[Bagian 2]Pada musim semi tahun 2003, seorang bocah bernama Yassin berdiri tanpa alas kaki di atas puing-puing yang dulu adalah sekolahnya di Baghdad. Debu nempel di bulu matanya. Seragamnya sobek, tas sekolahnya entah dimana terkubur di bawah reruntuhan. Seorang jurnalis, dengan hati-hati melangkah di antara besi bengkok dan bata pecah, jongkok dan bertanya, “Kamu tahu kenapa semua ini terjadi?” Yassin menengadah, wajahnya belepotan debu dan bingung. “Katanya sih buat kebebasan kami,” jawabnya pelan. “Tapi aku nggak ngerasa bebas. Rasanya kok… hancur yaa.”Adegan itu nggak pernah tayang di TV saat jam-jam emas. Yang disorot malah upacara bendera dan jumpa pers militer dengan kata-kata manis yang digosok dulu sebelum dikirim ke publik. Kata-kata seperti “pembebasan,” “misi selesai,” dan “penjaga perdamaian” menggema di gedung parlemen dan studio berita. Sementara itu, anak-anak seperti Yassin diam-diam menghitung harga dari kata-kata yang, terlalu mahal untuk mereka bayar.Dan di depan TV itu, seorang kakek bilang ke cucunya, “Kamu tahu nggak kenapa politisi nggak pernah mati di medan perang?”Sang cucu yang penasaran cuman geleng-geleng.“Soalnya mereka selalu nyuruh anak orang lain yang maju,” kata sang kakek sambil nyeruput teh dan menghela napas. “Makanya perang itu kelihatan galak saat di pidato, tapi terasa kelam saat di pekuburan.”Perang dan kemiskinan itu sering kayak pasangan toxic—saling bikin susah, tapi nggak pernah benar-benar pisah. Tiap kali perang meletus, anggaran negara berubah haluan: dari subsidi rakyat ke subsidi rudal. Sekolah, puskesmas, dan air bersih minggir dulu. Yang maju duluan? Orang miskin. Yang ngungsi? Orang miskin. Yang dilupain setelah damai pura-pura datang? Tetap orang miskin.Yang lebih licik kek Sengkuni, perang itu bukan cuma bikin orang kismin karena kehancuran—tapi karena sistemnya memang dirancang gitu. Sumber daya disedot habis, bukan ditanem balik. Ekonomi lokal anjlok. Negara adidaya datang bawa “bantuan” yang mirip-mirip borgol keuangan. Dalam The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007, Metropolitan Books), Naomi Klein ngejelasin gimana wilayah bekas perang jadi kelinci percobaan buat eksperimen ekonomi neoliberal—dengan biaya pembangunan yang dibayar pakai utang, ketergantungan, dan kelaparan jangka panjang.Ironisnya, yang mulai perang bukan orang miskin. Yang disuruh perang? Mereka. Yang hidupnya makin berat setelah perang usai? Mereka juga. Jadi sebenernya, perang itu bukan cuma menghancurkan harta benda—tapi mendistribusikan kemiskinan dengan sangat rapi.Dalam karyanya Capitalism and Freedom (1962, University of Chicago Press), Milton Friedman, ekonom papan atas yang sering dianggap sebagai bapaknya pasar bebas, yang berafiliasi dengan Chicago School of Economics dan berpengaruh besar pada kebijakan neoliberal, menulis, “Hanya krisis—nyata atau yang dibikin seolah nyata—yang bisa menghasilkan perubahan sejati,” Friedman bukan cuma ngomongin soal bencana, tapi lebih ke peluang yang tersembunyi di balik kekacauan. Menurut Friedman, saat krisis melanda—entah beneran darurat atau cuma dipoles biar kelihatan gawat—masyarakat jadi lebih terbuka buat menerima perubahan besar yang biasanya ditolak mentah-mentah di masa normal.Soalnya