Rabu, 02 Juli 2025

Tiga Isu Besar Ekonomi (9)

Indonesia emang terkenal banget ama kalender merahnya yang panjang: dari hari besar nasional, keagamaan, sampai cuti bersama. Ini semua udah jadi bagian dari denyut nadi budaya dan spiritual masyarakat. Tapi dampaknya ke pelayanan publik, produktivitas kerja, dan waktu santai itu kayak pisau bermata dua.
Di satu sisi, banyaknya hari libur kadang bikin layanan publik jadi kepotong-putus. Mau ngurus KTP, surat izin, atau perkara hukum bisa molor gara-gara kantor tutup panjang. Di dunia usaha, apalagi sektor manufaktur dan logistik, libur yang sering bisa bikin jalur produksi dan pengiriman barang jadi keteteran kalau nggak diatur rapi—ujung-ujungnya output bisa turun.
Tapi di sisi lain, buat rakyat kebanyakan yang kerja banting tulang dan kadang gaji pas-pasan, hari libur itu nafas segar. Bisa jalan-jalan, kumpul keluarga, ngaji, healing, atau sekadar tidur siang tanpa alarm. Sektor pariwisata dan mal juga kebagian untungnya—pas libur panjang, mereka bisa panen omzet dari wisatawan lokal dan para tukang belanja dadakan.
Walau hari libur banyak itu bisa bikin kerjaan nabrak-nabrak dan antrean panjang di kantor pelayanan, sebenernya itu juga perekat budaya dan cara bangsa ini ngasih jeda buat warganya supaya nggak burnout total di tengah hiruk-pikuk dunia kerja. Kadang, merah di kalender adalah bentuk sayang negara ke rakyatnya—asal nggak jadi alesan buat mager nasional aja!
Ada hubungan yang menarik antara hari libur dan produktivitas tenaga kerja, walau lebih kompleks daripada sekadar "libur banyak = kerja males." Faktanya, jumlah hari libur yang pas bisa justru bikin produktivitas naik karena pekerja punya waktu buat istirahat, ngumpulin energi, dan balik kerja dengan semangat baru. Coba aja tengok Jerman atau Belanda—negara dengan jatah libur yang lumayan banyak, tapi produktivitas per jam mereka tetap tinggi. Artinya, bukan soal berapa jam kerja, tapi gimana cara kerjanya.
Lucunya, menjelang hari libur, banyak karyawan justru kerja lebih ngebut biar tugasnya kelar sebelum cuti. Tapi ya jangan kebanyakan juga. Kalau hari liburnya numpuk atau letaknya nggak strategis, bisa bikin kerjaan keputus-putus, apalagi di sektor yang harus jalan terus kayak industri manufaktur atau pelayanan publik.
Kesimpulannya: hari libur itu penting buat kesehatan mental dan menjaga ritme hidup, tapi dampaknya ke produktivitas tergantung pada sistem kerja yang ada, budaya kerja di kantor, dan cara negara ngatur kalender liburnya. Kalau pas racikannya, bisa bikin kerja makin ngebut kayak abis ngopi dua gelas!

Di antara negara-negara dengan jumlah hari libur terbanyak di dunia, India sering banget jadi juaranya. Karena negaranya super beragam—baik dari sisi budaya, agama, sampai urusan lokal—mereka punya tumpukan hari libur resmi yang bisa beda-beda tiap negara bagian. Bahkan ada wilayah yang punya lebih dari 20 hari libur resmi setahun, cuy!
Colombia juga gak mau kalah. Di sana, hari libur agama dan nasional dibagi rata sepanjang tahun, dan sering jatuh di hari Senin biar bisa ciptain long weekend yang dinanti-nanti warga. Thailand juga terkenal royal dalam urusan hari libur. Perayaan agama Buddha dan event nasional bikin kalender liburnya padat merayap—bisa tembus 19 sampai 20 hari dalam setahun.
Jepang pun gak ketinggalan. Selain banyak hari libur nasional, mereka punya konsep unik kayak “Golden Week” dan “Silver Week” yang kadang bikin orang libur seminggu penuh. Terakhir, Korea Selatan juga termasuk top list. Dengan gabungan antara hari libur modern dan tradisional kayak Chuseok dan Seollal, mereka bisa dapet sekitar 16 hari libur resmi tiap tahun.
Negara-negara ini buktiin kalau punya banyak hari libur gak otomatis bikin ekonomi jadi loyo. Kalau cara ngaturnya cerdas, libur justru bisa jadi vitamin buat semangat kerja dan produktivitas. So, gak ada salahnya ngebuka kalender dan berharap: “Besok merah gak, ya?”

