Senin, 07 Juli 2025

Perang: Siapa yang Cuan? (5)

Bayangin coba, di tengah Perang Dingin yang lagi ganas-ganasnya—waktu mata-mata dimana-mana, ancaman nuklir jadi santapan sehari-hari, dan permusuhan ideologi udah kayak makanan pokok—mendadak dua negara adidaya yang musuhan abis ini mutusin buat 'ketemuan' di luar angkasa. Agak nyeleneh tapi keren banget, kan? Inilah kisah Proyek Uji Coba Apollo-Soyuz tahun 1975, misi gabungan Amerika Serikat dan Uni Soviet yang jadi salah satu cerita paling unik dan bikin melongo dari era Perang Dingin.
Tanggal 17 Juli 1975, para astronot Amerika dan kosmonot Soviet beneran nyatuin pesawat mereka di orbit. Bayangin, mereka salaman lewat palka, tukeran kado (ada bibit pohon sama medali peringatan segala!), terus lanjut kerja bareng buat percobaan ilmiah. Momen salaman di luar angkasa itu bahkan disiarin langsung, jadi simbol 'gencatan senjata' singkat yang dikenal dengan nama "détente".
Yang bikin ini luar biasa parah yalah, meskipun di Bumi mereka masih saling intip dan siap tempur habis-habisan, di luar angkasa mereka malah bisa bagi-bagi oksigen, data, bahkan becanda bareng. Gokil, kan?
Ada satu insinyur Soviet yang nyeletuk gini, "Lebih gampang kerja sama di orbit daripada di Bumi." Ini bener-bener nyentil banget, nunjukkin betapa absurdnya politik Perang Dingin. Dimana negara-negara lebih milih ngorbanin diri sendiri di Bumi daripada mengakui kemanusiaan bareng di luar angkasa. Bikin geleng-geleng kepala, tapi ya begitulah sejarah!

Perang Dingin itu bukan perang pakai bambu runcing atau tank, tapi lebih kayak drama politik kelas dewa, dimana dua tokoh utamanya—Amerika Serikat dan Uni Soviet—saling adu gaya hidup dan ideologi dari 1945 sampai awal 1990-an. Disebut "dingin" karena gak pernah meledak jadi perang fisik besar-besaran, tapi tensinya lebih ngeri dari sinetron rebutan warisan.
Bayangin: Amerika itu kayak influencer liberal yang selalu ngomong soal demokrasi dan kebebasan, sementara Soviet itu kayak aktivis garis keras yang yakin sistem komunis itu paling bener. Dunia jadi kayak ajang rebutan followers—negara-negara kecil dipaksa pilih "tim merah" atau "tim biru," dan yang netral sering kena semprot dua-duanya.
Perang Dingin itu kayak battle BTS vs BLACKPINK tapi levelnya planet Bumi: adu teknologi, adu film (Hollywood vs propaganda), bahkan adu otot di Olimpiade. Tapi lucunya, warga biasa tetep harus hidup di tengah ancaman nuklir. Anak-anak di Amerika diajarin ngumpet di bawah meja kalau ada bom nuklir (padahal meja kayu lawan bom atom?), sementara di Soviet, orang ngantre beli roti sambil lihat TV yang bilang "kita bisa hancurin Washington kapan aja."
Perang Dingin itu bukan perang tembak-tembakan, tapi lebih kayak battle ideologi, ego, dan propaganda... tapi dengan tombol nuklir di tangan masing-masing.

Perang Dingin itu terjadi gara-gara dua sahabat musiman—Amerika Serikat dan Uni Soviet—yang dulunya bareng-bareng ngelawan Jerman Nazi, mendadak saling curiga dan saling benci begitu musuh bersama mereka tumbang. Ibaratnya kek dua temen sekelas yang kompak pas lawan tukang bully, tapi langsung musuhan pas rebutan jadi ketua Senat. Amerika mikir komunisme itu kayak toxic relationship yang ngancem kebebasan individu dan duit rakyat, sementara Soviet ngeliyat kapitalisme sebagai sistem penjajahan gaya baru yang ngerampok wong cilik.
Kenapa namanya “dingin”? Karena mereka gak saling ngebom langsung. Perangnya tuh kayak silent treatment versi negara adidaya—penuh sandiwara, saling sindir, adu gengsi, kirim mata-mata, dukung perang orang lain, dan bikin film buat ngecuci otak publik. Semuanya adem di permukaan, tapi panas membara di balik layar.
Yang bikin merinding tuh bukan cuma nama “dingin”nya. Dunia hidup di bawah bayang-bayang bom nuklir yang bisa meledak kapan aja. Semua orang hidup dengan rasa was-was kayak lagi nonton sinetron politik tapi pemeran utamanya bawa tombol kiamat.
Perang Dingin itu kayak adu strategi antara dua supervillain kelas dunia, tapi yang jadi taruhan adalah seluruh umat manusia.

