Senin, 21 Oktober 2024

Siapakah Orang yang Kuat? (3)

"Orang kuat dalam politik adalah pemimpin otoriter yang memusatkan kekuasaan di tangan mereka dengan cara melemahkan lembaga demokrasi dan menekan oposisi," Bhimasena meneruskan. "Para pemimpin ini biasanya menarik sentimen nasionalis, memproyeksikan kekuatan pribadi, dan menumbuhkan kultus individ demi mempertahankan kekuasaan mereka. Cendekiawan semisal Ruth Ben-Ghiat, dalam bukunya "Strongmen: Mussolini to the Present," menganalisis bagaimana tokoh-tokoh tersebut memanipulasi propaganda, korupsi, dan bahkan kekerasan agar tetap berkuasa, kerapkali membenarkan tindakan mereka sebagai tindakan yang diperlukan guna melindungi negara dari kekacauan atau ancaman eksternal.
Ben-Ghiat mengidentifikasi taktik umum yang digunakan oleh orang-orang kuat sepanjang sejarah—dari Benito Mussolini dan Francisco Franco hingga Vladimir Putin dan Donald Trump. Taktik ini termasuk menampilkan diri mereka sebagai pelindung "hukum dan ketertiban" sambil secara bersamaan turut dalam praktik ilegal, menggalakkan hiper-maskulinitas, dan menggunakan rasa takut guna membungkam para kritikus. Alih-alih memastikan stabilitas, kekuasaan mereka kerap mengarah pada ketidakstabilan politik dan sosial, yang hanya menguntungkan sekelompok kecil sekutu dengan mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas.
Ben-Ghiat mengungkap bagaimana para pemimpin kuat ini mengeksploitasi ketakutan nasional, menggunakan maskulinitas sebagai simbol kekuatan, dan menggunakan propaganda, kekerasan, dan korupsi demi mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan. Mereka menampilkan diri sebagai penyelamat bangsa, menjanjikan hukum dan ketertiban sambil merusak lembaga-lembaga demokrasi dan menghindari akuntabilitas. Pemaparannya mengungkap buku pedoman umum yang diikuti para pemimpin ini: memunculkan kultus kepribadian, memanipulasi kebenaran, dan menumbuhkan rasa krisis yang terus-menerus guna membenarkan kekuasaan otoriter mereka. Ben-Ghiat juga menyoroti gerakan perlawanan yang telah bangkit menantang para pemimpin kuat ini, dengan menekankan pentingnya solidaritas, martabat, dan akuntabilitas dalam perang melawan tirani.
Sepanjang analisisnya, Ben-Ghiat menekankan pentingnya memahami sejarah untuk menghindari terulangnya bab-bab tergelapnya. Dengan meneliti kehidupan tokoh-tokoh seperti Mussolini, Hitler, Gaddafi, Putin, dan Trump, ia mengungkap strategi umum yang digunakan oleh para pemimpin ini agar memperoleh dan mempertahankan kekuasaan—memanipulasi ketakutan publik, mempromosikan hiper-maskulinitas, dan membongkar lembaga-lembaga demokrasi.
Narasinya menyampaikan mutiara hikmah bahwa kewaspadaan dan perlawanan sangat penting dalam menghadapi meningkatnya otoritarianisme. Ben-Ghiat menggarisbawahi nilai solidaritas di antara warga negara, perlunya melindungi kebebasan pers, dan peran masyarakat sipil dalam meminta pertanggungjawaban para pemimpin. Ia juga menyoroti ketahanan prinsip-prinsip demokrasi dan kekuatan aksi kolektif guna memerangi tirani. Intinya, "Strongmen: Mussolini to the Present" mengajarkan bahwa pelestarian demokrasi membutuhkan upaya dan kesadaran yang konstan. Ia adalah seruan untuk bertindak bagi individu guna mengenali tanda-tanda otoritarianisme dan bersatu dalam membela kebebasan dan hak-hak mereka. Melalui wawasan sejarah dan refleksi kontemporer, Ben-Ghiat memberikan peta jalan untuk menjaga demokrasi di dunia yang semakin terpolarisasi.