Balik ke soal Employment.

Terdapat beberapa negara yang pasar kerjanya gila-gilaan, saking bagusnya sampai warganya males banget cari kerja di luar negeri. Nah, siapa aja nih yang masuk daftar top?
Di posisi pertama, ada Uni Emirat Arab (UEA). Gila, sekitar 99,37% populasinya betah banget di sana! Kenapa? Karena duit minyak dan gas mereka tumpah ruah, jadi banyak banget lapangan kerja di sektor konstruksi, jasa, keuangan, sampai teknologi. Jadi, buat apa merantau?
Selanjutnya, ada Jepang yang nongkrong di posisi kedua dengan 98,95% warganya ogah cabut. Jepang punya sistem perusahaan yang kuat, tradisi kerja seumur hidup (jadi aman banget!), dan ekonomi yang macem-macem, mulai dari otomotif, elektronik, sampai kesehatan. Komplet!
Di posisi ketiga, ada Jerman dengan sekitar 98,56% penduduknya betah di rumah. Mereka punya sektor Mittelstand (UKM) yang super kuat, sistem pelatihan vokasi yang mantap, dan basis manufaktur industri yang bikin lapangan kerja melimpah ruah. Auto nggak mikir buat pindah negara!
Terus, ada Amerika Serikat di posisi keempat. Sekitar 98,50% warganya juga milih stay di sana. Pasar kerja mereka dinamis banget, didominasi industri teknologi tinggi, jasa keuangan, dan ekosistem kewirausahaan yang nawarin banyak pilihan karir. Siapa coba yang nggak ngiler?
Terakhir di posisi lima besar, ada Australia. Sekitar 96,22% populasinya pilih menetap di sana. Industri kesehatan, pendidikan, pertambangan, dan jasa mereka kuat banget, ditambah kebijakan imigrasi yang seimbang antara pekerja asing dan kesempatan buat warga lokal. Jadi, nggak ada alasan buat ninggalin negeri kanguru ini!
Singkatnya, negara-negara ini punya kesamaan: kualitas hidup tinggi, ekonomi domestik yang kuat, dan industri yang beragam (cocok buat yang punya skill atau nggak punya skill sekalipun). Makanya, warganya jarang banget kepikiran buat cari nafkah di luar negeri. Asyik banget, kan?

Angkatan kerja di Indonesia itu tersebar ke banyak sektor, dan semuanya punya peran penting banget buat ekonomi negara. Sampai Agustus 2024 kemarin, hampir 47 persen orang Indonesia kerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Ini nunjukin banget kalau kita masih ngandelin cara hidup tradisional—alias kerja dari sawah, kebun, sampai laut tuh masih jadi tulang punggung penghidupan rakyat.
Di sisi lain, sektor manufaktur nyerap sekitar 13,8 persen tenaga kerja. Ini termasuk industri yang ngehasilin makanan olahan, tekstil, sampai barang elektronik—intinya dari pabrik-pabrik yang udah mulai banyak bermunculan di daerah industri.
Terus, sektor konstruksi—baik itu bangun jalan, jembatan, rumah, dan proyek infrastruktur lain—juga nggak kalah sibuk, dengan nyerap sekitar 6,5 persen pekerja.
Dunia perdagangan dan ritel, termasuk jasa servis kayak bengkel motor sampai tukang service AC, jadi tempat mangkal hampir 18,9 persen pekerja. Ini karena ekonomi informal di Indonesia itu gede banget, dan pasar dalam negeri juga rame terus sepanjang tahun.
Sementara itu, sektor akomodasi dan kuliner—alias kerja di hotel, resto, kafe, atau usaha wisata—ngelibatin sekitar 7,8 persen tenaga kerja. Jadi, dari chef sampai room boy, banyak yang hidupnya jalan di sektor ini.
Sisanya kepecah-pecah di sektor transportasi dan logistik (sekitar 4,3 persen), pendidikan (sekitar 5 persen), administrasi pemerintahan (sekitar 3,5 persen), kesehatan dan layanan sosial (sekitar 1,6 persen), dan sisanya lagi masuk ke jasa profesional, komunikasi, utilitas, dan sektor lainnya.
Para pekerja Indonesia tersebar dari sektor agrikultur, industri, sampai jasa. Tapi yang masih paling banyak nampung orang tuh ya sektor pertanian, meski sekarang sektor manufaktur dan jasa mulai tumbuh dan bikin peta kerjaan kita makin beragam.