Perang Dingin itu nggak terjadi di satu tempat, bro. Ini bukan kayak perang rebutan lahan kosong di desa, tapi lebih kayak perang geng influencer global yang ngadu siapa yang paling berpengaruh di dunia. Mulainya sekitar tahun 1947, abis Perang Dunia II, dan baru kelar 1991 pas Uni Soviet bubar kayak boyband yang udah nggak laku.
Tim biru dipimpin ama Amerika Serikat—geng demokrasi kapitalis yang isinya negara-negara barat kaya: Inggris, Prancis, Jerman Barat, Italia, Jepang, Kanada, dan geng NATO. Di sisi lain, tim merah dikomandoi Uni Soviet, yang ngajak temen-temen komunisnya kayak Jerman Timur, Polandia, Cekoslowakia, Rumania, Bulgaria, Korea Utara, Kuba, Vietnam Utara, dan sempet barengan ama China (tapi cerai juga akhirnya di tahun 60-an karena beda haluan).
Latar belakangnya? Ya kayak rebutan pengaruh antara dua seleb dunia—Amerika pengen dunia ngikut sistem demokrasi dan pasar bebas, sementara Soviet ngajakin pake sistem komunis yang katanya lebih adil. Jadi dua-duanya mulai rebutan fans di negara-negara yang baru merdeka, sambil ngadain show kompetisi teknologi, kayak lomba siapa duluan ke bulan (Space Race), dan perang-perang by proxy kayak di Korea, Vietnam, Angola, dan Afghanistan.
Akhirnya bubaran tahun 1991, pas Uni Soviet udah megap-megap. Ekonominya amburadul, rakyat mulai capek hidup ngantri, perang Afghanistan kayak skrip sinetron yang gagal total, dan pemimpin mereka, Mikhail Gorbachev, malah buka-bukaan lewat kebijakan glasnost (transparansi) dan perestroika (reformasi). Akhirnya satu per satu negara satelit Soviet kabur, Tembok Berlin ambruk tahun 1989, dan Uni Soviet... tamat.