"The Age of the Strongman" karya Gideon Rachman juga menyoroti kebangkitan pemimpin seperti itu di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir, dengan menunjuk pada erosi norma-norma demokrasi di negara-negara seperti India, Brasil, dan Hungaria. Para pemimpin ini dicirikan oleh ketidaksukaan mereka terhadap sistem pengawasan dan keseimbangan, ketergantungan pada kesetiaan pribadi, dan manipulasi opini publik melalui kampanye informasi yang keliru.
Keduanya menekankan bahwa otoritarianisme dewasa ini kerap mengambil bentuk yang lebih halus daripada kediktatoran tradisional, dengan menggunakan pemilu sebagai kedok sembari membongkar struktur demokrasi dari dalam. Mengenali dan menolak strategi ini sangat penting untuk menjaga tatakelola demokrasi dalam jangka panjang.
Karya-karya ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana tokoh otoriter memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, serta menawarkan pelajaran tentang bagaimana masyarakat dapat melawan tren berbahaya tersebut.

Dalam tatakelola pemerintahan yang demokratis, pemimpin yang baik biasanya berfokus pada pengambilan keputusan kolektif, transparansi, dan pemberdayaan orang lain, berbeda dengan gaya "orang kuat" yang mengutamakan otoritas dan kendali pusat. Pemimpin yang demokratis memastikan bahwa kekuasaan terbagi dan proses musyawarah memandu keputusan, mendorong kolaborasi dibanding dominasi. Jenis kepemimpinan ini menekankan kecerdasan emosional, keadilan, dan partisipasi ketimbang mengandalkan karisma atau pengambilan keputusan sepihak.
Dalam teori politik, pemimpin yang baik dalam sistem demokrasi mewujudkan kualitas yang sejalan dengan tatakelola kolektif, transparansi, dan inklusivitas, yang kontras dengan "orang kuat" otoriter. Cendekiawan seperti Archie Brown, dalam "The Myth of the Strong Leader," berpendapat bahwa kepemimpinan demokrasi yang efektif menekankan konsultasi, pendelegasian, dan kolaborasi daripada pengambilan keputusan sepihak. Brown menegaskan bahwa pemimpin semisal Franklin D. Roosevelt dan Nelson Mandela meraih keberhasilan bukan dengan memaksakan kehendak mereka, tetapi dengan melibatkan beragam suara dan membangun konsensus.
Demikian pula, The Oxford Handbook of Political Leadership menekankan bahwa kepemimpinan politik yang baik bergantung pada akuntabilitas kelembagaan, penghormatan terhadap hak-hak sipil, dan ketanggapan terhadap kebutuhan publik. Perspektif ini menyoroti bahwa pemimpin yang efektif bekerja dalam sistem yang mendorong pengawasan dan keseimbangan, memastikan bahwa tiada satu orang pun yang memegang terlalu banyak kekuasaan, sehingga melindungi integritas demokrasi.
Ciri-ciri utama lainnya termasuk empati, kerendahan hati, dan kemampuan beradaptasi. Kualitas-kualitas ini memungkinkan para pemimpin memahami kebutuhan konstituen mereka dan menyesuaikan kebijakan yang sesuai. Kepemimpinan berbasis nilai, yang dibahas oleh para pemikir di Brookings, lebih jauh menekankan bahwa pemimpin yang baik memprioritaskan etika dan layanan publik, mencari manfaat sosial jangka panjang daripada keuntungan pribadi atau jangka pendek.
Intinya, meskipun kepemimpinan yang kuat sangat penting, seorang pemimpin yang demokratis lebih berfokus pada fasilitasi dan pemberdayaan ketimbang dominasi. Kepemimpinan seperti itu memastikan bahwa kekuasaan terdistribusikan, menjadikan demokrasi tangguh dan terus berlanjut dalam menghadapi tantangan."

