Rabu, 16 Oktober 2024

Saat Bima Mencari Ideologi (1)

"Ideologi? Apa itu ideologi, Guru?" tanya Werkudara, yang juga dikenal sebagai Bima, saat ia berjumpa Dewaruci di dasar laut. Werkudara ditugaskan (atau lebih tepatnya diperdaya) oleh gurunya, Durna, agar mencari air kehidupan, bukan pasir dan sedimen laut buat di ekspor.
"Ideologi merujuk pada sistem ide, kepercayaan, nilai, dan cita-cita yang menjadi dasar falsafah sosial, ekonomi, atau politik tertentu. Ideologi berfungsi sebagai kerangka kerja yang digunakan individu dan kelompok guna menafsirkan dunia, mengarahkan tindakan mereka, dan berupaya mempengaruhi struktur dan kebijakan masyarakat. Ideologi dapat membentuk segala hal mulai dari identitas pribadi hingga kebijakan nasional, dan kerap memainkan peran penting dalam gerakan politik dan pemerintahan," jawab Dewaruci. "Ada empat aspek utama ideologi. Pertama, belief systems. Ideologi mencakup serangkaian keyakinan tentang bagaimana masyarakat seharusnya berfungsi, termasuk gagasan tentang keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan otoritas. Kedua, Nilai-nilai dan Norma-norma, menetapkan apa yang dianggap benar atau salah, diinginkan atau tak diinginkan dalam konteks tertentu. Ketiga, Kebijakan Politik dan Ekonomi. Ideologi acapkali menawarkan kebijakan atau strategi khusus dalam mencapai masyarakat yang mereka impikan. Keempat, Kohesi Sosial, ia dapat menyatukan individu di bawah tujuan atau visi bersama, menumbuhkan rasa kebersamaan dan identitas bersama.
Dalam pemikiran politik Inggris, ideologi berperan penting dalam membentuk perdebatan seputar sosialisme, liberalisme, konservatisme, dan banyak lagi. Memahami ideologi sangat penting untuk menganalisis bagaimana ide mempengaruhi struktur masyarakat dan perilaku individu. Ia menyajikan sebuah teropong guna menelaah strategi politik, narasi budaya, dan perubahan sosial.
Ada empat Karakteristik Utama Ideologi. Pertama, Cakupan Luas: Meliputi berbagai aspek kehidupan, termasuk dimensi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kedua, a System of Beliefs: Merupakan serangkaian ide yang koheren, yang memberikan visi tentang bagaimana masyarakat seharusnya diorganisasikan. Ketiga, Sifat Dinamis: Dapat berkembang seiring waktu, seiring perubahan masyarakat dan konteks. Keempat, Peran yang Berpengaruh: Membentuk opini publik, pembuatan kebijakan, dan gerakan sosial.