Uni Soviet itu bisa pecah dan akhirnya lahirlah yang namanya Rusia sekarang. Ini kayak drama Korea kolosal, tapi beneran kejadian!
Jadi, bayangin aja, sekitar akhir tahun 80-an, Uni Soviet ini udah kayak raksasa yang sakit parah. Ekonominya megap-megap, kalah saing sama teknologi Barat, terus barang-barang kebutuhan sehari-hari juga langka. Rakyatnya udah pada gedeg banget, deh. Belum lagi, mereka sempet nyangkut di perang Afghanistan yang nguras duit ama bikin tentara pada males. Ibaratnya, udah sakit, kena musibah lagi.
Trus, muncul nih bos baru namanya Mikhail Gorbachev di tahun 1985. Doski coba healing negaranya pake jurus Glasnost (ini artinya 'keterbukaan', biar rakyat bisa ngomongin apa aja) sama Perestroika (ini 'restrukturisasi', jadi sistemnya mau dibikin lebih fleksibel). Niatnya sih bagus, biar negara bisa napas lega. Eh, malah jadi bumerang! Gara-gara ada keterbukaan, rakyat jadi bebas ngomel-ngomel tentang bobroknya Partai Komunis. Terus reformasi ekonomi yang niatnya mau nyegerin, malah bikin masalah makin ruwet, ya makin panas deh suasana.
Yang bikin makin parah, Gorbachev kan mulai ngendorin cengkeramannya ke negara-negara satelit di Eropa Timur. Nah, ini langsung dimanfaatin sama republik-republik Soviet yang selama ini pengen bebas. Mereka kan punya identitas etnis sama budaya sendiri, jadi pada minta merdeka atau paling enggak otonomi lebih. Kayak anak-anak ABG yang minta lepas dari orang tua, gitu.
Puncaknya itu pas ada kudeta gagal di bulan Agustus 1991 oleh gerombolan komunis garis keras. Mereka pengen balikin keadaan kayak dulu, tapi malah gagal total. Yang bikin gagal itu ya gara-gara perlawanan rakyat yang dipimpin sama Boris Yeltsin, doi ini presiden Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia waktu itu. Nah, gara-gara kudeta ini, wibawa Gorbachev langsung anjlok, dan kekuasaan makin geser ke republik-republik.
Setelah kudetanya bubar jalan, kayak efek domino, republik-republik lain langsung pada ikutan ngumumin kemerdekaan. Tanggal 8 Desember 1991, bos-bos dari Rusia, Ukraina, sama Belarusia ketemuan dan tanda tangan perjanjian namanya Belovezha Accords. Ini intinya ngumumin kalo Uni Soviet itu bubar jalan dan gantinya dibikinlah yang namanya Commonwealth of Independent States (CIS). Jadi, resmilah Uni Soviet tamat riwayatnya.
Akhirnya, tanggal 25 Desember 1991, Mikhail Gorbachev resign dari jabatan presiden, dan bendera Uni Soviet yang palu arit itu diturunin terakhir kalinya dari Kremlin, digantiin sama bendera tiga warna Rusia. Besoknya, badan legislatif tertinggi Uni Soviet juga resmi ngebubarin persatuan itu. Dari puing-puing Uni Soviet, lahirlah 15 negara merdeka, dan Rusia, di bawah kepemimpinan Yeltsin, jadi pewaris utamanya. Dia yang dapet sebagian besar wilayah, posisi diplomatik, sama senjata nuklir negara adidaya yang udah bubar itu.
Setelah Uni Soviet bubar jalan di Desember 1991, total ada 15 negara baru yang muncul dari wilayahnya yang super luas itu. Mereka semua punya sejarah dan mimpinya masing-masing, dan ini daftar nama-namanya: Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Latvia, Lituania, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan.

Jadi, kalau Perang Dingin itu sinetron, episode akhirnya kayak twist telenovela—tokoh utamanya ambruk karena masalah internal, bukan karena ditembak musuh.

Menurut John Lewis Gaddis dalam The Cold War: A New History (2005, Penguin Press), Perang Dingin bukan sekadar adu kekuasaan atau rebutan duit minyak, tapi pertarungan ide besar, dipimpin oleh tokoh-tokoh yang karismatik, keras kepala, kadang nyebelin, tapi punya visi gede soal masa depan dunia.
Di satu sisi, ada mimpi gaya Amerika: demokrasi, kebebasan individu, dan pasar bebas. Di sisi lain, ada impian versi Soviet: dunia tanpa kelas sosial, semua diatur negara, dan rakyat kudu patuh. Nah, tokoh-tokoh kayak Stalin yang paranoid, Kennedy yang stylish tapi tajam, Reagan sang aktor yang bisa bikin pidato kayak film perang, sampai Gorbachev yang niat reformasi tapi malah ngebongkar sistemnya sendiri—semua ini kayak karakter utama dalam semesta Marvel politik dunia.
Gaddis, yang sering dirujuk sebagai "the dean of Cold War historians (dekan sejarah Perang Dingin)", nunjukin kalau ide itu bisa lebih bahaya dari peluru, dan pilihan para pemimpin bisa ngubah arah sejarah. Perang Dingin jadi serem bukan karena nuklir meledak, tapi karena semua pihak udah ngeringin korek di sebelah galon bensin—tinggal siapa yang pertama kepeleset.
Jadi kalau ini sinetron politik, idenya kayak battle royale antar filosofi hidup: siapa yang layak jadi pengatur dunia, dan seberapa jauh mereka berani mempertaruhkan umat manusia buat ngebuktiin kalau ide merekalah yang paling benar.
Perang Dingin itu penting banget, bukan karena dua negara superpower lagi adu gengsi doang, tapi karena mereka berebut kendali atas masa depan seluruh umat manusia. Ini bukan cuma debat kusir antar elite dunia, tapi pertarungan ideologi yang nentuin gimana miliaran orang hidup, kerja, dan mikir selama hampir 50 tahun.
Dan yang bikin ngeri? Ini pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita semua bisa punah hanya karena satu tombol ditekan. Gaddis ngebahas betapa deketnya kita ke bencana nuklir total, terutama pas Krisis Rudal Kuba tahun 1962. Bayangin: rudal nuklir Soviet diparkir di Kuba—cuma selemparan batu dari pantai Florida. Amerika langsung pasang blokade dan siap perang. Satu salah paham aja, satu klik tombol yang nggak sengaja, dunia bisa jadi abu.
Gaddis bilang kita tuh bener-bener diselamatin sama campuran antara keberuntungan, komunikasi, dan (untungnya) kepala dingin beberapa pemimpin. Perang Dingin itu bukan cuma catatan sejarah, tapi juga alarm keras: kalau ideologi bikin orang buta, kalau ketakutan lebih gede dari akal sehat, maka dunia bisa hancur cuma gara-gara ego dua pihak yang saling curiga.
Jadi, kalau ini difilmkan, dramanya bukan tentang perang tembak-tembakan, tapi thriller psikologis berjudul “Tinggal Tekan Tombol”, dimana satu kesalahan kecil bisa bikin kita semua tamat tayang.