kalau keadaan lagi adem-ayem, orang cenderung males berubah. Udah nyaman, takut rugi, atau terlalu banyak kepentingan yang bertabrakan. Tapi saat dunia tiba-tiba jungkir balik, rakyat dan penguasa sama-sama panik dan pengen solusi cepat. Nah, di situlah Friedman ngusulin ide penting: para pemikir, ekonom, dan ahli kebijakan harus udah nyiapin ide-ide matang dari jauh hari—kayak ransum darurat buat otak.Begitu krisis meledak, orang-orang nggak bakal mikir panjang. Mereka tinggal ambil ide yang udah tersedia. Dan yang bakal dipakai bukan yang paling adil atau paling manusiawi, tapi yang udah siap, udah dikemas rapi, dan bisa langsung dieksekusi. Jadi kutipan Friedman ini bukan cuma pengamatan, tapi juga strategi: siapa yang punya ide siap pakai saat krisis, dialah yang bisa bentuk masa depan.Friedman sendiri nggak melihat ini sebagai hal negatif. Doski justru ngelihat ini sebagai cara buat mempromosikan kebebasan dan memangkas campur tangan negara. Tapi para kritikus, kayak Naomi Klein, bilang pendekatan ini bahaya—karena bisa disalahgunakan buat manfaatin krisis, demi nyelundupin kebijakan yang cuma nguntungin segelintir elit.Dalam The Shock Doctrine, Naomi Klein bilang bahwa perang dan bencana itu bukan sekadar momen kacau—tapi peluang emas, yang sengaja dimanfaatkan oleh pihak berkuasa buat ngedorong reformasi pasar bebas yang radikal. Buat Klein, zona perang bukan cuma tempat tembak-tembakan, tapi jadi papan kosong tempat negara ambruk, aturan hukum bubar, dan rakyat terlalu trauma buat protes. Kekosongan itu cepet-cepet diisi ama kontraktor asing, lembaga keuangan global, dan korporasi rakus yang datang dengan dalih “membangun kembali.”Klein nyebut taktik ini sebagai “shock doctrine”—strategi dimana kekacauan akibat perang bikin masyarakat cukup linglung buat nerima kebijakan yang di masa damai pasti ditolak mentah-mentah. Aset publik dijual ke swasta, jaminan sosial dihapus, dan keputusan ekonomi diambil sama konsultan internasional. Hasil akhirnya? Negara dibangun ulang bukan buat rakyat, tapi buat para investor.Contoh paling nyata yang diangkatnya yalah Irak pasca-invasi. Waktu Baghdad masih berasap, para konsultan Amerika udah duduk manis nulis ulang hukum ekonomi Irak—izin kepemilikan asing dibuka lebar, pajak korporasi dihapus, dan perusahaan milik rakyat dijual obral. Sementara rakyat Irak sibuk gelap-gelapan karena listrik mati, nggak ada kerjaan, dan rumah sakit hancur. “Kebebasan” yang dijanjikan berubah jadi sistem pasar yang bahkan nggak mereka minta.Perang itu bukan cuma ngerusak nyawa—tapi juga ngeratain jalan buat imperealisme model baru: penjajahan ekonomi yang dikemas pakai embel-embel pembebasan. Dan buat mereka yang ditinggal, kemiskinan bukan sekadar efek samping—tapi bagian dari strategi bisnis.Klein mengisahkan perjalanan mengerikan bagaimana ideologi pasar bebas jadi penguasa dunia—bukan karena dipilih rakyat, tapi karena dipaksa lewat krisis, kekacauan, dan paksaan. Dari Amerika Latin sampai Eropa Timur, dari Afrika sampai Asia, liberalisasi ekonomi itu bukan hasil musyawarah—tapi hasil guncangan.Ceritanya dimulai di Chile tahun 1970-an. Setelah kudeta militer Jenderal Pinochet, sekelompok ekonom lulusan Amerika yang disebut “Chicago Boys” masuk dan