Rabu, 09 Juli 2025

Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (1)

Zaman Orde Baru dulu, koperasi desa alias KUD dibentuk dengan tujuan mulia: bantu petani lewat pupuk murah, kredit enteng, dan semangat gotong‑royong. Tapi lama‑lama, koperasi itu malah jadi alat politik—dipaksain dari atas, bukan lahir dari kebutuhan rakyat. Kepala desa atau tentara kerap ditunjuk jadi bos, sementara petani yang sebenarnya, malah diilangin suaranya. Gak ada lagi demokrasi, hanya instruksi.
Di salah satu daerah di Jawa Tengah, kantor KUD-nya terlihat keren banget: gedung megah, plang besar, kendaraan operasional. Tapi isinya? Kosong melompong. Orang hanya nongol saat ada pembagian pupuk atau panen massal. Sebelum dan setelah itu? Hampa. Setelah jatuhnya rezim Soeharto tahun 1998, sekitar 80 % dari 7.500 KUD ambruk—habis subsidi, diseret korupsi, dan ditinggal basi.
Cerita ini jadi pengingat keras: jika koperasi dipaksa lahir dari atas tanpa fondasi rakyat yang kuat, maka ia hanya selubung kosong. Bakal kukur, bukan karena koperasi salah konsep, tapi karena diimplementasikan asal‑asalan, dijadikan proyek, bukan sahabat sejati bagi rakyat.

Koperasi (umumnya, baik American maupun British English menyebutnya "Cooperative", tapi ada juga beberapa literatur menyebutnya "Co-operation". Kadang dalam British English ditulis Co-operative buat nunjukin kondisi pemilikan tertentu, kadang pula "co-op" untuk intonasi kasual atau merujuk pada bisnis retail di Inggris) itu bukan sekadar badan usaha biasa, tapi lebih mirip gerakan sosial ekonomi yang vibes-nya solidaritas, kesetaraan, dan saling bantu. Di dalam koperasi, seluruh anggota—entah itu pekerja, konsumen, produsen, atau warga—punya porsi kepemilikan dan hak suara yang sama. Jadi, gak ada tuh yang namanya bos besar yang ngatur-ngatur sesuka hati. Segala keputusan diambil bareng-bareng, pakai sistem demokratis, kayak voting anak OSIS tapi buat ekonomi beneran.
Yang bikin koperasi beda dari perusahaan biasa adalah tujuannya. Kalau korporasi biasanya kejar cuan demi bikin para pemegang saham senang, koperasi malah fokus pada kebutuhan dan mimpi kolektif para anggotanya. Duit lebih atau keuntungan yang didapat, bukannya masuk ke kantong segelintir orang, tapi diputar lagi buat ningkatin pelayanan, kesejahteraan anggota, atau bahkan bantu program sosial di komunitas. Ini bisnis yang gak cuma mikirin untung hari ini, tapi juga masa depan semua yang terlibat.
Lebih dari itu, koperasi biasanya nyambung banget sama lingkungan sekitar. Mereka dukung ekonomi lokal, nggak suka main curang, dan bawa semangat inklusif. Di era sekarang, dimana konglomerat makin gede dan kesenjangan makin lebar, koperasi itu ibarat napas segar—pilihan ekonomi yang ngedahuluin manusia, bukan cuma angka.

Secara ilmiah, koperasi itu adalah kumpulan orang yang gabung suka sama suka buat nyari solusi bareng atas kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya mereka—dan mereka ngatur semuanya sendiri, secara demokratis. Gampangnya: ini bisnis, tapi yang punya tuh semua anggota, bukan bos besar. Beda sama korporasi yang fokusnya ngejar cuan buat pemegang saham, koperasi itu kayak “warung rakyat” yang untungnya balik lagi ke yang punya—ya para anggotanya itu sendiri. Dan dalam koperasi, suara loe dihitung bukan dari seberapa banyak duit yang loe tanem, tapi karena loe anggota. Satu orang, satu suara. Udah kayak pemilu mini tapi versi adilnya.

Nah, secara filosofis, koperasi itu bukan cuma soal dagang bareng. Inilah gaya hidup yang bilang, “Kita bisa kok hidup bareng tanpa saling injek!” Koperasi itu ngegas narasi alternatif: bahwa manusia bisa kerjasama, bisa punya barang bareng, bisa ngatur hidup bareng, tanpa harus jadi budak sistem yang nyuruh kita bersaing terus-terusan. Anggota koperasi bukan cuma “konsumen” atau “karyawan”—merekalah pemilik, pemikir, dan pengambil keputusan.

Kalau kapitalisme itu kayak reality show yang nyuruh orang sikut-sikutan demi hadiah, maka koperasi itu kayak komunitas fandom yang saling dukung, bikin karya bareng, dan kalau ada untung, dibagi rame-rame. It’s not just an economic model, bro—it’s an economic revolution in slomo.

