Rabu, 23 Oktober 2024

Siapakah Orang yang Kuat? (5)

"Dalam Islam, berpikir positif berakar pada tawakkal (berharap sepenuhnya kepada Allah, atau bersandar kepada-Nya), bersyukur, dan berharap. Hal ini bermakna berpandangan yang penuh asa, mengharapkan kebaikan dari Allah, dan tangguh dalam menghadapi tantangan," lanjut Bhimasena. "
"Allah berfirman,
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
"... siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya [yakni, keringanan dari kesusahan].  Dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tak ia duga. 
Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu." [QS. At-Talaq (65):2-3]
Berpikir positif dimulai dengan keyakinan bahwa Allah memegang kendali dan bahwa rencana-Nya selalu yang terbaik. Kepercayaan ini menanamkan keyakinan dan kedamaian dalam diri seorang mukmin, walau selama masa-masa sulit. Ulama semisal Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ketergantungan sejati kepada Allah mendatangkan ketenangan emosional, sebab orang mukmin menyerahkan kekhawatirannya ke tangan Allah, berfokus pada perbuatan baik dan berharap pada rahmat-Nya.
Allah berfirman, "Aku tergantung persangkaan hamba kepada-Ku. Aku bersamanya bila ia mengingat-Ku...." Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang beriman didorong agar selalu mengharapkan yang terbaik dari Allah (husnudzhon billah). Pola pikir ini menumbuhkan optimisme dan membuat seseorang tetap fokus mencapai hasil yang positif, mengandalkan rahmat dan kasih karunia Allah di saat-saat sulit.
Islam mengajarkan bahwa kesulitan bersifat sementara dan seringkali merupakan ujian keimanan. Allah berfirman,
اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ
"Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan." [QS. Asy-Syarh (94):6]
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa janji Allah tentang kemudahan dikaitkan dengan keyakinan kuat bahwa setiap tantangan dibarengi dengan dukungan ilahi, yang memperkuat harapan dan ketahanan.
Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin, menekankan bahwa bersyukur menumbuhkan kepuasan batin dan pikiran positif, menyelaraskan qalbu dengan kehendak Allah dan melihat kebaikan dalam setiap situasi.
Allah berfirman,
لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ
"...  'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, ...." [QS. Ibrahim (14):7] 
Bersyukur menuntun pada kepuasan dan menambah berkah. Dengan berfokus pada apa yang dimiliki, daripada apa yang kurang, pikiran positif akan berkembang, membuat orang beriman lebih optimis tentang kehidupan dan masa depan mereka.

Membantu orang lain menumbuhkan rasa puas dan positif. Beramal baik mencerminkan prinsip bahwa berpikir positif bukan hanya tentang keuntungan pribadi tetapi tentang menyebarkan kebajikan dalam masyarakat.
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." [Sahih al-Bukhari, No. 13]
Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa membantu orang lain mengarah pada siklus positif, dimana keramahan membawa lebih banyak kebaikan dan keberkahan Allah mengikuti mereka yang berkontribusi positif kepada masyarakat.

Dari perspektif Islam, berpikir positif sangat erat kaitannya dengan keimanan terhadap rencana Allah, kesabaran dalam menghadapi kesulitan, dan rasa syukur atas berkah. Hal ini mendorong orang beriman berfokus pada kebaikan, memelihara harapan, dan percaya pada hikmah Allah, sehingga menciptakan kehidupan yang penuh dengan optimisme, kedamaian, dan kekuatan spiritual.

