, sudahlah cukup sebagai penyebab penyesalan.'"

Selasa, 26 Oktober 2021

Yang Dua Pergi, Yang Satu Tinggal (1)

"Kala senja," sapa Rembulan usai mengucapkan salam. "Aku memperhatikan dua penguin, di atas karang, sedang bercakap-cakap. Saat aku mendengarkan, salah satu dari mereka berkata, 'Saudaraku, tahukah engkau bahwa Rasulullah (ﷺ), pernah bersabda,
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
'Tiga hal mengikuti orang yang sudah meninggal. Yang dua pulang, dan yang satu, tinggal. Keluarganya, hartanya, dan amalannya mengiringinya. Keluarga dan hartanya pulang kembali, tetapi amalan-amalannya, tinggal." [Muttafaqun Alaihi berdasarkan Al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat lain, Nabi kita tercinta (ﷺ) bersabda, 'Tiada seorang pun kecuali bahwa ia memiliki tiga pendamping. Pendamping pertama berkata, 'Apapun yang engkau belanjakan itu, untukmu, dan apapun yang engkau sembunyikan, bukan untukmu', dan itulah, harta. Yang kedua berkata, 'Aku bersamamu, namun saat engkau datang ke gerbang Sang Raja (Allah), aku akan pulang dan meninggalkanmu', dan itulah keluarga dan kebangsawanan. Yang ketiga berkata, 'Aku bersamamu kemanapun engkau masuki, dan kemanapun engkau pergi', dan itulah amalan-amalan. Orang itu akan berkata, 'Engkaulah yang paling tak kuanggap dari ketiganya.' [HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak-nya. Al-Hakim menyatakannya Sahih dan adz-Dzahabi sepakat dengannya]

Penguin kedua, meminta, 'Sampaikanlah lebih banyak lagi!' Penguin pertama melanjutkan, 'Penjelasan tentang ini, bahwa, atas Bani Adam, punya keluarga yang hidup bersamanya, dan harta yang mendukungnya, maka kedua pendamping ini akan meninggalkannya, dan ia akan meninggalkan mereka. Orang yang berakal itu, orang yang cukup mengambil dari hal-hal ini, guna membantunya mengingat Allah, dan apa yang bermanfaat baginya di Akhirat. Jadi, seseorang mengambil dari hartanya, apa yang membantunya dalam mencapai kehidupan berikutnya, dan menjadikan seorang istri yang shalihah untuk membantunya dalam imannya.
Adapun orang yang menjadikan harta dan keluarganya, menjauhkan dirinya dari Allah, maka ia akan merugi.

Al-Hakim dalam al-Mustadrak mencatat sebuah hadits, 'Duhai anak Adam, hiduplah sesukamu, karena engkau akan mati. Cintailah siapa yang engkau inginkan, lantaran engkau akan meninggalkannya. Lakukan apa yang engkau inginkan, sebab engkau akan bertemu dengan perbuatan-perbuatanmu. Dan jadilah sesukamu. Dan seperti apa yang engkau lakukan, engkau akan diberi balasan.' [Sahih menurut Al-Hakim dan adz-Dzahabi]
Begitu Bani Adam meninggal dan pergi dari dunia ini, ia takkan mendapat manfaat dari keluarga dan hartanya sama sekali, kecuali doa keluarganya dan mereka yang memohon ampunan baginya; serta harta yang telah ia keluarkan di jalan Allah (dalam bentuk sedekah).
Namun jika ia meninggalkan seorang anggota keluarga yang mendoakannya, atau beberapa sedekah yang telah ia tunaikan, maka ia akan mendapat manfaat darinya. Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
'Jika manusia meninggal dunia, terputus amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.' [Sahih Muslim]
Keluarga seseorang, takkan memberi manfaat bagi almarhum setelah kematiannya, kecuali anggota keluarga yang memohon pengampunan bagi almarhum dan berdoa untuknya, tetapi mereka mungkin, dalam kenyatannya, tak melakukannya. Karena terkadang, seseorang yang tak terkait dengan orang yang meninggal, mungkin lebih bermanfaat baginya ketimbang keluarganya sendiri, seperti yang dikatakan orang-orang shalih, 'Dan siapakah sahabat orang yang shalih? Selagi keluargamu sibuk membagi warisanmu, ia duduk sendirian dalam kesedihan, berdoa untukmu saat engkau berada di dalam tanah.'
Sebaliknya, ada keluarga yang menjadi musuh bagi orang yang meninggal, dan beberapa dari mereka mengalihkan perhatiannya dari orang yang meninggal, sibuk mengambil warisan seseorang, sebagaimana yang diungkapkan dalam beberapa baris puisi ini,
Kerabatku melintasi makamku, seolah mereka tak mengenalku!
Dan mereka yang menerima warisanku, membagi hartaku,
Dan mereka bahkan mengingkari hutang-hutangku
Mereka mengambil bagian mereka dan melanjutkan hidup,
Ya Allah, betapa cepatnya mereka melupakanku!
Adapun pendamping kedua dari orang yang meninggal, itulah hartanya. Ia pulang duluan, dan tak masuk kubur. Harta takkan menemani seseorang di dalam kubur, atau masuk bersamanya. Maka, seseorang takkan beroleh manfaat sama sekali dari hartanya, kecuali yang ia keluarkan untuk tujuan yang baik, sebab ia akan menemukannya nanti, dan hartanya akan termasuk di antara amalan yang akan menemaninya di alam kubur. Adapun harta yang ditinggalkan seseorang bagi ahli warisnya, maka pada kenyataannya, harta tersebut tak menjadi miliknya, dan ia hanya sementara memegang harta itu untuk ahli warisnya.

Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِي مَالِي - قَالَ - وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
'Anak Adam mengklaim, 'Hartaku, kekayaanku.' Dan beliau (ﷺ) bersabda, 'Duhai anak Adam, adakah sesuatu yang menjadi milikmu kecuali apa yang engkau makan, yang engkau gunakan, atau yang engkau kenakan kemudian usang atau engkau sedekahkan dan tunaikan?' [Sahih Muslim]
Jadi, tidaklah seseorang mengambil manfaat dari hartanya, kecuali dari apa yang ia usahakan bagi dirinya sendiri, dan menafkahkannya di jalan Allah. Adapun apa yang ia makan dan kenakan, itu bukan untuknya dan tak melawannya, kecuali ia punya niat yang benar. Dikatakan juga bahwa ia beroleh imbalan atas apa yang ia belanjakan atas makanan dan pakaian dalam segala perkara.
Adapun orang yang menafkahkan uangnya demi dosa, maka hal itu akan menentangnya dan tak bermanfaat baginya. Demikian juga dengan apa yang ia pelihara dan tak memberikan hak Allah tentangnya. Bagi orang ini, perbuatan itu akan datang dalam bentuk ular berbisa yang menakutkan. Ia akan mengejarnya bila ia menghindar darinya, hingga mematuknya. Ia akan berkata, 'Akulah hartamu, akulah hartamu!' Ia akan mengulurkan tangannya dan sang ular akan menggigitnya seperti gigitan kuda.
Jika harta itu emas atau perak, ia akan dibuat menjadi pinggan, kemudian dipanaskan, dan akan di stempelkan padanya, di alis, di dahi, dan di pinggangnya.

Sebuah puisi mengungkapkan,
Janganlah menimbun kecuali taqwa,
karena harta tak dapat ditimbun,
Taatilah perintah Rabb kita,
berada di jalan yang lurus,
dan perhatikan serta pertimbangkan
Maka, barangsiapa yang menyadari hal ini, hendaklah ia mengutamakan hartanya dengan apa yang ia cintai. Karena jika ia menunaikannya, akan menjadi miliknya dan ia akan mendapat manfaat darinya di kehidupan berikutnya.
Jika ia meninggalkan hartanya, akan menjadi milik orang lain, bukan untuknya. Seseorang bisa jadi pelit dalam menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka ia akan melihat harta itu, pada Hari Kiamat, dalam timbangan orang lain yang menafkahkannya sebagai sedekah. Pada saat itu, ia akan bersedih dan sangat menyesal, lantaran harta yang sama, yang memasukkan pewarisnya ke surga, namun sebagai penyebab ia masuk Neraka!
Orang yang berakal itu, orang yang menunaikan harta yang dicintainya, sehingga ia akan menemukannya di kehidupan selanjutnya. Bagi orang yang mencintai sesuatu, menyimpannya dekat dengan dirinya sendiri, dan tak meninggalkannya kepada orang lain sehingga ia akan menyesal ketika penyesalan itu tak bermanfaat baginya.

Salah seorang raja berkata kepada seorang sufi yang mashur, Abu Hazim, 'Mengapa kami tak menyukai kematian?' Ia menjawab, 'Karena engkau memuja kehidupan duniawi ini. Engkau telah menempatkan hartamu, di depan matamu, sehingga engkau tak mau berpisah dengannya. Jika engkau menunaikannya bagi kehidupan berikutnya, engkau akan gembira menemuinya!'

