Senin, 30 Januari 2023

Bila Burung Camar Berbicara tentang Kekebalan Khusus

"Beberapa hari ini, sang Purnama belum muncul, dan aku mendengarkan Burung Camar bercerita," tukas Swara ketika ia sampai, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. Lalu ia berdendang,

Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan, di balik awan
Membawa angan-anganku jauh meniti buih
Lalu hilang jauh di lautan *)

"Sebelum menyampaikan tentang cerita sang Camar," imbuh Swara, "coba dengarkan cerita ini, 'Sebuah ruangan, penuh dengan ibu hamil dan pasangannya. Kelas Lamaze berjalan lancar. Sang instruktur sedang mengajarkan kepada para calon Bunda, cara bernapas dengan benar, dan menyampaikan kepada para calon Bapak, bagaimana memberikan dukungan dan dorongan yang dibutuhkan.
'Olahraga itu baik lho buat Bunda,' pesan sang Instruktur.
'Berjalan sangat bermanfaat. Dan, buat bapak-bapak, alangkah baiknya, jika meluangkan waktu, berjalan-jalan bersama pasangan Anda!'
Seorang lelaki, yang berada di tengah kelompoknya, angkat bicara, 'Boleh gak ya, pasangan kita, s'kalian bawain tas-golf, waktu jalan-jalan?'" 
"Sang camar yang tak cemar, berkata," lanjut Swara, 'Filsafat Barat, sesungguhnya bukanlah dimulai oleh Socrates, namun setidaknya, kita belajar tentang mitos seorang pendiri. Socrates itu, lalat-pengganggu. Ia menunjukkan bahwa orang-orang yang dianggap paling bijak di Athena, tak dapat menjawab apa yang nampak seperti pertanyaan sederhana, tentang wilayah keahlian mereka. Seorang abid, tak mampu menjelaskan apa itu Ibadah; orang yang mengaku adil, tak bisa menjelaskan apa itu Keadilan. Socrates menunjukkan betapa banyak orang menerimanya begitu saja, dan betapa sedikit, yang mampu mempertimbangkan asumsi dasarnya. Tentu saja, perilaku seperti ini, berbahaya. Makanya, orang Athena tak suka; mereka mengeksekusi Socrates. Namun, filsafat tak semata 'berbahaya' bagi para filsuf. Filsafat membawa ide-ide tersembunyi kita ke permukaan dan mengungkap kontradiksi yang tak terlihat. Apa yang kita kira jelas, nampak begitu buram kala direnungkan. Pengamatan filosofis, sering menunjukkan bahwa keyakinan inti kita, amburadul. Seringkali kita berbuat kekeliruan yang berbahaya, saat berupaya membereskan kekacauan itu. Saat ini, beberapa negara masih menderita warisan kekeliruan masa-lalu para filsuf.
Akan tetapi, pada saat yang sama, kita tak membuat kemajuan tanpa menantangnya, dan dalam banyak persoalan, mengubah gagasan moral kita. Umumnya, dan semestinya, dalam masyarakat kekinian seperi sekarang ini, orang hidup jauh lebih baik dan jauh lebih adil ketimbang seribu tahun yang lalu. Penting bagi kita melihat, bahwa sekarang, agen pemerintah sebagai pelayan yang ditunjuk oleh rakyat, bukanlah para Juragan pilihan para dewa. Penting bagi kita melihat, bahwa masyarakat, dimana-mana, sebagai bagian dari komunitas moral yang sama ketimbang menganggap, seperti yang dilakukan kebanyakan orang terdahulu, bahwa 'orang barbar' di luar perbatasan kita, juga berada di luar perhatian moral kita. Penting bagi kita mengakui, bahwa pemimpin pemerintahan dan warga sipil, pada dasarnya, setara secara moral; tiada satu set hak pun yang lebih, bagi yang lebih tinggi, dan satu set hak yang berbeda, bagi yang lebih rendah. Tapi sungguh aneh, di negeri antah berantah, ada orang-orang yang tak menyadari hal ini, dan tetap menganut pemikiran orang dulu. Bayangin coba, masyarakat sipil yang mengkritik agen pemerintah, dianggap menghina dan harus di adili. Namun sebaliknya, bila ada agen pemerintah melakukan tindakan berbahaya, dipandang wajar dengan beragam pembenaran.
Acapkali, apa yang tampak seperti bincang-bincang akademis belaka, nongol secara politis. Pada paruh kedua abad ke-20, para filsuf memperdebatkan, selalu salahkah penyiksaan itu, atau diperbolehkankah, atau setidaknya, dapatkah dimaafkan, yang mengekstraksi informasi dari teroris dalam kasus 'bom waktu'. Kemudian Amerika mendeklarasikan 'Perang Melawan Teror', dan mendadak, pembicaraannya, tak lagi bersifat akademis.

Proses berpikir-ktitis seperti para filsuf, kerap berurusan dengan pertanyaan dan poin yang berbahaya, ketika secara kritis, memeriksa asumsi kita yang paling mendasar, dan menimbang-nimbang, bertahankah keyakinan itu terhadap pengamatan yang cermat. Melakukannya, dijamin, nyaris dipastikan, ada yang baper. Nah, disinilah letaknya.

Jason Brennan menulis, bahwa di dunia nyata, hampir setiap hari, orang-orang yang memegang kendali kekuasaan dalam masyarakat demokratis—termasuk presiden, birokrat, hakim, petugas polisi, agen rahasia, dan bahkan pemilih demokratis—menggunakan kekuasaan mereka, dengan jalan yang sangat tak adil dan cara-cara yang tak bertanggung jawab. Maka, satu pertanyaan mendesak terhadap filsafat politik ialah, apa yang boleh dilakukan oleh warga negara biasa dalam menghadapi ketidakadilan.
Dalam bukunya yang ternama, Exit, Voice, and Loyalty, ekonom politik, Albert Hirschman, menganalisis tiga cara utama pelanggan perusahaan atau anggota organisasi, kemungkinan bereaksi terhadap perilaku buruk pihak perusahaan atau organisasi. Mereka mungkin 'exit', maksudnya pelanggan bakalan berhenti membeli produk mereka atau anggota organisasi (seperti karyawan) bisa jadi, pergi. Mereka barangkali menggunakan 'voice', yang bermakna bahwa mereka bakal mengadu kepada orang-orang di dalam organisasi itu sendiri, seperti orang-orang yang memegang kekuasaan atas organisasi tersebut, atau masyarakat luas. Terakhir, mereka mungkin masih loyal—yaitu, mereka berkecenderungan, bertahan dengan perusahaan atau organisasi, kendati punya kekurangan. Hirschman tak mengatakan bahwa loyalitas selalu menjadi alternatif voice atau exit. Sebaliknya, perilaku loyal dapat menambah voice atau ancaman exit pelanggan.

Banyak filsuf dan orang awam, k'lihatannya percaya bahwa kala kita bereaksi terhadap penindasan dan ketidakadilan politik, pilihan kita terbatas pada voice, exit, atau loyal. Ada yang berpendapat bahwa kita wajib berpartisipasi dalam politik, memprotes, terlibat dalam kampanye politik, dan mendorong perubahan sosial melalui jalur politik. Yang lain memikirkan bahwa tindakan seperti itu, pujian belaka. Sebagian besar berpendapat bahwa kita punya pilihan untuk diam atau beremigrasi ke negara lain. Secara umum, mereka cenderung berasumsi atau menyimpulkan bahwa ketika pemerintah mengeluarkan perintah yang tak adil, berperilaku tak adil, atau mengesahkan undang-undang yang tak adil, kita cuma bisa mematuhi, mengeluh, atau berhenti. Biasanya, kita hendaknya mematuhi hukum itu, atau jika kita melanggar hukum sebagai protes, kita harus siap menanggung akibatnya, termasuk menerima hukuman. Mereka biasanya cenderung setuju bahwa kita tak boleh melawan agen pemerintah, terutama agen rezim demokratis.

Mempertimbangkan pertanyaan tentang pembantaian atau pembunuhan defensif, Andrew Altman dan Christopher Wellman berkata, 'Pastinya, seseorang diperbolehkan membunuh [Joseph] Stalin pada tahun 1930-an.' Namun jika demikian, tak bolehkah pula melakukan tindakan serupa terhadap pejabat pemerintah jika itu satu-satunya jalan menghentikan mereka dari merugikan orang yang tak bersalah? Jika engkau dapat membunuh Adolf Hitler guna menghentikannya menyerang Polandia, diperbolehkankah engkau melakukan hal yang sama kepada seorang presiden guna menghentikannya menyerang Filipina, atau memerintahkan pembantaian genosida dan pemindahan paksa suatu kelompok etnis? Andai engkau boleh membunuh agen Gestapo demi menghentikannya membunuh orang yang tak bersalah, bolehkah engkau melakukan hal yang sama, kepada petugas polisi yang menggunakan kekerasan berlebihan?
Filsuf dan orang awam sering berasumsi atau tak membantah. Mereka berasumsi atau berpendapat bahwa dalam demokrasi liberal, yang diperbolehkan cuma perlawanan tanpa kekerasan terhadap ketidakadilan negara. Mereka berasumsi bahwa, kita hendaknya tunduk pada agen pemerintah yang demokratis, kendatipun agen ini bertindak dengan cara yang sangat tak adil, berbahaya, dan merusak. Pandangan seperti ini, membingungkan. Pandangan yang berlaku bahwa manakala berkenaan dengan agen pemerintah, kekerasan defensif, penipuan, perusakan, dan akal-akalan yang diatur oleh prinsip-prinsip moral yang berbeda dari yang mengatur kekerasan defensif dan akal-akalan dalam konteks lain. Hal ini mengandaikan bahwa diperbolehkannya berbohong, menipu, menyabotase, atau membunuh seorang penyerang demi membela diri atau membela orang lain, bahwa penyerangnya mengenakan seragam, memegang jabatan, atau ditunjuk oleh seseorang yang pada gilirannya, dipilih oleh tetanggaku. Menurut pandangan yang berlaku, tetanggaku dapat menghilangkan hakku guna membela-diri atau membela orang lain, dengan memberikan jabatan kepada seseorang. Ini sangat membingungkan, lantaran hampir semua orang, saat ini mengakui bahwa hukum dan keadilan, bukanlah hal yang sama; hukum bisa saja, sangat tak adil.Alih-alih tiga opsi tersebut, exit, voice, atau loyalty, boleh jadi, akan memunculkan opsi keempat: 'resistance' (perlawanan). Istilah 'Perlawanan', bisa mencakup berbagai perilaku. Termasuk perilaku pasif semisal ketidakpatuhan—yaitu, melanggar hukum secara strategis atau mengabaikan perintah negara kapan pun engkau dengan begitu saja, bisa lolos darinya. Pula, mencakup bentuk perlawanan yang lebih aktif, seperti memblokir mobil polisi, merusak atau menghancurkan properti pemerintah, menipu dan berbohong kepada agen pemerintah, atau memerangi agen pemerintah. Bentuk-bentuk perlawanan seperti itu, sering dibenarkan, bahkan sebagai tanggapan terhadap ketidakadilan di dalam negara-negara demokratis modern, yang sebagian besar memiliki pemerintahan yang relatif adil secara keseluruhan.

Pandangan standar, yang ketara diterima oleh hampir semua orang dari setiap ideologi, bahwa agen pemerintah, dikelilingi oleh semacam medan-magnet berkekuatan moral magis. Mereka menikmati status khusus atau istimewa, tatkala mereka melakukan tindakan yang tak adil. Pandangan standar menyatakan bahwa agen pemerintah, punya izin khusus melakukan tindakan yang tak adil—tindakan yang kita anggap jahat dan tak diperbolehkan jika agen non-pemerintah melakukannya—dan bahwa agen ini, menikmati hak khusus agar tak dihentikan saat mereka berbuat ketidakadilan. Agen pemerintah, entah bagaimana, mungkin melakukan tindakan yang tak adil, dan kita hanya berdiri menatap dan membiarkan mereka.
Mungkin kata 'membiarkan' rada-rada sengak. Kebanyakan orang percaya, kita mungkin mengeluh ketika agen pemerintah bertindak buruk. Kita mungkin menuntut agar agen pemerintah lainnya menghukum koleganya atas perilaku buruk tersebut. Beberapa filsuf melangkah lebih jauh: mereka berpikir bahwa ketika pemerintah bertindak buruk, secara moral, kita berkewajiban memprotes, menulis surat kepada editor surat kabar dan senator, dan memilih kandidat yang lebih baik. Tapi, menurut mereka, kita sendiri, tak semestinya menghentikan ketidakadilan. Namun, kita tak berpikir seperti itu tentang ketidakadilan pribadi. Jika penyerang berupaya menyakitimu, tiada yang akan mengatakan bahwa engkau tak berhak melawan. Engkau tak semestinya pasrah bongkokan, lalu berharap polisi, nantinya bakal menangkap sang penyerang dan membawa mereka ke pengadilan.
Beberapa filsuf politik dan orang awam akan mencemooh. Mereka mengklaim bahwa mereka punya versi pandangan 'agen pemerintah yang ajaib' yang jauh lebih terbatas dan masuk-akal. Mereka menyangkal bahwa semua pemerintah, agen pemerintah, atau aktor politik, punya izin khusus melakukan tindakan yang tak adil. Mereka menyangkal bahwa kita selayaknya mundur dan membiarkan aktor pemerintah bertindak tak adil. Sebaliknya, mereka berkata, 'Dalam pandangan sederhana kami, hanya pemerintah, agen, dan aktor demokratis yang dikelilingi oleh medan kekuatan moral magis, yang menghilangkan kewajiban moral normal mereka, dan pada saat yang sama, menuntut kita semua membiarkan mereka bertindak tak adil. Tentu saja, pemerintah non-demokratis dan agen-agennya, tak menikmati keistimewaan seperti itu.
Maka, banyak orang menganut apa yang disebut tesis Special Immunity (Kekebalan Khusus). Tesis Kekebalan Khusus, berpendapat bahwa ada beban khusus bila membenarkan, atau mengganggu, berusaha menghentikan, atau melawan agen pemerintah yang, bertindak ex officio, berbuat ketidakadilan. Agen pemerintah—atau setidaknya agen pemerintah demokratis—menikmati kekebalan khusus agar tak ditipu, dibohongi, disabotase, diserang, atau dibunuh guna membela diri atau membela orang lain. Properti pemerintah menikmati kekebalan khusus terhadap kerusakan, sabotase, atau kehancuran. Serangkaian kondisi dimana diperbolehkan, membela diri atau membela orang lain, menipu, berbohong, menyabotase, atau menggunakan kekerasan terhadap agen pemerintah (bertindak ex officio), atau menghancurkan properti pemerintah, jauh lebih ketat. serta dibatasi secara ketat dari serangkaian kondisi, dimana diperbolehkan menipu, berbohong, menyabotase, menyerang, atau membunuh warga sipil, atau menghancurkan properti pribadi.

