Selasa, 30 November 2021

Setiap dari Kita, Pemimpin (3)

Rembulan lalu berkata, "Kekuasaan itu, satu-kesatuan sumber-daya beragam-sisi, yang melibatkan kemampuan mempengaruhi atau mengendalikan orang lain. Kewenangan, dapat dicirikan sebagai hak menggunakan kekuasaan atau mempengaruhi orang lain. Seorang pemimpin, punya Kekuasaan dan Kewenangan. Keduanya berguna mempengaruhi para pengikut atau rakyat. Pemimpin yang baik, mampu mengelola Kekuasaan sesuai dengan Kewenangannya, secara tepat.

Dalam perspektif Islam, pemimpin hendaknya menunaikan Mandat atau Amanah kepada yang berhak dan menegakkan hukum dengan adil. Membuahkan Amanah dan Keadilan itu, merupakan tugas terberat para pemimpin, dan dengannya, rakyat dapat diatur secara proporsional dan profesional. Oleh sebab itu, rakyat hendaknya memilih pemimpin dengan hati-hati dan sungguh-sungguh, karena pemimpin, seyogyanya menjaga agama dan bukan mempermainkannya. Para pemimpin dalam Islam, didorong mempelajari dan memahami konsep ajaran Islam, sehingga mereka tetap mengutamakan kepentingan Islam.
Kekuasaan Tertinggi itu, milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, sedang kekuasaan pemimpin, bersifat sementara, yang akan berakhir setelah jangka waktu tertentu. Kekuasaan dalam Islam, bertujuan membawa Kemakmuran bagi masyarakat dan melindunginya dari mara-bahaya.
Sebagai contoh, ditunjukkan oleh Khalifah Islam ke-dua; Umar bin Khattab, radhiyallahu 'anhu. Walau ia berkuasa di beberapa benua, tetapi ia selalu menjaga setiap individu, dan memastikan bahwa individu tersebut, tetap mendapatkan makanan yang cukup atau tempat tinggal yang layak. Kekuasaan tersebut menjadikan Umar bin Khattab lebih membumi dan rendah-hati. Semakin besar kekuasaan yang ia miliki, semakin rendah ia menempatkan dirinya di depan orang lain atau rakyatnya. Semua orang tahu betapa kuat, tangguh dan betapa bagas dirinya, namun ia akan menggunakan keunggulan ini, demi melawan para penentang Islam dan bukan bagi rakyatnya. Ia tak pernah menyalahgunakan kekuasaannya hanya karena urusan pribadi atau keluarga. Peran-serta Umar bin Khattab ini, diakui oleh Nabi kita (ﷺ) tercinta, terutama tentang bagaimana ia menggunakan kekuasaannya sesuai dengan ajaran Islam, yang kemudian kekasih kita (ﷺ) menyampaikan kepada para Sahabat bahwa 'Andaikan ada Nabi yang datang setelahku, Umar bin Khattab-lah orangnya.'

Banyak peneliti kepemimpinan menekankan pada atribut tertentu. Atribut tersebut dapat dipergunakan membedakan pemimpin yang efektif dan tidak-efektif. Oleh sebab itu, beberapa peneliti, fokus pada hubungan sosial dan sejarah, serta didasarkan pada fenomena relasional dan persepsi sebagai konteks penting dalam konsep kepemimpinan. Lantaran itulah, umat Islam kerap menyebut 'Khilafah' sebagai konsep Kepemimpinan. Namun entah mengapa, banyak orang yang seakan fobia saat mendengarnya.
Kewenangan Rasulullah (ﷺ) dan empat Khalifah, mencakup banyak aspek, tak hanya sebagai pemimpin yang membawahi administrasi pemerintahan, melainkan juga, mencakup urusan agama, pendidikan, keuangan, ilmu pengetahuan, pertanian, air-minum, dan ekonomi. Kewenangan mereka dilegitimasi dan diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta'la dan para penganutnya, maknanya, mereka bertanggung jawab di Dunia dan Akhirat. Kewenangan berkaitan dengan Amanah yang merupakan unsur penting dalam konsep kepemimpinan Islam.
Nabi kita tercinta (ﷺ), manusia yang mengagumkan: pemimpin spiritual, hakim, reformis politik, gubernur, orator dan arbiter. Hadits itu, menangkap perjuangan, kemenangan, kecerdasan dan peri-kemanusiaan beliau (ﷺ), dan karismanya (ﷺ) bersinar melalui catatan-catatan Hadits. Umat Islam memandang Rasulullah (ﷺ) sebagai panutan sempurna seorang manusia, dan pemimpin terbesar dari segala pemimpin, sebagaimana dibuktikan oleh semangat dan ketakjuban yang tulus, yang dengannya para pengikut di seluruh dunia mengutip perkataan dan keteladanan beliau (ﷺ).
Khalifah pertama, Abu Bakar As-Siddiq, radhiyallahu 'anhu, selalu memegang Amanah. Meski ia hanya memimpin umat Islam selama 2 tahun (632–634 H), namun ia meninggalkan warisan dalam menjalankan Amanah penyebaran ajaran Islam dalam keadaan pahit-getir setelah wafatnya Nabi kita tercinta (ﷺ). Abu Bakar-lah pendamping dan penasihat Rasulullah (ﷺ), yang menghabiskan hidupnya di saat-saat susah dan senang. Ia menerima dan menyimpan Amanah sebagaimana mestinya, sampai diserahkan kepada Umar bin Khattab. Inilah rujukan yang baik bagi para pemimpin Muslim dalam hal pendekatan, keputusan dan tindakan mereka, yang disebut referensi otoritas.

Seorang peneliti mengungkapkan pentingnya sifat dan kualitas pemimpin dalam pemikiran Islam. Ia menguraikan berdasarkan sejarah masa lalu di negara Islam, bahwa para pemimpin Muslim memiliki ciri khas sebagai berikut:
 
Kemampuan berpikir atau bertindak secara rasional; Tak mengangkat yang tak setia sebagai wakil; Bebas dari kebencian dan iri-hati; Tak mendengarkan pengghibah dan pemfitnah; Berilmu (Ma'rifah); Dermawan; Fleksibel; Cerdik; Stabil secara mental; Bijak (mencapai Hikmah); Menepati janji; Sabar dan tabah; Punya tekad dan keberanian; Memaafkan; Jujur; Bersyukur; Mengendalikan hasrat; Penjaga; Mampu menyimpan rahasia; Diplomatis; Bertindak-tegas; Rendah-hati; Mampu mengendalikn emosinya; Mengandalkan bukti; Memproses dan menindaklanjuti pekerjaan; Menerima dan bersedia memberikan saran; Penuh perhatian; Organizer yang baik; Menghargai dan mengakui yang berprestasi; Terhormat dalam penampilan; Memulai dari yang mungkin; Gigih (Iqdam); Mampu melihat maslahat dibalik mudharat; Merubah yang minus menjadi plus; Fasih (Fasah); Adil (Al-'Adalah) dan welas-asih; Unggul dalam berkomunikasi; Rendah-hati; Ramah dan lemah-lembut; Keyakinan (Yaqin); Gradualisme bukan radikalisme; Moralitas dan Ketakwaan (jujur ​​dan amanah); Kesejajaran atau Kesetaraan (al-Musawah); Pengorbanan diri (Tadhiyah); Bermusyawarah dan mengajak persatuan; Beriman; Berdaulat (Al-Siyadah); Usaha seumur hidup; Pragmatis dalam hal-hal yang kontroversial; Bebas (al-Hurriyah); Komitmen dan pengorbanan; Syukur dan doa; Amar ma'ruf dan nahi munkar; Cenderung berteman ketimbang bermusuhan; Mendorong kekuatan perdamaian; Tak menjadi pemikir yang dikotomis. 
Sementara itu, dalam konteks komersial, ada dua kategori sifat dan kualitas yang sepantasnya dipunyai seorang pemimpin yang berdisiplin moral. Dorongan moral tersebut sbb,
  • Kesabaran
  • Rasa tanggungjawab
  • Tak mementingkan diri sendiri
  • Mampu mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik
  • Lemah-lembut dan ramah dalam percakapan
  • Bajik
  • Memaafkan
  • Kooperatif
Namun, atribut-atribut yang terkait dengan moral ini, hendaknya disertai dengan atribut-atribut yang berkaitan dengan Penghindaran-moral, yakni,
  • Dusta
  • Amarah
  • Arogan atau Jemawa
  • Berprasangka
  • Mengintai
  • Hasad atau Dengki
Sebagian besar kualitas dan sifat yamg telah disebutkan, digunakan membantu para pemimpin dalam mencapai tujuan mereka. Kualitas pemimpin dalam pemikiran Islam, bertujuan membina organisasi yang sehat dan menghasilkan pengikut atau rakyat yang bersatu dan beriman. Kualitas yang diidentifikasi tampaknya menjadi ciri kepemimpinan yang penting, meskipun tak semua pemimpin menunjukkan kualitas ini secara bersamaan. Faktanya, sejarah negara-negara Muslim berturut-turut telah mengadopsi kualitas-kualitas esensial seperti kasih-sayang, kebaikan-hati dan keadilan."