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
'Kamu takkan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh, Allah Maha Mengetahui.' [QS. Ali 'Imran (3):92]
Sebuah puisi mengungkapkan,
Engkau yang telah mengumpulkan harta,
Sudahkah engkau mengumpulkan hari guna membelanjakankannya?
Harta hanya dititipkan kepadamu bagi pewarisnya,
Harta hanyalah milikmu setelah engkau membelanjakannya di jalan Allah

Maka. barang siapa yang menafkahkan hari ini, maka ia akan mendapat manfaat darinya esok hari, dan barangsiapa yang tak menafkahkannya, takkan memperoleh apa-apa, dan ia akan mengalami kerugian yang besar di rumah tempat tinggalnya di Akhirat.

Seorang wanita, tangannya lumpuh, masuk menemui Ummul Mukminin dan istri tercinta Rasulullah (ﷺ), 'A'isyah, radiyallahu 'anha, dan ia berkata, "Duhai Ummul Mukminin, aku pergi tidur kemarin dan tanganku sehat, dan aku terbangun kemudian lumpuh. Aisyah berkata, 'Bagaimana bisa?' Ia berkata, ' Orangtuaku kaya, dan Ayahku selalu membayar zakat, menjamu tamu, dan memberi kepada pengemis, dan ia tak melihat kebaikan kecuali dengan melakukannya. Adapun ibuku, ia pelit, dan tak berbuat baik dengan harta Ayahku. Kemudian Ayah meninggal, dan ibu meninggal hanya dua bulan setelahnya. Lalu, aku melihat Ayah dalam mimpi malam tadi, dan ia mengenakan dua pakaian kuning dan di depannya ada sungai yang mengalir. Aku berkata, 'Ayah, apa ini?' Ia berkata, 'Siapapun yang beramal-shalih dalam hidup ini, akan melihatnya, inilah apa yang telah Allah berikan padaku.'
Aku berkata, 'Apa yang terjadi dengan ibu?' Ia bertanya, 'Ibumu meninggal?' Aku bilang, 'Iya.'
Ayah berkata, 'Ia telah berpaling dariku, maka carilah ia.' Maka aku menoleh ke kiri, dan aku melihat ibu berdiri telanjang, menutupi bagian bawahnya dengan kain dan di tangannya ada sepotong lemak. Ia berseru, 'Kesedihanku, kehausanku!' Saat ia lelah, ia menggosok lemak dengan tangannya dan kemudian menjilatnya, sedangkan di depannya ada sungai yang mengalir. Aku berkata, 'Duhai ibu, mengapa engkau menangis karena kehausan, dan ada sungai yang mengalir di depanmu?' Ia berkata, 'Aku tak boleh meminumnya.' Aku berkata, 'Bolehkah aku memberimu sedikit air?" Ia berkata, "Aku berharap engkau melakukannya." Lantas, aku mengisi tanganku dengan air dan memberinya minum, dan ketika ia menelannya, aku mendengar suara di sebelah kananku, 'Barangsiapa yang telah memberikan wanita ini air, semoga tangannya lumpuh,' dan mereka mengulanginya dua kali. Kemudian aku terbangun dan tanganku lumpuh, dan aku tak dapat berbuat apa-apa dengannya.' Aisyah bertanya, 'Kenalkah engkau pada kain yang ia kenakan?' Aku menjawab, 'Ya, wahai Ummul Mukminin, persis seperti yang kulihat ia pakai, karena aku belum pernah melihat ibuku bersedekah, kecuali suatu hari, Ayahku menyembelih seekor banteng. Kemudian, seorang pengemis datang meminta sedikit, lantas ibu memberinya tulang yang ada sedikit lemak di atasnya. Dan suatu hari, aku melihat seorang pengemis memintanya bersedekah, maka ia memberinya kain perca yang persis seperti itu.’
'A'isyah, radiyallahu 'anha, berkata, 'Allahu Akbar! Allah telah mengatakan yang sebenarnya, dan Rasul (ﷺ) telah menyampaikan pesannya.
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ
'Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya.' [QS. Az-Zalzalah (99):7-8]
[Diriwayatkan oleh Hafiz Abu Musa al-Madini dengan isnad yang Hasan]

Barangsiapa yang melakukan perjalanan tanpa bekal, ia akan menyesal saat ia membutuhkan bekalnya, namun penyesalan itu, tak sedikit pun bermanfaat baginya, bahkan mungkin ia binasa. Lalu bagaimana dengan orang yang menempuh perjalanan panjang dan sulit menuju Akhirat tanpa bekal apapun?
Sebuah puisi mengungkapkan,
Penyakit di tubuhku bertambah,
dan hidup semakin pendek dan dosaku banyak.
Berapa lama perjalananku,
dan aku tak punya perbekalan!
[Bagian 2]

Jumat, 22 Oktober 2021

Great Cry and Little Wool

"Muson telah bertandang dan awan gelap, terkadang, menghalangi pandanganku," Rembulan mengabarkan setelah memulai dengan basmalah dan menyapa dengan salam. "Beberapa hari yang lalu," Rembulan menuturkan, "Aku melongok ke sebuah Negeri, yang disebut Bumi Parwatam. Di sana, memerintah seorang raja, bernama Prabu Kanchil. Tampaknya, di ujana Istana sang Raja, akan ada pertemuan dengan Kasim-kasimnya, para Gagak. Kabarnya, salah satu Kasim Raja, akan menyampaikan pidato. Seluruh satwa diundang, dari Wazir segala urusan hingga margasatwa jelata. Tetamu menantikan pidato sang Kasim, lantaran, konon, ia, wakil dari para margasatwa muda. Dalam benak mereka, tentulah pidatonya akan berisi sebuah konsep perubahan, yang berdasarkan data terkini. Waah, pastilah, dahsyat!

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, sang Kasim beranjak ke atas panggung dan menyampaikan pidatonya. Sayang, harapan tinggal asa, muatan pidatonya cuma menyanjung sang Raja dan mencemooh lawan politiknya. Selagi sang Kasim sedang menyampaikan pidatonya, mendadak, awan hitam menutupi penglihatanku.

Lama menunggu sang Gegana berlalu, acara telah usai ketika aku dapat memandang lagi. Yang kusaksikan, hanyalah beberapa margasatwa yang lalu-lalang. Kemudian, aku mengalihkan pandanganku ke sebuah kedai kopi. Didalamnya, aku dapat melihat beberapa satwa yang sedang berbincang-bincang sembari minum secangkir kopi atau coklat, guna menghangatkan diri. Mereka sedang membicarakan pidato sang Kasim. Salah satu satwa bertanya, 'Bagaimana pendapatmu tentang pidato tadi?' Satwa lain menjawab, 'Maukah engkau mendengarkan sebuah cerita?' Sang penanya menjawab, 'Tentu, sampaikanlah!'
'Suatu hari, para penduduk melihat sang Jabal akan melahirkan; asap keluar dari puncaknya, bumi bergetar di kakinya, pohon-pohon bertumbangan, dan bebatuan besar berjatuhan. Mereka yakin, sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Semuanya berkumpul, demi melihat betapa mencekamnya hal ini. Mereka menunggu ... dan menunggu ... namun tiada yang muncul. Tiba-tiba, masih ada gempa bumi susulan, yang lebih akbar, dan celah besar muncul di sisi sang Jabal. Para penduduk bersimpuh dan menanti. Akhirnya, seekor tikus kecil menjulurkan kepala dan bulu-bulu halusnya, keluar dari celah dan berlari ke arah mereka. Akhirnya, sang tikus kecil, mati, diinjak-injak para penduduk.'
''Great cry and little wool,' peribahasa Inggris,' sang satwa menjelaskan. 'Maknanya, dengan proporsi yang tepat, terkandung dalam cerita ini. Dengannya terungkap, banyak orang, sering menjanjikan sesuatu yang berlebihan, namun hasilnya, hampir tak ada apa-apanya. Segala prediksi, yang berupaya keras dengan memakai beragam karangan agar membangunkan harapan umat manusia, dan kemudian, dengan daya-kerja kroco, sungguh mengecewakan, dan akan hilang di dalam ingatan, karena telah terhapus, tercambuk oleh cerita ini.

Bukankah akan mengejutkan, bila ada orang yang tak di favoritkan, yang tak pernah menjanjikan apa-apa, tiba-tiba menempati pucuk pimpinan sebuah negeri, membhaktikan diri dengan Keadilan dan Integritas, tanpa membekap dan menggelapkan harta rakyat, demi tujuan pribadi dan kejahatannya? Namun, sebaliknya, alangkah melankolisnya, betapa mengerikannya, atau lebih tepatnya, sungguh menjengkelkan dan mengusik pemandangan, melihat seseorang yang memanifestokan kebebasan dan kemaslahatan orang banyak, menambah harapan orang-orang padanya, segera saat ia berkuasa, mengerahkan seluruh cara dan kelicikannya, menghancurkan dan memperbudak negaranya? Para pengumbar janji, mengiming-imingi semua orang dengan memperlihatkan kebajikan, dan menyanjung diri-sendiri, mengubah segala sesuatu, yang dengannya, bertentangan dengan kesejahteraan rakyat, mengirap dalam kabut-gelap, dan tersesat dalam prospek yang kelam, suram, serta tak nyaman.'