Secara umum, kerja di luar negeri itu kayak main game level expert buat para tenaga kerja, apalagi yang kerja kasar. Mulai dari jam kerja gila, gaji pas-pasan, sampai dilarang pegang HP, udah jadi cerita sehari-hari. Mereka juga sering nggak ngerti bahasa lokal, jadi kalau dimarahin majikan, cuma bisa senyum kecut. Belum lagi kalau sakit, akses ke dokter susah, dan kalau mau lapor masalah, takut dipecat atau malah dideportasi. Pokoknya hidup mereka kayak jalan terus di mode survival.
Nah, beda cerita kalau yang kerja sebagai tenaga ahli. Kayak insinyur, perawat, programmer, atau dosen — biasanya dapet fasilitas oke, gaji tinggi, dan tinggal di tempat yang manusiawi. Tapi tetep aja, mereka masih bisa kena diskriminasi, susah adaptasi budaya, atau kariernya mandek gara-gara ijazah dari negeri sendiri nggak diakui sepenuhnya. Walau hidupnya lebih mapan, tetep aja bisa stres.
Menurut survei dari ILO, IOM, dan pemerintah berbagai negara, para pekerja kasar biasanya pulang ke tanah air begitu kontrak habis atau udah nggak tahan disiksa sistem. Tapi kalau tenaga kerja ahli, apalagi yang udah dapet PR atau kewarganegaraan, jarang banget balik. Mereka malah betah dan bikin hidup baru di sana. Negara-negara kaya kayak Kanada, Australia, dan Amerika itu ibarat mesin sedot talenta: yang pintar-pintar ditarik, yang lelah-lelah disuruh pulang. Makanya, Indonesia kadang kena “brain drain” — yang pergi itu otak-otak cemerlang, yang pulang tinggal yang dompetnya bolong.

“Brain drain” itu istilah kece buat ngegambarin kejadian dimana orang-orang pintar dan berbakat dari sebuah negara—kayak dokter, ilmuwan, insinyur, atau lulusan luar biasa—pada cabut ke luar negeri karena di sana kerjaan lebih menjanjikan, gaji lebih mantap, dan hidup lebih nyaman. Yang jadi ironi: negara asalnya udah susah payah sekolahin mereka, tapi hasilnya malah dinikmati negara lain. Akibatnya, negeri yang ditinggal makin susah berkembang karena kehilangan otak-otak brilian yang seharusnya bisa bantu bangun bangsa.

Menurut The Global Competition for Talent: Mobility of the Highly Skilled karya Tito Boeri, Herbert Brücker, Frédéric Docquier, dan Hillel Rapoport, yang diterbitkan tahun 2012 oleh Oxford University Press, perebutan SDM berkualitas secara global makin panas karena perubahan demografi, kemajuan teknologi, dan tuntutan ekonomi berbasis pengetahuan. Negara-negara kini gak hanya sibuk menjaga talenta mereka sendiri supaya gak kabur, tapi juga aktif “ngerayu” tenaga ahli dari luar lewat kebijakan imigrasi yang lebih luwes, prospek karier yang menjanjikan, dan insentif semacam visa kilat hingga dana riset.
Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sejumlah negara Eropa misalnya, sudah melakukan “remodeling” sistem imigrasi mereka agar lebih talent-friendly ketimbang sekadar menerima banyak orang. Di era ini, para ilmuwan dan ahli teknologi kelas dunia diperlakukan layaknya atlet bintang atau selebritas—diperebutkan, dijanjikan gaji tinggi, bahkan disambut dengan karpet merah. Dalam perlombaan ini, inovasi kebijakan dan “branding negara” bisa jadi senjata utama, sama pentingnya dengan kekuatan ekonomi. Intinya: kalau negara pengin maju, sekarang harus pintar-pintar “ngegas” dapetin orang pinter.
Walaupun negara kayak Kanada dan Australia masih semangat “nguber orang pinter” layaknya nge-draft pemain NBA, tapi Amerika di bawah Trump sekarang udah gak se-luwes itu lagi. Memang, kadang Trump bilang doski dukung tenaga kerja berkualitas tinggi—apalagi yang jago STEM—tapi kenyataannya di lapangan, proses imigrasinya makin ribet dan ketat.
Alih-alih ngeluarin kebijakan imigrasi yang inovatif dan ramah talenta, pemerintahannya lebih fokus ke slogan “America First”: perbatasan diperketat, latar belakang dicek berlapis-lapis, dan vibe-nya lebih ke arah “ngetes” daripada “ngajak gabung.” Akibatnya, banyak ilmuwan, coder, atau engineer kece mulai ngerasa AS itu bukan lagi “tanah impian,” tapi lebih kayak “tanah jebakan betmen.”
Kalau di The Global Competition for Talent dibilang negara-negara saling rebutan SDM kayak rebutan bintang film, sekarang AS justru lagi narik diri dari panggung audisi itu—lebih milih jadi juri yang galak daripada jadi perekrut yang ramah.