Kemudian Rembulan menyimpulkan, "Duhai Pungguk! Seluruh kualitas pemimpin dalam Islam, didedikasikan melayani pengikut atau rakyat, dan inilah ibadah demi mencapai keridhaan Allah. Sesungguhnya, para pemimpin itu, mencerminkan kualitas masyarakatnya. Salah satu pemicu yang mungkin dapat menciptakan kualitas di antara para pemimpin, yaitu dengan berilmu. Seorang pemimpin yang memenuhi syarat melalui pendidikan, akan berkualitas, yang pantas memimpin para pengikutnya. Mereka mampu mempelajari keadaan dan menangani banyak masalah dengan tenang, terutama saat mereka selalu melihat bahwa semua masalah, berada di bawah tanggungjawab mereka, yang kelak di Akhirat, akan Allah minta pertanggungjawabannya."
[Bagian 4]

Jumat, 26 November 2021

Setiap dari Kita, Pemimpin (2)

“Pemimpin itu, orang yang hendaknya diikuti dan dipatuhi, sepanjang ia merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits, sebagai pedoman, sebelum mengambil keputusan apapun.” Rembulan melanjutkan. “Allah memerintahkan,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
'Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.' [QS An-Nisa (4):59]
Selain itu, Islam menyatakan ciri-ciri menjadi seorang pemimpin, antara lain hendaknya kaya dengan ilmu dan kekuatan jasmani, yang dengannya, ia dapat sukses memimpin, sebagaimana firman Allah,
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ اِنَّ اللّٰهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوْتَ مَلِكًا ۗ قَالُوْٓا اَنّٰى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ اَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِۗ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهٗ بَسْطَةً فِى الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۗ وَاللّٰهُ يُؤْتِيْ مُلْكَهٗ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
'Dan nabi mereka berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya, Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.' Mereka menjawab, 'Bagaimana Talut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami. lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan ia tak diberi kekayaan yang banyak?' (Sang nabi) menjawab, 'Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.' Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.' [QS. Al-Baqarah 2):247]
Singkatnya, ada tiga karakteristik utama seorang pemimpin, pertama, kompetensi, kedua, kompetensi, dan ketiga, kompetensi. Tentu saja, Iman lebih penting, namun sulit meraba Iman seseorang mengingat Iman dapat bertambah dan berkurang, namun salah satu cara menilai Iman seorang pemimpin itu, dengan mencermati kompetensinya. Orang yang berkompeten itu, orang yang berilmu, dan bukankah puncak ilmu itu, mengenal Allah?" 
"Di luar sana, orang-orang tertentu mengundang kita, mengerjakan hal-hal tertentu, dengan berkata, 'Ayo berbuat baik!'," lanjut Rembulan." Tapi, jika mereka ditanya, 'Bagaimana caranya?' 'Apa takarannya? 'Adakah panduannya?' Si Nganu bilang, 'Pokoke, koyo ngono!' Si Lae bilang, 'Kau kerjakan sajalah!' Tetangga bilang, 'Kurasa, seperti ini...' Malahan, Pakde bilang, 'Meroket!' Masing-masing punya pandangan berbeda," jelas Rembulan.

Kemudian, Rembulan berkata, “Dalam perspektif Islam, tuntunan dalam hidup kita, Allah telah menyediakannya. Sebagai contoh, perhatikan apolog ini,
'Tiada yang lebih nyaman dibanding mendengar kicau-merdu yang disenandungkan para unggas saat kita berada di alam bebas. Salah satu burung-kicau yang indah dan merdu itu, burung Lark!
Lark Bertanduk (Eremophila alpestris), spesies Lark, dapat ditemukan di Amerika Utara, Asia, dan Eropa. Tubuhnya berwarna coklat dengan bulu-dada berwarna putih dengan bercak hitam. Wajahnya kuning atau putih-pucat dengan garis hitam menjulur dari paruh ke bawah mata, yang terlihat seperti mengenakan topeng hitam. Ciri yang paling khas tentang burung ini, ialah sepasang jumbai hitam di kepalanya, yang tampak bagai tanduk, maka iapun dinamai, Lark Bertanduk.
Lark Bertanduk, menggemaskan, karena ukuran dan penampakannya yang mungil. Tampilannya itu, tak hanya membantu agar terlihat menarik, melainkan juga, menolongnya bersembunyi dari pemangsa, sebab tubuh warna coklatnya, dapat berkamuflase dengan tanah kering.
Lark Bertanduk itu, unggas yang ramah. Mereka hidup berkelompok dan sering berburu bersama kawanannya. Mereka bahkan berkomunikasi dengan kawanan Lark Bertanduk lainnya, dengan menyanyikan irama-irama bernada tinggi.
Menurut legenda kuno, nenek moyang Lark, dicipta sebelum bumi itu sendiri. Tentu, karena cuma kurafat, ini belum terbukti kan? Tapi mungkin, ada pesan moralnya.
Naah, ketika ayahnya mati, sebab, bumi kan belum ada, maka sang Lark tak dapat menemukan tempat pemakaman bagi sang ayah. Ia membiarkannya terbaring tanpa dikebumikan selama lima hari, dan pada hari keenam, tak tahu harus berbuat apa, ia menguburkannya di kepalanya sendiri. Lantaran itulah, ia berjumbai, yang secara populer disebut sebagai makam ayahnya.'
Seperti yang telah kusampaikan sebelumnya, bahwa dalam hal berbuat baik, Islam telah memberikan pedoman, semisal, berbuat-baik kepada orang tua (birr al-walidayn). Islam itu, nikmat terbesar Allah, yang dengannya, Dia telah membedakan umat manusia agar menunaikan kewajibannya dalam segala aspek kultur Islam, terutama tentang orangtua dan para-kerabat. Ada banyak Ayat dan Hadits, dan nasihat yang baik dari para Salaf, bahwa, kewajiban setiap Muslim, menghargai orang tuanya dan mendorong agar menghormatinya. Hal ini tak dapat dicapai, tanpa memahami seluruh aspek Dien Islam, yang mesti didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah.
Allah telah memerintahkan berbuat baik kepada orang tua (birr al-walidayn) dan mempererat tali persaudaraan (silah al-rahm). Kata 'birr' dalam bahasa Arab, digunakan untuk menggambarkan hal-hal yang bersifat moralitas, kealiman, penghormatan, keshalihan dan kasih-sayang terhadap segala sesuatu. Meskipun merupakan kata komprehensif yang mengandung banyak makna, Allah menjanjikan surga bagi orang yang mengerjakan 'birr.'
Allah berfirman,
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ
'Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah menunjukkan Ihsan kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya, atau kedua-duanya, sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali, janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan 'uff' dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, 'Duhai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil. ' [QS. Al-Isra (17):23-24]
Menunjukkan ihsan terhadap orangtua, bermakna berbuat-baik (birr) dan memuliakan mereka (iqram). Ada Tiga Prinsip dalam Dien Islam, yaitu Islam, Iman dan Ihsan, sedang Ihsan itu, Prinsip Dien yang Tertinggi. Ihsan itu, sebuah kata yang punya jamak makna, dan tak dapat diterjemahkan secara tepat menjadi satu kata. Dalam konteks memperlakukan orangtua, dapat bermakna kebajikan, kasih-sayang, welas-asih, cinta dan mengutamakan apa yang menyenangkan bagi mereka.
Sehubungan dengan kata 'uff'—diterjemahkan sebagai 'ah' dalam beberapa terjemahan Al-Qur'an—dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dianggap mengecilkan atau meremehkan.
'...janganlah engkau membentak keduanya' bermakna 'jangan berbicara kasar atau meninggikan suara terhadap mereka.'
'... ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik' bermakna bahwa engkau sepantasnya berbicara dengan lembut dan dengan cara terbaik, yang engkau mampu.
'... rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang' karena kasih-sayang dan kemurahan-hati yang engkau rasakan bagi mereka.
Hak-hak orangtua (haqq al-walidayn) dijelaskan sebagaimana firman Allah,
اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ
'... Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu ....' [QS. Luqman (31):14]
Allah mempersandingkan bersyukur kepada-Nya dengan berterimakasih kepada orang tua.

Jadi, persoalannya tentang menimba ilmu. Bagaimana mungkin kita menegakkan Syariat Allah di muka bumi ini, tanpa ilmu? Madzhab mana yang akan kita bawa? Demi menegakkan Syari'at Allah di muka bumi, kita sangat membutuhkan Ulama dan penuntut ilmu; kita membutuhkan penelitian ilmiah; kita hendaknya tekun; dan kita perlu bekerja-keras dan meningkatkan keimanan kita melalui pelatihan dan pendidikan.
Kepada setiap saudara-saudariku yang terhormat, yang berjuang demi mencapai kebaikan dan memerangi kejahatan dan penyimpangan, semoga Allah merahmatimu dalam upayamu, akan tetapi, janganlah lupa membawa Pedang Ilmu. Bagaimana bid'ah dan kurafat yang muncul, dapat ditaklukkan? Wallahi, engkau takkan mampu mengakhirinya tanpa ilmu. Berapa banyak orang yang berdebat dengan penganut keyakinan palsu, cuma untuk bertekuk-lutut lantaran kurangnya ilmu!? Andaipun engkau mampu meyakinkan seseorang bahwa keyakinannya itu, keliru; punyakah engkau ilmu yang mumpuni demi kemudian mengajarinya keyakinan yang benar dan metodologi yang benar?
Dalam mengajar orang lain, tentu saja, tiada yang lebih baik dari Al-Qur'an, Sunnah, dan bimbingan para pendahulu kita yang shalih. Untuk mengajar berdasarkan sumber-sumber ini, membutuhkan ulama, penuntut ilmu, buku-buku yang dapat dipercaya, dan kemampuan membedakan antara yang shahih dan yang maudu'.

