Kamis, 18 September 2025

Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (2)

Kalo loe nanya benarkah MBG telah menjadi proyek elit dan benarkah anggota DPRD setempat memperlakukannya sebagai peluang bisnis, berdasarkan pelaporan terbuka dan temuan lembaga pengawas, ada bukti kredibel tentang risiko sistemik dan berbagai insiden lokal yang mendukung kekhawatiran tersebut.
Jadi gini, MBG itu program makan sekolah yang digembar-gemborkan gede banget—targetnya puluhan juta anak dan duitnya jumbo—tapi sayangnya, “ruang kosong” sebesar itu, gampang banget dimanfaatin orang yang lagi nyari cuan. Banyak lembaga audit dan NGO bilang ada celah tatakelola yang parah, jadi wajar kalau publik curiga: kalau besar, pasti ada yang numpang proyek.
Lalu muncul berita-berita lokal yang mirip-mirip: ada dapur siluman, rekening fiktif, sampai kasus anak keracunan. Yang bikin risih, beberapa laporan nunjukkin oknum DPRD atau kroninya ketahuan pegang kendali dapur MBG di daerahnya—bukan cuma gosip warung kopi, ini sudah muncul di beberapa media. Belum tentu semua itu udah bukti pidana, tapi polanya jelas bikin curiga.  
Yang bilang “ah, itu biasa” juga ada: pihak BGN bilang mitra terbuka buat siapa aja. Tapi masalahnya: kalau wakil rakyat yang jadi mitra, jadinya conflict of interest—citra program keburu amburadul dan rakyat kecil yang mestinya dapat manfaat bisa kena imbasnya. Kalau mau ngerti bener atau enggak, yang perlu dilacak itu kontrak, rekening, dan testimoni kepala sekolah plus orangtua. 

Sebulan terakhir, drama keracunan gara-gara program Makan Bergizi Gratis kayaknya jadi episode horor berseri di beberapa provinsi Indonesia. Pada 17 September 2025, Banggai Kepulauan bikin heboh: 157 anak sekolah langsung digiring ke RSUD Trikora Salakan karena gejala mual, muntah, sesak napas, kram perut, sampai ruam-ruam. Dari total itu, 80 anak boleh pulang, tapi 77 harus nginap di rumah sakit. Biang keroknya diduga lauk ikan cakalang yang nggak layak makan—alih-alih “bergizi gratis”, malah bikin orang tua ketar-ketir.
Hari yang sama, Garut nggak mau kalah heboh: 194 murid kena imbas setelah makan menu nasi, ayam woku, tempe orek, lalapan, plus stroberi. Mayoritas sih gejalanya ringan, tapi 19 anak harus dirawat di Puskesmas Kadungora. Jadi bukan gosip warung kopi lagi, tapi berita nasional yang bikin warganet geleng-geleng.
Awal September, giliran Ogan Komering Ilir yang kebagian sial: 80 pelajar mendadak sakit setelah santap menu MBG. Dan flashback ke akhir Agustus, Bandar Lampung juga sempat jadi trending karena ratusan anak di dua sekolah keracunan, bahkan tiga di antaranya harus dirawat intensif di RS Urip Sumoharjo.
Memang angka pastinya kadang beda versi antara media satu dan lainnya, dan hasil lab resmi juga belum keluar semua. Tapi pola besarnya udah kelihatan: bukan kejadian tunggal, melainkan nyebar dari Sulawesi, Jawa, sampai Sumatra. Memang belum ada korban meninggal, tapi ratusan anak sakit barengan jelas bikin orang tua trauma berat. Program yang awalnya dijual manis sebagai “makan sehat gratis” malah jadi tanda tanya besar soal pengawasan dan tanggung jawab.