Sebagai lawan atau penolakan Tesis Kekebalan Khusus ini, Brennan menawarkan the Moral Parity Thesis (Tesis Paritas Moral). Tesis paritas moral berpendapat bahwa membenarkan pembelaan diri atau pembelaan orang lain terhadap agen pemerintah setara dengan membenarkan pembelaan diri atau pembelaan orang lain terhadap warga sipil. Bahwa pejabat pemerintah (termasuk pejabat pemerintahan demokratis, bertindak ex officio) tak menikmati status moral khusus yang melindungi mereka dari tindakan defensif. Ketika pejabat pemerintah melakukan ketidakadilan dalam bentuk apapun, secara moral diperbolehkan bagi kita, sebagai individu non-pemerintah, memperlakukan mereka dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan individu yang melakukan ketidakadilan yang sama. Apapun yang mungkin kita lakukan terhadap individu pribadi, kita dapat melakukannya terhadap pejabat pemerintah. Kita dapat menanggapi ketidakadilan pemerintah, namun kita dapat menanggapi ketidakadilan pribadi. Agen pemerintah tak punya rasa hormat moral yang lebih besar ketika mereka bertindak tak adil ketimbang hak individu di dalam masyarakat.
Tesis paritas moral berpendapat bahwa agen, properti, dan agen pemerintah yang demokratis adalah target yang sah dari penipuan defensif, sabotase, atau kekerasan seperti halnya warga sipil. Prinsip yang menjelaskan bagaimana kita dapat menggunakan kekerasan defensif dan dalih terhadap warga sipil, dan prinsip yang menjelaskan bagaimana kita dapat menggunakan kekerasan defensif dan dalih terhadap agen pemerintah, meupakan satu-kesatuan dan setara. Agen pemerintah (termasuk warga negara ketika mereka memilih) yang melakukan ketidakadilan, setara dengan warga sipil yang melakukan ketidakadilan yang sama.'"

"Mungkin," Swara hendak mengakhiri perbincangan, "kita akan mengernyitkan kening saat mendengar usulan Brennan, tapi demikianlah kenyataannya. Bila Moral Hazard bagi para agen pemerintah yang berlaku tak adil, tak lagi didengarkan, satu-satunya cara, yaitu dengan mengatakan tidak pada the Special Immunity, dan mengeksekusi the Moral Parity.

Dan terakhir, dengarkan ini, 'Liat, cweepet banget tuh pesawat!' kata salah seekor Elang kepada kolega Elang lainnya, saat sebuah pesawat jet-tempur meluncur di atas kepala mereka.
'Hmmh!' yang lain melengos. 'Ente juga bisa terbang secepat itu, asalkan ekor ente, terbakar!'
Wallahu a'lam."

Sebelum bahananya memudar, Swara pun berdendang,

Tiba-tiba 'ku tertegun, lubuk hatiku tersentuh
Perahu kecil terayun, nelayan tua di sana
Tiga malam, bulan t'lah menghilang
Langit sepi walau tak bermega

Tiba-tiba kusadari, lagu burung camar tadi
Cuma kisah sedih, nada duka hati yang terluka
Tiada teman, berbagi derita
Bahkan untuk berbagi cerita

Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan, di balik awan
Kini membawa anganku yang tadi melayang
Jatuh dia, dekat di kakiku *)
Kutipan & Rujukan:
- Jason Brennan, When Else False - The Ethics of Resistance to State Injustice, Princeton University Press
- Mark Osiel, The Right To Do Wrong - Morality and the Limits of Law, Harvard University Press
- Albert O. Hirschman, Exit, Voice, and Loyalty - Responses to Decline in Firms, Organizations, and States, Harvard University Press
*) "Burung Camar" karya Ridwan Armansjah Abdulrachman

Jumat, 27 Januari 2023

Berpikir : Perspektif Islam

"Berpikir, dalam perspektif Islam, dipandang sebagai bentuk ibadah kepada Allah, yang akan dihargai sepanjang dilakukan dengan tulus 'ikhlas', niat-baik dan demi tujuan yang baik," berkata Swara ketika ia sampai, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.
"Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dengan jelas,
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
'(Al-Qur’an ini) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal-sehat, beroleh pelajaran.' [QS. Sad (38):29]
Al-Qur’an menyebutkan syarat ‘ulul al-bab’ yang mengarah pada berpikir. Berpikir merupakan bagian integral dari tradisi Islam. Allah menciptakan manusia agar berpikir dengan menggunakan penalaran (afala ya’qilun), berpikir kreatif (afala tatafaqqarun) dan pula, merenungkan, mencermati dan meneliti sesuatu (afala ya tadabbarun). Tradisi berpikir di masa-lalu membuahkan prestasi luar biasa umat Islam dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan seperti astrofisika, matematika, mekanika, musik dan lain-lain.

Dalam bahasa Arab, kata 'berpikir' mengacu pada kata 'tafakkur,' kata yang bersinonim ialah 'al-fikr.' Jadi, tafakkur secara harfiah bermakna memikirkan suatu hal, secara mendalam, sistematis, dan mendetail. Dengan kata lain, tafakkur itu, merenung atau merefleksikan secara intelektual. Merenung atau refleksi merupakan langkah penting guna menyadari apa yang terjadi di sekitar kita dan menarik kesimpulan darinya. Inilah kunci bagi manusia guna membedakan antara yang baik dan yang buruk, kejahatan dan kebajikan, dan seterusnya. Seseorang dapat pula menggunakan renungan di setiap bidang ilmiah. Namun, ilmu-ilmu rasional dan eksperimental tersebut, semata sebuah langkah awal atau sarana untuk mencapai tujuan akhir perenungan, yakni mengenal Allah, dengan syarat bahwa pikiran seseorang, tak terisi oleh konsepsi dan premis yang keliru [fallacies]. Tafakkur hendaknya dilandasi dan dimulai dengan iman kepada Allah sebagai Pencipta segala ciptaan. Allah berfirman,
وَهُوَ الَّذِيْ مَدَّ الْاَرْضَ وَجَعَلَ فِيْهَا رَوَاسِيَ وَاَنْهٰرًا ۗوَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ جَعَلَ فِيْهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
'Dialah yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dia menjadikan padanya (semua) buah-buahan berpasang-pasangan (dan) menutupkan malam pada siang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.' [QS. Ar-Ra'ad (13):3]
Ada tiga tahapan Tafakkur, pertama, memberikan konsepsi ide atau pemikiran atau 'Critical Thinking'; kedua, mengkonsentrasikan atau membentuk gagasan informasi baru atau 'Creative Thinking', dan puncaknya, yang ketiga, menghadirkan Allah sebagai Pencipta Yang Maha Agung. Tafakkur merupakan konsepsi yang sangat penting sehingga Imam Syafi'i, salah seorang Imam terbesar dalam sejarah, mengatakan bahwa Tafakkur mempertajam kecerdasan seseorang.

Didalam Al-Quran, Allah memerintahkan umat Islam agar berpikir kritis, di antaranya : Tafakkur (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya); Tadzakkur; Ta'qil; Tafqih; dan Tadabbur.

Tentang Tadzakkur, Allah berfirman,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Duhai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini, sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.' [QS. Ali 'Imran (3):190-191]
Ayat ini mengilustrasikan bahwa orang yang berpikir, akan merenungkan ciptaan Allah (langit dan bumi, malam dan siang) dengan menggunakan mata-batin (basirah). Oleh karenanya, manusia akan melihat Kebesaran Allah dan bersyukur kepada Allah setiap saat. Sultanul Mutakallimin, Fakhruddin Ar-Razi—seorang polymath Muslim berpengaruh dan salah seorang pelopor logika induktif—menyatakan bahwa mereka yang ingat dan percaya pada Keesaan Tuhan, dengan menggunakan aql (akal) mereka, akan mencapai al-falah (kesuksesan). Guna menggapai tingkat tadzakkur, manusia perlu meringkas sesuatu agar membantunya memahami dengan bijak. Oleh sebab itu, manusia dapat mempunyai gagasan terhadap sesuatu dalam bentuk diagram atau gambaran sederhana. Penerapan tadzakkur berlaku pada mata pelajaran seperti Al-Quran dan al-Hadits.

Tentang Ta'qil, Allah berfirman,
اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
'Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab-suci? Tidakkah kamu bernalar?' [QS. Al-Baqarah (2):44]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menekankan pada segelintir umat manusia, yang menyuruh orang lain agar mengikuti Hukum Allah, namun mereka sendiri, menolak melakukannya. Beberapa mufassirun menyatakan bahwa orang semacam ini, merujuk pada Bani Israil dan kaum Munafik. Allah mengutuk orang-orang semacam ini dengan berfirman 'Tidakkah kamu bernalar?' yang membawa kita pada kalimat 'ogah mikir,' yang merefer pada 'tak memahami kebenaran.' Guna memahami kebenaran, manusia perlu mensintesis informasi terlebih dahulu [bernalar], sebelum 'jumping into the conclusion.'

Tentang Tafqih, Allah berfirman,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
'Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka mempunyai qalbu yang tak mereka pergunakan guna memahami (ayat-ayat Allah) dan mata yang tak mereka pergunakan melihat (ayat-ayat Allah), serta telinga yang tak mereka pergunakan mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka bagaikan hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.' [QS. Al-A'raf (7):179]
Berdasarkan ayat ini, kita tahu bahwa ada keterhubungan antara qalbu dan akal. Menurut Imam al-Ghazali, al-qalb (hati) bergantung pada al-‘aql (akal). Ia menyatakan bahwa bila manusia hendak melakukan hal yang benar, seketika ia akan memerintahkan pikirannya agar melihat Keagungan Allah. Pada level ini, manusia perlu menganalisis informasi setelah mengidentifikasi dua entitas yang berbeda. Manusia akan mengidentifikasi benar dan salah, keuntungan dan kerugian, unsur positif dan negatif yang mencerminkan sesuatu.

Al-Qur'an menyebutkan bahwa setiap manusia, secara kasat mata, punya tubuh, jiwa individual (yang punya ego dan hati-nurani) dan ruh (yang pertama kali ditiupkan Allah ke tubuh Adam, alaihissalam). Kita mengatakan bahwa jiwa, punya kemampuans tertentu yang jelas semisal kecerdasan, kehendak, sentimen (ulama seperti Al-Ghazali terkadang menyamakan ketiganya dengan 'kemampuan,' masing-masing 'kecerdasan', 'kemarahan' dan 'keinginan'), ucapan, imajinasi, dan ingatan. Penjelasan tentang Tubuh, cukup jelas, dan inderanya, tentulah meliputi panca indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, kecapan-rasa dan sentuhan). Semua ini, fana, kematianlah yang menjadi pemisahan jiwa dari tubuh. Jiwalah inti pribadi individu manusia, dan ia, kekal. Dalam Al-Qur'an, jiwa dipandang memiliki tiga bagian utama—atau mungkin tiga 'sifat' (sebab jiwa tetap satu). Yaitu: 'jiwa yang menyuruh pada kejahatan' (QS. Yusuf 12:53); ‘jiwa yang mencela diri sendiri’ (QS. Al-Qiyamah, 75:2); dan ‘jiwa yang tenang’ (QS. Al-Fajr, 89:27). Dengan kata lain, jiwa mempunyai ego, hati-nurani, dan keadaan yang berada di luar ego. Jiwa berada di luar kepribadian individu secara keseluruhan, dan teramatlah sedikit yang dapat diungkapkan tentangnya oleh kata-kata. Allah berfirman,
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
'Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, 'Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, sedangkan engkau tak diberi ilmu tentangnya melainkan sedikit saja.' [QS. Al-Isra' (17):85]
Jiwa dikatakan sebagai 'saksi batin' individu terhadap tubuh, dan 'kapten kapalnya'. Roh dikatakan sebagai 'saksi batin' supra-individu terhadap jasad dan jiwa yang menyatu, dan sebagai angin dan kehidupan pada layarnya. Dalam Al-Qur'an, ada dua surga bagi setiap orang yang diberkahi, Allah berfirman,
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ جَنَّتٰنِۚ
'Bagi siapa yang takut pada keagungan Rabb-nya, disediakan dua surga.' [QS. Ar-Rahman (55):46)]
Beberapa mufassir menganggapnya sebagai surga jiwa dan ruh. Dengan kata lain, ada keadaan kebahagiaan yang sempurna bagi setiap subjektivitas manusia: jiwa dan roh.