Berikut ini, sampel orang atau tipe orang yang mengatakan,
  • Seseorang berkata—mungkin di ruang tamu atau pada jamuan makan malam—, 'Kami ingin syariat Allah diterapkan sebagai suatu sistem dan cara hidup,' namun ia tak tahu sama sekali soal keputusan, perintah, atau larangan Allah menyangkut hal-hal yang mendasar—seperti shalat, puasa, cara berpakaian, adab jamuan pernikahan, atau tata-cara pemakaman.
  • Yang lain mengolok-olok Ulama dan buku-buku agama, dengan mengatakan, 'Ini mengalihkan kita dari Jihad dan dari menegakkan Syariah Allah di muka bumi!'
  • Setelah mendengar seseorang menyeru agar punya tata-krama yang baik, ada orang yang berkata, 'Itukan cuma masalah kecil!.' Ia mengatakan hal yang sama saat mendengar seseorang memperingatkan tentang bid'ah, hadits palsu, dan meniru-niru orang-orang kafir; dan ia mengatakan hal yang sama ketika ia mendengar seseorang berbicara tentang keutamaan Dzikir dan Selawat.
  • Dan ada lagi orang yang, ketika mendengar aturan tertentu Syariah, ia berkata, 'Hal-hal seperti itu mengalihkan perhatian kita dari memerangi ide-ide materialistis yang menyimpang dan kelompok-kelompok yang sesat,' namun jika engkau memintanya menyangkal ide-ide menyimpang yang ia bicarakan, ia takkan mampu memberikan jawaban yang runtut.
  • Yang lain berkata, 'Ulama ini, berpandangan pendek dan pandangan mereka terbatas. Sedangkan pandanganku, paripurna dan lengkap.' Dengan cara ini, ia meremehkan orang-orang yang berilmu. Namun apa realitas pendekatan keparipurnaannya? Ilmu apa yang ia punya tentang Aqidah? Pelajaran apa yang bisa ia banggakan tentang Fiqh? Dia sering berbicara tentang politik, namun pengetahuan apa yang dia miliki tentang subjek itu? Ilmu apa yang ia miliki tentang ekonomi? Dan apa yang ia ketahui tentang Akhlak Islami? Walau ia berbicara tentang keparipurnaan, ia sama sekali tak paripurna. Faktanya, engkau takkan jauh dari sasaran bila engkau mengatakan, 'Ia tak punya apa-apa kecuali kata, 'Sempurna.''
  • Yang lain berkata, 'Kita tak bisa berbuat apa-apa sampai Khilafah benar-benar ditegakkan.' Jika ada percakapan yang tak menyebutkan tema ini, ia akan mengoceh dan mengoceh, tentang kepicikan orang-orang itu.
  • Yang lain bilang, 'Jalan kami, menempuh ilmu dan mengikuti Sunnah, tanpa taklid buta,' namun engkau 'kan segera tahu, bahwa ia sendiri, pengikut taklid buta, seseorang yang bahkan sangat jauh dari mengenal ilmu, sehingga apa yang dimilikinya, hanyalah semboyan. Dengan tanpa ilmu, ia menuduh orang lain bodoh, bid'ah, dan sesat.
  • Kemudian, ada yang mulai berperilaku seolah segala penilaian itu tentang janggut, serban dan gamis, dan hal-hal serupa lainnya, yang tak ada hubungannya dengan perbuatan; cukuplah dalam hal-hal seperti itu, ia memiliki niat baik. Dalam pandangannya, berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, berlaku untuk hal-hal lain.
  • Ada lagi yang lin mengatakan tentang banyak masalah dalam Syariah, 'Ini kan cuma kulit luar saja.' Namun engkau akan menemukan bahwa, ia bahkan tak menerapkan apa yang ia anggap sebagai 'isu inti' Islam. Ia hanya berpendapat seperti yang ia lakukan demi melepaskan diri dari keharusan menerapkan ajaran Islam tertentu.
Bagi mereka yang mengkritik orang lain yang berusaha semaksimal mungkin menerapkan Dien, seyogyanya bertanya pada dirinya sendiri pertanyaan-pertanyaan ini, 'Apa yang telah kusumbangkan bagi diriku sendiri, bagi keluargaku, dan terhadap Umat? Apa yang telah kukemukakan dalam hal perbuatan baik? Dan apa yang telah kulakukan dalam hal perbuatan buruk?” Abdullah bin Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Takkan masuk surga orang yang punya sifat Kibir walau seberat atom (atau seberat semut kecil) di dalam qalbunya.'
Abdullah bin Mas'ud juga meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
'Tak seorang pun yang memiliki bobot benih kesombongan di hatinya akan masuk surga.'
Seseorang berkata, 'Tetapi orang suka berpakaian dan bersepatu yang bagus.'
Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Sesungguhnya, Allah itu indah dan Dia menyukai keindahan. Kesombongan itu, mengabaikan kebenaran dan memandang rendah orang lain.' [Sahih Muslim]
Dan Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Tiga [hal] menghancurkan, dan tiga [hal] menyelamatkan [seseorang dari kehancuran]. Tiga yang menghancurkan itu, sifat kikir yang dipatuhi, hasrat yang dituruti, dan orang yang sangat mementingkan dirinya sendiri. Tiga yang menyelamatkan [seseorang dari kehancuran] itu, takut kepada Allah, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan; sedang antara faqir dan kaya; berimbang dalam hal marah dan ridha.' [Al-Baihaqi; Hasan menurut al-Albani]
Cobalah amati bagaimana menilai terlalu tinggi diri sendiri itu, penyebab kehancuran, dan bagaimana berimbang dalam hal marah dan ridha, menyelamatkan seseorang [dari kehancuran]. Rasulullah (ﷺ) memperingatkan tentang penyakit umat terdahulu,
سَيُصِيبُ أُمَّتِي دَاءُ الأُمَمِ
'Sesungguhnya, penyakit umat terdahulu, akan menimpa umatku.'
Mereka berkata, 'Ya Rasulullah, apa penyakit umat terdahulu itu?'
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الأَشَرُ وَالْبَطَرُ وَالتَّدَابُرُ وَالتَّنَافُسُ فِي الدُّنْيَا وَالتَّبَاغُضُ وَالْبُخْلُ حَتَّى يَكُونَ الْبَغْيُّ ثُمَّ يَكُونَ الْهَرْجُ
'Suka foya-foya, bermewah-mewahan, saling membuang-muka, berlomba mengumpulkan harta-benda, saling-dengki, dan kikir, sehingga terjadi penindasan dan kemudian akan ada pertumpahan darah.' [al-Mu’jam al-Ausaṭ; Hasan menurut Al-Albani]
Beliau (ﷺ) memperingatkan kita bahwa umat Islam akan dikuasai oleh kejahatan, jika sombong, dengan bersabda,
إِذَا مَشَتْ أُمَّتِي بِالْمُطَيْطِيَاءِ وَخَدَمَهَا أَبْنَاءُ الْمُلُوكِ أَبْنَاءُ فَارِسَ وَالرُّومِ سُلِّطَ شِرَارُهَا عَلَى خِيَارِهَا
'Ketika umatku berjalan dengan angkuh dan pelayan mereka para putra raja, Persia, dan Romawi, yang terburuk dari mereka, akan diberikan kepemimpinan atas yang terbaik dari mereka.' [Sunan at-Tirmidzi; Shahih menurut Al-Albani]
Akhirnya, kuingin mengingatkan diriku dan saudara-saudariku tentang hadits penting ini,
ابْغُونِي ضُعَفَاءَكُمْ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ
'Carilah aku diantara yang paling lemah di antara kalian. Sesungguhnya, kalian hanya diberi rezeki dan pertolongan karena dukunganmu kepada orang-orang yang lemah.' [Sunan at-Tirmidzi; Sahih menurut At-Tirmidzi]
Dan dengan demikian, kita memohon kepada Allah, agar merahmati kita dengan keadilan dalam segala urusan, dalam pertimbangan kita terhadap kelompok-kelompok dan pesan-pesan mereka, terlepas dari apakah kita marah atau ridha. Dan kita memohon kepada Allah, agar menolong kita melawan hawa nafsu. Sesungguhnya, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
[Bagian 3]

Selasa, 23 November 2021

Setiap dari Kita, Pemimpin (1)

“Suatu ketika, aku melintasi sebuah negeri bernama Bhumi Adhinata,” ungkap Rembulan usai mengucapkan basmalah dan menyapa dengan salam. “Di negeri itu, aku mengamati dua orang lelaki, dengan masing-masing waritanya. Namun sebelum bercerita tentang mereka, duhai Pungguk, kuingin mengingatkan diriku dan kepada engkau yang berkenan memperhatikan, tentang sesuatu!”

Lalu, Rembulan mengutip, "`Abdullah bin `Umar berkata, 'Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
'Setiap dari kalian itu, gembala, dan bertanggung jawab atas lingkungan kalian dan segala yang berada di bawah pengawasan kalian. Imam [pemimpin] itu, pelindung rakyatnya dan bertanggungjawab atas mereka; dan seorang lelaki itu, pemelihara keluarganya dan bertanggungjawab atas mereka. Seorang wanita itu, pamong rumah suaminya dan bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba itu, penjaga harta milik majikannya dan bertanggungjawab atasnya.'
Kurasa, beliau juga (ﷺ) bersabda,
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
'Seorang lelaki itu, gembala harta ayahnya dan bertanggungjawab atasnya. Kalian semua itu, gembala, dan bertanggung jawab atas lingkungan kalian dan segala yang kalian jaga." [Sahih Al-Bukhari]
Ibnu Sinni meriwayatkan hadits shahih dari Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Setiap anak Adam itu, pemimpin: Seorang lelaki itu, pemimpin atas seluruh keluarganya, dan seorang wanita itu, kepala di dalam rumahnya.”
Jadi, terlepas dari, apakah kita memiliki seorang pemimpin Muslim atau tidak, setiap dari kita itu, gembala, pemimpin, kepala, komandan, pamong di rumahnya—dengan tanggungjawab besar, yang hendaknya ia tunaikan.

Islam itu, agama yang mengatur segala hal, termasuk Kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan pokok-bahasan penting yang dipergunakan guna menyebarkan pengajaran atau dakwah Islam, dan sebagai instrumen paling substansial, agar mewujudkan masyarakat ideal, yang didasarkan pada Keadilan dan Kasih-sayang. Kedua unsur tersebut, saling terkait dan menjadi acuan utama dalam Kepemimpinan. Pemimpin hendaknya menegakkan dan menggalakkan keadilan secara terus menerus, sesuai yang diperintahkan Allah,
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
'Sesungguhnya, Allah menyuruhmu menyampaikan Amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan Adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.' [QS. An-Nisa (4):58]
Ayat ini, diwahyukan tepat setelah Mekah, secara damai, menyerahkan diri kepada kaum Muslimin. 'Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu 'anhu, sepupu dan menantu Rasulullah (ﷺ), merebut kunci Ka'bah dari Utsmân bin Talḥa, penjaga Ka'bah, non-Muslim. Ayat ini diwahyukan kepada Nabi (ﷺ) di dalam Ka'bah dengan perintah agar mengembalikan kunci tersebut kepada pemiliknya yang sah. Beliau (ﷺ) memerintahkan 'Ali agar segera mengembalikannya kepada penjaganya, disertai dengan permintaan maaf. Utsman juga dijanjikan bahwa keluarganya akan menyimpan kunci itu, selamanya. Sang penjaga sangat tersentuh oleh peri-keadilan Al-Qur'an, sehingga ia memutuskan, menerima Islam.

Basis Kepemimpinan, terdiri dari agama, moral dan sumber-daya manusia. Ketiga komponen ini, dilandasi oleh semangat Taqwa. Ada kajian yang menggunakan konsep Taqwa, yang dioperasionalkan pada dua komponen yang berbeda: pertama, spiritualitas dengan tiga dimensi, Iman, Ibadah dan Taubat; dan kedua, Tanggungjawab dengan enam dimensi pengendalian emosi : sedekah, pemberian-maaf, integritas, kesabaran dan keadilan. Dengan pengaruh mediasi dari variabel Kepercayaan, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat Ketakwaan seorang pemimpin, mempengaruhi efektivitasnya, dimana satu dimensi spiritualitas yaitu Iman, dan tiga dimensi tanggung jawab: sedekah, integritas dan pengendalian-emosi, ditemukan menjadi predikat efektivitas kepemimpinan usaha, sedangkan Kepercayaan, ditemukan secara positif mempengaruhi efektivitas kepemimpinan. Selain itu, Kepercayaan, ditemukan sepenuhnya memediasi hubungan antara Iman dan efektivitas kepemimpinan; di sisi lain, Kepercayaan ditemukan memediasi sebagian hubungan antara Tanggungjawab dan efektivitas kepemimpinan. Selain itu, disebutkan bahwa kualitas kepemimpinan Islam, secara positif dapat mempengaruhi sikap pengikut atau rakyat, dan membawa tingkat kepuasan, motivasi, kinerja, energi positif dan loyalitas organisasi yang lebih tinggi, walaupun ditegaskan bahwa kualitas kepemimpinan Islam berfungsi sebagai sumber-daya manusia penting yang menawarkan nilai guna kinerja organisasi. 

