“Dalam Islam, kekuatan didefinisikan secara holistik, meliputi kekuatan fisik, pengendalian diri, kesabaran, dan ketahanan spiritual,” jelas Bhimasena. "Rasulullah tercinta (ﷺ) bersabda,لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ“Orang yang kuat bukanlah orang yang ahli dalam bergulat, melainkan orang kuat itu orang yang mampu mengendalikan diri dikala sedang marah.” [Sahih Muslim No. 2609 juga dalam Shahih al-Bukhari No. 6114]Hadits ini menegaskan bahwa kekuatan sejati terletak pada disiplin batin, khususnya kemampuan mengendalikan amarah dan emosi. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kekuatan batin terletak pada kemampuan seseorang mengendalikan amarah dan hawa nafsu, bukan pada kekuatan fisik. Amarah dipandang sebagai kekuatan yang merusak jika tak dikendalikan. Etika Islam menekankan kesabaran, kerendahan hati, dan pengendalian diri sebagai kualitas penting dari orang yang kuat. Berikut ini adalah salah satu petunjuk Al-Quran tentang pengendalian diri,الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ"(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS Ali 'Imran 3:134]Para ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Al-Ghazali menyatakan bahwa amarah merupakan emosi yang wajar, tetapi harus dikendalikan oleh akal-sehat dan iman. Mereka berpendapat bahwa kekuatan spiritual dicapai melalui pengendalian ego dan hawa nafsu, dan ini dipandang sebagai bentuk Jihad an-Nafs (berjuang melawan jiwa). Jihad an-Nafs melibatkan perlawanan terhadap kemalasan, hawa nafsu, dan gangguan. Jihad an-Nafs membutuhkan disiplin batin dan usaha fisik, yang jika dipadukan akan mencerminkan kekuatan sejati dalam Islam.Dalam ajaran Islam, kesabaran merupakan ciri utama orang yang kuat. Kesabaran bukan hanya ketahanan pasif, tetapi ketahanan aktif dalam menghadapi cobaan.Allah berfirman,قُلْ يٰعِبَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوْا رَبَّكُمْ ۗلِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗوَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌ ۗاِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ"Katakanlah [Rasulullah (ﷺ) diperintahkan agar mengatakan atas nama Allah Subḥanahu wa Taʿala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman], 'Duhai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah, yang disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.[QS Az-Zumar 39:10]Kesabaran merupakan salah satu bentuk kekuatan dalam Islam, karena mencerminkan kepercayaan seseorang terhadap rencana Allah, terutama saat menghadapi kesulitan. Ulama semisal Ibnu Qayyim al-Jawziyya menyoroti hal ini dalam karyanya (yakni, Madarij al-Salikin) bahwa kesabaran merupakan tanda kedewasaan rohani dan kekuatan iman. Ada tiga macam Sabar: Kesabaran dalam beribadah (tetap tekun dalam menjalankan ibadah meski dalam kesulitan); Kesabaran dalam menghadapi cobaan (tetap beriman di kala tertimpa kesulitan); dan Kesabaran dalam menjauhi dosa (menahan diri dari godaan dan perbuatan dosa).Rasulullah (ﷺ) bersabda,إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ"Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang diperbuatnya hingga ditunaikan kelak pada hari kiamat." [Sunan at-Tirmidzi, Hadith No. 2396; Hasan Sahih menurut Syekh al-Albani]Ibnu Qayyim al-Jawziyya menjelaskan bahwa kesabaran merupakan ungkapan kepasrahan kepada Allah. Kesabaran mencerminkan kekuatan batin karena menunjukkan kepercayaan seseorang pada hikmah ilahi, walaupun di saat keadaan sulit.Mukmin yang kuat lebih mengandalkan Allah ketimbang mengandalkan diri-sendiri atau orang lain, yang menunjukkan bentuk kekuatan spiritual. Allah berfirman,اِنْ يَّنْصُرْكُمُ اللّٰهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۚ وَاِنْ يَّخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِيْ يَنْصُرُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِهٖ ۗ وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِالْمُؤْمِنُوْنَ"Jika Allah menolongmu, tiada yang (dapat) mengalahkanmu dan jika Dia membiarkanmu (tak memberimu pertolongan), siapa yang (dapat) menolongmu setelah itu? Oleh karenanya, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal." [QS Al-Imran 3:160]Islam menghargai kekuatan fisik bila digunakan untuk tujuan yang baik, semisal melayani masyarakat, melindungi orang lain, atau berjuang di jalan Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda,الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا . وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ"Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, pada masing-masingnya ada kebaikan. Bersemangatlah kepada apa saja yang bermanfaat untukmu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah lemah. Apabila ada suatu hal yang menimpamu, janganlah engkau ucapkan: Andai saja aku melakukan ini, niscaya akan begini dan begini. Akan tetapi ucapkanlah: Qadarullah (Ini takdir Allah). Dan apa saja yang Allah kehendaki, Dia pasti melakukannya. Karena sesungguhnya ungkapan pengandaian [berandai--andai dengan mengucapkan: andai saja, jika saja] membuka amalan setan." [Sahih Muslim, Hadith No. 2664]Para ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menekankan bahwa kekuatan sejati adalah keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Seseorang hendaknya berusaha punya qalbu yang sehat (Qalbun Salim), menghindari amarah yang berlebihan, dan turut-serta dalam kegiatan yang meningkatkan pengembangan pribadi dan pengabdian kepada masyarakat.Kekuatan dalam Islam punya multi dimensi: Kekuatan batin (misalnya, kesabaran, disiplin diri); Kekuatan yang berlandaskan iman (yakin pada rencana Allah); dan Kekuatan fisik (berbuat yang bermanfaat).Meskipun kekuatan batin ditekankan, kekuatan fisik juga dihargai dalam Islam ketika digunakan untuk tujuan yang bermanfaat senisal: membela keluarga, masyarakat, atau negara; berpartisipasi dalam kegiatan amal atau komunal; berusaha meningkatkan kesehatan dan tubuh seseorang demi ibadah dan pelayanan kepada orang lain.Dunia fisik, termasuk tubuh kita, dianggap sebagai amanah dari Allah. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa kesehatan fisik mendukung perkembangan spiritual dengan memungkinkan tindakan ibadah yang konsisten seperti shalat dan puasa.Rasulullah (ﷺ) sendiri mendorong kegiatan yang mengembangkan kebugaran fisik, semisal memanah, berenang, dan menunggang kuda. Ia juga berpartisipasi dalam olahraga seperti gulat untuk meningkatkan kekuatan fisik.Bentuk kekuatan yang hakiki adalah kekuatan yang mendekatkan seseorang kepada Allah seraya memberi manfaat bagi diri-sendiri dan orang lain.Dalam Islam, keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa sangat penting untuk kekuatan holistik. Allah berfirman,وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ"Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [QS. Al-Qasas 28:77]Imam Al-Ghazali menekankan bahwa kekuatan rohani dan jasmani hendaknya dipupuk bersama-sama. Terlalu memanjakan diri dengan kesenangan duniawi melemahkan jiwa, sementara zuhud yang berlebihan melemahkan tubuh, keduanya menghambat perkembangan pribadi. Kebersahajaan adalah kuncinya.Dari perspektif Islam, kekuatan tak semata tentang kekuatan fisik, melainkan pula mencakup penguasaan emosi, kesabaran, mengandalkan Allah, dan penggunaan kekuatan fisik untuk tujuan yang benar. Kekuatan holistik—integrasi tubuh, pikiran, dan jiwa—adalah hal yang membuat seseorang benar-benar kuat di hadapan Allah.Oleh karena nya, Muslim ideal adalah seseorang yang: mengendalikan amarah dan keinginannya; Sabar dan tabah saat menghadapi kesulitan; Percaya dan mengandalkan Allah dalam segala hal; Menggunakan kekuatan fisik untuk tujuan yang bermanfaat dan benar; dan berusaha mencapai keseimbangan antara kesejahteraan materi dan spiritual.Pendekatan ini memastikan bahwa kekuatan tak semata berguna bagi kesuksesan pribadi, tapi juga memberi manfaat bagi orang lain, sejalan dengan tujuan utama hidup dalam Islam: beroleh ridho Allah dan melayani ciptaan-Nya.Shalat berfungsi sebagai sumber kekuatan yang mendalam bagi seorang Muslim dalam berbagai cara. Shalat menumbuhkan hubungan langsung dengan Allah, memberikan dukungan dan bimbingan spiritual kepada orang beriman. Shalat menawarkan saat-saat refleksi dan perhatian, membantu mengurangi stres dan kecemasan. Shalat berjamaah meningkatkan ikatan dan dukungan komunitas, memberikan kekuatan emosional. Shalat yang teratur memperkuat disiplin dan mendorong kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam, memberikan rasa tujuan. Shalat bertindak sebagai tempat berlindung selama kesulitan, mengingatkan orang beriman akan belas kasihan dan kehadiran Allah. Aspek-aspek ini berkontribusi pada ketahanan dan emotional well-being secara keseluruhan, membantu umat Islam menavigasi tantangan hidup secara efektif.Meskipun shalat punya kemiripan dengan meditasi, namun tujuan dan metodenya berbeda dari meditasi sekuler atau tradisional. Ketenangan yang diperoleh dari shalat sebanding dengan efek menenangkan dari meditasi, tetapi berakar pada mengingat Allah. Al-Ghazali menekankan bahwa shalat menyelaraskan jiwa, hati, dan tubuh dengan Allah. Meskipun shalat berunsur reflektif yang sama dengan meditasi, shalat adalah ibadah, bukan sekadar praktik relaksasi atau kesadaran diri. Shalat menawarkan manfaat seperti kejernihan dan ketenangan mental, tetapi berbeda dari meditasi karena berfokus pada penyerahan diri kepada Allah, bukan pencerahan pribadi.Islam menganjurkan berpikir positif dengan mendorong harapan akan rahmat Allah, kesabaran dalam menghadapi cobaan, dan rasa syukur atas berkah. Ibnu al-Qayyim menekankan pentingnya tawakkal (bersandar dan yakin kepada Allah), meyakini bahwa tantangan akan menuntun pada pertumbuhan dan rahmat ilahi. Dengan demikian, Islam menumbuhkan pola pikir yang penuh harapan, keyakinan, dan ketekunan. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Allah berfirman,أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً ‘
Aku tergantung persangkaan hamba kepada-Ku. Aku bersamanya bila ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik darinya. Jika ia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat padanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” [Sahih al-Bukhari, no. 7405 dan Sahih Muslim, no. 2675]“Adakah hubungan antara shalat dengan berpikir positif, Ramanda?” tanya Gatotkaca dengan kekepoannya.
Kutipan & Rujukan:
- Imam Ghazali, Revival of Religious Learnings Vol. 1-4, translated by Fazl-Ul-Karim, 1993, Darul-Ishaat
- Ibn Qayyim Al-Jawziyya, Ranks of Divine Seekers Vol. 1-2, translated, annotated and introduced by Ovamir Anjum, 2020, Brill