Yang lain menanggapi, 'Beragam janji, yang diumbar dengan segala pesona yang mengesankan, memberi banyak nazar yang muluk, dan gembar-gembor, demi meningkatkan harapan para insan, lalu, dengan penampilan buruknya, mengecewakan, dan tak dapat diterima, tercambuk oleh cerita ini. Kita semestinya belajar, bahwa kita seharusnya, mencurigai mereka, yang mengumbar janji-janji, dan mewaspadainya dengan mencermati latarbelakang apa yang akan mereka lakukan, dan apakah kepura-puraan mereka, tak dimaksudkan menjadikan kita, sebagai alat, atau tipu daya mereka.'

Yang lain menambahkan, 'Ini juga mengajarkan kita, agar tak bergantung secara implisit pada deklarasi terus-menerus atas nama kebebasan dan kepentingan publik, yang digunakan oleh para politisi culas, sebagai batu loncatan menuju kekuasaan; yang mengangkat setinggi-tingginya harapan masyarakat, dan memperoleh keinginan mereka dengan antusiasme publik, kemudian memermak semuanya, dan dengan curang, menggelapkan harta rakyat demi kepentingan pribadi mereka sendiri, atau demi merusak dan memperbudak negeri mereka sendiri; atau paling-paling cuma meniru perilaku buruk orang-orang yang mereka jiplak dengan hiruk-pikuknya.'

Yang lain menimpali, 'Cerita ini mengisyaratkan, bahwa perkara yang tak pasti dari segala usaha manusia, hendaknya mendorong kita, agar tak menyombongkan diri, dan menjaga agar tak menjanjikan sesuatu yang terlalu besar, karena khawatir akan mempersembahkan hasil yang sangat sedikit. Jika kita beranjak dengan kerendahan-hati, dan melakukan lebih dari yang seharusnya kita lakukan, kita akan menemukan popularitas kita, tumbuh pada diri kita, dan setiap penambahan tak terduga yang kita rencanakan, akan menjadikan kita lebih dan lebih, dalam pandangan dunia yang baik; tetapi jika sebaliknya, kita mengembar-gemborkan rancangan kita, dan keunggulan kecakapan diri-sendiri, akan sering terjadi, bahwa alih-alih membesarkan reputasi kita, melainkan hanya akan meniup terompet yang mempermalukan kita.'

Sang penanya menyimpulkan, 'Jadi, sang Kasim, sungguh telah dikebiri!' Yang lain menjawab, 'Atau, mengebiri dirinya sendiri!'

Semuanya tertawa dan berdendang,
Nyok, kite nonton ondel-ondel, nyook
[Ayo, kita nonton ondel-ondel]
Nyok, kite ngarak ondel-ondel, nyook
[Ayo, kita mengarak ondel-ondel]
Ondel-ondel ade anaknye, booy
[Ondel-ondel, ada anaknya]
Anaknye ngigel ter-iteran, sooy
[Anaknya bergoyang berputar-putar] 
Mak, bapak ondel-ondel ngibing, serrr
[Ibu, Bapak ondel-ondel berjoget]
Ngarak penganten disunatin, serrr
[Mengarak pengantin sunatan]
Goyangnye asik endut-endutan, duut
[Goyangannya asyik, tertahan-tahan]
Nyang ngibing igel-igelan, geel
[Yang berjoget, berjoget sambil memilin tangannya]

Plak gumbang gumplak plak plak
[Suara gendang]
Gendang nyaring ditepak
[Gendangnya nyaring ditepuk]
Nyang ngiringin nandak
[Yang mengiringi bertandak]
Pade surak-surak
[Semuanya bersorak]

Tangan iseng ngejailin
[Tangan iseng, menjaili]
K'pale anak ondel-ondel
[Kepala anak ondel-ondel]
Taroin puntungan
[Letakkan puntungan-rokok]
Rambut kebakaran
[Rambutnya terbakar]

Anak ondel-ondel jejingkrakan, kraak
[Anak ondel-ondel berjingkrak-jingkrak]
Kepalenye nyale bekobaran, buul
[Kepalanya menyala, berkobar]
Nyang ngarak pade kebingungan, nguung
[Yang mengaraknya, semua kebingungan]
Disiramin aer comberan, byuurr
[Disirami air pelimbahan]
Rembulan pamit undur-diri, seraya berkata, "Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons

Selasa, 19 Oktober 2021

Gajah yang Arif

"Beberapa malam yang lalu," berkata Rembulan setelah mengucapkan salam. "Aku berkeliling dan menjumpai sebuah Negeri bernama Bumi Ganapati." Sang pungguk bertanya, "Duhai Rembulan, menyembah Ganeshakah, para penduduknya?" Rembulan menjawab, “Tidak, mereka tak melakukannya. Negeri itu, disebut Ganapati, karena namanya, merupakan salah satu konsep dari Para Pendiri negeri tersebut. Gagasannya, juga sebuah cita-cita, bahwa demi mencapai Kemakmuran, ada empat elemen yang perlu dipadukan: Kecerdasan, Identitas (termasuk Keimanan), Kesuksesan, dan Kemajuan (atau Pertumbuhan). Jadi, agar memahami apa yang kusampaikan padamu, mohon tak memaknainya secara harfiah.

Penuturanku ini, tentang seekor Gajah yang arif, yang usahanya selalu ditujukan demi kepentingan masyarakatnya.
Berawal ketika, seekor Singa, berbicara pada dirinya sendiri, mengeluh, 'Aku sangat kuat, wujudku tampan, dan sangat tangguh dalam menyerang. Aku memiliki rahang yang dilengkapi dengan taring, dan kaki yang dilengkapi dengan cakar, dan aku menguasai semua binatang dalam belantara, dan betapa memalukannya, dan yang paling menyedihkan, bahwa binatang dengan cakar, taring, serta kekuatan seperti yang kupunyai, harus terhina oleh teror kokok ayam jantan. Adakah ketenangan hidup yang pantas kumiliki? Saat makhluk yang kumuh, sanggup merampas pesonaku?' gumamnya.
Saat itu, sang Gajah yang arif, melintas, dan berkata, 'Mengapa engkau menyalahkan diri-sendiri tanpa alasan? Engkau telah dianugerahi segala atribut, dan keberaniannu, tak pernah mengecewakanmu, kecuali dalam hal yang satu ini.'
Mendengarnya, sang Singa mengaum dan meratap serta menghinakan dirinya, oleh kepengecutannya, berharap, ia mati saja. Saat pikiran-pikiran ini melintas dalam benaknya, sang Gajah mendekatinya.
Beberapa saat kemudian, sang Singa mencermati, bahwa sang Gajah, sangat sering mengibaskan telinganya, dan ia menanyakan apa yang terjadi, dan mengapa telinganya, sesekali bergoyang dengan gerakan seperti itu. Tepat pada saat itu, seekor Agas hinggap di kepala sang Gajah, dan ia menjawab, 'Tak lihatkah engkau, serangga kecil yang berdengung itu? Jika ia masuk ke dalam telingaku, tamatlah riwayatku. Aku pasti mati sekarang.' Sang singa berkata, 'Kalau begitu, karena binatang yang besar sepertimu saja, takut pada Agas kecil, aku takkan lagi mengeluh, atau berharap diriku mati. Sekarang kusadari, sesungguhnya diriku, mendingan dibanding sang Gajah.'