Islam itu, sejumlah pegangan tangan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam hadits shahih, 'Pegangan Islam (yaitu, Ajaran dan Hukum Islam) akan dilepas oleh satu pegangan pada waktu yang lain. Setiap kali satu pegangan terlepas, orang akan berpegangan pada pegangan yang mengikutinya. Yang pertama dilepaskan itu, al-Hukm (Hukum Islam), dan yang terakhir, Shalat.”
Karenanya, Islam terdiri dari bagian-bagian yang menyatu; yang paling penting dari bagian-bagian itu, Hukum Islam, yang terdiri dari Shalat, Zakat, Haji, dll. Walau seorang Muslim sibuk menyerukan kepada masyarakat agar menegakkan Syariat Allah sebagai cara hidup dan sebagai konstitusi suatu negara, ia tak dikecualikan dari kewajiban menerapkan Syariat Allah dalam hidupnya, di dalam keluarganya, dan di antara semua orang yang dapat diajaknya.
Hal ini penting dipahami, lantaran beberapa orang yang, misalnya, menyeru orang lain agar membenahi keyakinan mereka dan meningkatkan tingkat pemahaman mereka, dituduh membuat frustrasi upaya orang lain, yang berusaha menegakkan Syariat Allah di sebuah negeri. Dalam contoh lain, engkau mungkin melihat, orang-orang yang kecewa saat mereka disuruh meluruskan shaf dalam shalat; mereka mungkin berkata, misalnya, 'Bukan yang seperti ini seharusnya kita disibukkan sekarang ini.' Namun jika seseorang merenungkan perintah (ﷺ) kekasih kita tentang kebiasaan ini, ia akan sampai pada kesimpulan yang berlawanan. Abu Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan,
Rasulullah (ﷺ) pernah menyentuh bahu kami dalam shalat, dan bersabda,
اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
'Tetaplah lurus, jangan berantakan, karena akan ada perselisihan di qalbumu. Hendaklah engkau yang tenang dan bijak, berada di dekatku, lalu orang-orang di sebelahnya, kemudian orang-orang di sebelahnya.'
Abu Mas'ud berkata, 'Saat ini ada banyak perselisihan di antara kalian.' [Sahih Muslim]
Kekasih kita (ﷺ) dengan jelas menyatakan bahwa tak meluruskan shaf dalam shalat, menyebabkan perselisihan di antara qalbu manusia. Oleh karenanya, kelirulah yang mengatakan bahwa berbicara tentang pentingnya meluruskan shaf, memecah-belah qalbu manusia dan mengalihkan mereka dari ajaran agama yang lebih mustahak.
Perselisihan di antara qalbu umat, kemudian mengarah pada kegagalan, kehancuran, dan sirnanya kekuatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, 
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ
'Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkanmu gentar dan kekuatanmu sirna, dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.' [QS. Al-Anfal (8):46]
Abdullah meriwayatkan, 'Aku mendengar seseorang membaca sebuah ayat Al-Qur'an, namun aku mendengar Nabi (ﷺ) membacakannya secara berbeda. Maka, aku memegang tangannya, dan membawanya ke Rasulullah (ﷺ) yang bersabda,
كِلاَكُمَا مُحْسِنٌ
'Kalian berdua benar.'
Syu`ba, berkata, 'Kurasa, beliau (ﷺ) berkata kepada mereka,
‏ لاَ تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا
“Janganlah kalian berselisih, karena kaum-kaum sebelum kalian, berselisih dan binasa [karena perselisihan mereka].' [Sahih al-Bukhari]
Jika kita gabungkan makna hadits dan ayat tersebut, maka maknanya menjadi, 'Luruskan shafmu, dan janganlah kalian berselisih (baik secara lahiriah saat mengatur shaf Sholat, maupun di dalam qalbumu); jika tidak, kalian akan binasa, akan runtuh, kekuatanmu akan sirna, dan musuh akan mengalahkanmu.
Orang yang beranggapan bahwa jika ingin menegakkan Syariat Allah di muka bumi, harus mengabaikan penjajaran shaf dalam Sholat dan hal-hal serupa lainnya dalam Agama, laksana orang yang menganggap bahwa Sholat lebih penting ketimbang puasa dan lainnya, dan karenanya, ia mencela orang-orang yang berbicara tentang pentingnya puasa atau larangan transaksi berbasis riba. Ini keliru, sebab amalan yang wajib dalam agama itu, beragam. Dan seorang muslim wajib melaksanakannya, sesuai kemampuannya.
Oleh sebab itu, tidaklah adil mengatakan bahwa ada kewajiban yang berbenturan dengan kewajiban lainnya. Berjihad itu, wajib; mengajak orang lain ke jalan Allah itu, wajib; menentang keyakinan yang keliru itu, wajib; memerangi penyebaran ghibah dan fitnah itu, wajib; berbakti kepada orang tua itu, wajib; meluruskan shaf itu, wajib; seorang Muslim bertanggungjawab, sesuai kemampuannya, atas semua kewajiban ini.
Saat seseorang mengatakan bahwa ada prioritas, ia berkata benar. Namun, kita perlu tahu tentang prioritas, bukan demi meninggalkan kewajiban kita, melainkan mengkoordinasikan dan mengklasifikasikan kewajiban kita dan berlomba melakukan perbuatan baik.
Untuk setiap hal yang penting, ada hal lain yang bahkan lebih penting. Namun atas kehadiran apa yang lebih penting, tak mengecilkan atau meniadakan apa yang penting. Hanya saat situasi sulit dan terbatas, ketika seseorang hanya mampu menerapkan satu dari dua atau lebih urusan, ia hendaknya memprioritaskan hal yang lebih utama. Hal ini serupa dengan cara kita—ketika kita tak punya cukup waktu, misalnya—terkadang mengutamakan amal wajib dibanding yang sukarela.
Di saat waktu kita, tak terbatas, yang merupakan aturan dan bukan pengecualian, maka kita hendaknya mmengusahaknnya, sesuai kemampuan kita, menerapkan hal yang lebih penting dan yang lebih penting.
Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ ‏
'Barangsiapa di antara kalian melihat Kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya; dan jika ia tak mampu, maka dengan hatinya. Dan ini [mengubah kemungkaran di dalam hati, setidaknya dengan tulus membencinya] tingkatan Iman terlemah.' [Sahih Muslim]
Dan kita tak boleh melupakan prinsip yurisprudensi, 'Tak boleh menunda klarifikasi hukum dalam suatu masalah, sampai setelah waktunya.' Mari kita anggap engkau mendengar seseorang menyebutkan hadits palsu; akankah engkau menunda mempertanyakan tentang kekeliruannya sampai setelah Syariat Allah diterapkan sebagai cara hidup dan sebagai Konstitusi sebuah negara? Berharapkah engkau bahwa engkau kemudian akan memberitahukan padanya bahwa beberapa tahun yang silam, ia menyebutkan sebuah hadits palsu? Adakah jaminan kalian berdua akan hidup ketika Syariat Islam tegak di sebuah negara? Adakah jaminan yang engkau punya, bahwa engkau akan mengingat semua kekeliaruan yang tak engkau benahi selama bertahun-tahun, atau segala amal-shalih yang tak engkau serukan agar dikerjakan orang lain? Ketika engkau melihat seseorang melakukan kemungkaran, akankah engkau menunda menegurnya sampai negara Islam berdiri? Atau akankah engkau akan menerapkan hadits di atas, 'Barangsiapa dari kalian melihat Kemungkaran ...'
'Kemungkaran' dalam hadits tersebut, dinyatakan sebagai kata benda yang tak terbatas, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut mengacu pada kemungkaran besar dan kecil."
[Bagian 2]

Jumat, 19 November 2021

Kunci Pintu Kelegaan (3)

'Al-Hasan berkata, 'Keadaan Ridha, jarang terjadi, namun Sabar itu, pilihan orang beriman,' sang kusir melanjutkan, lalu meneruskan,' Sulaiman al-Khawas berkata, 'Makna Sabar berada di bawah Ridha. Ridha itu, bahwa seseorang, sebelum munculnya kesusahan, merasa tercukupkan, baik itu ada maupun tidak. Sabar itu, bahwa seseorang, setelah kesusahan bermula, menanggungnya dengan tabah.
Ridha itu, kebalikan dari ketidaksenangan dan ketidakpuasan. Ibnu Mas'ud, radiyallahu 'anhu, berkata, 'Ridha itu, bahwa engkau tak menyenangkan orang dengan mengorbankan kemurkaan Allah; bahwa engkau tak memuji siapapun atas ketentuan yang telah dijadikan Allah kepadamu; dan agar engkau tak menyalahkan siapapun atas apa yang tak diberikan Allah kepadamu. Penganugerahan rezeki, tak ditentukan oleh keserakahan seseorang, dan juga, tak tertahan oleh keengganan orang lain. Dengan Keadilan dan Ilmu Allah, Dia menempatkan kelegaan dan kenikmatan dalam kepastian dan kepuasan, dan kekhawatiran dan kesusahan dalam keraguan dan ketidakpuasan.'
Jurjani mengatakan, hal itu mengacu pada keriangan-hati saat terjadinya Takdir tersebut. Ibnu al-Qayyim menyebutkan bahwa, itulah ketenteraman-hati dalam menghadapi pergantian ketetapan, dan ilmu yang kokoh, bahwa Allah hanya menginginkan, apa yang baik untuknya.

Sabar itu, menahan-diri dan menyembunyikan. Raghib berkata, “Itu menahan-diri sebagaimana ditentukan oleh Hukum yang sah dan Akal-sehat.” Ibnu Hibban berkata, “Diwajibkan bagi orang yang berakal-sehat, pada mulanya, berpegang-teguh pada Kesabaran, di awal kesulitan, dan setelah ia kokoh dalam hal ini, ia kemudian harus beringsut ke tingkat Ridha. Jika seseorang belum diasupi dengan Sabar, ia harus berpegang teguh pada penanaman sabrin itu (tasabbur), karena, itulah tahap pertama dari Ridha.
Jika seseorang bersabar, ia akan sungguh mulia; sebab Sabar itu, sumber dari segala kebajikan dan dasar dari segala ketaatan. Tahapan menuju ke sana, ialah keprihatinan (ihtimam), kesadaran (tayakkuz), pengujian dan kehati-hatian (tatsabbut), dan tasabbur; setelah itu, datanglah Ridha, dan inilah puncak maqam spiritual. Sabar tampil dalam tiga hal: sabar dari dosa; sabar atas ketaatan; dan sabar dalam menghadapi kesulitan dan bencana.’