Dalam Iron Curtain: The Crushing of Eastern Europe, 1944–1956 (2012, Allen Lane), Anne Applebaum buka-bukaan soal gimana Uni Soviet ngelakuin perlawanan di Eropa Timur kayak bos besar yang gak pengen ada yang berani beda suara. Dengan riset dari arsip rahasia, cerita orang-orang yang selamat, dan dokumen era gulita, Applebaum ngasih gambaran detail gimana cara sistem Soviet ngerusak pikiran dan ngecekoki masyarakat dengan satu cara mikir: cara mereka.
Gimana caranya? Mereka nguasain dulu media: radio, koran, sekolah, bahkan organisasi anak-anak. Semua dibelokin buat ngagungin Stalin dan sistem komunis. Anak-anak dicekokin propaganda sejak dini lewat organisasi kayak “Young Pioneers,” yang kayak pramuka versi otoriter. Sementara itu, orang-orang yang vokal dikriminalisasi, dijeblosin penjara, atau... hilang tanpa jejak. Ada juga sidang drama alias show trials—bukan buat nyari kebenaran, tapi buat nakut-nakutin masyarakat.
Yang lebih serem lagi, rasa takut dijadikan alat kekuasaan. Polisi rahasia kayak hantu—ada di mana-mana: di tempat kerja, di lingkungan, bahkan di meja makan. Orang jadi curiga satu sama lain. Lo bisa ditangkep bukan karena lo salah, tapi karena tetangga lo gak suka dan lapor. Lo gak bisa jujur, gak bisa mikir bebas, bahkan gak bisa percaya sama orang serumah. Applebaum bilang ini bukan kekacauan spontan—semua didesain rapih kayak skenario sinetron politik distopia.
Lewat karyanya ini, Applebaum ngasih pesan tegas: otoritarianisme tuh gak selalu datang sambil ngedorong tank ke jalan. Kadang, doi masuk pelan-pelan—dari sekolah, berita, sampai pikiran loe sendiri.

Sementara Perang Dingin nunjukin bahwa konflik dunia bisa berubah drastis tanpa perlu tembak-tembakan langsung, kita juga gak bisa lupa kalau ancaman perang—terutama perang nuklir—selalu ngintip dari balik layar diplomasi dan debat ideologi. Nah, ini bikin kita mikir: sebenernya, apa sih perang itu, dan gimana cara kita memahami logikanya? Untuk jawab itu, kita harus pindah fokus dari drama adu strategi antar negara ke dunia taktis yang lebih “old school”—yaitu teori perang klasik. Di sinilah tokoh kayak Carl von Clausewitz jadi penting. Lewat pemikirannya tentang prinsip-prinsip perang, kita bisa ngerti bukan cuma gimana perang dijalankan, tapi juga kenapa perang bisa meledak, bisa membesar, dan apa yang bikin satu pihak menang atau justru tumbang.