Selain jantung fisik yang memompa darah ke seluruh tubuh, manusia juga punya jantung spiritual non-fisik, yang sesuai dengan jantung fisik, namun pada tingkat realitas yang lebih tinggi. 'Jantung spiritual' ini, sebenarnya 'pintu' atau 'jembatan' antara jiwa dan roh. Dalam Al-Qur'an, ia punya empat 'derajat': (dalam urutan 'naik'): 'sadr' ('dada'); 'qalb' ('hati atau qalbu'); 'fuad' ('batin terdalam'), dan 'lubb' ('inti'—sesuatu yang murni dan bersih, terkadang dipandang bersama-sama sebagai qalbunya batin dan kecerdasan). 'Fuad' diidentikkan dengan jiwa, dan 'lubb' diidentikkan dengan ruh.
Konsekuensinya, inilah qalbu yang 'dipandang' oleh Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
'Sesungguhnya, Allah tak memandang pada bentuk rupa dan hartamu. Akan tetapi, Allah semata memandang pada qalbu dan amalanmu.' [Sahih Muslim]
Karenanya, bagian inilah yang perlu diperlakukan manusia dengan benar! Bahkan terlebih lagi pada 'batin terdalam', sebab qalbu 'memahami' (atau, sebaliknya, menjadi 'buta'), dimana sebenarnya 'batin terdalam itu, melihat ('secara spiritual'). Allah berfirman, mengacu pada Rasulullah (ﷺ), dalam Al-Qur'an,
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى
‘Batin terdalamnya, tak mendustakan apa yang telah dilihatnya.’ [QS. An-Najm (53):11].
Sepanjang sejarah, cendekiawan dan mistikus Muslim yang tak terhitung banyaknya, telah pula membuktikan realitas 'jantung spiritual'. 'Jantung spiritual' inilah tempat kedudukan ilmu spiritual dan cinta.

Sejak filsuf Jerman Immanuel Kant menerbitkan Critique of Pure Reason pada tahun 1781, 'ilmu metafisik' semacam ini, belum dianggap serius oleh para filsuf dan akademisi Barat. Namun sebelumnya, penglihatan 'batin' atau spiritual merupakan doktrin agama yang termasyhur. Misalnya, dalam Republic-nya Plato, Socrates berkata, 'Dengan mengejar [studi filosofis tertentu], organ tertentu dalam jiwa setiap siswa dibersihkan dan dihidupkan kembali, yang telah dibutakan dan dihancurkan oleh pengejarannya terhadap yang lain. Namun lebih berharga menyelamatkannya dibanding seribu mata, sebab hanya dengan organ ini, kebenaran dapat dilihat.’

Perlu dicatat pula bahwa mata-hati merupakan ilmu-diri sebanyak ilmu tentang kebenaran dan realitas spiritual 'eksternal'. Allah menciptakan manusia untuk mengenal-Nya, dan Al-Qur'an membantu mereka agar mengenal diri mereka sendiri. Masih perlu dikatakan bahwa justru ilmu-diri [self-knowledge]-lah yang mengarah pada ilmu tentang Allah dan realitas spiritual. Faktanya, Allah menciptakan ruh dengan ilmu bawaan yang mendalam tentang Dia [fitrah] sebagai kesaksian terhadap jiwa mereka sendiri. Allah berfirman,
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
'(Ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabb-mu?' Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.' (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, 'Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.' [QS. Al-A'raf (7):172]
Dan Allah menuntut jiwa-jiwa tersebut, agar tak melupakan-Nya dan mempertahankan kesaksian dan ilmu-diri ini dalam kehidupan. Boleh jadi, itulah sebabnya maksim Yunani Kuno 'nosce te ipsum' atau 'temet nosce' ['know thyself' atau 'kenali dirimu'] merupakan yang pertama dari tiga maksim Delphic yang tertera di halaman depan Kuil Apollo di Delphi, menurut penulis Yunani Pausanias. Dua maksim yang mengikuti 'kenali dirimu' adalah 'tak ada yang berlebihan' dan 'kepastian membawa kegilaan.'
Maksim, atau aforisme, 'kenali dirimu' punya beragam makna yang dikaitkan dengannya dalam literatur, dan seiring berjalannya waktu, seperti dalam bahasa Yunani kuno awal, frasa tersebut bermakna 'kenali takaranmu.'

Tak semua qalbu dapat 'melihat'. Kemampuan qalbu untuk 'melihat' bergantung pada amalan seseorang. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
“Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, niscaya akan ditorehkan pada qalbunya setitik noda hitam. Seandainya ia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertaubat; niscaya noda itu bakal dihapus. Namun bila ia kembali berbuat dosa; maka noda-noda tersebut, akan semakin bertambah hingga menghitamkan seluruh qalbunya. Itulah selubung yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu, telah menyelubungi mereka.' [Jami' at-Tirmidzi; Hasan-shahih oleh Tirmidzi, dan Hasan menurut Al-Albani]
Dengan kata lain, qalbu hanya mampu 'melihat' jika kebersihannya memadai. Visi spiritual, karenanya, menyangkut masalah kebajikan dan pertobatan tiada henti. Sebaliknya, kebutaan rohani merupakan akibat dari dosa dan egoisme, atau setidaknya, rasa berpuas diri, yang selaksana gerhana matahari total. Dan oleh sebab qalbu merupakan pula pusat iman, ilmu spiritual meningkatkan iman, begitu juga sebaliknya.

Lalu, bagaimana seseorang mengupam qalbunya guna menghilangkan karat yang menumpuk selama hayat masih di kandung badan? Seorang Sahabat, Abu Darda', radhiyallahu 'anhu, berkata, 'Bagi segala sesuatu, ada pengupam yang menghilangkan karat; dan pengupam qalbu ialah mengingat Allah.'
Selalu mengingat Allah: intinya, sebanyak yang mampu dilakukan, disertai Cinta. Perintah spiritual utama dalam Al-Qur'an, sesungguhnya, mengingat atau memuliakan Allah dengan cara tertentu (dengan niat yang benar), termasuk membaca Al-Qur'an itu sendiri. Demikian pula, sebagian besar sunnah itu sendiri, terdiri dari doa atau permohonan yang diucapkan sebelum atau sesudah hampir setiap perbuatan yang legal dan diperlukan, atau fungsi penting, yang dapat kita bayangkan. Termasuk dalam hal ini, segala sesuatu yang dimulai dari saat kelahiran hingga saat kematian; dari menandai awal-waktu setiap hari dalam seminggu hingga menandai akhirnya; dari bangun di pagi hari hingga tidur di malam hari; dari mendengar ayam berkokok di pagi hari hingga memandang bulan di malam hari; dari mengenakan pakaian hingga melepaskannya; dari makan dan minum sampai ke kamar-mandi; dari (melawan) marah hingga bercinta; dari batuk sampai bersin, bahkan sampai tertawa hingga menguap; dari meninggalkan rumah hingga memasukinya; dari menyapa seseorang hingga mengucapkan selamat tinggal kepadanya; dari sebelum memulai shalat hingga usai menunaikannya; dari sebelum memulai percakapan hingga setelah menyelesaikannya, dan demikian seterusnya.
Mengingat Allah setiap saat (atau sesering mungkin) dengan cinta, bahkan di luar shalat, bermakna menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, dan inilah yang disebut Ihsan. Oleh karena itu, Ihsan atau kesempurnaan berarti memohon kepada Allah sebanyak mungkin (jika tak mampu secara terus-menerus), dan inilah sunnahnya.
Mengingat Allah [dzikir] itu, melegakan. Dikala tiada dzikir di dalam jiwa, ego selalu membisikkan pikiran yang bukan-bukan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
'Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.' [QS. Qaf (50):16]
Ia membisikkan hal-hal yang jahat tentang orang lain—atau bahkan tentang Allah—dan berusaha membuatmu, melakukan hal-hal yang buruk, makanya dinamakan, nafsa la'ammaratun bissuu' (jiwa yang selalu menyuruh pada kejahatan) [ QS. Yusuf, 12:53]. Jika gagal, ia dengan keegoisannya, mengeluh tentang dirinya sendiri: tentang betapa tak adilnya ia diperlakukan; dan dengan begitu hebatnya, menggelembungkan diri laksana seekor Kodok—meskipun kodok lebih baik dibanding ego, atau, mungkinkah sama saja?—dan berbangga atas 'kemenangan' kecilnya. Maka, Allah memperingatkan,
وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهٗ شَيْطٰنًا فَهُوَ لَهٗ قَرِيْنٌ
'Dan barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya). Maka, ia (setan) selalu menemaninya.' [QS, Az-Zukhruf (43):36].
Namun ketika dzikir hadir di dalam qalbu, aliran obrolan internal — 'aliran kesadaran' ego — mengering, dan qalbu akhirnya beroleh kedamaian dan ketenteraman. Allah berfirman,
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ
'Orang-orang yang beriman dan beramal-shalih, bagi merekalah kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.' [QS. Ar-Ra‘d (13):28].
Alih-alih bersama dirimu yang picik, engkau bersama Allah, setidaknya dalam benakmu. Allah berfirman,
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ
'Maka, ingatlah pada-Ku, Aku pun akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar pada-Ku.' [QS. Al-Baqarah (2):152].
Dan seiring berjalannya waktu, selalu berdzikir menyembuhkan qalbu dan membuatnya tenang. Bagi kebanyakan orang, inilah yang benar-benar diperhitungkan pada akhirnya, saat mereka meninggalkan jasad dan dunianya. Allah berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ
اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ
'(Yaitu) pada hari ketika tiada guna lagi harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan Qalbin Salim (qalbu yang bersih). [QS. Asy-Syu‘ara (26):88–89].
Namun, melebihi itu semua, bagi sebagian orang, berdzikir secara terus-menerus, dapat menuntun pada visi dan inspirasi spiritual sejati. Allah berfirman dalam sebuah 'Hadits Qudsi',
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ عَبْدِي الْمُؤْمِنِ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
'Barangsiapa yang memusuhi orang yang berbhakti pada-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tiadalah hamba-Ku mendekat kepada- Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibanding hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.' [HR Al-Bukhari]
Engkau mungkin bertanya, 'Napaseh mesti tahu soal beginian, emang fenting?' Jawabannya, penting mengetahui tentang qalbu, oleh sejumlah alasan. Pertama, lantaran memungkinkan manusia memahami bahwa mereka hendaknya mensucikan jiwa mereka (tazkiyatun nafs), dan mengatasi ego dan kepicikan mereka. Kemegahan manusia sesungguhnya terletak di dalam qalbu—dan segala sesuatu yang dilakukan manusia, pertama kali dilakukan dari dalam qalbu (melalui niat yang benar). Qalbu-lah aspek manusia yang paling mulia. Dan itu membutuhkan pekerjaan spiritual yang konstan, terutama dzikir.
Kedua, karena ia menjelaskan paradoks iman dan kecerdasan, serta iman dan kejahatan. Paradoks pertama ialah bahwa ada orang-orang jenius yang tak beriman, dan tampaknya ada orang-orang yang tak cerdas dengan banyak iman. Paradoks kedua ialah bahwa ada orang baik yang melakukan perbuatan baik dan tak beriman, dan sebaliknya, ada orang yang sangat jahat yang beriman, atau yang tampaknya sangat religius. Mengetahui tentang qalbu, memperjelas bahwa iman bukanlah masalah kejeniusan mental—dan tak bergantung pada 'kecerdasan' mental—melainkan pada kebaikan aktif. Jadi, menjadi sangat pandai—atau tak terlalu pandai—tak banyak berpengaruh pada iman.
Kedua, jelaslah bahwa orang-orang yang berbuat jahat dan beriman, pada kenyataannya, secara bertahap bakalan kehilangan, melalui tindakan mereka. Sebaliknya, orang yang berbuat baik—untuk alasan altruistik dan bukan semata keegoisan—secara bertahap memperolehnya. Mereka mengupam qalbu-nya sendiri. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالإِثْمُ مَا حَكَّ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
'Al-Birru (Keshalihan) itu, kebajikan akhlak, dan dosa itu, apa-apa yang dirimu merasa ragu dan engkau tak suka jika orang lain ketahui..' [Al-Adab Al-Mufrad; Shahih menurut Al-Albani]
Ketiga, secara lebih keduniawian, penting mengetahui tentang qalbu, lantaran kebanyakan orang, saat ini dididik agar mempercayai bahwa mereka pada dasarnya hanyalah 'pikiran' mereka sendiri dengan tubuh yang melekat padanya. 'Pikiran' dianggap hanya sebagai 'pemrograman' plus 'pengalaman kumulatif'. Ini diyakini secara fisik berada di dalam jalur saraf di otak fisik mereka, di dalam tengkorak kepala mereka, seperti halnya komputer pada dasarnya terdiri dari microchip di dalam PC atau ponsel. Jadi, ketika 'komputer' dimatikan atau rusak secara permanen, engkau mati. Ini tampaknya punya bukti medis yang kuat di baliknya, karena semua bagian tubuh, kecuali otak (termasuk jantung fisik), tampak dapat diganti dengan pembedahan, dan karena kerusakan otak dikaitkan dengan kehilangan ingatan. Jadi pada dasarnya, apakah kita mengatakannya atau tidak, secara tak sadar, kita cenderung percaya bahwa kita komputer organik yang sedang bergerak. Hal ini berarti bahwa seluruh interaksi kita dengan 'realitas' objektif dihubungkan oleh tubuh kita dan dimediasi oleh panca indera kita.
Namun, kita semua—atau mungkin banyak dari kita—punya pengalaman yang tak sesuai dengan model diri kita ini. Contohnya, banyak orang tampaknya mengetahui sebelumnya siapa yang menelepon mereka di telepon, meskipun mereka tak pernah menelepon pada saat itu, atau tak diharapkan menelepon untuk saat itu. Dan berkali-kali, orang yang menerima telepon berkata, 'Oh iya, gue baru aja mikirin ellu.' Hal ini terutama berlaku bagi orang-orang yang punya saling kasih-sayang yang tulus. Seringkali pula, seseorang punya 'perasaan' tentang sesuatu dan kemudian hal itu terjadi atau terbukti benar.
Seringkali perasaan itu ternyata keliru atau angan-angan belaka, tapi lebih sering, itu benar. Dan sungguh mencengangkan bagaimana, bahkan hewan peliharaan pun, tampak mengembangkan 'indra keenam' tentang pemiliknya sampai-sampai tahu kapan mereka pulang ke rumah: studi ilmiah benar-benar telah dilakukan mengenai hal ini.
Lalu ada semacam 'déjà vu' dan, yang lebih kuat, mimpi atau penglihatan firasat: terkadang engkau melihat hal yang bakal terjadi dalam mimpi; terkadang engkau melihat simbolnya. Boleh jadi, paling sering, engkau merasa was-was atau tak nyaman tentang sesuatu tanpa alasan yang jelas. Terkadang engkau merasakan bahaya bakalan datang. Sekarang psikolog dan ahli statistik punya penjelasan 'ilmiah' yang sangat bagus terhadap banyak fenomena ini, namun tak semuanya. Dan banyak orang mulai mengenali dari trial-and-error mereka sendiri, yang manakah dari berbagai jenis naluri mereka, yang harus mereka tanggapi dengan serius, dan mana yang sebaiknya diabaikan saja.
Jadi, mengetahui tentang qalbu itu, penting, lantaran memberimu model yang membantu melihat naluri secara lebih terbuka dan objektif. Hal ini sangat penting dengan naluri yang kuat tentang bahaya yang bakalan datang. Singkatnya, mengetahui tentang qalbu, membantumu menggunakan 'firasat'-mu sendiri. Sesungguhnya, Rasulullah (ﷺ) berkata kepada Wabisah ibnu Ma'bad, radiyallahu 'anhu, tiga kali, menggabungkan tiga jarinya dan mulai menyodoknya di dada, dan bersabda, 'Duhai Wabisah, tanyakan pada qalbumu, tanyakan pada dirimu sendiri.' [HR Imam Ahmad; Hasan oleh Al-Mundziri]