Perbedaan antara Sabar dan Ridha, bahwa Kesabaran itu, menahan-diri dan mencegahnya dari ketakpuasan saat merasakan ketidaknyamanan atau rasa-sakit. Ridha mengharuskan qalbu agar bersiap menerima apa yang dihadapinya dan, walau jika terasa sakit pada apa yang dihadapinya, Ridha akan menguranginya, bahkan mungkin, menghilangkannya sama sekali. Ini disebabkan, qalbu telah merasakan nafas kepastian dan kesadaran yang menenangkan. Itulah sebabnya, mengapa sekelompok besar para Salaf, akan mengatakan, 'Orang yang Ridha, tak menginginkan keadaan selain keadaannya saat itu, sedang orang yang sabar, menginginkannya.'
Sabar hendaknya ditunjukkan pada awal bencana, Ridha ditampilkan setelah awal bencana. Ini karena seorang hamba, dapat dengan baik memutuskan agar ridha dengan takdir, sebelum terjadinya, namun keputusan itu terusir, saat ia benar-benar menghadapinya. Barangsiapa yang ridha setelah Takdir itu dijatuhkan, maka ia, orang yang benar-benar ridha.
Oleh karenanya, secara ringkas, kesabaran itu wajib dan harus ada. Di luar kesabaran, ada ketidaksenangan dan ketakpuasan, dan barangsiapa tak terima atas ketetapan Allah, maka nasibnya, akan menjadi tak nyaman. Terlebih lagi, rasa-sakit yang akan ia alami, dan kedengkian musuh-musuhnya, akan jauh lebih besar dibanding keputusasaannya.'

Sang penumpang menimpali, 'Ada sebuah cerita, entah itu akan berkait dengan apa yang telah engkau sampaikan, kutak tahu, tapi, maukah engkau mendengarnya?' 'Ya, tentu, sampaikanlah padaku!' jawab sang kusir. Kemudian sang penumpang merawi,
Seekor drone itu, seekor lebah madu jantan. Berbeda dengan lebah pekerja betina, drone tak bersengat. Mereka tak mengumpulkan nektar atau serbuk sari, dan tak mampu memberi makan tanpa bantuan lebah pekerja. Satu-satunya peran drone, kawin dengan lebah ratu yang tak dibuahi.
Kadarullah, seekor drone, mengamati seekor siput, melakukan perjalanannya, yang membosankan, dengan langkah ngesot, yang lambat, 'Aku kagum,' berkata sang drone, 'Betapa sabarnya engkau, ngesot pada kecepatan yang lelet itu, sedang aku, mampu melintas dengan cepat di udara, dan kabur bermil-mil jauhnya, dibanding langkah ngesotmu, yang semili demi semili.'
'Benar sekali,' sahut sang siput, 'Engkau tentulah sanggup terbang dengan kecepatan ribuan kali lipat ketimbang yang kumampu; akan tetapi, ingatlah, bahwa penerbangan ekspresmu, tak meninggalkan jejak atau kenangan, yang menunjukkan bahwa engkau pernah ada; sementara aku, walau lelet, meninggalkan catatan cemerlang tentang lintasanku.'
Sang kusir bertanya, 'Apa pesan moralnya?' Sang penumpang mengomentari, 'Hanya sedikit yang ingin hidup dengan layak, namun banyak yang mendamba, umur-panjang; meski semua orang, kuasa melakukan yang pertama, akan tetapi, walau tiada seorangpun yang menyuruh, malahan banyak yang melakukan, yang belakangan.'

Sang kusir tersenyum dan berkata, 'Lihat, tujuan kita sudah di depan mata. Sebentar lagi, kita akan sampai di sana!' Sang penumpang ikut tersenyum, dan mengangguk. Pedatipun bergerak perlahan menuju tujuannya, diiringi senandung kedua lelaki itu, 
Rain and tears, are the same
[Hujan dan air mata, sama saja]
But in the sun, you've got to play the game
[Namun di bawah sinar-mentari, engkau perlu bermain-main]
When you cry, in winter time,
[Saat engkau meratap, di kala musim-dingin]
You can pretend, 'It's nothing but the rain!'
[Engkau bisa bersandiwara, 'Tiada apa-apa selain hujan!'] 
How many times, I've seen?
[Berapa kali, telah kulihat?]
Tears coming from your blue-eyes
[Air-mata berasal dari 'ain-nilamu]

'Give me an answer of love!'
['Berikanku sebuah jawaban dari cinta!']
'I need an answer of love!'
['Kuperlukan sebuah jawaban dari cinta!']

Rain and tears, in the sun
[Hujan dan air-mata, di bawah sinar-mentari]
But in your heart, you feel, the rainbow waves *)
[Lamun dalam qalbumu, engkau merasa, sang bianglala melambai]
Sebelum pergi, Rembulan berpesan, "Barangsiapa menanamkan Sabar dalam dirinya, Allah akan menganugerahinya Sabar. Allah tak mengaruniakan siapapun, hidayah yang lebih baik dan lebih luas dari Sabar. Mahasuci Allah, As-Sabur, Dzat Yang Maha sabar dan kekal. Dia tak bertindak tergesa-gesa, tetapi menunggu sampai waktu yang tepat. Dia tak menghukum orang-orang yang ingkar dan kufur, Dia memberikan waktu bagi mereka, agar bertobat, atau memberi kesempatan, agar menempuh jalan yang benar. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Imam ‘Abdu’l-Rahman Ibn Nasir al-Sa'di, 8 Steps to Happiness, Dar as-Sunnah
- Ibn Rajab Al-Hanbali, The Three That Follow to the Grave, Dar As-Sunnah
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
*) "Rain And Tears" karya Evangelos Papathanassiou & Gerard Bergman

[Bagian 1]

Selasa, 16 November 2021

Kunci Pintu Kelegaan (2)

Sang kusir menyitir, 'Dan juga, Rasulullah (ﷺ) bersabda, '... dan bersama kesempitan ada kelapangan.' Pernyataan ini dinukil dari firman-Nya,
سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا
'... Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.' [QS. At-Talaq (65):7]
Anas bin Malik berkata, 'Rasulullah (ﷺ) sedang duduk di depan sebuah lubang di tanah dan bersabda, 'Jika kesulitan memasuki relung ini, kemudahan akan mengikuti, dan menghapusnya.' Kemudian Allah mewahyukan,
فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ
'Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya, beserta kesulitan itu ada kemudahan.' [QS. Asy-Syarh (94):5-6]
Ayat-ayat ini diperjelas saat Abu 'Ubaidah dikepung, 'Umar bin al-Khattab menyuratinya, menyampaikan, 'Apapun kesulitan yang dihadapi seseorang, Allah kemudian akan mengirimkan bantuan, sebab satu kesulitan, tak dapat mengalahkan dua kemudahan, dan Dia berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
'Duhai engkau yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu), serta bertakwalah kepada Allah, agar kamu beruntung.' [QS. Ali-'Imran (3):200]
Banyak syair yang tercipta dalam nada ini; salah satunya bertutur,
Sabar itu, kunci pintu kelegaan.
Kemudahan mengikuti setiap kesulitan
Waktu tak berjeda
Sebuah peristiwa, mengikuti yang lain.

Lalu, sang penumpang hendak menegaskan, 'Jadi, Sabarkah itu, sebagai Kunci Pintu Kelegaan?' Sang kusir menjawab, 'Ya, benar! Rasulullah (ﷺ) bersabda, '... dan Kemenangan itu, beriring Kesabaran.' Salah seorang Salaf berkata, 'Kita semua tak menyukai kematian dan rasa sakit dikarenakan cedera, namun kita mencapai derajat yang berbeda, melalui Sabar.' Semua ini, berkaitan dengan perjuangan, tak hanya musuh dari luar, melainkan hal yang sama berlaku terhadap memerangi musuh dari dalam : melawan keegoan-diri dan hawa-nafsu. Sesungguhnya, memeranginya, salah satu bentuk Jihad terbesar. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ
'Al-Mujahid itu, orang yang berjuang melawan dirinya sendiri.' [Jami' at-Tirmidzi; Tirmidzi menyatakannya Hasan Shahih dan disepakati Shahih oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani, dan Al-Arna'ut]
Jihad ini pula, membutuhkan Sabar, siapapun, yang dengan gigih berjuang melawan dirinya sendiri, hasratnya, dan setannya, akan menggapai kemenangan. Barangsiapa, di sisi lain, putus-asa dan melepaskan Sabar, akan dikuasai, takluk, dan tertawan. Ia akan diperhamba dan diperalat, disekap oleh setan dan hasratnya. Disebutkan,
Bila seseorang tak menguasai hasratnya
Mereka akan menjadikan yang berbudi-mulia, tercela

Ketahuilah bahwa egomu itu, laksana hewan, jika ia tahu bahwa engkau tegas dan teguh, ia takkan bergeming, namun bila ia tahu bahwa engkau malas dan bimbang, ia akan memanfaatkan dan selalu mendamba hasratnya, serta mengejar hawa-nafsunya.
Oleh karenanya, perkataan beliau (ﷺ), '... dan Kemenangan itu, beriring Kesabaran,' mencakup kesabaran dan ketabahan dalam berjuang melawan musuh eksternal dan internal. Para Salaf memandang kesabaran yang terakhir ini: sabar berjuang melawan diri-sendiri, dan ingin menjadi lebih baik ketimbang sabar dalam menghadapi cobaan.
Maimun bin Mihran berkata, 'Sabar ada dua kategori: kesabaran ketika menghadapi musibah, dan itu baik, dan kesabaran dalam menghindari dosa, dan itu lebih baik.' Sa'id bin Jubair berkata, 'Sabar ada dua jenis: bentuk terbaiknya, sabar dalam menjauhi apa yang diharamkan Allah dan mengerjakan ibadah-ibadah yang diwajibkan-Nya, serta sabar menghadapi musibah.'