Principles of War karya Carl von Clausewitz itu kayak versi ringkas dari bukunya yang lebih tebal dan legendaris, On War. Meskipun ditulis di awal abad ke-19, isinya masih nendang buat ngebahas perang, strategi, dan bahkan politik zaman sekarang. Dalam karyanya ini, Clausewitz ngasih "cheat sheet" buat ngerti perang—bukan cuma cara tempurnya, tapi juga kenapa perang itu bisa terjadi dan gimana cara mikirnya.
Hal terpenting yang doi tekankan adalah: perang itu bukan acara iseng atau duel random, tapi lanjutan dari politik—cuma cara mainnya lebih brutal. Jadi, kalau loe mau perang, loe kudu punya tujuan politik yang jelas. Kalau enggak, ya cuma jadi tukang rusuh bersenjata. Clausewitz juga gak suka gaya romantisasi perang kayak di film—baginya, perang itu semrawut, berbahaya, dan sering gak sesuai rencana.
Doski juga bilang, yang nentuin hasil perang itu gak cuma senjata dan jumlah pasukan, tapi juga hal-hal “enggak kelihatan” kayak semangat, kepemimpinan, moral pasukan, bahkan opini publik. Plus, strategi itu penting, tapi rencana sehebat apapun bisa ambyar pas musuh nongol. Jadi, pemimpin yang jago tuh bukan yang punya plan A, B, C, tapi yang bisa improvise pas lagi dihajar realita.
Walaupun Principles of War lebih pendek dan lebih to the point daripada On War, pesannya tetap dalem: perang itu urusan manusia—penuh emosi, ketidakpastian, dan keputusan dadakan. Bukan kayak game RTS yang tinggal klik pasukan. Ini lebih kayak main catur dalam badai sambil kebanjiran.
Kalo loe suka mikir strategi ala film Game of Thrones, tapi pengen versi lebih realistis dan gak penuh drama, buku ini tuh semacam manual perang yang ditulis sama general yang tahu banget cara mikir musuh.

Clausewitz nggak nyusun pedomannya itu kayak daftar "sepuluh perintah Tuhan" yang kaku gitu. Nggak! Justru, doski ngejelasinnya sebagai elemen-elemen yang saling nyambung dan nunjukkin gimana sih perang itu bener-bener berjalan di dunia nyata. Jadi, ini lebih ke 'buku saku' buat komandan biar nggak bingung pas ngadepin situasi genting.
Pertama dan paling penting, perang itu wajib banget punya tujuan politik. Ibaratnya, loe mau nyerang base musuh, tapi gak tau kenapa dan buat apa. Kan ngaco! Kalo gak ada tujuan jelas, aksi militer cuma bakal jadi asal-asalan dan gak jelas arahnya. Jadi, sebelum maju perang, pastiin dulu maunya apa.
Selanjutnya, inget prinsip 'konsentrasi kekuatan'. Kemenangan itu seringnya didapet kalo loe fokusin kekuatan gede di titik-titik vital yang bisa nentuin hasil akhir. Jangan malah nyebar pasukan tipis-tipis dimana-mana, entar malah jadi bulanan. Jadi, pilih target utama, terus sikat habis di situ!
Rencana itu kudu simpel dan gampang dimengerti. Jangan bikin rencana perang yang ruwetnya kayak rumus fisika, entar malah buyar di tengah medan pertempuran. Strategi yang jelas dan bisa disesuaikan di lapangan itu jauh lebih nampol. Kalo bisa dijelasin ke temen-temen loe dalam lima menit, berarti udah oke!
Jangan pernah ngeremehin faktor moral dan psikologi perang. Kepemimpinan yang ciamik, keberanian pasukan, opini publik, sama semangat tempur itu ngaruh banget, bahkan kadang lebih dari sekadar jumlah senjata. Mental juara itu separuh dari kemenangan, bro!
Nah, ini yang paling seru, perang itu nggak bisa ditebak alias penuh 'gesekan'. Rencana sesempurna apapun pasti bakal berubah begitu ketemu musuh. Jadi, yang penting itu fleksibilitas dan kemampuan buat ngambil keputusan cepet di bawah tekanan, bukan malah kaku sama teori. Jangan panik, tetep kepala dingin!
Terakhir, meskipun bertahan itu penting, tapi kemenangan sejati seringnya didapet kalo loe berani ngambil inisiatif dan nyerang balik pas ada celah. Jangan cuma nungguin diserang, kadang loe harus maju duluan buat ngunci kemenangan.

[Bagian 6]
[Bagian 4]