Dari sudut pandang filosofis, tujuan awal koperasi tuh bukan cuma soal belanja bareng atau buka toko rame-rame. Koperasi lahir buat ngelawan sistem yang ngebikin hidup rakyat jelata kayak jadi figuran di film distopia. Di Inggris abad ke-19, buruh-buruh capek jadi korban sistem kapitalis yang brutal, tapi juga gak pengen ikutan revolusi berdarah-darah. Jadi mereka milih jalur ninja: bangun ekonomi rakyat dari bawah.
Tujuannya? Supaya orang kecil bisa ngatur hidupnya sendiri—bukan terus-terusan jadi korban pasar atau mainan konglomerat. Di koperasi, orang bantu orang bukan karena kasihan, tapi karena mereka sama-sama punya kepentingan dan hak suara. Ini soal saling topang, bukan saling sikut.
Koperasi itu semacam antihero ekonomi: gak flashy, enggak bawa senjata, tapi pelan-pelan ngebangun dunia yang lebih adil. Mau nyari makan? Bikin koperasi pangan. Mau punya rumah? Bikin koperasi perumahan. Intinya: sistem ekonomi harus manusiawi, bukan buatan elit buat nguntungin elit.
Kalau kapitalisme itu ibarat game "Survivor", yang kuat yang menang, maka koperasi itu kayak band indie yang semua personilnya ikut nulis lagu, manggung bareng, dan bagi royalti adil-adilan. Mereka bilang, “Kalau kita gabungin tenaga dan niat baik, kita bisa bikin dunia yang gak harus curang buat untung.”

Di abad ke-19, hidup itu kayak drama distopia: pabrik dimana-mana, bos makin kaya, buruh makin sengsara. Secara politik, yang pegang kuasa ya elite-elite doang. Rakyat jelata kayak buruh pabrik? Gak dianggep. Suara mereka buat ngatur hidup sendiri? Nihil. Reformasi politik jalan kayak keong.
Ekonomi? Hanya yang punya mesin dan modal yang cuan gede. Buruh—termasuk emak-emak dan anak kecil—dipaksa kerja dari pagi sampe malem dengan gaji secuil, kayak scene film dokumenter yang bikin nangis. Kota-kota jadi penuh sesak, kampung ditinggal, dan yang ada cuma utang, kelaparan, dan penderitaan massal.
Secara sosial, gap antara si kaya dan si miskin makin kayak jurang neraka. Orang desa pindah ke kota, tapi yang mereka temuin bukan harapan, melainkan kos-kosan sumpek dan hilangnya rasa gotong-royong. Lalu muncul deh komunitas kayak paguyuban atau serikat kerja, tapi masih cupu dan gak diakuin ama hukum.
Nah, dari sisi budaya, mulai muncul pemikiran keren—mungkin semacam “woke” versi abad ke-19—yang bilang, “Masa sih dunia cuma milik kaum pemodal?” Orang-orang kayak Robert Owen mikir: gimana kalau kita balik arah? Gak usah rebutan untung, mendingan kerja sama, punya barang bareng, dan semua orang dapet akses pendidikan. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi bentuk perlawanan budaya dan politik terhadap sistem yang nindas rakyat kecil.

Ide koperasi itu pertama kali bener-bener hidup di Inggris abad ke-19, khususnya di kota-kota industri kayak Rochdale dan Manchester—yang waktu itu udah kayak kota dalam film cyberpunk: padat, gelap, penuh polusi, dan buruhnya hidup super sengsara. Di tengah hidup yang keras itu, muncul sekelompok orang yang mikir, “Gimana kalau kita gak terus-terusan ditindas? Gimana kalau kita gotong royong buat beli barang-barang pokok barengan dan ngatur toko kita sendiri?”
Nah, dari situ muncul istilah “co-operative”—asalnya dari bahasa Latin cooperari, artinya kerja bareng. Tapi ini bukan sekadar kerja bareng buat capek bareng. Ini soal milik bareng, untung bareng, rugi ditanggung bareng. Intinya: kita punya usaha, kita yang ngatur, kita yang ngerasain manfaatnya.
Contoh legendarisnya itu ya para “Pionir Rochdale” di tahun 1844. Mereka buka toko kecil yang jualan gula, gandum, mentega—tapi bukan buat cari cuan gila-gilaan. Mereka nyebut usaha mereka “koperasi” karena semuanya dimiliki bersama, keputusan diambil bareng, dan semua surplus dibagi adil. Jadi istilah “koperasi” itu bukan cuma label keren, tapi semangat perlawanan: ngelawan sistem yang serakah, dan milih sistem yang manusiawi.
Dan lama-lama, nama itu nempel jadi gerakan dunia. Koperasi jadi cara hidup: bukan rebutan untung, tapi rebutan manfaat buat semua. Kalau zaman sekarang, ini semacam upgrade dari “YOLO”, you only live once, jadi “YOTO”—You Only Thrive with Others.