Rasulullah (ﷺ) bersabda,
وَاعْلَمْ أَنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيرًا وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
'Ketahuilah bahwa ada banyak kebaikan dalam bersabar dengan apa yang engkau tak sukai, kemenangan itu, beriring kesabaran, lega 'kan menyertai derita, dan bersama kesulitan, 'kan jelang kemudahan.' [Musnad Ahmad; Shahih menurut Ahmad Syakir]
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا ‏.‏ وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
'Mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah ketimbang mukmin yang lemah, dan pada setiap orang, ada kebajikan, (tetapi) harapkanlah apa yang memberi manfaat (di Akhirat) dan pintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan berkecil-hati, dan jika sesuatu (dalam bentuk musibah) datang kepadamu, jangan ucapkan, 'Andai aku tak melakukannya, takkan terjadi begini dan begitu,' tetapi katakanlah, 'Allah memberlakukan apa yang telah Dia takdirkan,' dan (kalimat) 'andai'-mu, membuka (gerbang) bagi Setan. [Sahih Muslim]
Terkandung dalam hadits ini, bahwa sewaktu seseorang, pada awal derita, mengingatkan dirinya akan Takdir, bisikan setan yang menghadirkan was-was, teruk dan getir, 'kan sirna.
Kala seorang hamba menyerahkan segala urusan kepada Allah dan meyakini bahwa tiada yang 'kan terjadi, melainkan atas kehendak Allah, keyakinan ini, menghapus duka dan masygul. Tatkala seorang hamba melihat cara kerja Hikmah dan Rahmat Allah melalui Titah dan Pentahbisan-Nya, dan mengetahui bahwa atas ketetapan-Nya, Dia tak dapat dipertanyakan, maka ia akan mencapai Ridha atas Takdir Allah.
Tiada yang dapat terjadi padanya, kecuali apa yang telah Dia tetapkan. Ini menunjukkan bahwa, terlepas dari apa yang dihadapi, sulit atau mudah, sama baginya, dan siapapun yang berada dalam posisi seperti itu, takkan didiamkan oleh Allah; sesungguhnya, Dia akan mengambil-alih, mendorong kebaikan untuknya.

Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
'Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, Dia mempercepat hukumannya di dunia. Dan jika Dia menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, Dia menyimpan dosa-dosanya, sampai ia tampil di hadapan-Nya, pada Hari Pembalasan.' [Jami' at-Tirmidzi; Hasan oleh Al-Albani]
Ada banyak cara mencapai Ridha dengan Takdir tersebut,
  • Seorang hamba beriman kepada Allah, dan berkeyakinan kokoh bahwa apapun yang Dia tetapkan bagi seorang mukmin, akan baik baginya. Dengan demikian, ia ibarat seorang pasien, yang taat pada pengobatan seorang dokter ahli: sang pasien akan ridha dengan pelayanannya, baik itu menyakitkan maupun tidak, sebab ia percaya penuh bahwa sang dokter, hanya melakukan apa yang akan bermanfaat baginya.
  • Mencari pahala yang dijanjikan Allah agar Ridha. Sang hamba akan gemar merenungkan hal ini, sehingga ia melupakan segala rasa-sakit yang ia alami. Disebutkan bahwa seorang wanita shalihah Salaf, tersandung dan mematahkan sebuah paku, lalu ia tertawa seraya berkata, 'Kenikmatan pahala-Nya, membuatku melupakan pahitnya derita.'
  • Membenamkan diri dalam cinta kepada Dia, Yang mengutus cobaan, senantiasa menyadari keagungan, keindahan, kemegahan dan kesempurnaan-Nya yang tiada batas. Potensi kesadaran tersebut, akan menyebabkan hamba tenggelam di dalamnya, sehingga ia tak lagi merasakan banyak rasa sakit, sama seperti para wanita, yang menyaksikan Yusuf, lupa akan rasa-sakit, teriris tangannya. Inilah maqam yang lebih tinggi dari yang disebutkan sebelumnya.
[Bagian 3]

Jumat, 12 November 2021

Kunci Pintu Kelegaan (1)

“Aku telah mengunjungi sebuah negeri yang bernama Bhumi Rumi,” terang Rembulan ketika ia muncul, setelah mengucapkan basmalah dan salam. “Aku menangkap percakapan antara seorang kusir pedati, dan penumpang yang duduk di sisinya. Seraya mengendalikan tali-kekang kerbau yang berjalan perlahan, ia berkata, 'Di dalam kesulitaan, cobaan, malapetaka dan bencana, terletak sejumlah manfaat; dimana manfaat ini, punya derajat relevansi yang berbeda, sesuai dengan martabat manusia.' Sang penumpang bertanya, 'Sampaikan manfaatnya!' Sang kusir menyitir, 'Manfaatnya antara lain,
  • Menyadari keagungan Keilahian Allah dan Kemahakuasaan-Nya.
  • Menyadari kehinaan dan merasa kecil sebagai seorang hamba.
  • Mewujudkan keikhlasan karena Allah, Subhanhu wa a'ala. Hal ini disebabkan tak ada cara untuk membendung kesulitan kecuali dengan memohon kepada-Nya dan tiada satu pun yang dapat diandalkan, agar menghilangkannya, kecuali Dia.
  • Bertobat kepada Allah Yang Maha Tinggi, dan mengarahkan qalbu kepada-Nya.
  • Ketertundukan dan permohonan.
  • Hilm, kemampuan mengendalikan-diri dan perangai saat amarahnya meluap-luap. Peringkat Hilm berbeda sesuai dengan besarnya bencana; menunjukkan Hilm pada permulaan bencana yang paling parah itu, dari manifestasi terberatnya.
  • Sabar dan tabah dalam menghadapi penderitaan, yang mengarah pada cinta Allah dan penambahan pahala-Nya.
  • Merasakan kenikmatan di awal musibah, lantaran banyaknya manfaat yang dikandungnya.
  • Bersyukur di awal musibah, sebab banyak manfaat yang dikandungnya. Sebanding dengan orang-sakit yang berterima-kasih kepada dokter, yang baru saja mengamputasi salah satu anggota tubuhnya guna menyelamatkan hidupnya, meskipun ini akan membuatnya cacat sampai batas tertentu.
  • Penghapus dosa dan kesalahan.
  • Menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang mengalami penderitaan dan membantu mereka.
  • Memahami keagungan nikmat kemudahan dan kemaslahatan. Ini karena berkah tak pernah benar-benar disadari sampai seseorang kehilangannya.
  • Memahami apa yang Allah, Subhanahu wa Ta'ala, sebabkan menjadi hasil dari manfaat-manfaat ini, dalam hal pahala di Akhirat.
  • Menyadari banyak manfaat tersembunyi yang dikandungnya. Ketika penguasa zhalim merampas Sarah dari Nabi Ibrahim, alaihissalam, salah satu manfaat tersembunyi dari cobaan ini, ia kemudian diberikan Hajar sebagai hamba yang melahirkan putra Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, alaihissalam, yang dari keturunannya, lahir pemimpin para Rasul dan Penutup Para Nabi (ﷺ). Lihat dan perhatikan, betapa besar manfaat tersembunyi dalam cobaan itu!
  • Kesulitan dan penderitaan mencegah seseorang dari kejahatan, keangkuhan, kecongkakan, besar-kepala, berlagak dan zhalim. Karena kemaslahatan yang besar inilah, mereka yang paling berat cobaanya, para Nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian orang-orang terdekat mereka. Mereka dituduh gila, penyihir, peramal; mereka diejek dan diperolok-olok. Para Sahabat diusir dari rumah dan negeri mereka, dipaksa melarikan-diri meninggalkan harta-bendanya, kesulitan mereka silih berganti, dari kekerasan demi kekerasan, musuh mereka berlipat ganda, terkadang mereka dilemahkan dan dikalahkan, banyak dari mereka terbunuh di Uhud dan di tempat lain serta pertempuran, Rasulullah (ﷺ) terluka di wajahnya, salah satu gigi geraham beliau (ﷺ) patah, dan turban-besinya, terjepit di sisi kepalanya dan terbelah hingga terbuka; musuh-musuh beliau (ﷺ) bersukacita, dan para Sahabat, merasa putus-asa. Mereka terus hidup dalam ketakutan, kemelaratan, dan kemiskinan. Mereka terpaksa mengikatkan batu ke perut karena busung-lapar, dan Rasulullah (ﷺ) tak pernah memakan rotinya dua kali dalam sehari. Ia dilukai dengan berbagai cara, hingga mereka menuduh kesucian istri tercintanya. Para nabi dan orang-orang shalih, selalu mengalami cobaan dan kesengsaraan, dengan coaan setiap insan, sesuai tingkatan Imannya. Beberapa dari mereka, digergaji jadi dua, namun ini tak membuat mereka berpaling dari Iman. Keadaan kesulitan dan kesengsaraan menyebabkan hamba kembali kepada Allah, Subhanhu wa Ta'ala
  • Keadaan yang mudah, sejahtera, dan berkah, menyebabkan seorang hamba kembali kepada Allah. Itulah sebabnya mengapa mereka jarang makan, dan mengenakan pakaian sederhana dll sehingga mereka bisa berada dalam keadaan, yang akan membawa mereka kembali kepada Allah, dan mengabdikan diri kepada-Nya.
  • Merasa senang dan ridha dengan kesulitan, sehingga membawa pada keridhaan Allah. Hal ini karena, baik orang shalih maupun orang berdosa, ditimpa cobaan, maka barangsiapa yang tak ridha di awalnya, baginyalah kesulitan dan kesengsaraan di Dunia dan di Akhirat. Barangsiapa yang merasa cukup dan ridha dengannya, baginya tersimpan keridhaan Allah yang lebih besar, dari Surga dan seisinya.'
Rasulullah (ﷺ) bersabda, '... dan kemudahan itu, datang bersamaan dengan kesusahan.' Sang penumpang meminta, 'Mohon jealskan?' Sang kusir berkata, 'Dalam Kitab-Nya, Allah telah memfirmankan banyak kisah yang berhubungan dengan pertolongan yang datang setelah kesusahan dan kesulitan. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menyampaikan kepada kita, tentang penyelamatan Nabi Nuh, alaihissalam, dan orang-orang yang menyertainya di Bahtera, dari 'kesengsaraan yang sangat berat,' di mana seluruh penduduk bumi tenggelam. Dia memberitakan tentang pertolongan terhadap Nabi Ibrahim, alaihissalam, dari api yang dinyalakan oleh orang-orang musyrik, dan bagaimana Dia menjadikannya 'sejuk dan damai' baginya. Dia juga mengisahkan kepada kita, bagaimana Dia memerintahkan Nabi Ibrahim agar menyembelih putranya dan, pada saat-saat terakhir, bagaimana Dia menebusnya dengan 'qurban yang dahsyat.'
Dia mengisahkan kepada kita, kisah Nabi Musa, alaihissalam, dan bagaimana ibunya, menaruhnya di sungai dan kemudian ia ditemukan oleh keluarga Firaun.
Dia menyampaikan kepada kita, tentang kisah Nabi Musa dan Firaun: bagaimana Dia menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan musuhnya. Dia mengisahkan tentang Nabi Ayyub, Yunus, Ya'qub, Yusuf, alaihimussalam, dan kisah kaum Nabi Yunus, ketika mereka beriman. Dia juga memberitakan tentang banyak kejadian dalam kehidupan kekasih kita (ﷺ), dimana Dia menolong dan menyelamatkan beliau (ﷺ), semisal saat berada di dalam gua, di Perang Badar, Pertempuran Uhud dan Pertempuran Hunain.
Sunnah menyebutkan banyak peristiwa seperti itu, sebagaimana kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua, oleh batu yang jatuh, dan mereka berdoa kepada Allah, menyebut-nyebut amal shalih mereka, dan Dia membebaskan mereka. Dan seperti kisah Nabi Ibrahim dan Sarah dengan tiran yang menginginkannya demi kepentingannya sendiri, dan bagaimana Allah mengalahkan rencana jahatnya.