Tentang Tadabbur, Allah berfirman,
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا
'Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.' [QS. An-Nisa (4):82]
Pengembangan pemahaman tadabbur sangat penting bagi, apa yang kita sebut, Critical Thinking, sebab berpikir kritis, menurut definisinya, melibatkan refleksi pada apa yang diketahui dan bagaimana pengetahuan itu dibenarkan. Mereka tahu apa yang mereka pikirkan dan dapat membenarkan alasannya. Kata tadabbur bermakna mempelajari dan memahami al-Quran secara tuntas, yakni mengetahui hukum Islam dan meyakini seluruh isinya. Allah menegaskan bahwa Al-Quran itu, kitab yang lengkap karena berasal dari Allah. Tingkatan inilah yang lebih tinggi dimana manusia menimbang-nimbang gagasannya.
Al-Qur’an diturunkan kepada mereka yang, dengan membacanya atau mendengarkan ayat-ayatnya, lalu memikirkan dan merenungkan pesan-pesannya. Refleksi ini, mengarah pada apresiasi terhadap ciptaan Allah, ketenangan-diri, mengingat Allah, mengingatkan sang pemikir tentang 'kewajiban' dan persyaratan untuk memenuhinya, serta observasi studi dan eksplorasi alam semesta. Hal ini mengarah pada penemuan pengaturan alam semesta, yang telah dibuat tunduk kepada umat manusia guna mengolah bumi dan membangun peradaban.

Lalu, apa ciri-ciri berpikir? Ciri-cirinya ialah: mengajukan pertanyaan; mendefinisikan masalah; pemeriksaan bukti; asumsi analisis dan bias; menghindari penalaran emosional; mempertimbangkan interpretasi lain; menghindari penyederhanaan berlebihan; dan mentolerir kedwimaknaan.
Salah satu konsepsi dari Critical Thinking ialah Ijtihad. Ijtihad bermakna melakukan upaya, baik fisik maupun mental, pada masalah tertentu, bagi kemampuan penalaran independen, dimana setelah mencermati argumen secara menyeluruh dan membandingkannya dengan argumen paralel sebelumnya, sampailah pada sebuah solusi.
Mirip dengan Ijtihad, ialah konsepsi Qiyas, yang menunjukkan penalaran analogis dan hal ini terutama digunakan dalam masalah hukum Islam. Orang awam dapat melakukan qiyas sendiri namun pada hal-hal yang lebih kecil seperti menentukan ke arah mana seseorang menghadap ketika hendak shalat, jika mereka tak punya panduan resmi guna membantu mereka. Qiyas, dan pula, Ijtihad, memungkinkan para ahli hukum membuat hukum baru berdasarkan perubahan waktu dunia sebagai perubahan budaya kehidupan sehari-hari, meskipun hukum baru ini didasarkan pada pernyataan analogi yang telah diselesaikan sebelumnya."

“Jadi kesimpulannya,” kata Swara sebelum menutup perbincangan, “bahwa di dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar berpikir. Banyak pemikiran Barat yang semata berdasarkan hukum adat, namun Islam mengatur agar berpikir berdasarkan hukum adat, hukum akal, dan hukum syariah.
Dan yang terpenting bahwa, Islam mendorong pemeluknya agar berpikir, akan tetapi, membatasi mereka, dan tentu saja, bagi kita semua, dari berpikir tentang hakikat Allah. Allah selalu memerintahkan manusia agar berpikir tentang ciptaan-Nya, yaitu manusia dan alam semesta, guna mengenal-Nya. Wallahu a'lam.”

Waktunya pergi, perlahan, gaung Swara mulai sirna, dan ia pun bersenandung,

َيَا نَبِى سَلَامْ عَلَيْك
[Ya nabi salam 'alayka]
Duhai Nabi, keselamatan tercurah untukmu
َيَارَسُولْ سَلَامْ عَلَيْك
[Ya rasul salam 'alayka]
Duhai Rasul, keselamatan tercurah untukmu
َيَا حَبِيبْ سَلَامْ عَلَيْك
[Ya habib salam 'alayka]
Duhai yang terkasih, keselamatan tercurah untukmu
َصَلَوَاتُ اللهْ عَلَيْك
[Salawatullah 'alayka] *)
Selawat Allah tercurah untukmu
Kutipan & Rujukan:
- H.R.H. Prince Ghazi bin Muhammad, A Thinking Person's Guide to Islam, Turath Publishing
- Muhammad Mumtaz Ali, Critical Thinking : An Islamic Perspective, Amazon
- Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, translated and edited by Paul Guyer  & Allen W. Wood, Cambridge University Press
- B. Jowett, M.A., The Republic of Plato - Translated into English with Introduction, Analysis, Marginal Analysis and Index, Clarendon Press
*) "Ya Nabi Salam Alayka" karya Salah Galal, Maher Zain & Hamza Namira

Rabu, 25 Januari 2023

Para Pemikir : Berpikir

"Suatu hari," Swara memulai percakapan, saat ia tiba, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam. "Raja para Elang, di hadapan ribuan jurnalis, mengutip metafora eponymous-nya John Gray, mengumumkan, 'Pria dari Mars, Wanita dari Venus. Jadi, dalam beberapa minggu ke depan, kita akan mendarat di Venus.'
Mendengar pengumuman itu, Raja para Bebek, seketika bereaksi. Dan di hadapan ribuan jurnalis, ia, di dampingi oleh seorang menteri dan seorang gubernur, mengumumkan, 'Dalam satu setengah bulan ini, kami telah merampungkan landasan pacu sebuah pesawat luar angkasa berisi astronot, akan mendarat menembus Matahari!' Para hadirin punya repons yang beragam, ada yang bilang, 'Itu ide yang bagus!' Namun seorang reporter mengomentari, 'Maaf Pak, bagaimana caranya? Bukankah Matahari itu sangat panas, dan kemungkinan pesawat akan terbakar bahkan sebelum mendekatinya?'
Sang menteri dan sang gubernur berbisik kepada Raja Bebek, ia mengangguk dan tanpa perlu pikir-panjang, lalu berkata, ''Jangan khawatir, berdasarkan data yang telah kami kumpulkan dan perhitungan yang cermat, kami akan mendaratkan pesawat ruang angkasa di Matahari, pada malam-hari!'

Sejenak, Swara berhenti, lalu berkata, 'Filsuf Prancis René Descartes dengan masyhur menyatakan, 'Cogito, ergo sum [Aku berpikir, maka aku ada].' Setiap manusia dewasa yang berfungsi penuh, berbagi-rasa bahwa kemampuan berpikir, bernalar, itulah bagian dari identitas fundamental seseorang. Seseorang boleh saja tunanetra atau tunarungu, namun tetap mengenali keutuhan kapasitas kognitif intinya. Kendatipun kehilangan kemampuan bercakap, anugerah yang sering diklaim sebagai sine qua non dari Homo sapiens, tak menghilangkan esensi kemanusiaan seseorang. Boleh jadi, berpikir, bukan berbahasa, terletak paling dekat dengan inti identitas individu kita dan dengan apa yang teristimewa tentang spesies kita.
Seseorang yang kehilangan kemampuan berbicara, namun masih mampu mengambil keputusan yang cerdas, seperti yang ditunjukkan oleh tindakannya, dianggap kompeten secara mental. Sebaliknya, jenis kerusakan otak yang merampas kemampuan seseorang guna berpikir dan bernalar, dianggap sebagai hantaman paling keras, yang dapat menyerang kualitas rasa-kepribadian, 'Cogito, ergo sum.'

Kita dapat mulai menjawab pertanyaan, 'Apa itu Berpikir?' dengan melihat berbagai cara penggunaan kata berpikir dalam bahasa sehari-hari. Pernyataan 'Aku pikir, air diperlukan bagi kehidupan,' dan 'Keith dan Bob mengira George seorang fasis'; keduanya mengungkapkan keyakinan (dari berbagai tingkat kemungkinan masuk akal)—pernyataan eksplisit tentang apa yang dianggap seseorang sebagai kebenaran tentang dunia. Pernyataan 'Ann pasti memikirkan solusi' membawa kita ke ranah pemecahan masalah, konstruksi mental dari rencana tindakan guna mencapai tujuan. Keluhan, 'Mengapa engkau tak berpikir sebelum melanjutkan rencana setengah matangmu?' menekankan bahwa berpikir bisa menjadi semacam pandangan jauh ke depan, suatu cara agar 'melihat' kemungkinan masa depan. 'Apa yang engkau pikirkan?' mengajak untuk melakukan penilaian, penilaian keinginan pilihan. 'Genosida itu jahat' mengambil penilaian ke dalam domain moral. Dan kemudian ada 'Albert tenggelam dalam pikirannya', dimana pemikiran menjadi semacam padang rumput mental yang dapat dilalui seseorang pada suatu sore yang hujan, tak memperdulikan dunia luar.
Rips dan Conrad memunculkan penilaian dari para mahasiswa tentang bagaimana berbagai istilah mentalistik berhubungan satu sama lain. Menggunakan teknik statistik, para peneliti ini, mampu meringkas hubungan ini. Secara kasar, orang berpikir perencanaan itu semacam memutuskan, yang merupakan semacam penalaran, yang merupakan semacam konseptualisasi, yang merupakan semacam pemikiran. Orang juga berpikir (kata kerja itu lagi!) bahwa berpikir itu bagian dari konseptualisasi, yang merupakan bagian dari mengingat, yang merupakan bagian dari penalaran, dan seterusnya. Jenis tatanan dan bagian dari tatanan, sangat mirip; yang paling mengejutkan, berpikir itu, istilah yang paling umum dalam kedua tatanan—superordinat aktivitas mental yang agung, yang menembus segala sesuatu yang lain.
Tak mudah beralih dari aliran bebas percakapan sehari-hari ke definisi ilmiah tentang istilah mental, tetapi mari kita tetap menawarkan definisi preliminer tentang Berpikir, 'Berpikir itu transformasi sistematis dari representasi mental pengetahuan guna mengkarakterisasi kenyataan atau kemungkinan keadaan dunia, kerapkali dalam mengabdikan tujuan.'

Studi tentang Berpikir, mencakup beberapa subbidang yang saling terkait, yang mencerminkan perspektif pemikiran yang sedikit berbeda. Penalaran, yang punya tradisi panjang, yang bersumber dari filsafat dan logika, menekankan pada proses penarikan inferensi (kesimpulan) dari beberapa informasi awal (premis). Dalam logika standar, inferensi merupakan deduktif jika kebenaran premis menjamin kebenaran kesimpulan berdasarkan bentuk argumen.
Jika kebenaran premis menjadikan kebenaran kesimpulan lebih kredibel, namun tak memberikan kepastian, inferensi disebut induktif. Judgement dan pengambilan keputusan melibatkan penaksiran nilai suatu opsi atau probabilitas bahwa opsi itu akan menghasilkan suatu imbalan tertentu (penilaian), ditambah dengan pilihan di antara alternatif-alternatif (pengambilan keputusan). Pemecahan masalah melibatkan konstruksi serangkaian tindakan yang dapat mencapai tujuan.
Meskipun perspektif berpikir yang berbeda ini berguna dalam mengatur bidang, aspek pemikiran ini tumpang tindih dalam setiap cara yang dapat dibayangkan. Agar memecahkan suatu masalah, seseorang mungkin berpikir tentang konsekuensi dari tindakan yang mungkin dilakukan dan mengambil keputusan memilih di antara tindakan-tindakan alternatif.
Masalah logika, sebagaimana namanya, merupakan masalah yang hendaknya dipecahkan (dengan tujuan memperoleh atau mengevaluasi kemungkinan kesimpulan). Mengambil keputusan seringkali merupakan masalah yang membutuhkan penalaran. Dan seterusnya. Subdivisi bidang ini, seperti definisi pemikiran awal kita, sebagaimana diperlakukan sebagai tiang petunjuk, bukan tujuan.