Hari berikutnya, sang Serigala dan sang Macan Tutul, bergabung dalam kelompok berburu, dan sepakat bahwa, pada akhir perburuan tamak mereka, akan berbagi jarahan, secara merata di antara mereka. Seekor anak Domba, yang dijadikan barang jarahan, mereka sepakati, diserahkan pada pengampuan sang Kuda, yang pada saat itu, sedang disembunyikan. Saat yang bersamaan, sang Rubah bergabung, yang mengira bahwa ada sesuatu yang bisa ia dapatkan, berteman dengan akrab, seolah-olah ia salah satu dari kelompok pemburu; dan secara resmi membantu mengantarkan Anak Domba ke sang Kuda, yang diperintahkan agar menyimpannya, sampai mereka kembali dari berburu, dan nanti, memintanya kembali.
Segera setelah itu, sang Rubah yang culas, dengan kelicikannya, meninggalkan kelompok berburunya, mudik sendirian menemui sang Kuda, menyampaikan bahwa kawan-kawannya kelelahan, sebab perburuan mereka kandas, sehingga mereka mengutusnya mengambil sang Anak Domba, yang hendak disantap, agar dapat menyegarkan diri, sehingga nanti dapat mengejar lagi mangsanya. Sang Kuda yang lugu, tak ragu-ragu menyerahkan kepada sang Rubah, sang Anak Domba yang telah dibebankan menjadi tanggung jawabnya: seketika, Rubah yang makar, dengan sigap membawanya pergi, digunakan sendiri, dan tentu saja, sebagaimana bandit sejati, tak kembali lagi pada mantan-mantan sobatnya.
Di akhir olahraga seharian mereka, datanglah sang Macan Tutul dan sang Serigala, yang hanya beroleh sedikit keberuntungan dalam perburuan mereka, dan meminta dari sang Kuda yang tak tahu apa-apa, kepemilikan yang telah mereka serahkan padanya. Sia-sia, sebab sang Kuda menceritakan kepada mereka, dan bahwa ia telah, dengan jujur dan terhormat, menyerahkan barang jarahan dimaksud kepada kolega mereka, yang bersama-sama menyerahkannya—alasan ini, tak mau mereka pedulikan, melainkan mengatakan bahwa, sang Rubah, pencuri dan pengkhianat, dan tak berhak atas barang-barang mereka—bahwa sang Kuda, saking bodohnya, tertipu oleh dalih sang Rubah, itu bukan urusan mereka, melainkan urusan sang Kuda—bahwa mereka akan mencari keadilan, dan berupaya memperoleh kembali hak milik mereka, yang mereka titipkan pada sang Kuda. Sang Kuda, yang ketakutan, yang tak tahu harus berkata apa-apa bagi dirinya sendiri, dalam kasus yang begitu rumit, setuju pergi bersama mereka, agar masalahnya diadili di depan Hukum, dan dihakimi oleh, sang Gajah yang cerdik.
Sewaktu mereka datang ke pengadilan, di hadapan sang hakim, masing-masing pihak menyampaikan kisahnya—sedangkan sang Kuda yang malang, gemetar ketakutan; karena bahkan dirinya sendiri, hampir tak dapat melihat alasan mengapa Keadilan hukum, tak berpihak padanya.
Gajah yang arif, dengan sungguh-sungguh mendengar dalih-cerita mereka, dan kemudian menjawab, 'Aku berkesimpulan bahwa, kalian masing-masing, telah mengatakan yang sebenarnya, sebab pernyataan kalian sangat sesuai dengan fakta, dan dengan demikian, aku memutuskan hak-hak kalian, yang berbeda, dan menyatakan pertimbangan oleh penyebabnya. Kalian bertiga, Macan Tutul, Serigala, dan Rubah, secara bersama-sama, menitipkan pada Kuda,barang berupa seekor Anak Domba, sebagai mangsa—dan yang dengan jujur, telah diakui Kuda sebagai pernyataan yang benar dari perkara ini—oleh karenanya, kalian tak boleh keberatan dengan keputusanku, dengan demikian, 'Bahwa ketika kalian bertiga bersama-sama menyerahkannya kepada sang Kuda, untuk menjaga harta bersama kalian, tentunya, bila kalian bertiga secara sendiri-sendiri kembali lagi, dan memintanya, maka ia yang membawanya, bertanggungjawab atas risikonya sendiri.'
Pertimbangan yang bijaksana ini, membebaskan Kuda sepenuhnya, karena ada resiko bahwa sangat kecil kemungkinan, sang Rubah nakal dapat ditemukan lagi dalam kelompok berburu tersebut. Dalam penentuan perkara yang meragukan dan rumit, diperlukan perlakuan yang berbeda dan soliditas pertimbangan yang terbaik. Contoh ini, menunjukkan betapa rapuhnya ikatan yang menghubungkan kaum penyamun dan penjarah, dan betapa berbahayanya ketergantungan yang mereka tempatkan, satu sama lain. Ini juga memberikan pelajaran, waspada dan menghindari hubungan sekecil apapun, dengan orang-orang yang berkarakter buruk atau mencurigakan, yang dengannya, orang-orang yang berniat baik, terkadang dapat terlibat dalam kesulitan dan bahaya besar.

Hari-hari pun berlalu, sang Gajah yang arif, melihat dengan penuh keprihatinan, banyak pelanggaran di antara para satwa, yang kemudian menyerukan perbaikan. Oleh sebab itu, ia mengumpulkan mereka, dan, dengan segala hormat dan kerendahan-hati, memulai pidato yang panjang, 'Bahwa bagi ia yang dengan tulus menasihati, satu-satunya perhatiannya, menghilangkan kekeliruan yang ditemukan pada saudara-saudaranya, dan membantunya, menghindarinya. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala, gambarkan pada Rasul-Nya (ﷺ), dengan berfirman,
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ
'Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), 'Cukuplah Allah bagiku; tiada illah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dialah Rabb Yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.'' [QS. At-Taubah (9):128-129]
Nasihat hendaknya diberikan dengan kelembutan dan kesantunan, serta secara rahasia. Akan tetapi, jika yang dinasihati itu, yang dosa atau kejahatannnya tampil di depan umum, maka nasihat itu, seyogyanya diberikan di depan umum, dan masyarakat layak diperingatkan, agar mereka tak mengikutinya.'

Pidatonya, panjang, selama lebih dari seperempat jam, mengomentari semua kejahatan mereka, juga seribu kebiasaan konyol, terutama kemalasan mereka yang tak pantas, keegoisan, kejahilan dan saling hasad, segala rupa yang sangat mencolok, muncul di antara mereka.
Bagi banyak pendengarnya, pidato ini, sangat menyenangkan dan bijaksana, dan mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, terutama, semisal, sang Merpati yang lugu, sang Anjing penjaga yang setia, sang Unta yang patuh, sang Domba yang tak berbahaya, dan bahkan para Semut kecil yang rajin; Lebah yang sibuk pun, sangat sepakat dengan pidato ini.
Hadirin yang lain, merasa sangat tersinggung, dan hampir tak betah dengan orasi yang begitu lama; sang Macan, misalnya, dan sang Serigala yang rakus, menggerutu, 'Cape deh!' dan sang Ular mendesis sekuat tenaga, sementara irama tak setuju, meledak dari para buzzer, Hornet, Kucing dan Anjing liar pemalas, serta Lalat. Belalang hengkang seraya mencemooh pertemuan itu, Kungkang ngambek, dan Kera, berupaya memparodikan sang orator, namun sayang, terkesan menjijikkan. Adapun para Tawon, berang. Tak seperti Lebah, yang mampu menghasilkan madu dan cuma menyengat sekali—proses akhirnya, berakibat fatal—Tawon tak sanggup menghasilkan madu, tapi menyengat berkali-kali dan berdengung-ria. Mereka membantah apa yang dikatakan sang Gajah. Mereka mendebat, 'Itu tidak benar!' ... 'Ah, banyak bacot!' ... 'Bukan kami yang melakukannya!' ... 'Datamu salah!' ... 'Kami telah menyiapkan program baru!' ... Walhasil, beragam dalih dan janji, seperti biasa, kemudian bermunculan.
Sang Gajah, melihat keributan itu, mengakhiri pidatonya dengan perkataan, 'Nasihatku ini, ditujukan setara kepada semuanya, namun harap dicamkan, bahwa mereka yang merasa tersinggung oleh setiap ucapanku, mengakui kesalahannya. Yang jujur, akan biasa-biasa saja.'
Lalu, sang Gajah turun dari mimbar, seraya berdendang,
ꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦠꦤ꧀ꦢꦸꦫꦺꦮꦸꦱ꧀ꦱꦸꦩꦶꦭꦶꦂ
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
[Bangun, bangunlah, benihnya telah bersemi]
ꦠꦏ꧀ꦲꦶꦗꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴ
Tak ijo, royo royo
[Menghijau, berlimpah]
ꦠꦏ꧀ꦱꦺꦁꦒꦸꦃꦠꦺꦩꦤ꧀ꦠꦺꦤ꧀ꦲꦚꦂ
Tak sêngguh têmantèn anyar
[Laksana pengantin baru]

ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦧ꧀ꦭꦶꦩ꧀ꦧꦶꦁꦏꦸꦮꦶ
Cah angon, bocah angon, penekno blimbing kuwi
[Anak gembala, anak gembala, panjatlah pohon belimbing itu]
ꦭꦸꦚꦸꦭꦸꦚꦸꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦩ꧀ꦧꦱꦸꦃꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫ
Lunyu lunyu, penekno, kanggo mbasuh dodotiro
[Walau licin, panjatlah, (gunakan buah-belimbingnya) buat bersihkan (noda-noda pada) dodotmu*)]

ꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦏꦸꦩꦶꦠꦶꦂꦧꦺꦝꦃꦲꦶꦁꦥꦶꦁꦒꦶꦂ
Dodotiro, dodotiro, kumitir bêdhah ing pinggir
[Dodotmu, kain dodotmu, melambai sobek di bagian pinggir]
ꦢꦺꦴꦤ꧀ꦢꦺꦴꦩꦤꦗ꧀ꦭꦸꦩꦠꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦱꦺꦧꦩꦺꦁꦏꦺꦴꦱꦺꦴꦫꦺ
Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mêngko sore
[Rajutlah, benahilah, guna dikenakan menghadap, 'bentar sore]
ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦥꦝꦁꦫꦺꦩ꧀ꦧꦸꦭꦤꦺ
Mumpung padhang rêmbulane
[Senyampang Rembulannya benderang]
ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦗꦺꦩ꧀ꦧꦂꦏꦭꦔꦤꦺ
Mumpung jêmbar kalangane
[Selagi lingkaran (sang bulan) masih lebar]
ꦪꦱꦸꦫꦏꦱꦸꦫꦏ꧀ꦲꦶꦪ
Yo surako surak-iyo
[Maka berserulah dengan sorak 'Hiyo!']
Arkian, Rembulan berkata, "Jika ada kata-kata yang menjengkelkan, renungkan baik-baik tentang makna di baliknya. Ia yang dibuat tersinggung, hendaknya mencari pembetulan dari dalam dadanya sendiri; dan pada awalnya, dapat dipastikan, bahwa dirinyalah yang keliru, dan tak menghakimi, pada pidato panjang tersebut. Namun, ia yang selalu beroleh sanjungan, entah apapun yang ia lakukan, pastilah, takkan bisa menahan-diri. Wallahu a'lam."
Kutipan dan Rujukan:
- Al-Hafiz ibn Rajab al-Hanbali, Difference Between Advising and Shaming, accompanied with commentary of Dr. Salih ibn Sa'd al-Suhaymi, Dar as-Sunnah Publishers
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
*) Kain Dodot, di kenal sebagai pakaian tradisional Jawa dan Sunda, sedangkan di India Selatan, juga dikenal sebagai dhoti, dhuti, mardani, chaadra, dhotar atau panchei, sejenis sarung, yang diikat melingkar secara fisik menyerupai "celana longgar". Pakaian ini, pakaian bagian bawah, yang membentuk pakaian nasional atau tradisional, bagi kaum lelaki.

Jumat, 15 Oktober 2021

Kategori atau Stereotip?

"Purbasangka, bertunas dari disposisi pikiran manusia, untuk memahami dan memproses informasi dalam kategori," berkata Rembulan tatkala ia mulai menyembul. "'Kategori' itu, kata yang lebih baik, lebih netral dibanding 'stereotip', namun keduanya, hal yang sama," imbuhnya, lalu melanjutkan, "Psikolog kognitif, menganggap stereotip sebagai perangkat hemat energi, yang memungkinkan kita, membuat keputusan yang efisien, tentang latarbelakang pengalaman masa lalu; membantu kita, dengan cepat, memproses informasi baru, dan mengingat; memahami perbedaan nyata antar kelompok; dan memprediksi, seringkali dengan akurasi yang cukup, bagaimana orang lain akan berperilaku, atau bagaimana mereka berpikir. Kita, dengan mahir, mengandalkan stereotip, dan informasinya yang cepat, memberi kita peluang menghindari bahaya, mendekati kemungkinan teman baru, memilih satu sekolah atau pekerjaan dibanding yang lain, atau memutuskan bahwa orang di seberang ruangan yang penuh sesak itu, akan menjadi kekasih dalam hidup kita.
Itulah kelebihannya. Kelemahannya, stereotip meratakan perbedaan dalam kategori yang kita lihat, dan membesar-besarkan perbedaan antar kategori.
Kita semua, mengenali keberagaman di dalam partai, etnis, atau bangsa kita sendiri, namun kita cenderung menggeneralisasi dari beberapa pertemuan dengan orang-orang dari kategori lain, dan menyatukannya sebagai 'Mereka.' Terkadang, kita cenderung membagi dunia, seperti yang dilakukan semua orang, menjadi 'Kita' dan 'Mereka'. 'Kita,' kategori sosial yang paling mendasar dalam sistem pengorganisasian otak, dan telah terprogram. Bahkan kata ganti kolektif, 'Kita' dan 'mereka', merupakan sinyal emosional yang kuat.
Namun, segera setelah para manusia menciptakan kategori yang disebut 'Kita', mereka selalu menganggap orang lain sebagai 'bukan-kita.' Jelas, kategori 'Kita' tertentu, lebih penting bagi identitas kita ketimbang jenis mobil yang kita kendarai, atau jumlah titik yang bisa kita tebak pada slide—jenis-kelamin, agama, politik, etnis, dan kebangsaan, sebagai permulaan . Tanpa merasa terikat pada kelompok yang memberi makna, identitas, dan tujuan hidup kita, kita akan merasakan sensasi yang tak tertahankan bahwa kita menjadi kelereng lepas yang mengambang di alam semesta yang acak. Lantaran itulah, kita akan melakukan apa yang diperlukan, demi melestarikan keterikatan ini.

Psikolog evolusioner berpendapat bahwa etnosentrisme—keyakinan bahwa budaya, bangsa, atau agama kita sendiri, lebih unggul dari yang lain—membantu kelangsungan hidup dengan memperkuat ikatan kita dengan kelompok sosial utama kita, dan dengan demikian, meningkatkan kemauan kita agar bekerja, berjuang, dan terkadang, mati demi mereka. Ketika semuanya berjalan dengan baik, orang merasa cukup toleran terhadap budaya dan agama lain, akan tetapi, bila mereka marah, cemas, atau terancam, posisi defaultnya, mengaktifkan titik buta mereka. Kita memiliki kualitas kecerdasan dan emosi manusia, yang mendalam, namun kita menganggap, bahwa 'Mereka' itu, bodoh, cengeng, tak tahu arti cinta, malu, duka, atau penyesalan.
Tindakan berpikir bahwa 'Mereka' tak sepandai atau masuk-akal seperti 'Kita', membuat kita merasa lebih dekat dengan orang lain yang seperti kita. Tapi, sama pentingnya, itu memungkinkan kita, membenarkan bagaimana kita memperlakukan mereka. Kita menggunakan stereotip demi membenarkan perilaku yang sebaliknya, membuat kita merasa buruk tentang orang seperti apa kita, atau jenis negeri tempat kita tinggal.

Purbasangka membenarkan perlakuan buruk, yang ingin kita lakukan pada orang lain, dan kita ingin memberikan perlakuan buruk pada orang lain, karena kita tak menyukai mereka. Dan mengapa kita tak menyukai mereka? Karena mereka bersaing dengan kita, mendapatkan pekerjaan di lapangan pekerjaan yang langka. Karena kita ingin mempertahankan posisi status, kekuasaan, dan hak istimewa kita. Karena kita perlu merasa, kita lebih baik dari seseorang. Karena negara kita sedang berperang melawan mereka. Karena mereka menolak berasimilasi dengan budaya kita.
Dengan memaklumi purbasangka sebagai pelayan pembenaran diri kita, kita dapat melihat dengan lebih jelas, mengapa, purbasangka sulit diberantas: Mereka memungkinkan orang, membenarkan dan mempertahankan identitas sosial mereka yang paling penting—ras, agama, kecenderungan mereka—seraya mengurangi disonansi antara 'Saya orang baik' dan 'Saya benar-benar tak menyukai orang-orang itu.' Untungnya, kita dapat lebih memahami kondisi dimana, purbasangka berkurang: ketika persaingan ekonomi mereda, ketika gencatan senjata ditandatangani, ketika profesi terintegrasi, ketika mereka menjadi lebih akrab dan tenteram, ketika kita berada dalam posisi menyadari bahwa, mereka, tak jauh berbeda dengan kita."

"Dan demikianlah," Rembulan diam sejenak, kemudian menyambung, "Tadi malam, aku melihat seorang Duda, guna menghibur saat-saat kesendiriannya, dan dalam beberapa hal, mengisi percakapan dengan teman bicaranya yang sudah meninggal, bertekad membeli seekor Burung Nuri.

Ia tahu kemana harus pergi, dan tahu peternak unggas yang jujur. Dan dengan pandangannya, ia mengajukan penawaran. Ia bertanya kepada sang peternak, 'Lur, dhulur, ono nggak sih, manuk nurimu, sing iso njerat atiku?' 'Ade Gan!' kata sang peternak dan menunjukkan kepadanya, banyak koleksi burung Nuri, dari berbagai jenis.
Selagi para Nuri mempertontonkan bakat bicara mereka di hadapannya, ada yang mengulangi teriakan para pendemo, yang lain menirukan ucapan seseorang yang meminta jatah barang jarahan, dan yang lain lagi, menangis meminta pelatih, ia mengamati seekor burung nuri hijau, yang bertengger dengan bijak, di kejauhan, di atas potongan kaki sebuah meja.
'Dhadhi, jenengan, tiyang terhormat' katanya, 'Mung meneng.' Yang dijawab oleh sang Nuri, laksana burung filosofis, 'Ane pengen berbuat sesuatu nih!'

'Lur, aku dah mutusin! Aku arep njupuk sing iki!' tukas Duda kita dengan tegas. 'Nyang itu Gan? Beneran? Tapi... tapi itu...!' sang peternak agak tergagap. 'Ndhak adha tapi-tapiyan, jenengan kan tahu, aku bilang suka, ya aku suka, bahkan duwit satu truk penuhpun, ta' bayarin!' kata Duda kita. 'Bukan begitu Gan, maksud ane ... gimane ye ngomongnye?' sang peternak bertambah ragu. 'Wis ta lah Lur, ojo ragu nawa'ke rego! ... utawa iki ...' seraya meletakkan cukup banyak uang di atas meja, lalu berkata, 'Sekarang tolong siapkan burung nurinya, areb ta' gowo mulih!'
Senang dengan suara burung nuri yang masuk akal, Duda kita segera membayar, dan membawa pulang sang unggas, menyangka ada sesuatu yang sangat dahsyat dari makhluk yang telah menunjukkan spesimen istimewa dari bagian tubuhnya yang mencolok.