Intinya, kasus keracunan massal yang terus muncul gara-gara MBG itu bukan kebetulan: ada tiga masalah utama yang saling campur aduk—skala produksi yang kelewat besar, praktik keamanan pangan yang bolong di lapangan, dan tatakelola pengadaan yang lemah. Kalo digabung, jadilah bencana kecil yang bisa nular ke ratusan anak.
Laporan kesehatan dan liputan media sering nunjukkin penyebab langsungnya: bahan mentah yang sudah terkontaminasi, makanan dimasak keburu pagi lalu sampai ke sekolah telat dan panas, atau dapur yang kurang higienis karena gak biasa produksi massal. Kondisi kaya gitu bikin bakteri—kayak Salmonella atau E. coli—nikmat berkembang biak dan meledak jadi klaster keracunan.
Belum lagi soal urusan politik dan duit: MBG diluncurin cepet tanpa aturan pelaksana yang kuat, trus pelaksanaannya diserahkan pada mitra lokal—nah kalau dapurnya dikontrol oleh oknum politik atau anggota DPRD, godaan buat ngasih kontrak ke kroni atau ngurangin standar biar cuan gede jadi gede banget. Makanya NGO sama jurnalis udah bersuara soal ini.
Ini bukan gosip warung kopi doang—banyak portal lokal dan kelompok masyarakat udah teriak bahwa ada dapur-dapur MBG yang diduga dikuasai oknum DPRD atau kroninya, dan isu ini udah bikin DPRD beberapa daerah ngulik sendiri. Beberapa media bahkan nyebutin daerah-daerah yang kena sorot, dan minimal satu DPRD udah minta Badan Kehormatan untuk ngaji dulu kasus keterlibatan anggotanya. 
Di Sulawesi, organisasi mahasiswa dan LSM juga angkat bicara, bilang ada permainan tender dan potensi kerugian besar—mereka minta polisi dan audit buka semua kontrak serta daftar pemilik dapur. Jadi yang awalnya cuma desas-desus, sekarang udah jadi tuntutan publik yang serius.l
Pihak BGN kebetulan juga kena sorot dan diminta jelasin apakah aturan MBG ngijinin wakil rakyat pegang dapur; mereka udah dimintai klarifikasi berkali-kali sementara laporan lokal terus muncul. Pola ini nunjukin masalah tatakelola yang lagi berkembang dan butuh audit independen biar jelas ujung-ujungnya. 
Ada bukti awal yang cukup kuat di sumber publik bahwa beberapa dapur MBG berhubungan dengan anggota DPRD atau kroni, beberapa DPRD daerah udah ngecek klaim itu, dan LSM udah minta audit. Tapi sampai sekarang belum ada laporan audit nasional yang mengonfirmasi bahwa ini praktik sistemik di seluruh negeri — jadi yang ada sekarang adalah bukti kuat untuk penyelidikan lanjut, bukan vonis final. 

Sistem dapur sentral juga bahaya: satu batch yang gagal bisa bikin ratusan anak sakit sekaligus. Para ahli nyaranin supaya produksinya dikecilin, atau setidaknya dapur-dapur besar itu disertifikasi, diaudit terus-menerus, dan diajarin SOP food-safety yang ketat. 
Kalau mau beres, gak cukup cuma perbaiki cara masak; harus ada transparansi pengadaan (siapa pemilik dapur SPPG?), tes mikrobiologi berkala, aturan cold-chain yang tegas, dan larangan jelas bagi wakil rakyat untuk punya atau kelola penyedia layanan. Gabungan langkah teknis dan reformasi tata kelola itulah yang paling mungkin ngehentikan drama keracunan berulang ini. 

Seyogyanya pemerintah, dalam hal ini BGN, jangan cuma sibuk klarifikasi atau lempar pernyataan aman doang, sementara orangtua panik karena anak-anaknya keracunan. Pertama-tama, hendaknya ada investigasi independen yang beneran serius, bukan ala-ala formalitas, biar ketahuan siapa yang main-main sama makanan anak sekolah. Trus, sistem pengadaan dan distribusi MBG mesti transparan, jangan sampai ada kontraktor “titipan” yang seenaknya pasok makanan asal-asalan. Audit keamanan makanan juga wajib, dan harus dadakan plus hasilnya diumumin ke publik, biar orang tua bisa yakin lagi bukan cuma karena janji-janji manis. Yang nggak kalah penting, libatin langsung orang tua murid dan komite sekolah buat ngawasin jalannya program, biar ada kontrol sosial yang nyata. Kalau langkah ini nggak dilakukan, ya siap-siap aja program MBG cuma jadi proyek gagal yang ninggalin trauma buat anak-anak dan bikin masyarakat makin nggak percaya sama pemerintah. 