Peristiwa yang terjadi pada umat Islam, terlalu banyak untuk disebutkan, tetapi dengarkan kisah berikut ini,. Seorang pedagang, yang berencana melakukan perjalanan ke berbagai negeri dengan tujuan berdagang, suatu ketika, pergi ke Kufah dengan semua barang dagangan dan miliknya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seseorang yang melayaninya dengan baik, mereka segera berteman dan ia mulai mempercayainya, sepenuhnya. Kemudian, saat mereka berhenti di tempat peristirahatan, sang teman mengambil keuntungan darinya dan mencuri seluruh harta-benda dan perbekalannya, tanpa meninggalkan apapun. Ia mencari dan mencari, namun tak dapat menemukan kemana sang teman pergi, dan dengan berjalan-kaki dan kelaparan, ia pulang ke kampungnya.
Ia memasuki kotanya pada malam hari, dan mengetuk pintu rumahnya. Saat keluarganya mengetahui bahwa yang datang itu, dirinya, mereka bersukacita dan bersyukur kepada Allah atas kepulangannya dengan mengatakan, 'Istrimu baru saja melahirkan seorang putra, dan kami tak punya uang buat membeli barang-barang yang dibutuhkan bagi wanita yang telah melahirkan. Malam ini, kami sangat lapar, belilah tepung dan minyak untuk lampu.’ Ketika ia mendengarnya, kesulitan dan kesedihannya bertambah. Tak mau memberitahukan apa yang telah terjadi, ia pergi ke toko terdekat dan meyampaikan salam kepada penjaga toko, dan mengumpulkan minyak dan semua yang ia perlukan.
Kemudian, saat berbicara dengan penjaga toko, ia melihat tas pelananya, tergeletak di lantai toko dan bertanya, 'Bagaimana bisa tas tersebut, berada di situ?' Sang penjaga toko berkata, 'Seorang lelaki membeli makanan dariku dan memohon padaku agar menjamunya. Aku menaruh tas pelananya di toko dan mengikat hewan-tunggangannya di rumah tetanggaku. Lelaki itu, sedang tidur di Masjid.’ Dengan membawa tas pelana, ia meuju Masjid, menemukan sang teman yang sedang tidur. Ia menendangnya dan sag teman terbangun ketakutan. 'Maling! Pengkhianat! Di mana harta-bendaku?’ teriaknya. Ia menjawab, 'Itu ada di dalam tas di lehermu,' dan ketika ia memeriksanya, tak ada yang hilang sama sekali. Ia kemudian mengambil hewan-tungganganya, membelanjakan banyak bagi keluarganya, dan kemudian menceriterakan semua yang telah terjadi.

Kisah lain, tentang 'Umar as-Saraya, yang pernah berperang sendirian di provinsi Romawi. Suatu ketika, saat tidur, salah seorang dari mereka, mendatangi, kemudian mendorongnya dengan kaki, membangunkannya. 'Hai Arab,' katanya, 'Kamu punya pilihan: aku bisa membunuhmu dengan tombak, pedang, atau kita bergulat!' Ia berkata, 'Kalau begitu, mari kita bergulat.' Ia memukuli dan, duduk di dadanya, bertanya, 'Dengan cara apa aku membunuhmu?' Ia berteriak, 'Aku bersaksi bahwa segala sesuatu yang disembah di bawah Arsy-Mu itu, bathil kecuali Kemuliaan Wajah-Mu..Engkau menyaksikan keadaanku, maka selamatkanlah aku!’ Kemudian ia jatuh pingsan dan ketika sadar, ia menemukan sang Romawi, terbaring mati di sampingnya.'"
[Bagian 2]
English

Selasa, 09 November 2021

Para Prajurit

"Kemarin malam," sapa Rembulan setelah mengucapkan basmalah dan salam. “Aku baru saja melakukan perjalanan singkat ke negeri yang disebut Bhumi Raksana, dan aku menyaksikan lima macam prajurit di posisinya masing-masing.

Tapi, pertama-tama, kuingin engkau mendengarkan apolog berikut.
Kehormatan, Kehati-hatian, dan Kesenangan, bermitra menempati rumah bersama. Kehormatan bertugas memimpin rumah-tangga, Kehati-hatian menyediakannya, dan Kesenangan mengaturnya.
Selama beberapa waktu, segalanya berjalan dengan sangat baik, dan penuh keselarasan. Akan tetapi, selang beberapa lama, Kesenangan merasa berada di atas awang-awang, mulai melakukan pemborosan dengan berfoya-foya, dan memenuhi rumah dengan teman happy-happy-nya, pemalas, suka hura-hura, dan berakibat membengkaknya pengeluaran, yang mengancam rumah-tangga itu, bangkrut.
Maka, Kehormatan dan Kehati-hatian, merasa sangat perlu memutuskan kemitraan, dengan keluar dari rumah, dan membiarkan Kesenangan, jalani hidup dengan caranya sendiri, yang tak berlangsung lama, karena ia segera mengalami kepapaan, dan datang mengemis, kepada para mantan mitranya, Kehormatan dan Kehati-hatian, yang kini telah menetap bersama-sama di tempat tinggal lain.
Namun, mereka takkan pernah mau mengakui Kesenangan sebagai mitra dalam rumah-tangganya, cukup sekali-sekali saja, mereka mengundangnya, pada hari libur, sekadar pelesir, dan sebagai imbalannya, mereka membiayainya, semata buat beramal.
Sifat Keinginan itu, tak banyak: adalah tugas akal-sehat dan qalbu, mengatur cita-rasa dan selera-hasrat; dan mereka yang menataati aturan-aturannya, akan mampu mewariskan keberlimpahan, kewarasan, dan keteladanan, anugerah yang kaya, kepada anak-cucu.
Segala yang berada di luar kecukupan itu, berlebih-lebihan; segala yang bukan disebut makanan itu, kemewahan; segala yang berada di luar kepatutan itu, bermegah-megahan. Kehilangan penguasaan-diri, punya aspek senyuman dan pemikat, namun sebagai pengiring yang mengerikan; karena berisi segala macam penyakit, lantaran Kematian bertindak sebagai juru-masaknya, yang dengan perlahan-lahan, menginfus racun ke dalam setiap adukan saus.
Kemewahan itu, terhadap kepemilikan, ibarat wabah terhadap kesehatan; sama menularnya, dan sama merusaknya; penyakit yang tak hanya dialami individu, melainkan juga, para juragan monarki yang mulia, dan sebagian besar negeri yang sedang tumbuh, telah mati, dan sebagai konsekuensinya, bahkan kota-kota terkayapun, dapat turun-derajat menjadi kesengsaraan, dan keturunan-warganya menjadi semiskin nenek-moyang mereka yang paling awal; namun tak punya pengekangan-diri, ketekunan, atau kebajikan.

Kedua, kuingin engkau tahu, bahwa kelabilan umat manusia, sangat sering, memberikan nilai dan kepentingan berlebihan, pada hal-hal baru, walau mungkin, jauh lebih rendah kualitasnya dibanding yang mereka miliki sebelumnya, dan tak merasa bersalah setelah lama menikmati manfaatnya.
Jadi, aku mencermati seorang Perwira Kavaleri, punya seekor kuda yang sangat mengagumkan, namun, entah mengapa, kepingin beli kuda yang lain, yang tak sebagus yang pertama, namun yang kerap ia rawat dengan tekun, menyediakan selalu, segala yang terbaik, dari yang mungkin diinginkan sang kuda.
'Apa alasannya,' berkata sang kuda kedua kepada yang pertama, 'Bahwa majikan kita, memperlakukanku lebih baik dan memanjakanku, dibanding engkau, yang lebih gagah, lebih gesit, dan lebih kuat dibanding diriku?'
Kuda pertama memberi jawaban begini, 'Nah, itulah eksploitasi umat manusia, yang selalu lebih menyukai apapun objek kebaruan bagi mereka, dibanding hal-hal yang lebih bernilai, namun lebih akrab di mata mereka; dan engkau sendiri, sebaiknya bersiap-siap, memberi tempat pada objek perhatian yang lebih baru dibanding dirimu. Segalanya berubah, tiada yang tetap sama.'

Di tempat lain, seorang Prajurit, semasa perang, bersusah-payah menjaga agar Kudanya cukup makan dan dirawat dengan baik, dan dalam kondisi prima. Ketika perang usai, gaji sang prajurit dipotong, dan ia mempertimbangkan Kudanya, yang telah menemaninya dalam banyak pertempuran sengit, dipergunakan menyeret balok kayu besar, dan dipersewakan, dalam pemakaian yang sangat kasar dan dengan cara yang tak menyenangkan lainnya.
Lantaran hampir tak diberi makan dan diperlakukan dengan buruk, kekuatan dan semangat sang satwa, menurun. Semuanya terjadi tak lama sebelum perang berkecamuk lagi, dan sang Prajurit, membawa pulang kembali Kudanya, dan berupaya, memberi makanan dan perawatan yang lebih baik, agar mengembalikannya seperti kuda perang lagi.
Namun, tiada waktu untuk ini; dan sang Kuda, saat kaki-kakinya yang lemah, menyerah lunglai saat menyerang, berkata kepada sang majikan, 'Sekarang, sudah terlambat membenahi kelalaianmu. Engkau telah melingsirku, dari Kuda menjadi Keledai. Bukan salahku jika aku tak mampu lagi memanggulmu seperti dulu. Perawatan, menentukan Kemampuan!'