Namun, setelah mengajari sang Nuri selama sebulan penuh, ia merasakan kekecewaan berat, bahwa, sang Nuri, tak bisa mengucapkan apa-apa selain mengulangi kalimat yang melelahkan, 'Ane pengen berbuat sesuatu nih!'
'Saiki aku ngerti,' katanya, dengan sangat marah, 'Menawa kowe, wong bodho kang ora terkalahkan; lan, kang sepuluh kali luwih bodho, awakku dhewe, amarga, wis nyana, menawa pancen kowe bener-bener pinter.'
Keesokan harinya, Duda kita, mengembalikan sang Nuri balik ke sang peternak, yang berkata, 'Maap ni ye Gan... maaap ... andai ente dengerin ane kemaren, mestinye, ente dapet Nuri yang bagus, tapi, ude lakuuu. Dan Nuri nyang ini, cuman tau satu kalimat, nyang itupun, anak ane nyang ajarin.'
'Sorry Lur, sorry, aku kleru!' Duda kita memohon maaf. 'Nggak ape-ape! Ente masih baek kok, soalnye, ade orang... orang laen maksudnye ... nyang kagak mau ngakuin, salenye die. Nyok, ikut ane Gan, ane tunjukin, burung nyang lebih cakep!'

Rembulan pamit dan berkata, "Sebagai insan yang bisa salah, kita semua berbagi dorongan membenarkan diri sendiri dan menghindari tanggung jawab atas tindakan apapun yang ternyata berbahaya, tak bermoral, atau konyol. Sebagian besar dari kita, takkan pernah mau berada dalam posisi membuat keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan kematian jutaan orang, namun baik akibat dari kesalahan kita, sepele maupun tragis, dalam skala kecil atau kanvas nasional, kebanyakan dari kita, merasa sulit, jika bukan tak mungkin, mengatakan, 'Aku keliru; aku telah berbuat kesalahan besar.' Semakin tinggi taruhannya—emosional, finansial, moral—semakin sulit menyatakannya.
Lebih jauh, para insan mengatakan bahwa: Kebanyakan orang, ketika secara langsung dihadapkan pada bukti bahwa mereka salah, tak mengubah sudut pandang atau arah tindakan mereka, melainkan membenarkannya, bahkan dengan lebih gigih. Walau ada bukti tak terbantahkanpun, jarang sanggup menembus dinding-pelindung, mental pembenaran-diri.

Lao Tse berkata,
Bangsa yang besar itu, ibarat orang yang hebat.
Ketika ia melakukan kesalahan, ia menyadarinya.
Setelah menyadarinya, ia mengakuinya.
Setelah mengakuinya, ia mengoreksinya.
Ia menganggap, mereka yang menunjukkan kesalahannya,
sebagai gurunya, yang penuh dengan kebajikan."
"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Carol Tavris and Elliot Aronson, Mistakes Were Made (but not by me), Harcourt
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin

Selasa, 12 Oktober 2021

Tak Sekadar Bulu (2)

Rembulan menyambung, "Menilai diri kita sendiri, berlandaskan gemerlap dan riasan pakaian, merupakan salah satu kesombongan yang paling hina; dan orang berbudi, akan malu memberikan perhatian padanya, walau sedikitpun. Mereka yang mencermati sesuatu dengan skala berpikir-kritis, akan menimbang-nimbang dan melihat pada maknanya, sebelum mereka terbujuk menetapkan nilai-nilai di atasnya. Pikiran—yang tersimpan bersama perasaan bajik dan rasional—dan perilaku—yang menunjukkan rasa kecukupan diri dan kerendahan hati—menakar pemiliknya, dimana para pengamat yang bijak, siap mengagumi dan mengakuinya.

Perhatikan sketsa berikut,
Seekor Merak, yang membusungkan-dada dengan kepongahan, suatu hari, bertemu sang Bangau, dan agar membuat sang Bangau terpukau, sang Merak membentangkan ekornya yang indah, di bawah sinaran sang Surya. 'Tataplah,' katanya. 'Apa yang dapat engkau sandingkan dengan ini? Aku mengenakan segala kemuliaan Bianglala, sedangkan bulu-bulumu, kelabu bagai debu!'
Sang Bangau merentangkan sayapnya lebar-lebar, dan tinggal landas melambung ke arah sang Surya. 'Kejar aku, jika engkau mampu,' katanya. Walakin Merak, cuma termangu di antara unggas-unggas di dalam pagar lumbung, sementara sang Bangau, melayang bebas jauh ke Tawang Biru. Ia berkata, 'Yang Maslahat jauh lebih penting dan bernilai, ketimbang Riasan.'
Sang Merak menilai dirinya, pada gemerlap dan dandanan pakaian, yang merupakan salah satu pertimbangan yang paling dangkal di alam semesta ini; dan betapa orang yang berakal, akan malu mengakuinya, sekalipun sebagai bagian terkecil dari kemaslahatan. Sungguh, kanak-kanak, dan orang-orang yang banyak berpikir seirama dengan mereka, cenderung terpukau oleh kertas perada yang di pernis, namun bagi mereka yang mencermatinya dengan skala akal-sehat, akan menimbang-nimbang kekuatan dan substansinya, sebelum mereka tergoda menetapkan nilainya.
Andai ada Kemaslahatan dalam mantel bersulam, rompi brokat, sepatu, stoking, atau simpul tasel pada pangkal sebilah pedang, maka hanya ada sedikit dari para pemakainya, yang menyatakan hal itu; namun bisa jadi, ada pernyataan tersebut, berasal dari tempat dimana barang-barang itu, bermuasal, yakni dari para pengrajin yang mengerjakan dan merapikan bahan-bahan yang mereka buat.
Pelajaran moral ini, tak dimaksudkan menghinakan kemegahan pakaian yang bagus dan perlengkapan mewah, yang, sesuai dengan kebutuhan waktu dan keadaan, dapat digunakan dengan kesantunan dan kepatutan yang wajar: akan tetapi, seseorang tak dapat menahan kerisauan, jangan-jangan, ada nilai yang dilekatkan pada barang-barang tersebut, melebihi nilai intrinsiknya.

Selanjutnya, amati sketsa ini,
Seekor Gagak Jackdaw, kadarullah, terbang melintas di atas taman istana Raja. Di sana, ia melihat dengan sangat heran dan iri, sekawanan Merak kerajaan, dengan segala keindahan bulunya yang indah.
Sang Jackdaw hitam, bukanlah unggas yang sangat tampan, tak pula, terlalu baik perilakunya. Namun, ia membayangkan, bahwa segala yang ia butuhkan, agar dirinya layak masuk ke dalam masyarakat Burung Merak, merupakan gaun seperti milik mereka. Lantas, ia mengambil beberapa bulu burung Merak dan menempelkannya di antara bulu-bulu hitamnya.
Dengan mengenakan perhiasan pinjamannya, ia berjalan dengan anggun di antara unggas sejenisnya. Lalu ia terbang ke taman, di antara Burung Merak. Akan tetapi, para Merak segera tahu, siapa dirinya. Marah karena dikadalin, para Merak terbang ke arahnya, mencabut bulu-bulu pinjaman tersebut, dan bulu-bulu milik sang Jackdaw, juga ikut terenggut.
Sang Jackdaw yang malang, dengan remuk-redam, pulang ke teman-temannya yang dulu. Ada kejutan lain, yang tak menyenangkan, menantinya. Kawanannya, belum melupakan sikap congkaknya, dan, sebagai hukuman, mereka mengusirnya, menghujaninya dengan mematuk dan menertawakannya.
Dengan tujuan meraih angka dengan cara meminjam kecerdasan, atau duit pinjaman, pada akhirnya, membuat kita menjadi bahan ledekan sepuluh kali lipat. Lantaran itulah, orang bijak, akan menduduki posisinya dengan kalem, pada maqamnya sendiri, tanpa berpura-pura mengisi posisi orang lain, dan tak pernah mau mempengaruhi dengan terlihat lebih agung dari yang sebenarnya, melalui cahaya semu atau pinjaman.
Apa yang dapat kita pelajari dari fabel ini, pada dasarnya, agar hidup, puas dalam keadaan kita sendiri, apapun itu, tanpa terpengaruh agar terlihat lebih besar dari kita, dengan kilapan bohong-bohongan atau silihan.
Bila tak puas tampil di atas kejatidirian seseorang, cukuplah itu dapat dipandang suatu keburukan; dan mungkin membuatnya terhina di mata orang yang sederajat: Namun bila, ia dibolehkan melakukannya agar tampil lebih baik, tetapi secara sembunyi-sembunyi menutupi sarangnya dengan barang-barang tetangganya, saat ketahuan, ia tak punya apa-apa untuk diharapkan, melainkan dilucuti dari jarahannya, atau dipandang sebagai bajingan penipu, yang sedang melakukan tawar-menawar.