langsung nyetir kebijakan: subsidi dipangkas, perusahaan negara dijual, dan tarif perdagangan dihapus. Semua ini bukan hasil pemilu, tapi hasil tekanan di bawah rezim diktator—dengan ruang penyiksaan jadi bagian dari paket kebijakan ekonomi.Lompat ke Uni Soviet tahun 1990-an. Setelah komunisme rontok, yang muncul bukan demokrasi dan kemakmuran, tapi kekacauan ala “kapitalisme gangster.” Aset negara dilelang ke elit politik, muncul segelintir miliarder, tapi jutaan warga jatuh miskin. Lagi-lagi, pasar bebas masuk bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai penyamun.Di China, pembantaian Tiananmen jadi titik balik: pemerintah sadar, mereka bisa membungkam oposisi politik tapi tetap peluk kapitalisme. Pabrik jadi mesin ekonomi pasar, tapi tanpa demokrasi. Klein menyebut ini sebagai “perkawinan sempurna antara otoritarianisme dan kapitalisme.”Lalu ada Irak setelah invasi 2003. Saat negara masih terbakar, pejabat Amerika nulis ulang hukum ekonomi Irak: semua boleh dimiliki asing, pajak dihapus, BUMN dijual cepat. Dikasih label “rekonstruksi,” padahal kata Klein: ini penjajahan ekonomi dengan bedil di tangan.Bahkan di Afrika Selatan, saat apartheid bubar dan rakyat berharap keadilan ekonomi, kenyataan pahit muncul. Kebebasan politik memang diraih, tapi sistem ekonominya tetap dikuasai elit lama. Hasilnya? Rakyat kulit hitam boleh nyoblos, tapi tetap miskin secara struktural.Di Kanada, negara asal Klein, “shock” ekonomi dipakai untuk ngegembosin anggaran negara: layanan publik, kesehatan, jaminan sosial dipotong. Nggak ada kudeta sih, tapi logikanya sama: manfaatin ketakutan buat ngecilin negara, gedein pasar.Kesimpulan Klein: kapitalisme pasar bebas bukan menyebar kayak ide mulia—tapi kayak pasukan perang. Pakai krisis sebagai tameng, tujuannya jelas: hancurin sistem lama, lalu jual ke penawar tertinggi.Dalam karya legendarisnya, On War (Vom Kriege), yang ditulis di awal abad ke-19 dan diterbitkan oleh istrinya setelah ia wafat pada tahun 1832, Carl von Clausewitz—seorang jenderal dan pemikir militer Prusia—mengguncang dunia dengan satu kalimat ikonik: "Perang hanyalah kelanjutan dari politik dengan cara lain."Maksud Clausewitz bukan bahwa perang dan politik itu berlawanan, tapi justru bersaudara tiri yang akrab banget. Politik itu wilayah negosiasi, lobi, dan kepentingan negara. Tapi kalau semua omongan, diplomasi, dan perundingan gagal, maka negara bakal lanjut ngejar tujuannya lewat jalan kekerasan—alias perang. Jadi, perang itu bukan karena politik bubar, tapi karena politik naik level jadi lebih brutal.Clausewitz gak sedang memuja perang—malah doski sering ngasih warning soal betapa chaos dan gak terduganya medan tempur. Tapi satu hal yang doi yakini: perang itu gak pernah murni soal heroisme. Di balik baju zirah dan marching band, selalu ada hitung-hitungan politik.Dan yang bikin makin ngeri: pandangan Clausewitz ini masih relevan banget sampai sekarang. Dari invasi militer sampai perang proxy antar negara, semua nunjukin bahwa politik gak berhenti pas peluru mulai ditembakkan—cuma ganti kostum. Dari meja bundar ke medan tempur. Dari pidato ke mortir.Kenapa perang bisa terjadi?