Di lokasi lain, dua Prajurit yang bepergian bersama, dihadang oleh Perampok. Yang satu melarikan diri, yang lain, berdiri-tegak dan membela diri dengan tangan-kanannya yang bagas.
Perampok dibunuh, dan sang kawan pengecut, berlari menyongsong dan menghunus pedangnya, kemudian, melemparkan jubahnya seraya berkata, 'Akan kutebas orang itu, dan 'kan kuberi pelajaran agar ia tahu, dengan siapa ia berurusan.' Tentang hal ini, ia yang telah bertarung mati-matian melawan Perampok, dengan datar menjawab, 'Sekarang, aku cuma bisa berharap, engkau telah membantuku, walau itu cuma sekedar kata-kata yang baru saja engkau ucapkan, akan membangkitkan keberanianku, sebab aku percaya bahwa perkataanmu benar; tapi sekarang, simpanlah pedangmu di sarungnya dan tahanlah lidahmu yang sama tak bergunanya, sampai engkau bisa menipu orang lain, yang tak mengenalmu. Sungguh, aku yang telah mengenal kecepatan larimu, tahu betul, bahwa tiada yang dapat diandalkan pada keberanian orang sepertimu. Tindakan, lebih lantang ketimbang ngomong doang.'

Akhirnya, aku memperhatikan seorang Prajurit, yang sedang mendandani kudanya, menilik bahwa salah satu tapal sang kuda, longgar, akan tetapi, ia menunda memukul-masuk ladam tersebut.
Segera setelah itu, suara terompet berbunyi, menyerukan agar ia bergabung dengan korpsnya, yang diperintahkan bergegas-maju dan menyerang musuh.
Dalam panasnya kecamuk aksi peperangan, ladam yang longgar tadi, lepas, sang kuda menjadi timpang, tersandung, dan menghempaskan penunggangnya ke tanah, yang langsung dibantai para musuh.
Ada petitih masyhur, yang memperingatkan kita, agar jangan pernah meninggalkan sesuatu yang harus dilakukan esok, tapi memungkinkan bisa dilakukan hari ini, dan apolog tadi menunjukkan, bahwa, menunda semata satu jam sebuah urusan, yang tampaknya sepele, dapat menyebabkan kematian."

"Hanya itu yang dapat kusampaikan malam ini, duhai Pungguk! Setiap apolog yang kuhaturkan, punya pesan moralnya masing-masing, namun saling berkait. Maha Suci Allah dengan segala Kemuliaan-Nya. Wallahu a'lam."
Dengan lembut, Rembulan memudar, disertai lantunan,
Now I feel I'm growing older
[Sekarang kumerasa bertambah tua]
And the songs that I have sung
[Dan lagu-lagu yang telah kunyanyikan]
Echo in the distance
[Bergema di Cakrawala]
Like the sound
[Bagai bahana]
Of a windmill going round
[Dari kincir-angin nan terus-berputar]
Guess I'll always be a soldier of fortune *)
[Kutebak, kukan s'lalu jadi Prajurit Bayaran]
Kutipan & Rujukan:
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Soldier of Fortune" karya Ritchie Blackmore & David Coverdale

Jumat, 05 November 2021

Yang Dua Pergi, Yang Satu Tinggal (4)

Penguin kedua menawarkan, 'Maukah engkau mendengar sebuah cerita?' Yang pertama mengangguk, 'Tentu, sampaikan padaku!'
'Nah, ini cerita tentang monyet yang mencari nafkah sebagai nelayan dan ia punya kebiasaan, bangun kesiangan,' sang penguin memulai ceritanya.

'Cerita berawal ketika, suatu hari, di musim dingin, kadarullah, sang Nelayan melihat gurita, dan berkata, 'Bila aku menanggalkan pakaianku, dan melompat mengejarnya, aku akan mati membeku! Namun, jika aku tak menangkap sang gurita, aku akan mengutuk diriku, karena mati kelaparan!' Lantas, ia menanggalkan seluruh pakaiannya, telanjang-bulat. Namun, alih-alih menangkap sang gurita, bahkan menjangkaunya pun, ia tak sanggup. Beruntung, ia masih selamat.
Hari-hari berlalu, tapi tetap saja, sang gurita, terlalu licin ditangkap.

Dan tibalah musim semi.
Sang monyet, tahu bahwa ia ahli dalam bermusik, lalu, membawa seruling dan jala ke tepi pantai. Berdiri di atas batu yang menonjol, ia memainkan nada dan irama, dengan harapan, para ikan akan tertarik oleh melodinya, dan dengan sendirinya, menari, berdansa atau berjoget masuk ke dalam jaringnya, yang telah ia bentangkan di bawah air.
Akhirnya, luwamaa menunggu, sia-sia, iapun menyisihkan serulingnya, dan menebarkan jala ke permukaan laut, menghasilkan tangkapan ikan yang sangat banyak. Ketika ia memperhatikan para ikan yang melompat-lompat, seolah berdansa di dalam jaringnya, di atas batu, ia berkata, 'Duhai makhluk yang gigih, saat aku meniup serulingku, kalian tak mau menari, tetapi sekarang, setelah aku berhenti, kalian melakukannya dengan senang-hati.'
'Ngaanuuu!' berkata seekor Ikan tua, 'Bukankah bila engkau berada di bawah kekuasaan seseorang, engkau akan melakukan apa saja yang ia perintahkan? Ada aturan dan metode tertentu, demi melakukan sesesuatu di dunia ini; dan oleh karenanya, biarlah setiap orang, berpegang pada urusan yang ia pahami, dan menjadi sesuatu, dengan syarat, tanpa menjadikan sebuah profesi, mengaduk-ngaduk yang lain.'

Tak puas dengan hasil tangkapannya, esok-harinya, sang nelayan menebarkan jala di sungai, yang mencakupi seluruh aliran dari satu sisi, ke sisi yang lain, mengambil galah panjang, dan menepuk-nepuk keras permukaan air, agar para ikan, berlari masuk ke dalam jalanya.
Salah satu tetangga yang tinggal di sana, melihat ia melakukannya, bertanya-tanya apa maksudnya; dan menghampirinya, 'Bung!' katanya, 'Apa yang ente lakukan di sini? Tak berpikirkah ente, bahwa itu tak pantas dilakukan. Ente berdiri disitu, memercikkan air sungai, sehingga menjadikannya berlumpur, keruh, dan tak layak dipakai?' Lalu, sang tetangga lanjut berkata dengan sebal, 'Menjala ikan di air keruh? Jangan dooong!' Namun, sang nelayan malah menukas, menjawab, 'Aku tak pusingkan diriku sendiri, dan juga hidupmu dengan aku melakukan ini, tapi yang kutahu, aku harus melakukannya, jika tidak, tak ada yang bisa kumakan!'
Namun tiba-tiba, sesuatu bergerak dari dasar sungai, dan tangan-tangan gurita, secepat kilat, menyambar kaki sang nelayan, menyeretnya ke muara. Sungguh, hidup sang nelayan, berakhir menyedihkan.
Para tetangga, yang tak menyangka kejadian ini, bercakap-cakap. Yang telah menegurnya, berkata, 'Ada orang, yang dengan prinsip-prinsip jahatnya, tak peduli dengan kerusakan atau kekacauan apa yang ditimbulkannya di dunia, asalkan mereka dapat memuaskan sedikit selera, yang mementingkan diri sendiri.

Seorang perampok, mau membakar seluruh jalan, agar mendapat kesempatan merampok sebuah rumah; orang yang sakit jiwanya, akan menyalakan api perselisihan di antara teman dan tetangga, semata-mata demi melampiaskan watak dengkinya. Dan dalam skala besar, ada orang, yang, demi mensukseskan rencana ambisiusnya, tak ragu-ragu melibatkan negerinya sendiri, dalam pertaruhan dan permusuhan, dan terkadang, dalam perang dan pertumpahan-darah, asalkan mereka tetap mempertahankan kekuasaan, mereka tak peduli, malapetaka dan kehancuran apa yang mereka bawa ke atas manusia lain.
Mereka melihat sekeliling, kacau dengan faksi dan kemarahan kelompok, tanpa sedikitpun penyesalan atau belas-kasihan. Air mata janda, tangisan anak-yatim, dan desahan putus-asa, tak mampu mempengaruhi mereka. Ibarat sang Nelayan, mereka dengan gagah-perkasa mengejar kesenangan, dan hanya menjawab, 'Memang seharusnya begitu, karena kami tak bisa hidup, seperti yang kami lakukan, tanpanya.' Betapa kasarnya sentimen yang tak ramah ini; laksana sebuah gejala alam, yang sulit dicerna!
Mereka yang masih punya jejak kesetaraan di dalam dadanya, atau yang mau memperhatikan hak-hak umat manusia, sepantasnya, mengajukan penolakan terhadap ide-ide semacam ini, dan menentangnya dengan segenap tenaga dan kekuatan.'

Yang lain menimpali, 'Mereka tak peduli kerusakan apa atau kekacauan apa yang mereka timbulkan di dunia, asal mereka bisa mencapai tujuan mereka, atau bahkan, memuaskan sedikit selera egonya.
Mereka hanya mempertahankan diri dalam kekuasaan, mereka tak peduli malapetaka dan kehancuran apa yang mereka bawa ke atas umat manusia. Satu-satunya alasan mereka, bahwa memang harus demikian, karena mereka tak dapat hidup seperti yang mereka inginkan, tanpanya. Oleh karenanya, yang masih punya kebahagian hati-nurani umat-manusia, sebab, bahagia dan moral itu, tak terpisahkan, hendaknya menolak gagasan mereka dengan sekuat tenaga; dan pada saat yang sama, menjauhkan masyarakat dari karakteristik semacam itu, agar tak mewabah, dan menyampaikan kepada anak-cucu, bahwa karakter-karakter seperti itu, menjijikkan.'

Sang penguin menutup ceritanya dengan berkata, 'Sudah larut, ayo pulang!' Yang lain mengangguk, 'Ya, anak-anak sedang menunggu hasil tangkapan kita.'

Demikianlah, dengan langkah khas penguin, mereka berjalan menyusuri pantai, dan kemudian perlahan-lahan, menyapa sang ombak, dan bernyanyi,
I'd like to be
Under the sea
In an octopus' garden
In the shade

We would sing
And dance around
Because we know
We can't be found

We would be so happy
You and me
No one there to tell us
What to do

I'd like to be
Under the sea
In an octopus' garden
With you *)
Saatnya pergi, Rembulan pun pamit, seraya mengucapkan, “Dan segala puja dan puji, hanya milik Allah Al-Wahid, dan selawat dan salam, semoga Allah curahkan kepada pemimpin kita, Nabi kita tercinta (ﷺ), atas Keluarga dan para Sahabat, sampai Akhir Zaman. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Ibn Rajab Al-Hanbali, The Three That Follow to the Grave, Dar As-Sunnah
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
*) Octopus's Garden, karya Sir Richard Starkey MBE, lebih dikenal dengan nama panggung, Ringo Starr.