Bhimaputera bertanya, "Apa perbedaan antara pemimpin yang kuat dan pemimpin terbaik? Manakah yang dibutuhkan sebuah negara?"
"Pemimpin yang kuat dan pemimpin terbaik punya peran berbeda, masing-masing membawa atribut berbeda pada kepemimpinan," jawab Bhimasena. "Pemimpin yang kuat cenderung menekankan kekuasaan, ketegasan, dan kendali, seringkali unggul pada saat krisis atau situasi berisiko tinggi. Para pemimpin ini sering dikaitkan dengan sifat-sifat seperti otoritas, ketahanan, dan pendekatan manajemen dari atas ke bawah, yang dapat memastikan tindakan cepat tetapi juga dapat menekan kolaborasi dan kreativitas.
Sebaliknya, pemimpin terbaik menyeimbangkan kekuatan dengan kecerdasan emosional, kerendahan hati, dan kehendak beradaptasi. Jenis kepemimpinan ini mendorong keberhasilan jangka panjang melalui kerja sama tim, tujuan bersama, dan pemberdayaan. Good to Great karya Jim Collins menekankan bahwa pemimpin hebat memadukan kerendahan hati dengan kemauan profesional, membangun lingkungan tempat orang merasa termotivasi untuk berkontribusi, tidak dipaksa oleh otoritas saja.
Collins dan timnya menghabiskan waktu lima tahun mempelajari 11 perusahaan yang meraih kesuksesan luar biasa dan berkelangsungan selama 15 tahun atau lebih. Melalui penelitian dan analisis yang cermat, Collins mengidentifikasi serangkaian prinsip umum yang dianut oleh perusahaan-perusahaan ini. Salah satu faktor utamanya adalah "Kepemimpinan Level 5" yang ditunjukkan oleh para CEO mereka. Pemimpin Level 5 adalah individu yang rendah hati, tetapi sangat bertekad, yang memprioritaskan kesuksesan jangka panjang perusahaan daripada ambisi pribadi. Mereka juga mampu membangun organisasi yang langgeng dengan memunculkan budaya disiplin dan semangat.
Elemen penting lainnya adalah konsep "Dahulukan Siapa, Lalu Apa." Alih-alih terburu-buru menerapkan strategi baru, perusahaan-perusahaan ini berfokus pada penyusunan tim yang tepat terlebih dahulu. Dengan mempekerjakan individu yang kompeten dan berkomitmen pada visi perusahaan, mereka mampu membangun fondasi yang kuat bagi pertumbuhan di masa mendatang.
Terakhir, Collins menekankan pentingnya "Konsep Landak." Ide ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan hebat berfokus pada satu ide tunggal, sederhana, dan sangat dipahami yang memandu keputusan mereka. Dengan tetap setia pada tujuan intinya, perusahaan-perusahaan ini mampu menghindari perangkap diversifikasi yang berlebihan dan mempertahankan arah yang jelas.

Sebuah negara biasanya membutuhkan pemimpin yang dapat beralih di antara kedua cara ini tergantung pada situasinya. Selama keadaan darurat atau krisis, kepemimpinan yang kuat mungkin penting untuk memberikan arahan dan ketertiban. Namun, bagi pembangunan berestafet dan kemajuan masyarakat, sebuah negara lebih diuntungkan oleh para pemimpin yang menekankan tujuan bersama, kemampuan beradaptasi, dan otoritas moral. Pemimpin dengan visi yang lebih luas ini, membangun sistem yang berkelangsungan dengan memberdayakan warga negara dan lembaga agar berkembang secara mandiri dari waktu ke waktu.
Demikian pula, The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey menggarisbawahi bahwa kepemimpinan yang efektif terletak pada pembangunan karakter dan kolaborasi daripada kekuatan atau kendali yang brutus.

