Dahulu kala, di kerajaan Lojitengara yang ajib, berkuasalah seorang raja dengan deretan gelar yang lebih tinggi dari rak perpustakaan—Raja Dawala, Prabu Welgeduwelbeh, Kantong Bolong, Dublajaya, Pentungpinanggul, Jengglongjaya, Welgeduwelbeh Tongtongsot, Surogendelo, dan Bambang Pecruk Panyukilan. Menjelang akhir masa jabatannya, kerajaan itu ramai dengan kisah-kisah tentang petualangannya yang agak laen.
Raja Dawala, yang selalu menjadi pemain sandiwara, memutuskan bahwa wajahnya haruslah ada dimana-mana. Dari patung emas hingga potret bertahtakan berlian, ia tak segan-segan membelanjakan anggaran kerajaan. Tentu saja, para kritikus mulai ribut, mengklaim bahwa ia lebih tertarik mengamankan warisan politik daripada memerintah kerajaan. "Dinasti, katamu? Kenapa enggak!" ejek sang raja, saat ia mendukung putranya, Bambang Lengkungkusuma alias Vivivavi, pada pemilihan berikutnya. Alis mata terangkat tinggi-tinggi hingga hampir menyentuh pajak kerajaan.
Sementara itu, lembaga demokrasi kerajaan berubah menjadi taman bermain pribadi Dawala. Langkah-langkah antikorupsi? Lebih seperti langkah-langkah anti-udel. Perubahan legislatif? Disesuaikan agar sepadan dengan keluarganya, laksana setelan jas yang dibuat khusus. Para kritikus tak tertarik, tetapi Dawala terus maju tak gentar.
Saat masa jabatannya menjelang akhir, fokus Dawala beralih ke proyek infrastruktur megah, termasuk ibukota baru senilai $45 miliar. Para kritikus menjulukinya "Monumen buat Gue," mempertanyakan apakah itu penggunaan dana publik yang boros atau langkah yang diperlukan bagi pembangunan nasional. Para wasit masih belum memutuskan, tetapi para kritikus sudah pasti ikutan taruhan.
Walau ada kehebohan, peringkat penerimaan Dawala tetap tinggi, berkat kepiawaian tongkat nujum para surveyornya. Program bantuan keuangan membuat massa senang, tetapi para skeptis bertanya-tanya apakah peringkat ini sama tingginya dengan mata uang kerajaan. Tekanan sosial atau cinta sejati? Andalah yang memutuskan.
Singkatnya, meskipun Raja Dawala menikmati popularitas yang cukup besar berkat para buzzernya, petualangan pencitraan dirinya dan manuver politik keluarganya, belakangan ini membuat para kritikus jengah. Saat ia bersiap meninggalkan panggung, warisan yang ditinggalkannya—ditandai oleh keajaiban infrastruktur dan politik perkadalan—kemungkinan akan membuat gosip Lojitengara terus beredar selama tahun-tahun mendatang.
Memang sih, sang raja memutuskan tindakan ini usai permintaan maafnya gak direken. Para pengamat mencatat bahwa Raja Dawala telah meminta maaf kepada publik berkali-kali sehingga ketika para surveyor bertanya, "Diterimakah permintaan maaf sang prabu?" mereka yang berada di satu sisi berkata, "Gak bisa Yura!" sementara yang lain menimpali, "Jangan ya dek yaaa..!"
English