Dalam Exodus: How Migration is Changing Our World karya Paul Collier (Oxford University Press, 2013), dijelasin bahwa kalau orang-orang pintar dan terampil dari negara miskin terus hijrah ke negara kaya, itu kayak efek domino yang bikin berantakan sistem dari asalnya. Ini bukan sekadar soal orang pindah cari kerjaan bagus, tapi lebih kayak negara miskin “kehilangan otaknya” secara terus-menerus. Jadi dokter, insinyur, atau guru terbaiknya malah jadi aset negara lain.
Collier bilang, kalau semua yang pinter cabut, yang tinggal di kampung halaman jadi mikir: “Ngapain gue sekolah tinggi-tinggi juga, ujung-ujungnya pergi.” Efeknya, motivasi buat bangun negara sendiri makin turun. Nah, parahnya lagi, yang udah sukses di luar negeri itu jadi kayak influencer migrasi—ngasih ilusi bahwa hidup di luar pasti lebih baik, padahal belum tentu cocok buat semua orang.
Di sisi lain, negara kaya untung banget. Mereka tinggal comot SDM siap pakai—udah dididik sama negara asalnya, tapi manfaat ekonominya dinikmatin sama negara tujuan. Ini kayak beli pemain sepak bola berbakat murah dari liga kecil, tapi mainnya buat klub besar.
Lama-lama, kata Collier, ini bisa jadi jebakan migrasi: negara miskin terus kekurangan sumber daya manusia buat maju, sementara negara kaya makin melesat karena disokong talenta impor. Akhirnya? Dunia makin timpang, dan migrasi yang awalnya harapan malah bisa jadi lingkaran setan.

Beberapa negara udah kayak “supplier tetap” buat negara-negara kaya soal otak-otak cemerlang. Contohnya India—para jagonya di bidang IT dan sains udah banyak yang hijrah ke Amerika atau Inggris demi lab yang lebih canggih dan gaji yang enggak bikin nyesek. Terus ada Nigeria, dimana para dokter dan dosen capek banget ama kondisi dalam negeri yang nggak aman dan korupsinya bikin pusing, jadi mereka kabur ke luar. Filipina juga terkenal sebagai eksportir perawat—tiap tahun ribuan dari mereka kerja ke luar negeri demi kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, Pakistan banyak ditinggal anak mudanya yang pintar-pintar karena politiknya kayak sinetron gak kelar-kelar, dan karier di sana sering mandek gara-gara sistem nepotisme. Terakhir, Rumania, negara Uni Eropa yang warganya banyak pindah ke Eropa Barat karena gaji di kampung halamannya masih ketinggalan zaman, terutama buat dokter dan insinyur. Jadi ya… mereka pergi, dan negara asal cuma bisa bilang, “Semoga sukses di negeri orang!”

Indonesia tuh punya potensi banget kena “brain drain”—dan jujur aja, sebagian udah kejadian. Banyak anak muda Indonesia yang otaknya encer, kreatif, dan berprestasi malah milih bangun karier di luar negeri. Kenapa? Karena di dalam negeri sering kena tembok: gaji kecil, birokrasi ribet, riset minim dana, dan sistem kerja yang lebih mentingin “siapa lo” daripada “apa kemampuan loe.” Nggak heran banyak yang cabut ke Singapura, Australia, Amerika, atau Jepang buat dapet pengakuan dan hidup yang lebih layak.
Beberapa emang pulang, tapi nggak sedikit yang betah di luar karena kerja keras mereka dihargai, bukan cuma disuruh “sabar ya.” Kalau Indonesia nggak segera benahi sistem pendidikan, riset, dan karier — bisa-bisa yang pinter-pinter pada kabur, dan kita cuma bisa nonton dari jauh sambil bilang, “Itu dulu temen satu kampus gue, sekarang dosen di Melbourne.”