Terma 'idéologie' dicetuskan oleh Antoine Destutt de Tracy, seorang filsuf Prancis, seusai Revolusi Prancis (1789). De Tracy berusaha membangun ilmu tentang ide-ide, yang ia definisikan sebagai studi tentang bagaimana gagasan-gagasan muncul dan membentuk pemikiran manusia. Tujuannya agar mengembangkan sistem pemikiran rasional dan ilmiah, yang dapat menggantikan agama dan spekulasi metafisik dalam menuntun masyarakat.
Gagasan netral dan ilmiah tentang ideologi tak bertahan lama. Napoleon Bonaparte (awal abad ke-19) menolak konsep tersebut sebagai penerapan intelektual yang tidak praktis, melabeli para ideolog sebagai pihak yang terpisah dari realitas politik. Ia menggunakan istilah tersebut secara peyoratif guna mengkritik mereka yang memperkenalkankan teori-teori abstrak, yang terputus dari pragmatisme yang dibutuhkan untuk memerintah. Hal ini menandai pergeseran ke arah asosiasi modern ideologi dengan dogma atau keyakinan yang memperdaya. Kritik Napoleon menandai dimulainya politisasi ideologi. Ideologi sebagai intelektualisme yang keliru arah atau tidak praktis.
Karl Marx dan Friedrich Engels (pertengahan abad ke-19) mengubah konsep tersebut, memberikan ideologi makna kritis dan politis yang kini dikenal. Dalam karya mereka, ideologi dipahami sebagai serangkaian keyakinan palsu yang melayani kepentingan kelas penguasa dengan menutupi realitas penindasan dan eksploitasi sosial. Marx berpendapat bahwa ideologi beroperasi sebagai bentuk 'kesadaran palsu' yang mencegah kelas pekerja mengenali penindasan mereka dan bangkit melawan kapitalisme.
Selama abad ke-20, konsep ideologi menjadi pusat pemahaman rezim totaliter, semisal fasisme, Nazisme, dan komunisme. Cendekiawan seperti Hannah Arendt berpendapat bahwa ideologi-ideologi ini bertujuan menjelaskan semua aspek kehidupan manusia melalui narasi yang kaku dan menyeluruh. Dengan demikian, ideologi dianggap berbahaya, karena menghilangkan pemikiran individu dan membenarkan kekejaman melalui seruan kepada kebenaran absolut.
Penafsiran ideologi modern (akhir abad ke-20 hingga abad ke-21) lebih bernuansa, mengakui ideologi tak hanya sebagai alat dominasi, melainkan pula sebagai kerangka kerja yang diperlukan untuk mengatur masyarakat. Pemikir seperti Louis Althusser memperkenalkan konsep aparatur negara ideologis, dengan menyatakan bahwa institusi-institusi semisal pendidikan, media, dan agama melanggengkan ideologi yang mempertahankan status quo. Akan tetapi, para pakar kontemporer juga memandang ideologi sebagai sumber identitas dan makna kolektif, yang membentuk gerakan politik dan sosial.
Konsep ideologi telah berevolusi dari studi ilmiah tentang ide menjadi alat politik yang digunakan menganalisis struktur kekuasaan. Dalam kajian modern, ideologi dipahami sebagai fenomena yang kompleks—baik alat untuk mendominasi maupun sumber makna kolektif. Sejarah yang dinamis ini, mencerminkan bagaimana ide dan keyakinan membentuk masyarakat manusia sebagai respons terhadap perubahan realitas politik, ekonomi, dan sosial."

“Bisakah ideologi menjadi doktrin dan vice-versa?” tanya Werkudara.
"Ya," jawab Dewaruci. "Ideologi dan doktrin dapat bersinggungan dan tumpangtindih, memungkinkan yang satu berfungsi sebagai yang lain dalam keadaan tertentu. Konvergensi ini biasanya terjadi ketika seperangkat keyakinan (ideologi) yang komprehensif diformalkan dan dikodifikasi menjadi prinsip atau ajaran tertentu (doktrin), atau ketika doktrin yang mapan berkembang mewujudkan kerangka ideologis yang lebih luas.
Ideologi dapat berubah menjadi doktrin manakala seperangkat keyakinan dan nilai-nilainya yang luas, diformalkan menjadi prinsip-prinsip khusus, yang dikodifikasi, yang memandu suatu organisasi, lembaga, atau gerakan. Proses ini kerap memerlukan sistematisasi ide-ide abstrak menjadi pedoman atau kebijakan yang dapat ditindaklanjuti.
Dalam pergerakan politik, contoh pertama adalah Marxisme. Awalnya, Marxisme merupakan ideologi yang mencakup kritik luas terhadap kapitalisme dan visi masyarakat komunis. Marxisme kemudian diformalkan menjadi doktrin semisal konsep Partai Vanguard oleh Lenin, yang menyediakan pedoman organisasi dan strategis khusus agar mencapai revolusi proletar. Contoh lainnya ialah Liberalisme. Sementara liberalisme secara luas menganjurkan kebebasan individu dan pemerintahan yang demokratis, ia telah dikodifikasi menjadi doktrin seperti Liberalisme Klasik dan Liberalisme Sosial, yang masing-masing menguraikan kebijakan ekonomi dan sosial tertentu. Dalam konteks agama, contohnya adalah Kristen. Ideologi utama Kristen mencakup kepercayaan tentang Tuhan, keselamatan, dan moralitas. Semua ini telah diformalkan menjadi doktrin semisal Kredo Nicea dan Doktrin Trinitarian, yang menyediakan posisi dan pedoman teologis khusus bagi orang yang mempercayainya.