Dan akhirnya, inga-inga sketsa berikut,
Suatu waktu, para unggas berkumpul bersama, memilih seorang Raja, dan diantara kandidatnya, sang Merak. Dengan membentangkan ekornya yang mencolok, dan lirik-sana, lirik-sini, tebar pesona, hingga menarik perhatian banyak unggas dengan penampakannya yang marak, terpilih secara aklamasi.
Tepat saat mereka akan melantiknya, sang Murai, melangkah maju ke tengah-tengah Majelis, dan dengan demikian, berbicara kepada Raja yang baru, 'Semoga, Yang Mulia, yang terpilih, merelakan seorang pengagum yang rendah-hati, demi menghaturkan pertanyaan. Sebagai raja kami, kami telah menyerahkan harta dan hidup kami dalam genggaman Paduka. Karenanya, jika para Elang, Nasar, dan Rajawali, saudara-saudara kita yang suka usil, di masa depan, seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya, menyerbu kita, apa yang akan Tuanku lakukan demi membela kami?'
Pertanyaan bernas ini, membuka mata para unggas, terhadap lemahnya pilihan mereka. Para unggas membatalkan pemilihan, dan sejak saat itu, menganggap sang Merak sebagai raja ngibul, dan memandang sang Murai, sebagai pembicara terbaik di antara mereka."
Sebagai penutup, Rembulan lalu merangkum, “Bentuk dan tampak luar, dalam memilih seorang Pemimpin, janganlah terlalu dianggap sebagai kualitas dan anugerah batin. Dalam memilih seorang Pemimpin, mulai dari Raja sebuah negeri, turun sampai para Pemimpin sebuah perusahaan, pada setiap pemilihan baru, sepantasnya dipertanyakan, siapa di antara kandidat, yang paling mampu memajukan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat; dan kepadanyalah, pilihan dijatuhkan. Namun, mata orang banyak, tersilau oleh kemegahan dan pertunjukan, pesta-pora dan seremoni, sehingga mereka tak dapat melihat hal-hal yang sesungguhnya. Dan dari sini, terjadilah, bahwa begitu banyak kegilaan, yang dilakukan dan dipertahankan di dunia. Masyarakat selayaknya, buka mata dan telinga, menimbang dan mencermati, timbangan dan keutamaan yang sebenarnya, milik seseorang, dan tak dipaksakan oleh warna dan corak buatan. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Handbook of Research on Islamic Business Ethics, Edited by Abbas J. Ali, Edward Elgar
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume I, Darussalam
- Abd Ar Rahman bin Muhammed ibn Khaldun, The Muqaddimah, Translated by Franz Rosenthal, Pantheon Books
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
[Bagian 1]

Jumat, 08 Oktober 2021

Tak Sekadar Bulu (1)

"Kemarin malam," berkata Rembulan setelah menyapa Pungguk dengan salam, "Aku telah menyampaikan kepadamu bahwa, dalam perspektif Islam, fokus kepemimpinan itu, pada Integritas dan Keadilan—termasuk kompetensi yang dibutuhkan, demi menjalankan tugas yang diamanahkan." Rembulan melanjutkan, "Konsep mendengar dan melihat—yang seyogyanya melahirkan pemikiran tajam, yang masuk ke dalam qalbu dan mendominasi gagasannya—berguna ketika mempertimbangkan, memilih Pemimpin.
Kepemimpinan, memainkan peran penting dalam menakrifkan realitas, dan merancang serta menyelaraskan peristiwa, karena kepemimpinan, mencakup aspek praktis dan idealis. Sesungguhnya, substansi kepemimpinan, tak hanya berasal dari kompetensi organisasi, melainkan pula, dari kemampuan menumbuhkan rasa ingin tahu di dalam masyarakat; keberanian membasmi pelanggaran dan memikul tanggung jawab; dan pandangan ke depan guna mengartikulasikan visi yang punya tujuan, agar membuat perubahan yang diinginkan, dan melihat kemungkinan baru secara positif. Substansi yang melekat pada fungsi dan peran ini, bagaimanapun juga, berbeda dari waktu ke waktu, serta lintas budaya dan peradaban. Namun demikian, para pemimpin, hendaknya secara kreatif, menjaga keseimbangan prioritas, memperjelas peluang, menginspirasi masyarakat, dan tetap fokus pada pencapaian tujuan.

Pandangan Islam tentang Kepemimpinan, dipengaruhi oleh petunjuk Al-Qur'an, keteladanan Nabi kita tercinta (ﷺ), dan praktik para Sahabat. Rakyat mempercayakan seorang pemimpin dengan wewenang menunaikan tugas, atas nama dan untuk kepentingan rakyat.
Suatu ketika, Amirul Muminun, 'Umar bin al-Khattab, radhiyallahu 'anhu, Khalifah Kedua, melihat seorang wanita miskin, yang anaknya menangis karena kelaparan, kemudian ia bertanya padanya, adakah keluhannya. Sang ibu menjawab, 'Satu-satunya keluhanku, terhadap 'Umar!' Kemudian 'Umar bertanya, 'Salahkah yang dilakukannya?' Ia menjawab, 'Karena menjadi Pemimpin, tapi mengabaikan keadaan rakyatnya. ' Maka, Umar memperbaiki keadaan, dengan mencukupi kekurangannya, dan memohon maaf lantaran mengabaikan keadaan rakyatnya.
Di sini, kita pahami bahwa, bila sesuatu yang buruk terjadi pada rakyatnya, seorang Pemimpin, jangan ngambek jika kesalahan ditimpakan padanya. Secara teologis, Rakyat, dalam Islam, sumber legitimasi, dan posisi kepemimpinan itu, bergantung pada persetujuan Rakyat. Pemimpin, oleh karenanya, diasumsikan bertindak sesuai dengan harapan Rakyat, jika tidak, Rakyat akan meninggalkannya.
Dalam ajaran Islam, persetujuan Rakyat, merupakan prasyarat kepemimpinan yang efektif. Setelah kepemimpinan terbentuk, baik Rakyat maupun Pemimpin, punya kewajiban dan hak timbal-balik. Khalifah keempat, Ali, radhiyallahu 'anhu, menyatakan, 'Ketika para pemilih dan pemimpin saling menghormati hak masing-masing, diperkuat, ajaran agama dihormati, keadilan ditegakkan, dan masyarakat akan mendapat manfaat.'
Jadi, asumsi-asumsi ini, merupakan dasar bagi pemilihan pemimpin dan sifat kepemimpinan. Dalam hal memilih pemimpin, kualitas pemimpin sangat diperhatikan dalam ajaran Islam dan tradisi awal. Al-Qur'an berulang kali melarang penindasan dan menyerukan keadilan dan keshalihan. Sedangkan kualitas tambahannya, ada mandat agar menjadi, 'Kompeten dan Terpercaya.'
Nabi kita tercinta (ﷺ), memberikan penekanan yang cukup besar pada tiga kualitas: Rahima (kasih-sayang), Ihsan (kebajikan yang bermutu-tinggi atau paripurna) dan Adl (keadilan). Inilah yang dianggap prasyarat kepemimpinan tanpa pertimbangan usia atau etnis. Misalnya, saat Rasulullah (ﷺ) menunjuk Zaid bin Tsabit memimpin umat Islam, Tsabit diposisikan, di bawah komandonya, para anggota senior komunitas Muslim. Dalam hal etnisitas, Rasulullah (ﷺ) menegaskan, 'Taati dan patuhi siapapun yang diberi kewenangan, walau ia orang Etiopia.'
Mayoritas pemikir Islam, sependapat dengan sifat-sifat tersebut. Namun, ada variasi dalam detail dan kualitas tambahan yang khusus, pada tugas atau peristiwa tertentu. Misalnya, Ikhwanus Safa (masyarakat intelektual abad kesepuluh) menegaskan bahwa, para pemimpin hendaknya sehat secara intelektual, menunjukkan komitmen yang teguh terhadap Keadilan, dan seyogyanya memiliki kualitas berikut, demi mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan: kemampuan menindaklanjuti pada, dan peduli dengan, urusan rakyat; memperlakukan manusia sesuai dengan perbuatannya; menerapkan Keadilan tanpa kecuali; menghindari kekejaman; memberi penghargaan yang sesuai, baik kepada orang yang berilmu maupun yang tak berpendidikan, dalam hal posisi dan kompensasi; memilih dan mengangkat bawahan yang memiliki reputasi terbaik dan independen; mengawasi dan menyelenggarakan urusan rakyat; memilih penasihat dari mereka yang memiliki keyakinan dan pandangan yang sama; memilih kepala staf dalam hal iman dan urusan duniawi; melindungi hak-hak orang yang lemah dan tertindas, dan memastikan bahwa orang-orang yang telah diperlakukan secara tidak adil, diberikan keadilan.