Tujuan resmi program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebenernya nggak cuma bikin anak-anak sekolah kenyang dan sehat, tapi juga jadi booster ekonomi lokal. Bayangin aja: petani sayur punya pembeli tetap, nelayan bisa jual hasil lautnya, dapur kecil dan katering rumahan kebagian order rutin, bahkan tukang ojek atau supir angkut bisa dapet tambahan kerjaan. Jadi idealnya, MBG itu double kill—bikin anak lebih sehat sekaligus ngasih napas segar buat ekonomi kerakyatan.
Masalah muncul pas dapur-dapur MBG dipegang oknum DPRD atau kroninya. Alih-alih manfaatnya nyebar ke banyak orang, kontrak malah nyangkut di lingkaran kecil. Ekonomi lokal jadi seret, multiplier effect yang diharapkan berkurang, dan ujung-ujungnya publik jadi curiga sama programnya. Bahasa kasarnya: duit yang harusnya muter buat rakyat bocor ke kantong rent-seeker.
Efek samping lain yang lebih ngeri: kalau dapur “titipan” itu ngejar untung doang, kualitas makanan bisa dikorbanin. Standar kebersihan turun, bahan murah meriah masuk, dan akhirnya anak-anak malah keracunan massal. Kasus di Brebes udah jadi warning keras: sekali aja kepercayaan publik ambruk, orangtua bisa ramai-ramai nolak MBG.
Lantaran itulah, evaluasi program ini wajib hukumnya. Hendaknya ada audit independen soal tender, kepemilikan dapur, dan standar keamanan makanan. Orangtua, komite sekolah, sampai LSM mesti dilibatkan biar ada kontrol sosial. Kalau transparansi jalan, konflik kepentingan diberesin, dan kualitas makanan dijaga, MBG bisa balik ke jalur aslinya: bikin anak sehat dan ekonomi rakyat nendang bareng-bareng.

Sekarang, balik ke topik kita tentang Koperasi.

Zaman Orde Baru dulu, koperasi desa alias KUD dibentuk dengan tujuan mulia: bantu petani lewat pupuk murah, kredit enteng, dan semangat gotong‑royong. Tapi lama‑lama, koperasi itu malah jadi alat politik—dipaksain dari atas, bukan lahir dari kebutuhan rakyat. Kepala desa atau tentara kerap ditunjuk jadi bos, sementara petani yang sebenarnya, malah diilangin suaranya. Gak ada lagi demokrasi, hanya instruksi.
Di salah satu daerah di Jawa Tengah, kantor KUD-nya terlihat keren banget: gedung megah, plang besar, kendaraan operasional. Tapi isinya? Kosong melompong. Orang hanya nongol saat ada pembagian pupuk atau panen massal. Sebelum dan setelah itu? Hampa. Setelah jatuhnya rezim Soeharto tahun 1998, sekitar 80 % dari 7.500 KUD ambruk—habis subsidi, diseret korupsi, dan ditinggal basi.
Cerita ini jadi pengingat keras: jika koperasi dipaksa lahir dari atas tanpa fondasi rakyat yang kuat, maka ia hanya selubung kosong. Bakal kukur, bukan karena koperasi salah konsep, tapi karena diimplementasikan asal‑asalan, dijadikan proyek, bukan sahabat sejati bagi rakyat.