Sebaliknya, sebuah doktrin dapat berkembang menjadi sebuah ideologi ketika prinsip-prinsip spesifik yang dikandungnya berkembang menjadi pandangan dunia yang komprehensif, yang mempengaruhi aspek-aspek masyarakat yang lebih luas di luar cakupan aslinya. Contohnya Doktrin Katolik. Awalnya difokuskan pada ajaran-ajaran teologis dan pedoman gerejawi tertentu, doktrin Katolik lalu berkembang menjadi ideologi yang lebih luas, yang mempengaruhi norma-norma sosial, politik, dan budaya secara global.
Ketika organisasi berupaya menetapkan pedoman yang jelas dan konsisten bagi para anggotanya, mereka sering memformalkan keyakinan ideologisnya menjadi doktrin. Proses ini memastikan keseragaman, memfasilitasi pendidikan dan indoktrinasi, serta menyediakan dasar bagi pembuatan kebijakan dan perencanaan strategis.
Mengkodifikasi ideologi menjadi doktrin membantu dalam mempertahankan penerapan keyakinan yang konsisten di seluruh organisasi. Doktrin formal memberikan legitimasi dan bobot otoritatif pada ideologi yang mendasarinya. Doktrin menawarkan instruksi dan kerangka kerja konkret agar tindakan, menerjemahkan ide-ide abstrak menjadi langkah-langkah praktis.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, doktrin perlu beradaptasi atau berkembang untuk mengatasi tantangan baru, sehingga berubah menjadi ideologi yang lebih luas, yang mencakup berbagai isu dan perspektif lebih luas. Memperluas doktrin menjadi ideologi memungkinkan fleksibilitas dan respons yang lebih besar terhadap perubahan kondisi masyarakat. Mengembangkan doktrin menjadi ideologi memastikan bahwa sistem kepercayaan tetap relevan dan komprehensif dalam mengatasi berbagai isu masyarakat.
Baik ideologi maupun doktrin dapat berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali dalam suatu kelompok atau masyarakat. Dengan mengaitkan ideologi dengan doktrin, para pemimpin dapat secara efektif membentuk dan mengarahkan keyakinan dan perilaku para konstituen mereka. Mengintegrasikan ideologi ke dalam doktrin menumbuhkan sistem keyakinan terpadu yang meningkatkan kohesi sosial dan identitas kolektif. Doktrin yang dikodifikasi, yang berasal dari ideologi dapat digunakan menegakkan kesesuaian dan mencegah perbedaan pendapat dalam suatu kelompok.

Sekarang mari kita perhatikan studi kasus ilustratif berikut.
Marxisme, bermula sebagai ideologi luas yang mengkritik masyarakat kapitalis dan mengadvokasi masa depan komunis tanpa kelas. Di bawah Lenin, Marxisme diformalkan menjadi Marxisme-Leninisme, sebuah doktrin yang memberikan pedoman khusus bagi praktik revolusioner, organisasi partai, dan tatakelola negara. Doktrin ini tak semata berfungsi sebagai panduan praktis, tapi juga mewujudkan kerangka ideologis komprehensif, yang mempengaruhi berbagai aspek masyarakat Soviet dan sekitarnya.
Kredo Nicea merupakan doktrin formal dalam agama Kristen yang mengartikulasikan keyakinan teologis tertentu tentang hakikat Tuhan, Kristus, dan Roh Kudus. Seiring berjalannya waktu, doktrin ini telah melampaui batasan agamanya dalam mewujudkan nilai-nilai ideologis yang lebih luas semisal persatuan, ortodoksi, dan otoritas moral dalam komunitas Kristen dan sekelilingnya.
Liberalisme berfungsi sebagai ideologi luas yang mendukung kebebasan individu, pemerintahan yang demokratis, dan ekonomi pasar bebas. Ideologi ini telah diformalkan menjadi doktrin seperti Liberalisme Konstitusional, yang menguraikan prinsip-prinsip khusus bagi pemerintahan, supremasi hukum, dan perlindungan hak-hak individu. Doktrin-doktrin ini menyediakan kerangka kerja konkret untuk lembaga dan kebijakan yang demokratis, yang mewujudkan ideologi liberal yang mendasarinya.