Berpikir dan bernalar, yang telah lama menjadi wilayah akademik filsafat, sudah muncul selama seabad terakhir sebagai topik inti penelitian empiris dan analisis teoretis dalam bidang modern yang dikenal sebagai psikologi kognitif, ilmu kognitif, dan ilmu saraf kognitif. Sebelum psikologi didirikan, filsuf abad ke-18 Immanuel Kant (di Jerman) dan David Hume (di Skotlandia) meletakkan dasar bagi semua karya selanjutnya tentang asal mula pengetahuan kausal, yang mungkin menjadi masalah paling sentral dalam studi pemikiran. Dan jika kita harus memilih satu frase guna menetapkan panggung bagi pandangan pemikiran modern, pengamatan filsuf Inggris Thomas Hobbes bisa menjadi pilihan, yang pada tahun 1651 dalam risalahnya Leviathan mengusulkan 'Penalaran itu semata perhitungan.' Penghitungan merupakan istilah yang aneh hari ini, namun pada abad ke-17, ia bermakna 'perhitungan', seperti dalam perhitungan aritmatika.
Baru pada abad ke-20, psikologi berpikir menjadi ikhtiar ilmiah. Paruh pertama abad ini, memunculkan banyak perintis penting yang dengan cara yang sangat berbeda, meletakkan dasar bagi munculnya bidang berpikir dan bernalar modern. Terutama psikolog Gestalt dari Jerman, yang memberikan wawasan mendalam tentang sifat pemecahan masalah. Gestaltist yang paling menonjol adalah Karl Duncker dan Max Wertheimer, mahasiswa pemecahan masalah manusia, dan Wolfgang Köhler, pengamat tajam pemecahan masalah oleh kera besar.
Pelopor awal abad ke-20, termasuk pula Sigmund Freud, yang warisan kompleks dan selalu kontroversialnya, mencakup gagasan bahwa bentuk pemikiran bisa tak disadari, dan bahwa kognisi 'dingin' terjerat dengan emosi 'panas'. Sebagai pendiri psikologi klinis, warisan Freud juga mencakup integrasi berkelanjutan penelitian tentang pemikiran 'normal' dengan studi tentang gangguan pemikiran, seperti skizofrenia.
Pionir awal lainnya di awal dan pertengahan abad, berkontribusi pada berbagai bidang studi yang sekarang dianut dalam berpikir dan bernalar. Perkembangan kognitif terus dipengaruhi oleh teori awal yang dikembangkan oleh psikolog Swiss Jean Piaget dan psikolog Rusia Lev Vygotsky. Di Amerika Serikat, Charles Spearman merupakan seorang pemimpin dalam studi sistematis tentang perbedaan kecerdasan individu. Di pertengahan abad ini, ahli saraf Rusia Alexander Luria berkontribusi besar dalam pemahaman kita tentang bagaimana pemikiran bergantung pada area otak tertentu, mengantisipasi bidang modern ilmu saraf kognitif. Sekitar waktu yang sama di Amerika Serikat, Herbert Simon berpendapat bahwa model teori ekonomi rasional tradisional, harus diganti dengan kerangka kerja yang memperhitungkan berbagai kendala sumber daya manusia, seperti perhatian terbatas dan kapasitas memori dan waktu terbatas. Inilah salah satu kontribusi yang pada tahun 1978 menjadikan Simon memperoleh Hadiah Nobel di bidang Ekonomi.
Pada tahun 1943, psikolog Inggris Kenneth Craik menjadikan sketsa gagasan mendasar bahwa representasi mental menyediakan semacam model dunia yang dapat 'dijalankan' untuk membuat prediksi (seperti seorang insinyur mungkin menggunakan model skala fisik jembatan agar mengantisipasi efek tegangan pada jembatan yang sebenarnya dimaksudkan untuk menjangkau sungai). Pada 1960-an dan 1970-an, karya modern tentang psikologi penalaran dimulai di Inggris dengan kontribusi Peter Wason dan kolaboratornya Philip Johnson-Laird.
Konsep berpikir modern sebagai perhitungan, menonjol pada tahun 1970-an. Dalam perlakuan klasik mereka terhadap pemecahan masalah manusia, Allen Newell dan Herbert Simon menunjukkan bahwa analisis komputasi pemikiran (diantisipasi oleh Alan Turing, bapak ilmu komputer) dapat menghasilkan hasil empiris dan teoretis yang penting. Ibarat sebuah program yang dijalankan pada komputer digital, seseorang yang memikirkan suatu masalah, dapat dipandang sebagai mengambil masukan yang mewakili kondisi awal dan tujuan, dan menerapkan urutan operasi untuk mengurangi perbedaan antara kondisi awal dan tujuan. Karya Newell dan Simon menjadikan simulasi komputer sebagai metode standar guna menganalisis pemikiran manusia. Hal ini menyoroti pula potensi sistem produksi, yang kemudian dikembangkan secara ekstensif sebagai model kognitif oleh John Anderson dan rekan-rekannya.
Tahun 1970-an memperlihatkan beragam perkembangan besar yang terus membentuk bidang ilmu tersebut. Eleanor Rosch, membangun karya sebelumnya oleh Jerome Bruner, membahas pertanyaan mendasar tentang mengapa orang punya kategori yang mereka miliki, dan bukan pengelompokan objek lain yang mungkin secara logis. Rosch berargumen bahwa kategori alami sering kali berbatas-kabur (ikan-paus adalah mamalia yang aneh), namun tetap berkecenderungan sentral yang jelas, atau prototipe (orang pada umumnya setuju bahwa beruang adalah mamalia yang baik). Psikologi penilaian manusia dibentuk kembali oleh wawasan Amos Tversky dan Daniel Kahneman, yang mengidentifikasi strategi kognitif sederhana, atau heuristik, yang digunakan orang guna membuat penilaian frekuensi dan probabilitas. Seringkali cepat dan akurat, strategi ini dalam beberapa keadaan dapat menyebabkan penilaian non-normatif. Setelah kematian Tversky pada tahun 1996, pekerjaan ini dilanjutkan oleh Kahneman, yang dianugerahi Hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 2002. Pandangan penilaian saat ini yang muncul dari penelitian selama 30 tahun dirangkum oleh Griffin et al. Goldstone and Son meninjau teori penilaian kemiripan yang berpengaruh dari Tversky.
Pada tahun 1982 David Marr, seorang ilmuwan muda bervisi, menyusun visi tentang bagaimana ilmu pikiran hnedaknya dilanjutkan. Marr membedakan tiga tingkat analisis, yang disebutnya tingkat perhitungan, representasi dan algoritma, dan implementasi. Setiap level, menurut Marr, menjawab pertanyaan yang berbeda, yang diilustrasikannya dengan contoh perangkat fisik, mesin kasir. Pada tingkat paling abstrak Marr, komputasi (jangan bingung dengan komputasi algoritme pada komputer), pertanyaan dasarnya ialah 'Tujuan apa yang hendak dicapai oleh proses kognitif?' dan 'Apa logika pemetaan dari input ke output yang membedakan pemetaan ini dari pemetaan inputoutput lainnya?' Mesin kasir, dilihat pada level ini, digunakan mencapai tujuan menghitung berapa banyak pembelian yang harus dibayar . Tugas ini memetakan secara tepat ke aksioma penjumlahan (misalnya, jumlah yang terutang tak boleh berbeda dengan urutan item yang disajikan kepada petugas penjualan, sebuah batasan yang secara tepat, sesuai dengan sifat komutatif dari penjumlahan). Oleh karenanya, tanpa mengetahui apa pun tentang cara kerja mesin kasir tertentu, kita dapat yakin bahwa (jika berfungsi dengan baik) akan melakukan penjumlahan (bukan pembagian).
Level representasi dan algoritme, seperti namanya, berkaitan dengan pertanyaan, 'Apa representasi input dan output?' dan 'Apa algoritma untuk mengubah yang disebutkan pertama menjadi yang disebutkan terakhir?' Dalam mesin kasir, penjumlahan dapat dilakukan dengan menggunakan angka dalam kode desimal atau biner, dimulai dengan digit paling kiri atau paling kanan. Terakhir, level implementasi menjawab pertanyaan, 'Bagaimana representasi dan algoritma direalisasikan secara fisik? Mesin kasir dapat diimplementasikan sebagai kalkulator elektronik, atau mesin penjumlah mekanis, atau bahkan mental sempoa dalam benak petugasnya.
Dalam bukunya, Marr menekankan pentingnya tingkat analisis komputasional, dengan alasan bahwa dapat sangat menyesatkan bila berfokus sebelum waktunya, pada tingkat analisis yang lebih konkret terhadap tugas kognitif tanpa memahami tujuan atau sifat perhitungan mental. Sayangnya, Marr meninggal karena leukemia sebelum bukunya diterbitkan, jadi kita tak tahu bagaimana pemikirannya tentang tingkat analisis berkembang.

Ada dua jenis berpikir yang kita sebut 'scientific'. Yang pertama, dan yang paling jelas, ialah memikirkan tentang kandungan sains. Orang berurusan dalam scientific thinking [berpikir ilmiah] ketika mereka bernalar tentang entitas dan proses seperti gaya, massa, energi, kesetimbangan, magnetisme, atom, fotosintesis, radiasi, geologi, atau astrofisika (dan, tentu saja, psikologi kognitif!). Berpikir ilmiah jenis kedua mencakup serangkaian proses penalaran yang menembus bidang sains: induksi, deduksi, desain eksperimental, penalaran kausal, pembentukan konsep, pengujian hipotesis, dan sebagainya. Namun, proses penalaran ini, tidak unik bagi berpikir ilmiah: semuanya merupakan proses yang sama yang terkait dengan berpikir sehari-hari. Seperti yang dikatakan Einstein: 'Cara ilmiah untuk membentuk konsep berbeda dari yang kita gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, tidak pada dasarnya, tetapi hanya dalam definisi konsep dan kesimpulan yang lebih tepat; pilihan bahan eksperimen yang lebih telaten dan sistematis, dan logicaleconomy yang lebih besar.'
Salah satu tujuan utama berpikir ilmiah ialah menyediakan kerangka menyeluruh guna memahami pikiran ilmiah. Salah satu kerangka yang berpengaruh besar dalam ilmu kognitif adalah berpikir ilmiah dan penemuan ilmiah dapat dipahami sebagai bentuk pemecahan masalah. Simon berargumen bahwa berpikir ilmiah secara umum dan pemecahan masalah secara khusus dapat dianggap sebagai pencarian dalam ruang masalah.
Banyak peneliti menganggap pula pengujian hipotesis spesifik yang diprediksi oleh teori sebagai salah satu atribut kunci dari berpikir ilmiah. Pengujian hipotesis adalah proses mengevaluasi suatu proposisi dengan mengumpulkan bukti-bukti mengenai kebenarannya. Penelitian kognitif eksperimental tentang berpikir ilmiah yang secara khusus mengkaji masalah ini cenderung terbagi dalam dua kelas investigasi yang luas. Kelas pertama berkaitan dengan jenis penalaran yang menyesatkan para ilmuwan, sehingga menghalangi kecerdikan ilmiah. Sejumlah besar penelitian telah dilakukan pada strategi penalaran yang berpotensi keliru, yang digunakan oleh peserta dalam eksperimen dan ilmuwan, seperti mempertimbangkan hanya satu hipotesis yang disukai pada satu waktu dan bagaimana hal ini mencegah para ilmuwan membuat penemuan.
Kelas kedua berkaitan dengan mengungkap proses mental yang mendasari generasi hipotesis dan konsep ilmiah baru. Penelitian ini cenderung berfokus pada penggunaan analogi dan pencitraan dalam sains, serta penggunaan jenis heuristik pemecahan masalah tertentu.

Salah satu karakteristik sains yang paling mendasar ialah para ilmuwan berasumsi bahwa alam semesta tempat kita tinggal, mengikuti aturan yang dapat diprediksi. Alasan para ilmuwan menggunakan berbagai strategi berbeda guna membuat penemuan ilmiah baru. Tiga jenis strategi penalaran yang sering digunakan para ilmuwan ialah penalaran induktif, abduktif, dan deduktif.
Dalam masalah penalaran induktif, seorang ilmuwan dapat mengamati serangkaian peristiwa dan berusaha menemukan aturan yang mengatur peristiwa tersebut. Setelah aturan ditemukan, para ilmuwan dapat melakukan ekstrapolasi dari aturan tersebut untuk merumuskan teori fenomena yang diamati dan yang belum diamati. Contoh induksi: Daisy adalah angsa dan putih. Danny adalah angsa dan putih. Dante adalah angsa dan putih [dan seterusnya]. Oleh sebab itu, semua angsa berwarna putih.
Salah satu contoh penemuan menggunakan penalaran induktif bahwa jenis bakteri tertentu merupakan penyebab banyak bisul.
Meskipun kurang umum disebutkan dibanding penalaran induktif, penalaran abduktif merupakan bentuk penalaran penting yang digunakan para ilmuwan di saat mereka berusaha mengajukan penjelasan terhadap peristiwa seperti temuan yang tak terduga. Contoh abduktif: Semua angsa berwarna putih. Daisy berwarna putih. Oleh karenanya, Daisy adalah seekor angsa.
Beralih sekarang ke pemikiran deduktif, banyak proses berpikir yang dipatuhi para ilmuwan mengikuti aturan tradisional logika deduktif. Proses-proses ini sesuai dengan kondisi-kondisi dimana suatu hipotesis dapat mengarah pada, atau dapat disimpulkan, suatu kesimpulan. Contoh deduktif : Semua angsa berwarna putih. Daisy adalah angsa. Karena itu, Daisy berwarna putih.
Meskipun tak selalu diutarakan dalam bentuk silogistik, argumen deduktif dapat diutarakan sebagai 'silogisme', atau secara singkat, pernyataan matematis dimana premis mengarah ke kesimpulan. Penalaran deduktif merupakan aspek yang sangat penting dari berpikir ilmiah sebab mendasari komponen besar dari bagaimana para ilmuwan melakukan penelitian mereka. Dengan melihat banyak penemuan ilmiah, kita sering dapat melihat bahwa penalaran deduktif sedang bekerja. Pernyataan penalaran deduktif semuanya mengandung informasi atau aturan yang menyatakan asumsi tentang bagaimana dunia bekerja, serta kesimpulan yang harus mengikuti aturan tersebut. Berbagai penemuan dalam fisika seperti penemuan materi gelap oleh Vera Rubin didasarkan pada deduksi.