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, pemerintah Indonesia wajib banget ngurusin tiga masalah ekonomi krusial: stabilitas, kesetaraan, sama lapangan kerja. Nah, gimana nih langkah konkretnya?
Buat jaga stabilitas ekonomi, Pemerintahan Prabowo hendaknya hati-hati banget soal belanja negara. Program sosial ambisius boleh jalan, tapi utang juga harus dikelola dengan cerdas. Artinya, usahain utang negara tetep di kisaran 40% dari PDB, biar cicilan bunga nggak ganggu anggaran buat infrastruktur atau layanan sosial. Terus, penting juga buat ngatur penyesuaian fiskal, apalagi kalo suku bunga global lagi naik, biar kita aman dari gejolak ekonomi.
Demi kesetaraan ekonomi, program andalan pemerintah baru—macam makan bergizi gratis sama pemberdayaan desa—hendaknya didanai penuh dan dijalankan secara efisien di semua wilayah. Biar dananya cukup, reformasi pajak kudu digaspol lewat pembentukan Kementerian Pendapatan yang udah direncanain, plus sistem pengumpulan pajak digital yang canggih. Barengan sama itu, insentif buat UMKM, pertanian, sama industri hilir harus bener-bener dirasain manfaatnya sama masyarakat berpenghasilan rendah. Tujuannya jelas: ngurangin jurang antara kota dan desa, si kaya dan si miskin, biar kebanggaan itu nggak cuma nutupin ketimpangan ekonomi.

Soal lapangan kerja, pemerintahan Prabowo nggak boleh cuma fokus ke infrastruktur atau proyek-proyek gede doang. Prioritas utama harusnya ningkatin skill para pekerja biar siap menghadapi pasar kerja yang cepet berubah. Fokusin ke pelatihan vokasi, literasi digital, sama sektor energi bersih—plus reformasi perlindungan tenaga kerja—bisa bantu formalitasin jutaan pekerjaan yang sekarang masih di sektor informal. Ini penting banget, apalagi dengan adanya transisi energi dan tekanan otomatisasi. Kemitraan pemerintah-swasta di sektor kayak baterai kendaraan listrik sama pertanian berkelanjutan juga kudu dimanfaatin buat nyiptain pekerjaan yang layak dan siap masa depan.
Intinya, jalan ke depan butuh disiplin fiskal yang hati-hati, program sosial yang inklusif, sama pembangunan yang berpusat pada penciptaan lapangan kerja. Dengan begitu, Indonesia bisa wujudin slogan-slogan keren jadi kemakmuran yang nyata dan tangguh buat seluruh warganya. 

Jadi gini gaes, pemerintah Indonesia tuh demen banget ngejar target pertumbuhan ekonomi 8%! Kenapa? Simple aja, ini tuh jurus jitu buat naikin level negara kita dan bikin hidup rakyatnya makin makmur.
Dulu-dulu nih, pas tahun 70-an ama 90-an, Indonesia pernah ngegas banget pertumbuhan ekonominya sampai di atas 8%. Itu karena kita lagi ngebut industrialisasi, modernisasi, sama bangun-bangun di sektor penting kayak kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Nah, pemerintahan yang sekarang, apalagi di bawah Presiden Prabowo, ngelihat pertumbuhan setinggi ini tuh penting banget biar Indonesia bisa lepas dari yang namanya "jebakan negara berpenghasilan menengah". Alias, biar kita nggak cuma segitu-gitu aja, tapi bisa naik kelas jadi negara maju dan berpenghasilan tinggi.
Kalo pertumbuhan bisa tembus 8%, itu diyakini bakal jadi booster super kenceng buat ngurangin kemiskinan dan nyiptain jutaan lapangan kerja baru yang formal. Penting banget ini, soalnya populasi kita kan gede dan terus bertambah. Target 8% ini juga nyambung banget sama mimpi jangka panjang Indonesia buat jadi negara maju di tahun 2045, dengan harapan GDP per kapita kita melonjak dan kualitas hidup di seluruh pelosok negeri makin oke.
Plus, target yang ambis kayak gini juga jadi sinyal mantap buat para investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Artinya, pemerintah serius banget mau genjot ekonomi dan bikin iklim investasi makin asyik. Nah, ini yang jadi kunci buat ngebut pembangunan di berbagai sektor. Intinya sih biar Indonesia makin keren dan seluruh warganya bisa nyicipin kemakmuran.
Tapi ya, ada ribetnya juga. Meski investasi asing besar—lebih US$47 miliar di 2023 atau masuk deras awal 2025—mimpi besar itu masih kesendat ama masalah-masalah lama. Banyak ahli bilang, kalau maksa ekonomi naik terus, bisa kena overheating: inflasi naik, ekonomi jadi rapuh guncangan. Lembaga dunia kayak IMF dan Bank Dunia cuma prediksi pertumbuhan di kisaran 4,7–5,1% di 2025—jauh dari angka 8% yang dijanjikan.
Kritikus juga bilang, kita harus benahi hal-hal klasik kayak biaya logistik yang tinggi, regulasi berubah-ubah, birokrasi yang ribet, dan korupsi merajalela. Kalau gak, mega investasi cuma jadi pajangan—gak ngasih efek nyata. Intinya, meski target 8% keren di brosur kampanye, tapi kalau gak diimbangi reformasi struktural dari akar, target tersebut bisa jadi cuma mimpi di siang bolong. 