The 21 Irrefutable Laws of Leadership oleh John C. Maxwell merupakan panduan kepemimpinan klasik yang menguraikan prinsip-prinsip mendasar bagi kepemimpinan yang efektif. Maxwell menyajikan hukum-hukum ini sebagai kebenaran abadi yang telah membimbing para pemimpin yang sukses sepanjang sejarah.
Salah satu hukum inti adalah the Law of the Lid (Hukum Penutup). Hukum ini menyatakan bahwa kepemimpinan menentukan tingkat efektivitas seseorang. Dengan kata lain, kemampuan seorang pemimpin menentukan batas atas kinerja organisasi. Maxwell menekankan pentingnya peningkatan diri yang berkelanjutan bagi para pemimpin meningkatkan batas atas ini.
Hukum penting lainnya adalah the Law of Influence (Hukum Pengaruh). Hukum ini menyoroti bahwa kepemimpinan bukan tentang posisi atau otoritas, melainkan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Pemimpin yang efektif menginspirasi dan memotivasi timnya melalui tindakan, kata-kata, dan karakter.
The Law of Respect merupakan landasan kepemimpinan lainnya. Hukum ini menegaskan bahwa orang-orang mengikuti pemimpin yang mereka hormati. Pemimpin yang menunjukkan integritas, kompetensi, dan kerendahan hati mendapatkan rasa hormat dari para pengikutnya.
Maxwell juga memperkenalkan the Law of Empowerment (Hukum Pemberdayaan). Hukum ini menekankan bahwa para pemimpin hendaknya memberdayakan anggota tim mereka guna mencapai potensi penuhnya. Dengan mendelegasikan tugas dan memberikan dukungan, para pemimpin dapat mencipta lingkungan kerja yang positif dan produktif.
Selain hukum-hukum dasar ini, Maxwell juga menjajaki prinsip-prinsip penting lainnya seperti the Law of Addition, the Law of Multiplication, and the Law of Legacy (Hukum Penjumlahan, Hukum Perkalian, dan Hukum Legacy). Hukum-hukum ini menawarkan wawasan berharga tentang kualitas dan perilaku yang berkontribusi pada kepemimpinan yang efektif. Hukum Legacy Maxwell menyatakan bahwa kepemimpinan bukan tentang posisi, tetapi tentang meninggalkan dampak yang langgeng. Gagasannya bahwa pemimpin sejati tak hanya mencapai tujuan jangka pendek atau kesuksesan pribadi; mereka memunculkan sesuatu yang langgeng, yang bermanfaat bagi orang lain lama setelah mereka tiada. Hukum Legacy mendorong para pemimpin agar berpikir melampaui diri mereka sendiri dan tujuan langsung mereka. Hukum ini mengingatkan mereka bahwa tujuan sejati mereka adalah membuat perbedaan positif di dunia. Para pemimpin hendaklah berusaha menciptakan sesuatu yang akan bertahan lebih lama dari mereka. Ini bisa berupa organisasi yang sukses, perubahan positif dalam masyarakat, atau warisan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang langgeng. Pemimpin sejati tak mementingkan diri sendiri. Mereka memprioritaskan kebutuhan dan well-being orang lain serta bekerja menciptakan masa depan yang lebih baik bagi mereka. Para pemimpin hendaklah membuat keputusan dengan memperhatikan jangka panjang. Mereka seyogyanya mempertimbangkan bagaimana tindakan mereka saat ini akan mempengaruhi generasi mendatang.

Start With Why karya Simon Sinek merupakan karya motivasi dan kepemimpinan yang mengeksplorasi kekuatan tujuan. Sinek berpendapat bahwa pemimpin dan organisasi yang paling inspiratif adalah mereka yang memulai dengan "mengapa" yang jelas – keyakinan atau tujuan mendasar yang mendorong tindakan mereka.
Sinek menggunakan the Golden Circle, sebuah model sederhana, untuk menggambarkan konsep ini. Lingkaran Emas memiliki tiga lapisan:
  • Apa: lapisan luar, yang mewakili produk, layanan, atau fitur yang ditawarkan organisasi.
  • Bagaimana: lapisan tengah, yang mewakili proses, strategi, atau teknologi yang digunakan untuk menyajikan "apa."
  • Mengapa: lapisan terdalam, yang mewakili keyakinan atau tujuan mendasar yang mendorong organisasi.
Sinek berpendapat bahwa sebagian besar organisasi berfokus pada "apa" dan "bagaimana," yang mengarah pada hubungan transaksional dengan pelanggan. Sebaliknya, organisasi yang memulai dengan "mengapa" menginspirasi dan terhubung dengan orang-orang pada tingkat emosional, memunculkan pengikut yang setia dan bersemangat.
Sinek berbagi kisah tentang individu dan perusahaan sukses yang telah mencapai hasil luar biasa dengan memulai dengan "mengapa" mereka. Ia menekankan pentingnya keaslian, transparansi, dan kerentanan dalam kepemimpinan. Dengan memahami kekuatan tujuan, individu dan organisasi dapat membangun hubungan yang lebih kuat, mencapai kesuksesan yang lebih besar, dan memberikan pengaruh positif pada dunia.

"Lantas, siapakah orang kuat itu dalam perspektif Islam?" tanya Gatotkaca.
Kutipan & Rujukan:
- Ruth Ben-Ghiat, Strongmen: Mussolini to the Present, 2020, W. W. Norton & Company
- Gideon Rachman, The Age of the Strongman: How the Cult of the Leader Threatens Democracy Around the World, 2022, Other Press
- Archie Brown, The Myth of the Strong Leader, 2014, Basic Books
- R . A. W. Rhodes and Paul Hart (Eds.),The Oxford Handbook of Political Leadership, 2014, Oxford University Press
- Jim Collins, Good to Great: Why Some Companies Make the Leap... and Others Don't, 2001, HarperBusiness
- Stephen R. Covey, The Seven Habits of Highly Effective People: Restoring the Character Ethic, 2004, Free Press
- John C. Maxwell, The 21 Irrefutable Laws of Leadership, 2010, Thomas Nelson
- Simon Sinek, Start With Why, 2011, Penguin UK