Salah satu proses penalaran yang paling banyak disebutkan, yang digunakan dalam sains ialah analogi. Ilmuwan menggunakan analogi untuk membentuk jembatan antara apa yang telah mereka ketahui dan apa yang mereka coba jelaskan, pahami, atau temukan. Nyatanya, banyak ilmuwan mengklaim bahwa pembuatan analogi tertentu, berperan penting dalam penemuan ilmiah mereka, dan hampir semua otobiografi dan biografi ilmiah, menonjolkan satu analogi tertentu, yang dibahas secara mendalam. Ditambah dengan fakta bahwa telah ada program penelitian yang sangat besar tentang pemikiran dan penalaran analogis, kita sekarang memiliki sejumlah model dan teori penalaran analogis yang menunjukkan bagaimana analogi dapat berperan dalam penemuan ilmiah. Dengan menganalisis beberapa penemuan besar dalam sejarah sains, Thagard dan Croft, Nersessian, serta Gentner dan Jeziorski, semuanya menunjukkan bahwa penalaran analogis merupakan aspek kunci penemuan ilmiah.

Kesamaan antara pemikiran anak-anak dan pemikiran para ilmuwan punya daya pikat yang melekat dan kontradiksi internal. Sebelum ulang tahun pertama mereka, anak-anak tampak mengetahui beberapa fakta mendasar tentang dunia fisik. Misalnya, penelitian dengan bayi menunjukkan bahwa mereka berperilaku seolah-olah mereka memahami bahwa benda padat bertahan lama (misalnya, tidak menghilang begitu saja dan muncul kembali, tidak dapat bergerak satu sama lain, dan bergerak sebagai akibat dari tabrakan dengan benda padat lainnya atau gaya gravitasi). Bahkan anak usia 6 bulan dapat memprediksi lokasi masa depan dari benda bergerak yang ingin mereka pahami. Selain itu, mereka tampaknya mampu membuat kesimpulan nontrivial tentang sebab dan akibatnya.

Pendekatan komputasi telah memberikan penjelasan yang lebih lengkap tentang berpikit ilmiah. Model komputasional memberikan penjelasan terperinci yang spesifik tentang proses kognitif yang mendasari berpikir ilmiah. Pekerjaan komputasi awal terdiri dari mengambil penemuan ilmiah dan membangun model komputasi dari proses penalaran yang terlibat dalam penemuan tersebut.

Praktik kedokteran membutuhkan seni dan juga sains. Sains berpendapat agar pemahaman yang lebih dalam tentang mekanisme yang mendasari proses penyakit dan penggunaan bukti ilmiah dalam membuat keputusan perawatan pasien. Studi tentang penalaran dan pemikiran medis mendasari banyak kognisi medis dan telah menjadi fokus penelitian dalam ilmu kognitif dan kecerdasan buatan dalam kedokteran. Keahlian dan organisasi pengetahuan medis, arah penalaran, dan sifat kesalahan medis terkait erat dengan proses berpikir dan pengambilan keputusan dalam kedokteran. Dengan kemajuan teknologi dalam kedokteran baru-baru ini, penalaran yang dimediasi teknologi dan sistem pendukung penalaran akan menjadi fokus untuk penelitian di masa depan.

Berpikir dan bernalar masuk ke dalam praktik bisnis dengan cara yang tak terbatas. Praktik bisnis sangat bervariasi. Pemasar yang mempengaruhi pembelian pelanggan, eksekutif yang menegosiasikan kesepakatan, manajer yang mengoordinasikan produksi barang, analis yang meninjau kinerja perusahaan, dan akuntan yang berusaha menambah angka, semuanya terlibat dalam aspek praktik bisnis.
Bisnis perlu menjual produk dan layanan mereka, jadi perhatian utama bisnis ialah membentuk cara konsumen melakukan pembelian, menggunakan produk, dan memikirkan merek. Peneliti perilaku konsumen mempelajari pertanyaan-pertanyaan ini dan menghasilkan lebih banyak penelitian psikologis tentang pemikiran dan penalaran individu ketimbang peneliti di bidang akademisi bisnis lainnya. Sebagai indikasi sederhana peran penelitian kognisi dalam perilaku konsumen, Handbook of Consumer Psychology mendedikasikan sekitar setengah dari 1.200 halamannya untuk meninjau pemrosesan informasi dan penelitian kognisi sosial. Sebagian besar penelitian perilaku konsumen tentang berpikir dan bernalar, bersifat eksperimental. Ada juga pemodelan matematika dan komputasi, penelitian survei lapangan, pengamatan aktivitas konsumen, pemeriksaan ukuran arsip aktivitas konsumen, dan beberapa penelitian kualitatif.
Pembelian konsumen merupakan aktivitas pengambilan keputusan. Misalnya, salah satu fitur yang menonjol dari konteks pengambilan keputusan konsumen (seperti yang terlihat saat berjalan-jalan di toko kelontong atau waktu yang dihabiskan untuk berbelanja online) adalah perhatian terhadap bagaimana orang membuat keputusan ketika dihadapkan pada sejumlah besar pilihan. Secara lebih umum, pengambilan keputusan adalah suatu aktivitas, dan banyak tujuan yang dimiliki oleh pembuat keputusan saat mereka terlibat dalam aktivitas tersebut memandu pilihan yang dihasilkan.

Mendengarkan musik memerlukan proses dimana masukan pendengaran dianalisis dan diklasifikasikan secara otomatis, dan proses sadar dimana pendengar menafsirkan dan mengevaluasi musik. Pertunjukan musik melibatkan keterlibatan dalam gerakan-gerakan yang dilatihkan, yang mencerminkan pengetahuan prosedural (terwujud) tentang musik, bersama dengan upaya sadar untuk membimbing dan menyempurnakan gerakan-gerakan ini melalui pemantauan online terhadap output suara. Menulis musik menyeimbangkan penggunaan intuisi yang mencerminkan pengetahuan implisit musik dengan upaya sadar dan disengaja untuk menciptakan tekstur dan perangkat musik yang inovatif dan konsisten dengan tujuan estetika individu. Pendengar dan musisi juga berinteraksi satu sama lain dengan cara yang mengaburkan batas di antara mereka: Pendengar mengetuk atau bertepuk tangan seiring waktu dengan musik, memantau ekspresi wajah dan gerak tubuh pemain, dan berempati secara emosional dengan musisi; musisi, pada gilirannya, hadir untuk audiens mereka dan tampil berbeda tergantung pada energi yang dirasakan dan sikap pendengar mereka.
Musisi dan pendengar diikat bersama melalui pengalaman kognitif, emosional, dan motorik bersama, menunjukkan sinkronisasi yang luar biasa dalam perilaku dan pemikiran.

Belajar berpikir adalah tentang transfer. 'Belajar berpikir' berbeda dengan 'belajar' dalam artian bahwa pembelajar mencapai peningkatan kemampuan intelektual yang lebih umum, bukan hanya dalam konten domain yang lebih spesifik. Belajar berpikir bermakna lebih dari belajar bahasa Inggris, belajar matematika, belajar sejarah, atau belajar sains. Dengan kata lain, belajar berpikir berarti transfer.
Salah satu cara untuk belajar berpikir ialah belajar bahasa yang dapat digunakan untuk berpikir lebih kuat. Contoh yang jelas adalah belajar bahasa alami, seperti bahasa Inggris. Tampaknya tidak kontroversial bahwa bagian yang baik dari apa yang membuat pemikiran manusia begitu kuat ialah kemampuan kita berbahasa. Bentuk lisan dari bahasa alami, tak semata memfasilitasi komunikasi dan pemikiran kolaboratif, melainkan pula menyediakan media untuk penalaran dan berpikir logis. Bentuk tertulis lebih lanjut memfasilitasi upaya kolaboratif dalam rentang waktu dan ruang yang luas dan juga merupakan sarana meningkatkan pikiran. Siapapun yang telah menulis naskah atau tulisan, kemungkinan besar punya pengalaman bahwa proses penulisan mengubah pemikiran seseorang dan menghasilkan produk yang lebih baik ketimbang ucapan spontan. Jelas, kegiatan belajar bahasa itu, bagian terbesar dari belajar berpikir dan tanggungjawab utama dari sistem pendidikan kita.'"

"Dan terakhir, sebelum aku pergi," Swara hendak mengakhiri percakapannya, 'dengarkan cerita ini, 'Pada bulan November, kepala suku Indian di benua Amerika sana, mulai berpikir bahwa musim dingin bakalan datang. 'Winter is coming!' katanya. Maka, ia menginstruksikan para anggota sukunya, mengumpulkan kayu-bakar. Agar memeriksa ulang prediksinya, sang kepala suku menelepon BMKG setempat dan bertanya kepada seorang ahli meteorologi, mungkinkah musim dingin kali ini, bakalan sangat dingin. Sang ahli menjawab, 'Menurut indikator kami, kami rasa, itu sangat mungkin terjadi.'
Setelah menelepon, kepala suku menyuruh anak buahnya mencari kayu-bakar tambahan, untuk berjaga-jaga. Seminggu kemudian, ia menelepon lagi BMKG setempat, dan mereka memastikan bahwa musim dingin yang tajam, sungguh sedang menuju ke arah mereka.
Sang kepala suku memerintahkan seluruh penduduk desa agar mengais setiap potongan kayu yang bisa mereka lakukan. Dua minggu kemudian, ia menelepon lagi BMKG setempat, dan bertanya, 'Apa bapak benar-benar yakin, musim dingin ini, bakalan sangat dingin?'
'Oh iya dong, kami yakin,' jawab lelaki di seberang telepon, 'sebab orang-orang Indian, sedang mengumpulkan kayu-bakar, gila-gilaan.'
Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Keith J. Holyoak & Robert G. Morrison (Ed.), The Oxford Handbook of Thinking and Reasoning, Oxford University Press
- D.Q. McInerny, Being Logical - A Guide to Good Thinking, Random House

Minggu, 22 Januari 2023

Rhetorical Fallacy-nya Kodok

"Mengapa Argumen berbeda dengan Opini?" Swara memulai perbincangan dengan sebuah pertanyaan ketika ia tiba, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.
"Banyak orang mengalami kesulitan memahami perbedaan antara argumen dan ekspresi keyakinan atau opini pribadi. Mereka menggunakan kata 'argumen' dan 'opini' secara bergantian. Terkadang, manakala engkau meminta argumen orang lain terhadap keyakinan atau posisi mereka pada suatu masalah, mereka akan memberikanmu opini mereka tentang masalah itu, ketimbang argumen. Dengan kata lain, mereka hanya memberitahukan apa yang mereka yakini.
Argumen itu, sekelompok pernyataan, satu atau lebih di antaranya, premis, mendukung atau memberikan bukti terhadap yang lain, atau boleh dibilang sebagai kesimpulannya. Premis suatu argumen ialah pernyataan-pernyataan yang bersama-sama membentuk alasan guna mempercayai bahwa kesimpulan itu benar. Beberapa premis merupakan kesimpulan dari argumen sebelumnya, sedangkan yang lain, mungkin merupakan pernyataan fakta, pengamatan pribadi, kesaksian ahli, atau ungkapan pengetahuan umum. Premis juga dapat ditemukan dalam bentuk definisi, prinsip, atau aturan, yang bersama dengan premis lain, digunakan dalam upaya untuk mendukung kebenaran kesimpulan.
Argumen bertujuan untuk menunjukkan kebenaran atau kesalahan klaim tertentu, dengan menyajikan bukti yang dapat meyakinkan orang lain agar menerima klaim itu. Jika klaim atau posisi ditegaskan dalam materi tertulis atau lisan dan tak ada pernyataan eksplisit atau implisit lain yang digunakan untuk mendukungnya, maka materi tersebut bukanlah argumen. Boleh jadi, hal itu mengungkapkan pendapat atau mengambil posisi tentang suatu masalah, namun hal tersebut bukanlah argumen, kecuali opini atau posisi itu dipertahankan dengan setidaknya sebuah bukti lagi atau pernyataan pendukung lainnya.
Argumen dibentuk oleh dua atau lebih pernyataan eksplisit dan/atau implisit, satu atau lebih yang mendukung atau memberikan bukti terhadap kebenaran atau manfaat pernyataan lain, yakni kesimpulannya.
Salah satu tugas yang teramat sulit dalam mengevaluasi argumen ialah mengidentifikasi yang mana dari beberapa pernyataan dalam tulisan atau wacana argumentatif yang merupakan kesimpulan. Kesimpulan dari sebuah argumen, tak boleh dikacaukan dengan poin utama dalam materi yang sedang dicermati. Sebagian besar editorial dan surat kepada editor, misalnya, punya maksud tertentu, namun banyak di antaranya bukanlah argumen. Jika tak ada alasan yang diberikan terhadap posisi yang diambil, tak ada yang bisa disimpulkan. Surat atau editorial, dalam masalah seperti ini, hanyalah serangkaian pernyataan atau poin yang tak ada dukungannya. Kesimpulan dari sebuah argumen, hendaknya berupa pernyataan atau klaim yang memiliki setidaknya, satu pernyataan lain yang mendukungnya. Jika engkau tak yakin apakah ada kesimpulan yang tersembul, carilah pernyataan yang tampaknya memberikan alasan agar mempercayai bahwa beberapa pernyataan lain dalam materi itu, benar. Pernyataan lain itu kemungkinan akan menjadi kesimpulan.
Adakalanya, namun tidak seringkali, kesimpulan mengikuti kata-kata seperti 'oleh karena itu', 'akibatnya', 'maka', 'jadi', 'lalu', atau 'mengikuti itu'. Terkadang, namun tidak kerapkali, premis mengikuti kata-kata seperti 'sejak', 'karena', 'jika' atau 'asumsi itu'. Namun, dalam argumen kehidupan nyata, bagian-bagian dari argumen tersebut, tak begitu mudah diidentifikasi. Seseorang biasanya terpanggil untuk menginterpretasikan struktur argumen tanpa bantuan pengidentifikasi ini.
Dalam beberapa argumen, mungkin ada beberapa pernyataan yang masing-masing didukung oleh yang lain. Pernyataan pendukung lainnya ini, boleh jadi merupakan premis argumen, yang dapat dipandang sebagai kesimpulan yang didukung oleh apa yang disebut subpremis. Guna menentukan pernyataan pendukung mana yang bukan merupakan premis melainkan kesimpulan dari argumen utama, cobalah menentukan pernyataan pendukung mana yang juga tampak menjadi jalan-pikirab utama, yang dipertahankan dalam teks tersebut. Hal ini mungkin, tentu saja, dan sangat sering terjadi, lebih dari satu argumen yang disajikan, khususnya dalam pidato dan diskusi informal. Jika engkau menduga ada banyak argumen dalam bagian itu, cobalah memandu pembicaraan sehingga sekaligus membahas satu argumen.