Jujur aja—buat mewujudkan semua ambisi ini, Presiden Prabowo kayak bawa “beban tambahan” yang gak bisa di-skip di cutscene politik: Wakil Presidennya sendiri. Di satu sisi, beliau udah kayak karakter utama RPG yang sibuk ngejaga reputasi bangsa di level internasional. Tapi di sisi lain, partner-nya di slot kedua belum nunjukin damage atau support yang signifikan. Akibatnya, misi penyelamatan dalam negeri jadi berat sebelah, kayak main duo tapi satu stick-nya gak gerak. 
Wapres Gibran lagi kena sorotan—dan bukan karena fashion statement atau duet viral sama seleb TikTok. Para pengamat bilang, “Eh, ini wapres kok kayak cameo?” Sejak dilantik, Gibran lebih sering muncul diam-diam lalu menghilang, kayak tokoh misterius di sinetron striping. Contohnya waktu doski buka MTQ, gak ada sambutan, langsung cabut. Netizen pun bereaksi: "Bro, itu acara resmi, bukan soft opening mall."
Janji kampanye kayak "bikin 19 juta lapangan kerja" sekarang jadi bahan meme. Soalnya, menurut laporan Bank Dunia, angka kemiskinan malah naik. Belum lagi badai PHK dan perusahaan yang tumbang satu-satu. Masyarakat nunggu gebrakan, tapi yang muncul malah krik krik vibes.
Rocky Gerung udah pasang nada tinggi, bilang Gibran minim visi geopolitik. Sementara eks Danjen Kopassus, Soenarko, malah bilang doi gak lolos uji moral dan karismatik. Istilah “planga-plongo” pun naik daun lagi di timeline, kayak throwback ke istilah viral lama.
Tapi, seperti biasa, para pembelanya, termasuk Termul, bilang, “Sabar, bro. Anak muda ini lagi warming up.” Cuma ya, kalau kebanyakan warming up, bisa-bisa penontonnya udah bubar duluan sebelum pertandingannya mulai.

Presiden Prabowo lagi jadi “bintang tamu tetap” di panggung dunia—dari Rusia sampai BRICS, dari pidato diplomatik sampai selfie bareng pemimpin negara lain. Tapi di rumah sendiri, dapur masih ngebul gak karuan. Banyak yang nanya: “Pak Presiden, siapa yang jagain rumah pas Bapak keliling dunia?”
Masalahnya bukan cuma soal gaya. Di dalam negeri, rakyat masih bergulat ama harga bahan pokok, lapangan kerja yang makin sempit, dan sistem kesehatan yang bikin orang lebih milih berobat ke luar negeri. Dalam situasi kayak gini, publik berharap ada “partner in crime” di Istana yang bisa turun tangan langsung. Tapi kalau Wapres-nya malah kayak figuran sinetron—muncul sekilas, terus ngilang—ya wajar kalau beban makin berat di pundak sang presiden.
Ibarat duo superhero, Presiden Prabowo butuh sidekick yang bukan cuma numpang kostum. Harus ada yang bisa jaga markas, ngatur strategi lokal, dan kasih solusi konkret buat masalah rakyat. Kalau enggak, misi global bisa jadi keren di headline, tapi chaos di halaman belakang.
Jadi, ini bukan soal gaya kepemimpinan doang. Ini soal keseimbangan. Kalau satu tangan sibuk jabat tangan dunia, tangan satunya kudu sigap bantu rakyat nyambung hidup. Kalau enggak, bisa-bisa rakyat bilang, “Yang diurusin dunia, yang ditinggalin kita.”

[Bagian 1]
[Bagian 8]