Koperasi (umumnya, baik American maupun British English menyebutnya "Cooperative", tapi ada juga beberapa literatur menyebutnya "Co-operation". Kadang dalam British English ditulis Co-operative buat nunjukin kondisi pemilikan tertentu, kadang pula "co-op" untuk intonasi kasual atau merujuk pada bisnis retail di Inggris) itu bukan sekadar badan usaha biasa, tapi lebih mirip gerakan sosial ekonomi yang vibes-nya solidaritas, kesetaraan, dan saling bantu. Di dalam koperasi, seluruh anggota—entah itu pekerja, konsumen, produsen, atau warga—punya porsi kepemilikan dan hak suara yang sama. Jadi, gak ada tuh yang namanya bos besar yang ngatur-ngatur sesuka hati. Segala keputusan diambil bareng-bareng, pakai sistem demokratis, kayak voting anak OSIS tapi buat ekonomi beneran.
Yang bikin koperasi beda dari perusahaan biasa adalah tujuannya. Kalau korporasi biasanya kejar cuan demi bikin para pemegang saham senang, koperasi malah fokus pada kebutuhan dan mimpi kolektif para anggotanya. Duit lebih atau keuntungan yang didapat, bukannya masuk ke kantong segelintir orang, tapi diputar lagi buat ningkatin pelayanan, kesejahteraan anggota, atau bahkan bantu program sosial di komunitas. Ini bisnis yang gak cuma mikirin untung hari ini, tapi juga masa depan semua yang terlibat.
Lebih dari itu, koperasi biasanya nyambung banget sama lingkungan sekitar. Mereka dukung ekonomi lokal, nggak suka main curang, dan bawa semangat inklusif. Di era sekarang, dimana konglomerat makin gede dan kesenjangan makin lebar, koperasi itu ibarat napas segar—pilihan ekonomi yang ngedahuluin manusia, bukan cuma angka.

Secara ilmiah, koperasi itu adalah kumpulan orang yang gabung suka sama suka buat nyari solusi bareng atas kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya mereka—dan mereka ngatur semuanya sendiri, secara demokratis. Gampangnya: ini bisnis, tapi yang punya tuh semua anggota, bukan bos besar. Beda sama korporasi yang fokusnya ngejar cuan buat pemegang saham, koperasi itu kayak “warung rakyat” yang untungnya balik lagi ke yang punya—ya para anggotanya itu sendiri. Dan dalam koperasi, suara loe dihitung bukan dari seberapa banyak duit yang loe tanem, tapi karena loe anggota. Satu orang, satu suara. Udah kayak pemilu mini tapi versi adilnya.

Nah, secara filosofis, koperasi itu bukan cuma soal dagang bareng. Inilah gaya hidup yang bilang, “Kita bisa kok hidup bareng tanpa saling injek!” Koperasi itu ngegas narasi alternatif: bahwa manusia bisa kerjasama, bisa punya barang bareng, bisa ngatur hidup bareng, tanpa harus jadi budak sistem yang nyuruh kita bersaing terus-terusan. Anggota koperasi bukan cuma “konsumen” atau “karyawan”—merekalah pemilik, pemikir, dan pengambil keputusan.

Kalau kapitalisme itu kayak reality show yang nyuruh orang sikut-sikutan demi hadiah, maka koperasi itu kayak komunitas fandom yang saling dukung, bikin karya bareng, dan kalau ada untung, dibagi rame-rame. It’s not just an economic model, bro—it’s an economic revolution in slomo.

Dari sudut pandang filosofis, tujuan awal koperasi tuh bukan cuma soal belanja bareng atau buka toko rame-rame. Koperasi lahir buat ngelawan sistem yang ngebikin hidup rakyat jelata kayak jadi figuran di film distopia. Di Inggris abad ke-19, buruh-buruh capek jadi korban sistem kapitalis yang brutal, tapi juga gak pengen ikutan revolusi berdarah-darah. Jadi mereka milih jalur ninja: bangun ekonomi rakyat dari bawah.
Tujuannya? Supaya orang kecil bisa ngatur hidupnya sendiri—bukan terus-terusan jadi korban pasar atau mainan konglomerat. Di koperasi, orang bantu orang bukan karena kasihan, tapi karena mereka sama-sama punya kepentingan dan hak suara. Ini soal saling topang, bukan saling sikut.
Koperasi itu semacam antihero ekonomi: gak flashy, enggak bawa senjata, tapi pelan-pelan ngebangun dunia yang lebih adil. Mau nyari makan? Bikin koperasi pangan. Mau punya rumah? Bikin koperasi perumahan. Intinya: sistem ekonomi harus manusiawi, bukan buatan elit buat nguntungin elit.
Kalau kapitalisme itu ibarat game "Survivor", yang kuat yang menang, maka koperasi itu kayak band indie yang semua personilnya ikut nulis lagu, manggung bareng, dan bagi royalti adil-adilan. Mereka bilang, “Kalau kita gabungin tenaga dan niat baik, kita bisa bikin dunia yang gak harus curang buat untung.”