Definisi koperasi zaman dulu sama zaman now itu beda—meskipun semangatnya masih satu frekuensi. Dulu, di era 1800-an, koperasi itu kayak gerakan bawah tanah buat lawan sistem yang nindas rakyat kecil. Bentuknya sederhana: toko kecil, lumbung desa, atau komunitas buruh yang ogah terus-terusan ditindas juragan dan tengkulak. Kagak ada istilah “efisiensi” atau “profit growth”—yang penting adil, gotong royong, dan semua punya suara. Waktu itu, koperasi lebih mirip aksi sosial ketimbang model bisnis. Mereka pengen ngubah dunia, bukan sekadar survive di dalamnya.
Sekarang? Koperasi udah naik kelas. Berdasarkan definisi resmi dari International Co-operative Alliance, koperasi zaman now itu udah kayak entitas bisnis profesional—punya legalitas, punya sistem manajemen, bisa ekspansi, bahkan bisa ekspor. Tapi tetep, orientasinya bukan buat nyenengin pemegang saham, tapi buat memenuhi kebutuhan anggota, secara ekonomi, sosial, dan budaya. Koperasi modern bisa sebesar perusahaan konvensional, tapi tetep ada semangat “satu anggota, satu suara.”
Kalau yang lama itu kayak band punk indie di garasi rumah, yang modern itu kayak band indie yang udah manggung di festival internasional—tetap idealis, tapi sound system-nya lebih niat. Dulu semangatnya perlawanan, sekarang semangatnya keberlanjutan.
Intinya? Koperasi zaman dulu itu idealis banget, koperasi zaman sekarang itu realistis tapi teuteup setia. Mereka beda gaya, tapi masih satu tujuan: ekonomi yang manusiawi dan nggak ninggalin siapa pun di belakang.

Secara umum, koperasi itu konsepnya simpel tapi keren: orang-orang ngumpul bareng buat ngatasin kebutuhan bersama lewat organisasi yang mereka miliki dan atur bareng-bareng. Tujuannya bukan buat nyari cuan buat investor luar, tapi buat kepentingan anggota sendiri. Bisa soal sembako, tempat tinggal, modal usaha, atau produksi barang—intinya koperasi itu soal keadilan, kebersamaan, dan saling bantu. Ini sistem yang bilang: “Ekonomi itu harusnya bisa dimiliki rame-rame, bukan buat segelintir orang aja.”
Nah, versi lama dari koperasi itu vibes-nya kayak gerakan akar rumput. Muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kerasnya kapitalisme zaman revolusi industri. Bentuknya kecil-kecil, kadang informal, dan didorong ama nilai-nilai solidaritas dan keadilan sosial. Koperasi jadul ini kayak komunitas orang-orang yang pengen hidup adil tanpa harus tunduk ama sistem yang gak adil. Mereka bukan pengusaha elite—mereka petani, buruh, atau tetangga yang bilang, “Daripada kita ditindas, mending kita bikin sistem sendiri.”
Sedangkan versi modernnya, koperasi udah evolve. Sekarang, koperasi bisa gede, punya kantor kece, pakai aplikasi, bahkan punya manajer profesional. Tapi walau tampilannya lebih bisnis, jiwanya masih sama: satu anggota satu suara, untung buat semua, dan keputusan diambil bareng. Koperasi modern itu kayak superhero yang dulu pake baju seadanya, sekarang udah punya kostum dan teknologi canggih—tapi tetep bela rakyat.
So? Koperasi dulu itu semangat rakyat kecil yang idealis. Koperasi sekarang itu semangat yang sama, tapi udah naik level: siap bersaing, tapi tetep manusiawi. Keduanya tetep satu tujuan—ekonomi yang adil, merata, dan penuh rasa gotong royong.

Koperasi itu masih super relevan di zaman sekarang karena ngasih alternatif yang lebih manusiawi dari kapitalisme yang serba ngejar cuan. Di era yang makin penuh ketimpangan, kerja serabutan, dan komunitas yang tercerai-berai, koperasi hadir kayak oase. Mereka bawa kembali ide bahwa bisnis bisa kok jalan tanpa harus nginjek-injek nilai. Di koperasi, orang biasa bisa punya andil, punya suara, dan ikut nikmatin hasil kerja keras bareng-bareng. Nggak kayak perusahaan besar yang cuma mikirin pemegang saham yang entah tinggal di mana, koperasi itu hadir buat orang yang terlibat langsung.
Apalagi sekarang makin banyak yang peduli soal krisis iklim, keadilan sosial, dan bisnis yang etis, koperasi punya posisi strategis buat jadi pionir. Karena mereka lebih mikirin manfaat kolektif daripada untung pribadi, otomatis mereka juga lebih peduli ama lingkungan dan kesejahteraan sosial. Mulai dari proyek energi terbarukan milik warga sampai koperasi pangan yang dukung pertanian lokal dan organik—koperasi buktiin bahwa bisnis bisa jalan tanpa ngerusak bumi atau nurunin martabat orang.
Di saat kepercayaan publik ke institusi besar makin luntur dan orang-orang mulai nyari makna hidup yang kagak melulu soal duit, koperasi hadir bukan cuma sebagai model bisnis, tapi sebagai filosofi hidup: tentang keadilan, demokrasi, dan ketahanan. Koperasi ngingetin kita bahwa ekonomi itu seharusnya ngelayanin manusia—bukan sebaliknya.

[Bagian 2]