Sebuah keyakinan semestinya menjadi kesimpulan dari sebuah argumen. Kata 'kesimpulan' menunjukkan bahwa itulah opini atau judgment yang dihasilkan dari beberapa proses refleksi rasional pada bukti. Meskipun benar bahwa semua pernyataan kita merupakan opini, pertanyaan pentingnya adalah, ada atau tidakkah pernyataan pendukung terhadap opini kita. Argumen merupakan opini yang didukung. Bila seseorang mengkritik sebuah argumen dengan mengatakan kesimpulannya seperti, 'Ya, itu cuma pendapatnya,' aku mengingatkannya bahwa opini yang diungkapkan sebagai kesimpulan dari suatu argumen, bukanlah 'sekedar opini'; melainkan opini yang ada dukungannya, dan setiap kritik terhadap opini tersebut, hendaknya ditujukan pada kualitas argumen yang mendukungnya.
Ungkapan pendapat pribadi adalah salah satu bentuk pertukaran verbal yang paling umum, dan karena alasan pendapat kita sering tidak diminta, kita tidak terbiasa mempertahankannya dan bahkan terbuai dengan pemikiran bahwa alasan tidak diperlukan. 'Setiap orang berhak atas pendapatnya sendiri,' sering dikatakan. Ini benar, tetapi pertanyaannya di sini bukanlah apakah seseorang memiliki hak untuk menyatakan pendapat; ini adalah pertanyaan pendapat mana yang pantas kita terima. Jika suatu pendapat tidak disertai dengan alasan untuk mendukungnya, tidak mungkin untuk menentukan apakah pendapat tersebut pantas untuk kami terima.
Sebagian besar dari kita, suka bertukar opini dengan orang lain, namun opini kita, jarang berubah kecuali argumen bagi posisi lain disajikan. Dan ada alasan mempercayai bahwa beberapa opini kita perlu diubah, karena beberapa di antaranya saling bertentangan dan karenanya, tak mungkin semuanya benar. Lantaran sebagian pendapat kita, bertentangan pula dengan pendapat orang lain, kita tahu bahwa sebagian dari kita, sekarang menganut pendapat yang keliru; sebab jika ada dua pendapat yang berlawanan atau berbeda tentang suatu hal, setidaknya salah satunya yang keliru. Tapi, yang mana? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan mengevaluasi kualitas argumen yang disajikan atas nama masing-masing pandangan.

Namun, tiada argumen yang dapat dianggap berhasil secara permanen. Selalu ada kemungkinan bahwa bukti baru akan terungkap, yang akan menimbulkan keraguan baru tentang posisi yang dipegang atas dasar yang dianggap baik. Dalam kondisi ini, pemeriksaan lebih lanjut selalu tepat. Kebanggaan memegang posisi yang dipertahankan oleh argumen yang baik di masa lalu, seyogyanya tak menjadi penghalang guna membuka kembali masalah di masa sekarang jika kondisinya memungkinkan. Prinsip-prinsip falibilitas dan pencarian kebenaran pada titik ini, sama pentingnya dengan penyelidikan awal.
Ada perbedaan yang sangat jelas antara argumen dan argumen yang baik. Seseorang yang membuat pernyataan yang didukung oleh setidaknya satu klaim lain telah membuat argumen, tetapi, itu mungkin bukan argumen yang baik. Ada lima kriteria argumen yang baik. Argumen yang baik hendaknya memiliki: struktur yang terbentuk dengan baik, premis yang relevan dengan kebenaran kesimpulan, premis yang dapat diterima oleh orang yang berakal-sehat, premis yang bersama-sama merupakan dasar yang cukup bagi kebenaran kesimpulan, dan premis yang memberikan bantahan yang efektif atas semua kritik yang diantisipasi dari argumen tersebut.

Fallacy merupakan pelanggaran terhadap salah satu kriteria argumen yang baik. Karenanya, Fallacy berasal dari satu atau lebih hal-hal berikut: Cacat struktural dalam argumen; Premis yang tak relevan dengan kesimpulan; Premis yang tak berhasil memenuhi standar penerimaan; Satu set premis yang bersama-sama tak cukup untuk menetapkan kesimpulan argumen; Tak mampu memberikan sanggahan yang efektif terhadap kritik argumen yang diantisipasi.
Argumen apa pun yang tak dapat memenuhi satu atau lebih dari kriteria ini, merupakan Fallacy. Fallacy ialah kekeliruan dalam argumen yang melanggar satu atau lebih dari lima kriteria argumen yang baik, tetapi mungkin melanggar kriteria dalam beberapa cara yang berbeda, yang kesemuanya punya beberapa ciri umum dengan pelanggaran lain dari kriteria yang sama.

Gagasan asli Yunani tentang Fallacy, ditemukan dalam manual praktis Aristoteles tentang seni argumentasi, De sophisticis elenchis [Sanggahan terhadap Sophistis], memandang fallacy—atau sanggahan sophistis—sebagai taktik muslihat argumentasi yang disengaja, yang digunakan untuk mengelabui dan mendapatkan sesuatu yang terbaik dari lawan bicara, dalam dialog tak seimbang. Namun kamudian, gagasan ini tak digunakan lagi dan bersamaan dengan itu, menjadi latarbelakang kerangka logika praktis, sebagai seni dialektika percakapan antara dua pihak yang sama-sama bernalar. Sebagai gantinya, logika silogistik Aristoteles, dan dengannya, gagasan logika deduktif sebagai sistem menguji kesimpulan terhadap validitas, mengambil-alih sebagai sudut pandang dominan dalam logika. Pandangan tentang fallacy yang berkembang menjadi buku teks logika modern mengambil sudut pandang yang dominan ini, memandang fallacy sebagai inferensi yang keliru, semacam kesalahan penalaran yang merupakan inferensi yang salah dari premis terhadap kesimpulan. Sudut pandang ini, mengabstraksikan konsep argumen sebagai pertukaran dalam dialog antara dua pihak.
Menurut teori baru, Fallacy ialah—yang pertama dan terutama—skema argumentasi yang dipergunakan secara keliru. Jenis-jenis argumen yang sesuai dengan tradisi apa yang disebut Fallacy, punya skema argumentasi yang mendasarinya. Apabila argumen dari salah satu jenis ini, dikemukakan dalam format jenis dialog yang sesuai dan didukung secara memadai dalam konteksnya, dengan dukungan premis-premisnya yang khas, argumen tersebut, dapat menjadi argumen yang masuk akal seperti yang digunakan dalam konteks dialognya. Namun, mengatakan argumen seperti itu, masuk-akal, tak secara umum semata mengatakan bahwa ia berstruktur konstanta dan bervariabel tertentu dalam premisnya, dan kesimpulannya serupa dengan yang ditemukan dalam argumen yang valid secara deduktif. Sebaliknya, dikatakan bahwa argumen tersebut, sebuah urutan argumentasi yang berkontribusi pada realisasi tujuan dialog yang tepat terhadap konteks dimana ia diajukan.
Ide Fallacy muncul melalui kemungkinan bahwa skema dan tema argumentasi, dapat digunakan secara keliru, sebagai mekanisme yang diperhitungkan agar mencegah munculnya pertanyaan kritis yang tepat, dengan menghambat dialog dengan cara karakteristik tertentu. Konsep baru tentang Fallacy ini, didasarkan pada skema argumentasi, yang secara inheren bersifat presumtif, yaitu, yang berperan sebagai argumen dimana ilmu, tak cukup memperoleh kesimpulan dengan pasti atau bahkan dengan probabilitas. Masalah-masalah argumentasi pertimbangan argumentasi yang seimbang, diselesaikan berdasarkan beban pembuktian dalam dialog. Namun, secara tradisional, reputasi jenis argumentasi terhadap subjektivitas ini, telah membuat logika arus utama menjadi sangat curiga terhadapnya sebagai jenis penalaran yang berpatutan Namun kecurigaan ini, hendaknya dihadapi, dan diatasi, jika kita ingin punya teori logis yang berguna untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi setiap Fallacy."

Swara diam sejenak, lalu ia berkata, "Suatu hari, Katak dan Kodok sedang nonton tv. Namun, setiap kali Kodok mengganti channel, ia berseru, 'Itu Bapak Identitas,'; 'Itu Gubernur Firaun'—walaupun mungkin Firaun bakal keberatan lantaran ia disetarakan dengan Gubernur padahal ia seorang raja; 'Itu 'America's Golden Boy'; dan seterusnya. Katak penasaran dan berkata, 'Siapa yang ngomong begitu?' Masih terus menonton dengan riang, Kodok menjawab, 'Mereka yang bilang!'
Dan tatkala tv menunjukkan seseorang yang sangat dipuja-puja Kodok, Katak berseru, "Itu 'China's Rotten Boy!' Seketika wajah Kodok cemberut. Katak berkata, 'Kodok, jangan merajuk, ane kan cuman ngomong seperti yang ente ngomongin.' Kodok berkata, 'Ente tega ngomong seperti itu, siapa sih yang bilang begitu?' Katak menjawab, 'Mereka yang bilang!' Masih merajuk, Kodok mantuk-mantuk.
'Kodok dengarkan!' kata Katak, lalu Kodok menoleh padanya. 'Pernah gak ente terlibat dalam sebuah argumen dimana lawan bicara ente berusaha mempresentasikan posisinya melalui serangkaian pernyataan yang tak berhubungan dengan topik yang sebenarnya? Atau mungkin mereka mencoba menakut-nakuti ente agar setuju dengan pendirian mereka tentang masalah tersebut, ketimbang menggunakan argumen yang logis?'

'Ane kagak ngarti, coba jelasin!' kata Kodok. Katak berkata, 'Ini yang namanya Rhetorical Fallacy, dan akan terasa sangat mengecewakan sebab berakar pada penalaran yang keliru dan seringkali dengan niat mengelabui.
Kata 'fallacy' berasal dari kata Latin 'fallere,' yang bermakna 'mengelabui.' Kata tersebut bergeser pada akhir abad ke-15 dengan bahasa Inggris Pertengahan menjadi 'fallacia,' yang bermakna 'pengelabuan dan tipu-muslihat.'
Rhetological Fallacies [Kekeliruan Retoris] merupakan kekeliruan dan manipulasi Pemikiran Retoris dan Logis. Ada ratusan jenis kekeliruan retoris. Meskipun tak selalu ada yang lebih sering digunakan dibanding yang lain, banyak kekeliruan retoris merupakan Logical Fallacies [Kekeliruan Logis]. Logika adalah cara yang efektif guna membuat seseorang sepakat dengan ente tentang sesuatu, sehingga orang sering menyalahgunakan logika dalam argumen mereka.

Para komunikator yang baik, pastilah tahu bagaimana menghindari Logical Fallacies [Kekeliruan Logis]. Kekeliruan logis melemahkan argumen dengan memperlakukan asumsi yang keliru sebagai fakta, namun lantaran banyak pembicara dan penulis tak meluangkan waktu untuk mempertimbangkan dasar argumen mereka, kekeliruan logis cukup umum terjadi dalam politik, bisnis, dan bahkan dalam komunikasi antarpribadi.
Agar memahami Logical Fallacies, ada baiknya ente menilik enam kategori utama jenis Fallacy: attacks [serangan], content manipulation [manipulasi muatan], faulty deduction [deduksi yang keliru], garbled cause and effect [sebab-akibat yang kacau-balau], emotional appeals [daya-tarik emosional] dan mental appeals [daya-tarik mental]. Meskipun ada lusinan fallacy yang berbeda, kebanyakan termasuk dalam keenam kelompok ini.