Di abad ke-19, hidup itu kayak drama distopia: pabrik dimana-mana, bos makin kaya, buruh makin sengsara. Secara politik, yang pegang kuasa ya elite-elite doang. Rakyat jelata kayak buruh pabrik? Gak dianggep. Suara mereka buat ngatur hidup sendiri? Nihil. Reformasi politik jalan kayak keong.
Ekonomi? Hanya yang punya mesin dan modal yang cuan gede. Buruh—termasuk emak-emak dan anak kecil—dipaksa kerja dari pagi sampe malem dengan gaji secuil, kayak scene film dokumenter yang bikin nangis. Kota-kota jadi penuh sesak, kampung ditinggal, dan yang ada cuma utang, kelaparan, dan penderitaan massal.
Secara sosial, gap antara si kaya dan si miskin makin kayak jurang neraka. Orang desa pindah ke kota, tapi yang mereka temuin bukan harapan, melainkan kos-kosan sumpek dan hilangnya rasa gotong-royong. Lalu muncul deh komunitas kayak paguyuban atau serikat kerja, tapi masih cupu dan gak diakuin ama hukum.
Nah, dari sisi budaya, mulai muncul pemikiran keren—mungkin semacam “woke” versi abad ke-19—yang bilang, “Masa sih dunia cuma milik kaum pemodal?” Orang-orang kayak Robert Owen mikir: gimana kalau kita balik arah? Gak usah rebutan untung, mendingan kerja sama, punya barang bareng, dan semua orang dapet akses pendidikan. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi bentuk perlawanan budaya dan politik terhadap sistem yang nindas rakyat kecil. 
Ide koperasi itu pertama kali bener-bener hidup di Inggris abad ke-19, khususnya di kota-kota industri kayak Rochdale dan Manchester—yang waktu itu udah kayak kota dalam film cyberpunk: padat, gelap, penuh polusi, dan buruhnya hidup super sengsara. Di tengah hidup yang keras itu, muncul sekelompok orang yang mikir, “Gimana kalau kita gak terus-terusan ditindas? Gimana kalau kita gotong royong buat beli barang-barang pokok barengan dan ngatur toko kita sendiri?”
Nah, dari situ muncul istilah “co-operative”—asalnya dari bahasa Latin cooperari, artinya kerja bareng. Tapi ini bukan sekadar kerja bareng buat capek bareng. Ini soal milik bareng, untung bareng, rugi ditanggung bareng. Intinya: kita punya usaha, kita yang ngatur, kita yang ngerasain manfaatnya.
Contoh legendarisnya itu ya para “Pionir Rochdale” di tahun 1844. Mereka buka toko kecil yang jualan gula, gandum, mentega—tapi bukan buat cari cuan gila-gilaan. Mereka nyebut usaha mereka “koperasi” karena semuanya dimiliki bersama, keputusan diambil bareng, dan semua surplus dibagi adil. Jadi istilah “koperasi” itu bukan cuma label keren, tapi semangat perlawanan: ngelawan sistem yang serakah, dan milih sistem yang manusiawi.
Dan lama-lama, nama itu nempel jadi gerakan dunia. Koperasi jadi cara hidup: bukan rebutan untung, tapi rebutan manfaat buat semua. Kalau zaman sekarang, ini semacam upgrade dari “YOLO”, you only live once, jadi “YOTO”—You Only Thrive with Others.