Shalat lebih dari sekadar kewajiban agama; shalat dipandang sebagai momen kedamaian dan refleksi, sarana berlindung dari cobaan hidup. Surah Al-Ankabut ayat 45 merupakan ayat kunci dalam Al-Qur'an yang membahas pentingnya shalat dan bagaimana ia mempengaruhi perilaku orang beriman. Allah berfirman,
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
"Bacalah (duhai Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." [QS. Al-Ankabut (29):45] 
Ayat ini menekankan poin-poin utama:
  • Membaca Al-Qur'an dan Pentingnya Shalat. Ayat ini dimulai dengan perintah membaca apa yang telah diwahyukan dalam Al-Qur'an. Ulama Sunni seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai instruksi umum agar tetap terhubung dengan Al-Qur'an. Dengan membaca ayat-ayatnya secara teratur, seorang mukmin memperkuat pemahamannya tentang iman dan membangun hubungan yang dekat dengan Allah. Tepat setelah menyebutkan bacaannya, perintah mendirikan shalat diberikan. Bagi ulama Sunni, pasangan ini menandakan peran penting Shalat (shalat lima waktu). Shalat adalah rukun Islam kedua, dan pentingnya hal ini secara konsisten ditekankan di seluruh Al-Qur'an dan Sunnah. Shalat dianggap sebagai bentuk ibadah yang paling teratur dan langsung, yang membuat seorang Muslim terhubung secara spiritual dengan Allah.
  • Shalat sebagai sarana mencegah ketidakbermoralan dan perbuatan buruk. Shalat bukan hanya tindakan ritualistik tetapi berkekuatan transformatif dalam kehidupan seseorang. Ayat tersebut menyatakan, "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." Bagian ayat ini menekankan impak moral shalat terhadap kehidupan seorang mukmin. Jika dilakukan dengan ikhlas dan khusyu', shalat menjadi perisai terhadap dosa, perbuatan buruk, dan kemungkaran. Shalat yang konsisten melembutkan hati, memperkuat tekad untuk menghindari dosa, dan menanamkan kedisiplinan. Ketidakbermoralan dan kesalahan mencakup berbagai macam perilaku negatif, mulai dari ketidakjujuran dan ketidakadilan hingga dosa yang lebih berat seperti pencurian atau perzinahan. Shalat yang teratur membantu mengekang kecenderungan tersebut dengan mengingatkan penyembah akan kehadiran Allah dan menumbuhkan rasa tanggung jawab.
  • Mengingat Allah sebagai Yang Maha Kuasa. Frasa "Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain)." menunjukkan bahwa dzikir (mengingat Allah) memegang posisi yang sangat besar dalam kehidupan seorang mukmin. Banyak ulama Sunni menafsirkannya sebagai penegasan betapa pentingnya terus-menerus mengingat Allah. Meskipun shalat itu sendiri merupakan bentuk mengingat, pernyataan ini menyiratkan bahwa mengingat Allah—baik di dalam maupun di luar shalat—melampaui bentuk ibadah tertentu karena mencakup seluruh tindakan ketaatan kepada-Nya. Hal itu mencerminkan keadaan kesadaran dan pengabdian dalam semua perbuatan seseorang. Hal ini menggemakan ajaran ulama Sunni ternama semisal Imam Ghazali, yang menekankan gagasan bahwa tujuan sebenarnya dari Shalat dan semua bentuk ibadah adalah agar orang beriman sadar akan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Tujuan utamanya menjadikan Allah sebagai pusat pikiran, tindakan, dan niat seseorang.
  • Pengetahuan Allah tentang segala perbuatan. Bagian akhir ayat, "Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan," mengingatkan orang beriman bahwa tiada yang luput dari pengetahuan Allah. Para komentator Sunni seperti Al-Qurtubi menekankan bahwa inilah peringatan sekaligus kepastian. Inilah peringatan bagi mereka yang mengabaikan shalatnya atau melakukannya tanpa ketulusan, mengingatkan mereka bahwa Allah sepenuhnya mengetahui niat mereka. Ini juga merupakan kepastian bagi orang beriman yang tulus bahwa upaya mereka dalam beribadah dan menghindari dosa diakui oleh Allah.
Menurut teori psikologi modern, berpikir positif berasal dari rasa damai dan tenang di dalam diri. Ulama Sunni semisal Al-Ghazali telah lama berpendapat bahwa praktik shalat yang teratur melatih orang beriman tetap tenang dan kalem walau disaat menghadapi kesulitan. Shalat, khususnya bila dilakukan dengan ikhlas dan penuh perhatian (khusyu'), membantu seseorang memandang tantangan hidup dengan rasa penuh harapan. Pandangan optimis ini tumbuh dari keyakinan mendalam bahwa, melalui shalat, seseorang selalu terhubung dengan Allah, yang memegang kendali atas segala urusan. Dengan terus-menerus kembali shalat, orang beriman memupuk pikiran positif karena mereka diingatkan bahwa kekhawatirannya bukan hanya tanggungannya; kekhawatiran itu ada dalam genggaman Allah.
Ketika ayat tersebut menyatakan, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar,” ayat tersebut menunjuk pada pembersihan rohani yang terjadi selama shalat. Ulama Sunni meyakini bahwa melalui shalat yang teratur, seseorang menjadi lebih sadar akan pikiran dan tindakannya, sehingga menumbuhkan kemurnian batin. Pembersihan ini melampaui perilaku moral dan masuk ke ranah pikiran. Perbuatan tak bermoral kerapkali berawal dari pikiran yang merugikan, semisal kecemburuan, kemarahan, atau keputusasaan.