Pemimpin sih ngomongnya demi keamanan atau kemanusiaan. Tapi seringnya sih rebutan sumber daya: minyak, tambang, atau lokasi strategis. Lihat aja invasi Irak 2003, dalihnya senjata pemusnah massal, tapi banyak yang percaya itu perang buat rebut minyak. Seperti dibongkar dalam The Looting of Iraq, ada bisnis besar di balik topeng kemanusiaan.
"The Looting of Iraq" ditulis oleh Ali A. Allawi, mantan menteri di pemerintahan Irak, dan bukunya diterbitkan tahun 2007 oleh Yale University Press dengan judul lengkap “The Occupation of Iraq: Winning the War, Losing the Peace.” Tapi gara-gara isinya ngebahas habis-habisan soal penjarahan Irak setelah invasi Amerika, orang-orang sering nyebutnya pakai istilah “The Looting of Iraq”—alias dijarah rame-rame, negara berasa mal tanpa penjaga.Karya ini bukan cuma nyeritain gimana museum dan bank dibongkar habis, tapi juga gimana negara itu bener-bener dilucuti: dari birokrasi yang bubar jalan, minyak yang disikat, sampe lahirnya kelompok-kelompok bersenjata yang bikin hidup rakyat makin sengsara. Ali A. Allawi nulis bukan dari jarak jauh, tapi dari dalam sistem—jadi isi bukunya tuh pedes, penuh data, tapi juga personal. Ini semacam curhatan elite yang tau banget gimana negaranya dicabik-cabik kek kue ulang tahun yang jadi rebutan.Jadi ceritanya kayak marathon drama real ya, dari awal dengerin gosip kenapa orang pengen invasi, eh pas invasi langsung ambil setelannya: militer dibubarin, pegawai negara disuruh plek, rakyat nganggur, terus muncul sinetron penuh bumbu—suku, kelompok keagamaan, konflik dalem tembok ibu kota. Semua diam-diam ngerasa dikhianati. Langsung deh, negara kaya rusun amburadul—sipil bubar, polisi bubar, dan muali muncul geng-geng kayak musisi indie baru bikin klan sendiri-sendiri.Masuk era pemilu, konstitusi, komisi, pemerintahan baru, tapi kok malah kerasa kayak FTV yang settingnya nggak jelas, banyak plot hole: korupsi jalan terus, elite rebutan kursi, rakyat ya cuma penonton. Pemerintahannya Nuri al-Maliki mulai ngontrol taper-taper, tapi tetep aja kayak series yang nggak finis: konflik antar blok suku agama makin memanas.Di epilog, Allawi bilang perang bisa dimenangin, tapi damai? Nol besar. Setelah semua episode selesai, Iraq malah jadi kayak kota terbengkelai yang enggak bener-bener demen ama tamu asingnya—bye bye impian demokrasi, hello realita politik keras dan negara yang keluar dari frame lama, tapi belum nemu ending.Inti dari karya ini tuh jelas banget: gak bisa loh ngebangun negara cuma modal senjata dan jargon demokrasi, tapi nggak paham karakter asli rakyat negara itu.Si Amrik emang cepet banget ngejatuhin Saddam—kayak main game dengan cheat—tapi abis entu? Mereka kayak tamu pesta yang masuk rumah orang, ngacak-ngacak ruang tamu, buang semua perabot lama, terus bingung kenapa si empunya rumah ngamuk. Mereka bubarin tentara, ngehancurin birokrasi, tapi nggak punya plan B selain janji manis yang basi.Iraq bukannya makin damai, malah makin kacau. Negara itu dijarah habis-habisan—bukan cuma harta bendanya, tapi juga jati dirinya. Yang dulu satu bangsa, sekarang pecah belah, masing-masing kubu pegang senjata.Allawi tuh kayak bilang, "Bro, loe mau bawa demokrasi? Jangan pake tank, pake empati." Karena ternyata, walau ngeganti rezim itu gampang—yang susah itu bikin rakyat percaya kalau masa depan mereka bakal lebih baik.