"Ada pro dan kontra mengenai perlu tidaknya sebuah negara punya ideologi," lanjut Dewaruci. "Ideologi memainkan peran penting dalam membentuk arah politik, ekonomi, dan budaya sebuah negara, tapi juga dapat memunculkan risiko.Di satu sisi, ideologi dapat menumbuhkan kohesi sosial dengan menyediakan seperangkat keyakinan dan nilai bersama. Ia membantu menyatukan populasi yang beragam, seperti yang terlihat pada Pancasila di Indonesia, yang menggalakkan pluralisme dan harmoni. Contoh lain Liberalisme dalam demokrasi Barat yang memperkuat gagasan tentang kebebasan, kesetaraan, dan hak individu.Ideologi nasional yang terdefinisi dengan baik, menyediakan kerangka kerja bagi pemerintahan, memastikan konsistensi dalam kebijakan. Ini membantu menghindari perubahan arah yang konstan ketika kepemimpinan bergeser. Sosialisme, misalnya, menawarkan struktur yang jelas bagi kebijakan kesejahteraan, yang mengarahkan prioritas pemerintah menuju kesetaraan.Di masa ketidakpastian, ideologi menawarkan arah pembuatan kebijakan dan dapat memobilisasi populasi menuju tujuan bersama. Misalnya, ideologi masa perang sering membantu menggalang dukungan nasional. Misalnya, the New Deal di AS, yang dipengaruhi oleh ide-ide Keynesian, membantu menuntun negara keluar dari the Great Depression. Ideologi memberikan pembenaran moral dan filosofis bagi otoritas politik, memastikan bahwa pemerintah dapat secara efektif membenarkan tindakannya kepada publik. Misalnya, Monarki sering mengandalkan ideologi agama atau tradisional guna melegitimasi peraturan.Di sisi lain, ketergantungan yang berlebihan pada ideologi dapat menyebabkan ketidakfleksibelan, yang menghalangi para pemimpin menanggapi realitas yang berubah secara pragmatis. Kepatuhan yang amat ketat Uni Soviet terhadap Marxisme-Leninisme misalnya, membuatnya sulit beradaptasi dengan tantangan ekonomi dan sosial, yang berkontribusi pada keruntuhannya. Ideologi dapat menjadi alat penindasan, yang mengekang kebebasan berbicara dan perspektif alternatif. Rezim totaliter, misalnya, kerap menekan perbedaan pendapat atas nama kemurnian ideologis. Fasisme Nazi Jerman meminggirkan dan menganiaya mereka yang berkeyakinan berbeda. Ideologi yang bersaing dapat menyebabkan polarisasi politik dan bahkan kekerasan, karena berbagai kelompok berupaya memaksakan visi mereka pada masyarakat. Ketegangan Perang Dingin antara kapitalisme dan komunisme membagi dunia menjadi blok-blok ideologis yang bermusuhan. Pemerintah dapat menggunakan ideologi untuk memanipulasi warga negara, membangun rasa persatuan yang keliru atau membenarkan kebijakan yang dipertanyakan. Dalam rezim otoriter, media yang dikendalikan negara mengabadikan ideologi untuk mempertahankan kendali atas populasi.Bilakah sebuah negara membutuhkan ideologi tergantung pada bagaimana ideologi itu diterapkan. Ideologi dapat menjadi alat yang ampuh untuk mempersatukan masyarakat, menghadirkan stabilitas, dan mengarahkan pembuatan kebijakan, namun dapat pula menyebabkan kekakuan, penindasan, dan konflik jika disalahgunakan. Dalam sistem demokrasi, keseimbangan antara komitmen ideologis dan pragmatisme dapat menawarkan model tatakelola yang paling efektif.Ideologi dan ideologi politik merupakan konsep yang saling terkait erat, tetapi keduanya tak sepenuhnya bersinonim. Ideologi mencakup berbagai macam ide dan keyakinan di luar politik; ideologi merupakan prinsip yang memandu. Ideologi mempengaruhi sikap, perilaku, dan kebijakan di berbagai sektor. Ideologi merupakan pengaruh budaya dan sosial. Ideologi membentuk norma, nilai, dan identitas kolektif masyarakat. Ideologi mencakup keyakinan tentang moralitas, budaya, sifat manusia, dan banyak lagi. Ideologi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk seni, pendidikan, dan agama. Ideologi membentuk pandangan dunia dan narasi budaya secara keseluruhan. Liberalisme, konservatisme, feminisme, dan environmentalism (dalam konteks yang lebih luas) adalah contoh ideologi.Ideologi politik adalah bagian dari ideologi yang secara khusus berfokus pada politik. Ideologi ini mencakup sistem