Dengan memelihara Shalat, orang-orang beriman melatih diri mengendalikan dorongan-dorongan negatif, sebab shalat menumbuhkan kesadaran akan kehadiran Allah dan kebutuhan menjaga kesucian pikiran dan tindakan. Sebagaimana yang dicatat oleh para cendekiawan seperti Ibnu Katsir, shalat berfungsi sebagai kajian harian terhadap dunia batin seseorang, yang memperkuat disiplin diri. Ketika pikiran-pikiran yang merugikan disingkirkan, ruang tercipta bagi kepositifan, rasa syukur, dan harapan agar berkembang. Sama seperti shalat menghentikan seseorang dari perbuatan mungkar secara fisik, shalat juga menghentikan siklus pikiran-pikiran negatif yang merugikan, yang dapat menyebabkan keputusasaan atau kecemasan.
Frasa, “Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain),” memainkan peran utama dalam memahami hubungan antara ayat tersebut dan berpikir positif. Ulama Sunni secara konsisten menekankan bahwa mengingat Allah—baik melalui doa, pembacaan Al-Qur'an, atau merenungkan sifat-sifat-Nya—membangun rasa percaya dan harapan pada rencana-Nya. Di saat-saat sulit, orang beriman diingatkan tentang rahmat dan hikmah Allah, yang mengarah pada pandangan yang lebih positif terhadap peristiwa-peristiwa dalam hidup.
Konsep tawakal (bergantung kepada Allah), yang sering dibahas oleh para ulama Sunni, sangat terkait dengan ayat ini. Ketika seseorang menaruh kepercayaannya kepada Allah, meyakini bahwa Dialah Perencana terbaik, kecil kemungkinannya mereka akan jatuh ke dalam pola pikir negatif. Sebaliknya, mereka mengadopsi pola pikir positif, yang didasarkan pada keyakinan bahwa hikmat Allah menuntun hidup mereka. Kepercayaan ini mengarah pada ketahanan, karena orang beriman belajar melihat tantangan sebagai cobaan sementara yang mengandung hikmat ilahi, menumbuhkan pandangan positif walaupun dalam keadaan sulit.

Ayat tersebut diakhiri dengan, “Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” yang berfungsi sebagai jaminan dan pengingat. Ulama Sunni, seperti Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa frasa ini menyoroti kemahatahuan Allah. Bagi orang beriman, pengetahuan ini menanamkan rasa nyaman dan positif. Tiada usaha, perjuangan, atau kesulitan yang tak diperhatikan oleh Allah. Ketika seseorang memahami bahwa Allah mengetahui setiap tindakan, pikiran, dan niat, mereka didorong agar tetap bersikap positif dalam menghadapi kesulitan, mengetahui bahwa upaya mereka memperbaiki kehidupan, menghindari dosa, dan tetap berharap semuanya diperhitungkan.
Kesadaran akan pengetahuan Allah ini semakin memperkuat pemikiran positif dengan mengurangi perasaan kesepian atau ketidakberdayaan. Orang-orang beriman menyadari bahwa mereka tak pernah sendirian, karena perjuangan mereka selalu berada dalam kesadaran ilahi Allah. Kesadaran ini memperkuat tekad mereka dan memunculkan pola pikir yang penuh harapan dan positif, apa pun keadaannya.
Terakhir, shalat itu sendiri menumbuhkan sikap bersyukur, landasan berpikir positif. Setiap shalat merupakan kesempatan bersyukur kepada Allah atas berkah-berkah-Nya, walaupun di saat-saat sulit. Melalui rasa syukur, hati tetap merasa puas, dan rasa puas merupakan unsur utama berpikir positif. Ketika seseorang berfokus pada apa yang dimilikinya ketimbang dengan apa yang tak dimilikinya, ia cenderung mempertahankan sikap positif dan penuh harapan terhadap kehidupan. Shalat, pada dasarnya, mendorong pola pikir bersyukur ini.
Ayat ini menyajikan tuntunan yang menumbuhkan pola pikir yang selaras dengan pemikiran positif. Dengan menekankan pentingnya Shalat, mengingat Allah, dan kesadaran akan ilmu-Nya, ayat ini menyediakan sarana spiritual yang mendorong pandangan hidup optimis. Melalui shalat yang teratur, orang beriman tak hanya terlindungi dari tindakan tak bermoral, tapi juga dibekali dengan kedamaian batin, disiplin, dan rasa syukur—unsur-unsur utama yang menumbuhkan kehidupan yang positif dan tangguh.
Shalat membentuk pikiran positif dengan menumbuhkan rasa syukur dan optimisme, menanamkan harapan dan ampunan, kesabaran dan ketahanan melalui cobaan, serta membangun kedamaian batin dan perhatian.

Shalat sesungguhnya merupakan salah satu tujuan utama kehidupan dan memegang peranan penting dalam rutinitas harian dan pengembangan spiritual seorang Muslim. Shalat dipandang sebagai sarana ibadah langsung dan cara menjaga hubungan dengan Allah.
Bagaimana Shalat bersesuaian dengan pemahaman Islam yang lebih luas tentang tujuan hidup, akan kita perbincangkan di segmen berikutnya. Bi' idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- As-Sayyid Sabiq, Fiqh us-Sunnah Vol. 1-4, translated by Muhammad Sa'eed Dabas & Jamal al-Din M. Zarabozo, 1991, International Islamic Publishing House