Ideologi dan doktrin merupakan konsep yang berbeda namun saling terkait. Sebuah ideologi dapat menjadi doktrin dikala serangkaian keyakinan yang luas diformalkan menjadi prinsip-prinsip yang spesifik dan dapat ditindaklanjuti, yang menyediakan struktur dan panduan bagi organisasi, gerakan, atau lembaga. Sebaliknya, sebuah doktrin dapat berkembang menjadi ideologi manakala ia meluas hingga mencakup pandangan dunia yang komprehensif, yang mempengaruhi berbagai aspek masyarakat di luar cakupan aslinya. Pertukaran ini sering terjadi dalam konteks dimana formalisasi, pelembagaan, adaptasi terhadap perubahan masyarakat, dan mekanisme kekuasaan dan kontrol memerlukan perpaduan ideologi dan doktrin.
Memahami hubungan yang cair antara ideologi dan doktrin sangat penting dalam menganalisis bagaimana sistem keyakinan dipertahankan, disebarkan, dan diubah dalam kerangka masyarakat yang berbeda.

Di Indonesia kontemporer, Pancasila tetap menjadi simbol persatuan nasional, tetapi relevansinya menghadapi tantangan. Beberapa kritikus berpendapat bahwa prinsip-prinsipnya telah dimanipulasi agar menekan perbedaan pendapat politik ketika digunakan untuk membenarkan kontrol otoriter.
Meskipun Pancasila secara resmi ditetapkan sebagai ideologi nasional Indonesia, beberapa akademisi dan komentator politik berpendapat bahwa Pancasila akan tak sepenuhnya berfungsi sebagai ideologi dalam keadaan tertentu. Kritik-kritik ini berasal dari masalah-masalah yang terkait dengan implementasi, manipulasi, dan koherensinya.

"Dalam hal apakah Pancasila tak dapat dipandang sebagai Ideologi, Guru?" tanya Bima kepo.
"Sebuah ideologi diharapkan dapat memandu keputusan politik, sosial, dan ekonomi secara konsisten. Jika prinsip-prinsip Pancasila diterapkan secara selektif atau diabaikan dalam praktik, ia berisiko kehilangan kredibilitasnya sebagai kerangka kerja yang koheren. Pancasila seyogyanya diterapkan secara utuh, bukan sebagian-sebagian. Misalnya, selama rezim Orde Baru (1966–1998), Pancasila digunakan secara selektif membenarkan tindakan pemerintah, termasuk praktik otoriter yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial.
Oleh karenanya, jika Pancasila digunakan sebagai senjata politik alih-alih dianut sebagai belief system, ia berisiko kehilangan hakikat yang sebenarnya sebagai ideologi. Mari kita telaah lebih mendalam di segmen berikutnya. Bi'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Terry Eagleton, Ideology: An Introduction, 1991, Verso
- Antoine Destutt de Tracy, A Treatise on Political Economy, 1817, Ludwig von Mises Institute
- John B. Thompson, Ideology and Modern Culture: Critical Social Theory in the Era of Mass Communication, 1990, Stanford University Press
- Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, 1973, Harcourt, Brace, Jovanovich
- Louis Althusser, G. M. Goshgarian, Etienne Balibar, Jacques Bidet, On The Reproduction Of Capitalism: Ideology And Ideological State Apparatuses, 2014, Verso
- George Lipsitz, The Possessive Investment in Whiteness: How White People Profit from Identity Politics, 2018, Temple University Press
- Max Weber, Economy and Society: A New Translation, translated by Keith Tribe, 2019, Harvard University Press