Attacks meliputi:
  • Ad hominem [argumen atau reaksi, diarahkan terhadap seseorang ketimbang posisi yang mereka pertahankan]: membypass argumen dengan melancarkan serangan yang tak relevan pada seseorang dan bukan pernyataan mereka. Sayangnya, jenis argumen ini bisa jadi efektif, namun dengan menunjukkan serangan itu, akan merusak keefektifannya.
  • Burden of Proof: Aku tak perlu membuktikan pernyataanku—entelah yang harus membuktikan bahwa pernyataanku keliru.
  • Circumstance Ad Hominem: menyatakan suatu gugatan tak kredibel hanya lantaran anjuran kepentingan dalam gugatannya.
  • Genetic Fallacy: Menyerang penyebab atau asal pengakuan, bukan substansinya.
  • Guilt by Association: Mendiskreditkan ide atau pernyataan dengan mengasosiasikannya dengan orang atau kelompok yang tak diinginkan.
  • Straw Man: Membuat karikatur yang terdistorsi atau disederhanakan dari argumen lawanmu, dan kemudian membantahnya.
Manipulating Content meliputi:
  • Ad Hoc Rescue: Mencoba menyelamatkan keyakinan yang dihargai dengan berulang kali merevisi argumen guna menjelaskan masalah.
  • Begging the Question: Kesimpulan yang berasal dari pernyataan berdasarkan kesimpulan. Mirip dengan Circular Logic [logika melingkar], hanya dengan satu langkah saja.
  • Biased Generalising: Generalisasi dari sampel yang tak representatif agar meningkatkan kekuatan argumenmu.
  • Confirmation Bias: Bukti memilih ceri yang mendukung idemu seraya mengabaikan bukti yang bertentangan.
  • False Dilemma: Menyajikan dua opsi yang berlawanan sebagai satu-satunya dua opsi sembari menyembunyikan alternatifnya.
  • Lie: Suatu fakta yang tak dapat disangkal secara langsung sebagai fakta.
  • Misleading Vividness: Menggambarkan suatu kejadian dengan detail yang jelas, meskipun jarang terjadi, guna meyakinkan seseorang bahwa itu merupakan masalah.
  • Red Herring: Memperkenalkan materi yang tak relevan dengan argumen guna mengalihkan perhatian dan mengarah pada kesimpulan yang berbeda.
  • Slippery Slope: mengasumsikan langkah pertama yang relatif kecil, pasti akan menyebabkan rangkaian peristiwa (negatif) yang terkait.
  • Suppressed Evidence: Dengan sengaja tak berhasil menggunakan informasi yang signifikan dan relevan, yang diperhitungkan terhadap kesimpulan seseorang.
  • Unfalsifiability: Menawarkan pernyataan yang tak dapat dibuktikan salah, sebab tak ada cara untuk memeriksa, apakah itu salah atau tidak.
Faulty Deduction meliputi,
  • Anecdotal Evidence: Bukti basi yang diperoleh dengan pencarian atau pengujian sistematis mendukung beberapa cerita tangan pertama.
  • Composition: Mengasumsikan bahwa karakteristik atau keyakinan dari beberapa atau semua kelompok, berlaku bagi seluruh kelompok.
  • Division: Berasumsi bahwa karakteristik atau keyakinan suatu kelompok secara otomatis berlaku untuk setiap anggota individu.
  • Design Fallacy: Mengasumsikan bahwa lantaran sesuatu dirancang dengan baik atau divisualisasikan dengan indah, itu lebih benar.
  • Gambler’s Fallacy: Mengasumsikan hasil masa depan dari sejarah.
  • Hasty Generalisation: Menarik kesimpulan umum dari sampel kecil.
  • Jumping to Conclusion: Menarik kesimpulan cepat tanpa cukup mempertimbangkan bukti yang relevan (dan tersedia dengan mudah).
  • Middle Ground: Berasumsi karena dua argumen yang berlawanan bermanfaat, jawabannya pasti ada di antara keduanya.
  • Perfectionist Fallacy: Mengasumsikan bahwa satu-satunya pilihan di atas meja merupakan keberhasilan yang sempurna, lalu menolak apapun yang tak akan bekerja dengan sempurna.
  • Relativist Fallacy: Menolak pernyataan lantaran yakin bahwa kebenaran itu relatif terhadap seseorang atau kelompok.
  • Sweeping Generalisation: Menerapkan aturan umum terlalu luas.
  • Undistributed Middle: Mengasumsikan bahwa oleh karena dua hal yang bersesuaian, yang membuatnya menjadi hal yang sama.
  • Spotlight: Mengasumsikan pengamatan dari ukuran sampel kecil berlaku bagi seluruh kelompok.
Garbled cause and effect meliputi,
  • Affirming the Consequent: Mengasumsikan hanya ada satu penjelasan terhadap pengamatan yang ente lakukan.
  • Circular Logic: Kesimpulan berasal dari premis berdasarkan kesimpulan.
  • Cum Hoc Ergo Propter Hoc: Menyatakan dua kejadian yang terjadi bersamaan pasti ada hubungan sebab-akibat [Korelasi = sebab]
  • Denying the Antecedent: Tak hanya ada satu penjelasan untuk suatu hasil, Maka, jika salah menganggap sebab berdasarkan akibat.
  • Ignoring a Common Cause: Mengklaim satu peristiwa pasti menyebabkan yang lain ketika peristiwa ketiga (yang tak dicari) mungkin menjadi penyebabnya.
  • Post Hoc Ergo Propter Hoc: Mengklaim bahwa karena satu peristiwa mengikuti yang lain, juga disebabkan olehnya.
  • Two Wrongs make a Right: Berasumsi bahwa jika satu kesalahan diperbuat, kesalahan lain akan membatalkannya.
Appeal to the Emotions meliputi,
  • Appeal to Consequences of a Belief: Memperdebatkan suatu keyakinan adalah salah lantaran ia menyiratkan sesuatu yang ente lebih suka tak percayai.
  • Appeal to Fear: Argumen dibuat dengan meningkatkan ketakutan dan prasangka terhadap pihak lawan.
  • Appeal to Flattery: Menggunakan pujian yang tak relevan guna menyelipkan pernyataan tak berdasar, yang diterima bersama dengan pujian.
  • Appeal to Nature: Menjadikan pernyataanmu tampak lebih benar dengan menggambar perbandingan dengan alam yang 'baik'.
  • Appeal to Pity: Upaya menimbulkan rasa kasihan kepada lawan yang bergoyang.
  • Appealto Ridicule: Menyajikan argumen lawan dengan cara yang membuatnya tampak tak masuk akal.
  • Appeal to Spite: Menolak pernyataan dengan mengajukan bias pribadi terhadap penggugat.
  • Appeal to Wishful Thinking: Mengajukan pernyataan itu benar atau salah, cuma karena ente sangat mengharapkannya.
Appeal to the Mind atau Mental meliputi,
  • Appeal to Popular Belief: Mengklaim sesuatu itu benar karena mayoritas orang mempercayainya.
  • Appeal to Probability: Berasumsi bahwa lantaran sesuatu bisa terjadi, pastilah bakalan terjadi.
  • Appeal to Anonymous Authority: Menggunakan bukti dari 'pakar' atau 'penelitian' yang tak disebutkan namanya atau kelompok umum (seperti 'ilmuwan') guna mengklaim sesuatu itu benar.
  • Appeal to Authority: Mengklaim sesuatu itu benar karena 'pakar' yang tak memenuhi syarat atau tak dapat dipercaya mengatakannya.
  • Appeal to Common Practice: Mengklaim sesuatu itu benar karena diterapkan secara umum.
  • Appeal to Ignorance: Suatu pernyataan itu benar hanya karena belum terbukti salah (atau salah lantaran belum terbukti benar).
  • Appeal to Incredulity: Oleh karena pernyataannya terdengar tak dapat dipercaya, itu pasti tidak benar.
  • Appeal to Money: Menganggap bahwa jika seseorang kaya atau sesuatu yang mahal, maka itu mempengaruhi kebenaran pernyataan.
  • Appeal to Novelty: Anggapan bahwa sesuatu itu lebih baik, lantaran baru atau lebih baru.'
'Katak berhenti sebentar, lalu berkata, 'Jadi, Rhetorical fallacies itu, argumen yang mengelabui, yang pada dasarnya pemikiran yang menyesatkan. Orang menggunakan Rhetorical fallacies manakala fakta dan bukti, tak mendukung sudut pandang mereka.
Ngomong-ngomong, bagi para pemerhati ilmu Ekonomi, Profesor Samuelson dalam karyanya 'Economics,' mengatakan, 'Ekonom pemula juga harus waspada terhadap kesalahan umum dalam penalaran ekonomi. Sebab hubungan ekonomi seringkali kompleks, melibatkan banyak variabel yang berbeda, mudah dibingungkan oleh alasan pasti di balik peristiwa atau dampak kebijakan terhadap ekonomi. Berikut ini, beberapa kekeliruan umum yang ditemui dalam penalaran ekonomi,
  • The post hoc fallacy ['Post hoc' merupakan singkatan dari post hoc, ergo propter hoc. Diterjemahkan dari bahasa Latin, ungkapan lengkapnya bermakna 'sesudah ini, maka tentu karena ini]' Kekeliruan pertama melibatkan inferensi kausalitas. The post hoc fallacy terjadi di kala kita berasumsi bahwa, karena satu peristiwa terjadi sebelum peristiwa lain, peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua. Contoh sindrom ini terjadi pada Depresi Hebat tahun 1930-an di Amerika Serikat. Beberapa orang telah mengamati bahwa periode ekspansi bisnis didahului atau disertai dengan kenaikan harga. Dari sini, mereka menyimpulkan bahwa pengobatan yang tepat bagi depresi ialah dengan menaikkan upah dan harga. Gagasan ini menyebabkan sejumlah undang-undang dan peraturan untuk menopang upah dan harga dengan cara yang tak efisien. Apakah langkah-langkah ini mendorong pemulihan ekonomi? Hampir pasti tidak. Memang, mereka mungkin memperlambat pemulihan, yang tak terjadi sampai pengeluaran total mulai meningkat lantaran pemerintah meningkatkan pengeluaran militer guna persiapan Perang Dunia II.
  • Failure to hold other things constant. Jebakan kedua ialah kandas menjaga hal-hal lain tetap konstan saat memikirkan suatu masalah. Misalnya, kita mungkin ingin mengetahui apakah menaikkan tarif pajak akan menaikkan atau menurunkan pendapatan pajak. Beberapa orang mengajukan argumen menggoda bahwa kita dapat memakan kue fiskal kita dan memilikinya pula. Mereka berpendapat bahwa pemotongan tarif pajak pada saat yang sama, akan meningkatkan pendapatan pemerintah dan menurunkan defisit anggaran. Mereka menunjuk pada pemotongan pajak Kennedy-Johnson pada tahun 1964, yang menurunkan tarif pajak secara tajam dan diikuti dengan peningkatan pendapatan pemerintah pada tahun 1965. Oleh karena itu, menurut mereka, tarif pajak yang lebih rendah menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Mengapa penalaran ini bersifat Fallacy? Argumen tersebut mengasumsikan bahwa hal-hal lain adalah konstan—khususnya, mengabaikan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dari tahun 1964 hingga 1965. Karena pendapatan masyarakat tumbuh selama periode tersebut, total pendapatan pajak tumbuh meskipun tarif pajak lebih rendah. Kajian ekonometrika yang cermat menunjukkan bahwa total pendapatan pajak akan lebih tinggi lagi pada tahun 1965 jika tarif pajak dipertahankan pada tingkat yang sama seperti pada tahun 1964. Oleh karena itu, analisis ini kandas dalam hal to hold other things constant dalam membuat perhitungan. Ingat-ingatlah agar menjaga other things constant saat engkau menganalisis dampak variabel pada sistem ekonomi.
  • The fallacy of composition. Terkadang kita berasumsi bahwa apa yang berlaku bagi sebagian sistem, juga berlaku bagi keseluruhan. Akan tetapi, dalam ilmu ekonomi, kita sering menemukan bahwa keseluruhan berbeda dengan penjumlahan setiap bagian. Tatkala engkau berasumsi bahwa apa yang benar bagi sebagian, benar pula bagi keseluruhan, engkau melakukan The fallacy of composition [kekeliruan komposisi]. Berikut beberapa pernyataan benar yang mungkin akan mengejutkanmu jika engkau mengabaikan kekeliruan komposisi: (1) Jika seorang petani memiliki hasil panen yang melimpah, ia punya pendapatan yang lebih tinggi; jika semua petani menghasilkan rekor panen, pendapatan pertanian akan turun. (2) Jika satu orang menerima lebih banyak uang, orang itu bakalan menjadi lebih baik; jika setiap orang menerima lebih banyak uang, masyarakat cenderung menjadi lebih buruk. (3) Jika tarif pajak yang tinggi dikenakan pada produk seperti sepatu atau baja, produsen di industri tersebut, kemungkinan besar akan memperoleh untung; jika tarif tinggi dikenakan pada semua produk, kesejahteraan ekonomi negara kemungkinan akan lebih buruk.
Contoh-contoh ini tak mengandung intrik atau sihir. Sebaliknya, semuanya hasil dari sistem individu yang berinteraksi. Seringkali perilaku kelompok agregasi [keseluruhan] terlihat sangat berbeda dengan perilaku individu.'

Kodok manggut-manggut, 'Segala jenis Fallacy ini, dapat dengan cepat melemahkan argumen yang kuat. Agar berkomunikasi dengan jelas, ane harus ingat supaya menghindari Fallacy ini dan tahu bagaimana menempatkannya dalam perspektif berbeda.'
Katak menoleh ke tv dan berseru, 'Lihat Kodok, artis favorit ente akan menyanyikan lagu favorit ente, yuk ikutin doi nyanyiin lagunya!'
Setelah itu, Katak dan Kodok berkaraoke,

Jika ada yang bilang kulupa kau
Jangan kau dengar
Jika ada yang bilang ku tak setia
Jangan kau dengar

Banyak cinta yang datang mendekat
Ku menolak
Semua itu kar'na kucinta kau

Jika ada yang bilang ku tak baik
Jangan kau dengar
Jika ada yang bilang kuberubah
Jangan kau dengar

Banyak cinta yang datang mendekat
Ku menolak
Semua itu kar'na kucinta kau *)

Sebelum menghilang, Swara berkata, "Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Walton, Douglas N., A Pragmatic Theory of Fallacy Studies in Rhetoric and Communication, University of Alabama Press
- David McCandless, Knowledge is Beautiful, William Collins
- Paul A. Samuelson and Willian D. Nuedhause, Economics 19e, McGraw-Hill
*) "Karena Kucinta Kau" karya Parlin Burman, Nurdiansyah Syafaruddin & Cynthia Dewi Bayu Wardhani