Runtuhnya Baghdad, dan berakhirnya era Abbasiyah setelah invasi Mongol pada tahun 1258, membuat sebagian besar masyarakat Muslim dalam kekacauan total. Peristiwa ini merupakan titik-balik dalam sejarah Islam, karena merupakan akhir dari pemikiran rasionalistik dan awal dominasi sekte Qadariyah, dengan kemuraman dan kepesimisannya. Salah seorang dari sedikit pemikir Muslim, yang muncul setelah runtuhnya era Keemasan Islam, Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Ia menghubungkan penurunan budaya dan negara Islam, dengan tak adanya solidaritas kelompok dan kepemimpinan yang bijak. Ia berpendapat bahwa, konsep Ihsan dan kecenderungan perasaan kolektif atau kelompok, merupakan prasyarat bagi setiap pemimpin. Inilah kualitas-kualitas yang diperlukan, dan dengan ketiadaan kualitas-kualitas ini, ia menegaskan, 'akan seperti keberadaan seseorang dengan anggota tubuh terputus.' Ibnu Khaldun berargumen yang kuat bahwa, kemunduran suatu bangsa, terkait dengan ketiadaan kepemimpinan. Dan ketika suatu bangsa tetap menolak pemimpinnya, kebajikannya mereda, dan akhirnya, tak ada lagi kepemimpinan. Ia mewajibkan beberapa kualitas yang dibutuhkan oleh para pemimpin, agar memastikan dapat dukungan. Yaitu: kedermawanan, memaafkan kekeliruan, toleransi terhadap yang lemah, keramahan terhadap tamu, dukungan bawahan, memelihara orang miskin, sabar dalam keadaan sulit, istiqamah dalam menunaikan kewajibannya, dermawan demi menjaga kehormatannya, menghormati agama. hukum dan bagi para ulama yang mempelajarinya, menjunjung tinggi ilmu agama, kepercayaan dan penghormatan bagi para pemeluk agama dan keinginan menerima doa-doa mereka, menghormati orang tua dan guru, bersikap adil bagi yang menyerunya, keadilan terhadap dan kepedulian terhadap mereka yang sangat lemah mengurus diri sendiri, kerendahan hati terhadap orang miskin, perhatian terhadap keluhan, pemenuhan kewajiban hukum agama dan ibadah Ilahi dalam segala detail, dan menghindari penipuan, kelicikan, muslihat dan melalaikan kewajiban.

Rasulullah (ﷺ) memandang kepemimpinan sebagai proses berbagi pengaruh. Dalam perilaku umum beliau (ﷺ), baik dalam urusan agama maupun lainnya, Rasulullah (ﷺ) memelihara komunikasi dua arah dengan Umat. Beliau  
(ﷺ) memanfaatkan debat publik terbuka dan ceramah, guna memperkenalkan perubahan yang diinginkan dan menegaskan kembali bahwa setiap orang, terlepas dari posisinya, seorang pemimpin.
Tampak, Rasulullah (ﷺ) mengenali, bahwa kepemimpinan itu, proses berbagi pengaruh, dan pengaruh tersebut, hendaknya berorientasi pada tujuan melayani Rakyat. Beliau (ﷺ) bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
'Orang yang paling dicintai Allah itu, orang yang paling bermanfaat bagi manusia.' [al-Muʻjam al-Ausa; Shahih menurut Al-Albani]
Maknanya, Kepemimpinan hanya berlaku jika menghasilkan manfaat bagi masyarakat, terlepas dari penataannya. Ketika menghubungkan Kepemimpinan dengan kontribusi masyarakat, Rasulullah (ﷺ) tampak menggarisbawahi pentingnya memikul tanggung jawab, guna mencapai kekompakan dan kemakmuran Rakyat. Selanjutnya, Rasulullah (ﷺ) menyoroti dua kualitas yang diperlukan untuk kepemimpinan: Bujukan-halus dan Berimbang. Dalam hal Bujukan-halus, Al-Qur'an memerintahkan,
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
'Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan Hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka, dengan cara yang baik ....' [QS. An-Nahl (16):125]
Dalam hal Keberimbangan, mencari jalan tengah, dianggap sebagai kebajikan, sebagaimana Rasulullah (ﷺ) menegaskan, 'Jalan terbaik itu, jalan tengah.' Al-Qur'an menyatakan,
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا
'Dan demikian pula, Kami telah menjadikanmu 'Ummatan Wasatan' ....' [QS. Al-Baqarah (2):143]
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
‏ وَالْوَسَطُ الْعَدْلُ
'... Dan Al-Wasat itu, 'Adil' ....' [Tercatat dalam Fathul Bari 8:21, Tuhfatul Ahwadhi 8:297, An-Nasai dalam Al-Kubra 6:292, dan Ibnu Majah 2 : 1432]
Para penerus langsung Rasulullah (ﷺ), tampak, secara umum, tak menyimpang dari pandangan Islam tentang kepemimpinan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an dan ajaran serta teladan Nabi (ﷺ) kita tercinta. Selama masa mereka, Negara Islam yang baru muncul, berkembang, memperoleh lebih banyak sumber daya, dan dalam prosesnya, menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Bahkan para pemimpin yang sejak lama berada di bawah pengawasan Rasulullah (ﷺ), harus menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait pengelolaan negara dan menghadapi ancaman militer yang ada, sambil tanggap terhadap ancaman yang jauh lebih besar, lebih vokal, dan beragam daerah pemilihan. Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang muncul ini, para penerus ini, mengartikulasikan visi kepemimpinan yang menangkap esensi pemikiran Islam dan mendorong masyarakat agar berpartisipasi secara aktif dalam membangun institusi baru dan komunitas yang dinamis. Visi kepemimpinan mereka, didasarkan pada empat asumsi yang saling terkait.
Pertama, Tanggungjawab Kepemimpinan itu, Kewajiban Kewarganegaraan. Pada tahun-tahun awal Islam, umat Islam memandang peran Khalifah sebagai posisi yang mewakili penerus Rasulullah (ﷺ), namun bukan sebagai pewaris hak atau pengganti beliau (ﷺ). Dalam Islam, pemerintah dianggap sebagai sistem sipil, yang sepenuhnya dibangun atas kehendak Rakyat. Persetujuan Rakyat tentang bagaimana sesuatu mesti dilakukan, dan siapa yang harus mengambil posisi kepemimpinan, diperlukan agar memastikan legitimasi dan kelanjutannya.
Kedua, Kepemimpinan itu, Berbagi Pengaruh. Pemimpin dipengaruhi oleh harapan dan tuntutan masyarakat mereka. Dengan demikian, konsensus dalam proses pengambilan keputusan, merupakan landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan. Selama itu, debat publik dan transparansi dalam pengambilan keputusan, menjadi pilihan kebijakan. Hal ini dicontohkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi pada Khalifah Kedua, 'Umar, radhiyallahu 'anhu, dan seorang anggota masyarakat dalam sebuah pertemuan publik. Orang tersebut mengkritik Khalifah kedua, dan ada pengamat yang menganggap kritik itu, terlalu keras. 'Jawaban Umar, bahwa tugas pemimpin dan pengikut, saling mendengarkan, dan menyuarakan keprihatinan. Ia berkata, 'Ketika masyarakat tak berpartisipasi dan memberikan masukan, mereka tak turut-serta dalam sesuatu yang bermanfaat. Dan kami tak berguna, bila kami tak memperkenankan keturut-sertaan mereka.’
Ketiga, Kepemimpinan itu, Hubungan Timbal-balik. Sejalan dengan dua poin pertama, ajaran Islam menegaskan bahwa kepemimpinan bersifat timbal-balik. Asumsi filosofisnya, bahwa takkan ada pemimpin atau kepemimpinan, tanpa ada dukungan. Para pendukung, memberi makna dan legitimasi pada kepemimpinan. Khalifah Pertama, Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, berpendapat bahwa, 'Ketika seorang pemimpin, baik dalam perilaku, masyarakat akan tulus untuknya.' Khalifah keempat, Ali, radhiyallahu 'anhu, mengartikulasikan sifat timbal balik antara pemimpin dan masyarakatnya, dan berpendapat bahwa itu penting demi legitimasi, 'Allah telah membuat kewajiban bagi makhluk-Nya, agar saling mematuhi kewajiban mereka. Dia membuat mereka adil dan saling bergantung. Kewajiban terbesar itu, hak bersama antara pemerintah dan yang diperintah. Allah telah membuatnya timbal balik, sehingga menjadi dasar bagi keterikatan mereka.'
Keempat, Kepemimpinan itu, Wujud dari Keterkaitan. Masyarakat mengaitkan kualitas tertentu dengan pemimpin. Keterkaitan ini, sebagian besar berbasis perilaku; masyarakat mengamati pemimpin dan membuat hubungan yang sesuai antara perilaku dan karakter yang diamati. Dengan demikian, masyarakat mengaitkan, orang tersebut, layak menjadi Pemimpin atau tidak."