kepercayaan dan gagasan yang menentukan bagaimana masyarakat seyogyanya diorganisasikan secara politik, ekonomi, dan sosial. Ideologi politik memberikan pedoman bagi pemerintahan, pembuatan kebijakan, serta distribusi kekuasaan dan sumber daya dalam sebuah negara. Ideologi politik lebih sempit, terutama berfokus pada struktur politik dan ekonomi. Ideologi ini berpusat pada model pemerintahan, preferensi kebijakan, dan distribusi kekuasaan. Ideologi ini secara langsung menginformasikan kebijakan pemerintah, partai politik, dan undang-undang. Ideologi ini memandu tindakan politik dan tatakelola organisasi. Sosialisme, kapitalisme, libertarianisme, dan fasisme (dalam konteks politik tertentu) merupakan contoh ideologi politik.Meskipun semua ideologi politik merupakan bentuk ideologi, tak semua ideologi bersifat politis. Ideologi politik pada dasarnya bersifat politis, yang berhubungan dengan organisasi dan tatakelola masyarakat. Sebaliknya, ideologi juga dapat merujuk pada sistem kepercayaan non-politik, seperti ideologi agama, ideologi budaya, atau ideologi ekonomi yang mungkin tak secara langsung membahas struktur politik. Mari kita periksa beberapa contoh ilustrasi.Liberalisme, mengadvokasi kebebasan individu, tatakelola demokrasi, dan ekonomi pasar bebas (Ideologi Politik). Ia mendukung nilai-nilai semisal kesetaraan, toleransi, dan hak asasi manusia di luar sekadar struktur politik (dalam aspek ideologis yang lebih luas).Feminisme dapat mengadvokasi kebijakan yang mempromosikan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan (Ideologi Politik). Ia mencakup kepercayaan budaya dan sosial tentang peran dan identitas gender (dalam aspek ideologis yang lebih luas).Environmentalism, mendorong kebijakan yang membahas perubahan iklim, konservasi, dan pembangunan berkelanjutan (Ideologi Politik). Ia melibatkan pandangan dunia yang menghargai alam dan mencari harmoni antara manusia dan lingkungan (dalam aspek ideologis yang lebih luas).Dalam sudut pandang akademis, Karl Mannheim membedakan antara ideologi dan utopia berdasarkan hubungannya dengan tatanan sosial yang ada. Ia berpendapat bahwa ideologi berfungsi membenarkan dan mempertahankan status quo, sementara utopia berusaha mengubahnya. Perbedaan ini menggarisbawahi bahwa ideologi politik seringkali bertujuan membentuk kembali struktur politik, sedangkan ideologi yang lebih luas akan tak terbatas pada perubahan politik. Terry Eagleton menyajikan analisis komprehensif tentang ideologi, mengeksplorasi perannya dalam membentuk norma-norma masyarakat dan kesadaran individu. Ia menyoroti bahwa sementara ideologi politik sangat penting dalam mengatur kehidupan politik, ideologi pada umumnya mempengaruhi berbagai aspek keberadaan manusia. Anthony Giddens membahas bagaimana ideologi lingkungan bersinggungan dengan ideologi politik, menunjukkan bahwa tindakan politik terhadap perubahan iklim diinformasikan oleh keyakinan lingkungan yang lebih luas. Ini mencontohkan bagaimana ideologi politik dapat berakar pada kerangka ideologis yang lebih luas. Karl Marx mengeksplorasi bagaimana sistem ekonomi mendukung struktur politik, menggambarkan keterkaitan ideologi ekonomi dan ideologi politik. Karyanya menekankan bahwa ideologi politik tak dapat sepenuhnya dipisahkan dari dimensi ideologis lain semisal perekonomian.Singkatnya, sementara ideologi merupakan konsep luas yang mencakup berbagai sistem pemikiran, pembentuk pandangan dunia individu atau kelompok di berbagai dimensi, ideologi politik adalah bagian khusus yang berfokus pada struktur politik dan ekonomi, tatakelola, dan pembuatan kebijakan. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk menganalisis bagaimana sistem kepercayaan yang berbeda mempengaruhi budaya umum dan tindakan politik tertentu dalam suatu masyarakat. Memahami nuansa perbedaan antara ideologi dan ideologi politik meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis kekuatan yang membentuk keyakinan individu dan tindakan politik kolektif.Sekarang mari balik lagi ke topik kita tentang Pancasila. Ideologi melibatkan keyakinan yang mengakar kuat, yang memandu perilaku publik dan pribadi. Jika Pancasila terutama digunakan sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan atau kendali, alih-alih sebagai sistem kepercayaan yang sejati, Pancasila akan tak berfungsi sebagai ideologi dalam artian sempit. Michael R.J. Vatikiotis membahas bagaimana Pancasila dimanfaatkan untuk menekan perbedaan pendapat, yang merusak inti filosofisnya. David Bourchier membahas bagaimana Pancasila digunakan membatasi pluralisme dan mengendalikan partai politik, yang merusak fungsi ideologisnya. Pemerintahan Suharto mengharuskan warga negara dan organisasi mengadopsi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi (asas tunggal), tetapi pemaksaan ini kerap berfungsi mengkonsolidasikan kekuasaan negara daripada menumbuhkan nilai-nilai bersama.Beberapa kritikus berpendapat bahwa kelima prinsip Pancasila terlalu luas dan tak preskriptif, sehingga sulit dioperasionalkan secara efektif. Ideologi sejati menyediakan program tindakan yang jelas, sedangkan Pancasila yang bersifat umum dapat mengakibatkan berbagai interpretasi, dan terkadang saling bertentangan. Misalnya, prinsip 'keadilan sosial' dapat ditafsirkan baik secara sosialis maupun kapitalis, sehingga terbuka terhadap penyalahgunaan atau ketidakkonsistenan. Terry Eagleton menyoroti bahwa agar ideologi berfungsi secara efektif, ia perlu menawarkan lebih dari sekadar cita-cita abstrak; ia hendaknya memandu tindakan politik yang konkret.Ideologi biasanya memperoleh legitimasi melalui penerimaan populer atau perkembangan organik. Jika Pancasila dipaksakan dari atas ke bawah oleh negara tanpa dukungan sosial yang nyata, Pancasila takkan memiliki kualitas esensial dari sebuah ideologi. Douglas E. Ramage mencatat bahwa promosi Pancasila dari atas ke bawah terkadang mengasingkan sebagian masyarakat. Di era reformasi pasca-1998, upaya menghidupkan kembali Pancasila menghadapi kesulitan, karena beberapa segmen masyarakat menganggapnya sebagai warisan otoritarianisme ketimbang ideologi pemersatu.Ideologi tak semata menyediakan kerangka struktural, tapi juga panduan etika. Jika Pancasila digunakan semata untuk tujuan simbolis (misalnya, pidato nasional atau upacara formal) tanpa mempengaruhi keseharian pemerintahan dan kehidupan publik, ia menjadi lebih seperti retorika negara ketimbang ideologi yang dapat ditindaklanjuti. Kritikus berpendapat bahwa dalam beberapa kasus, Pancasila cuma digunakan selama acara seremonial, sementara keputusan kebijakan yang sebenarnya mengikuti agenda yang berbeda, semisal liberalisme ekonomi atau praktik otoriter.Jadi, Pancasila bisa tak mampu berfungsi sebagai ideologi jika tak diterapkan secara konsisten, menjadi instrumen politik, atau ditafsirkan dengan terma yang terlalu samar. Lebih jauh, jika dipaksakan tanpa konsensus publik atau direduksi menjadi retorika simbolis, Pancasila tak dapat memenuhi peran sistem kepercayaan sejati, yang membentuk kehidupan kolektif. Agar Pancasila benar-benar berfungsi sebagai ideologi, Pancasila hendaknya tak semata mewujudkan prinsip-prinsip panduan, melainkan pula mempengaruhi kebijakan, tindakan, dan interaksi sosial dengan cara yang bermakna.Dengan menyoroti isu-isu ini, para pakar berpendapat bahwa efektivitas Pancasila sebagai ideologi bergantung pada bagaimana ia diterapkan dalam praktik, bukan sekedar pada konten filosofisnya," kata Dewaruci, jari-jemarinya membelai janggutnya dengan lembut. Bima, dikelilingi oleh balet ikan-ikan mempesona, mantuk-mantuk, dan tersadar bahwa nama-nama ikan itu, gak perlu lagi dihafalin. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Karl Mannheim, Ideology and Utopia, 2018, Routledge.
- Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 2013, Palgrave Macmillan.
- Anthony Giddens, The Politics of Climate Change, 2009, Polity Press.
- Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, 1846, International Publishers.
- Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall of the New Order, 1999, Routledge
- Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance, 1995, Routledge