Definisi koperasi zaman dulu sama zaman now itu beda—meskipun semangatnya masih satu frekuensi. Dulu, di era 1800-an, koperasi itu kayak gerakan bawah tanah buat lawan sistem yang nindas rakyat kecil. Bentuknya sederhana: toko kecil, lumbung desa, atau komunitas buruh yang ogah terus-terusan ditindas juragan dan tengkulak. Kagak ada istilah “efisiensi” atau “profit growth”—yang penting adil, gotong royong, dan semua punya suara. Waktu itu, koperasi lebih mirip aksi sosial ketimbang model bisnis. Mereka pengen ngubah dunia, bukan sekadar survive di dalamnya.
Sekarang? Koperasi udah naik kelas. Berdasarkan definisi resmi dari International Co-operative Alliance, koperasi zaman now itu udah kayak entitas bisnis profesional—punya legalitas, punya sistem manajemen, bisa ekspansi, bahkan bisa ekspor. Tapi tetep, orientasinya bukan buat nyenengin pemegang saham, tapi buat memenuhi kebutuhan anggota, secara ekonomi, sosial, dan budaya. Koperasi modern bisa sebesar perusahaan konvensional, tapi tetep ada semangat “satu anggota, satu suara.”
Kalau yang lama itu kayak band punk indie di garasi rumah, yang modern itu kayak band indie yang udah manggung di festival internasional—tetap idealis, tapi sound system-nya lebih niat. Dulu semangatnya perlawanan, sekarang semangatnya keberlanjutan.
Intinya? Koperasi zaman dulu itu idealis banget, koperasi zaman sekarang itu realistis tapi teuteup setia. Mereka beda gaya, tapi masih satu tujuan: ekonomi yang manusiawi dan nggak ninggalin siapa pun di belakang.

Secara umum, koperasi itu konsepnya simpel tapi keren: orang-orang ngumpul bareng buat ngatasin kebutuhan bersama lewat organisasi yang mereka miliki dan atur bareng-bareng. Tujuannya bukan buat nyari cuan buat investor luar, tapi buat kepentingan anggota sendiri. Bisa soal sembako, tempat tinggal, modal usaha, atau produksi barang—intinya koperasi itu soal keadilan, kebersamaan, dan saling bantu. Ini sistem yang bilang: “Ekonomi itu harusnya bisa dimiliki rame-rame, bukan buat segelintir orang aja.”
Nah, versi lama dari koperasi itu vibes-nya kayak gerakan akar rumput. Muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kerasnya kapitalisme zaman revolusi industri. Bentuknya kecil-kecil, kadang informal, dan didorong ama nilai-nilai solidaritas dan keadilan sosial. Koperasi jadul ini kayak komunitas orang-orang yang pengen hidup adil tanpa harus tunduk ama sistem yang gak adil. Mereka bukan pengusaha elite—mereka petani, buruh, atau tetangga yang bilang, “Daripada kita ditindas, mending kita bikin sistem sendiri.”
Sedangkan versi modernnya, koperasi udah evolve. Sekarang, koperasi bisa gede, punya kantor kece, pakai aplikasi, bahkan punya manajer profesional. Tapi walau tampilannya lebih bisnis, jiwanya masih sama: satu anggota satu suara, untung buat semua, dan keputusan diambil bareng. Koperasi modern itu kayak superhero yang dulu pake baju seadanya, sekarang udah punya kostum dan teknologi canggih—tapi tetep bela rakyat.
So? Koperasi dulu itu semangat rakyat kecil yang idealis. Koperasi sekarang itu semangat yang sama, tapi udah naik level: siap bersaing, tapi tetep manusiawi. Keduanya tetep satu tujuan—ekonomi yang adil, merata, dan penuh rasa gotong royong.

Koperasi itu masih super relevan di zaman sekarang karena ngasih alternatif yang lebih manusiawi dari kapitalisme yang serba ngejar cuan. Di era yang makin penuh ketimpangan, kerja serabutan, dan komunitas yang tercerai-berai, koperasi hadir kayak oase. Mereka bawa kembali ide bahwa bisnis bisa kok jalan tanpa harus nginjek-injek nilai. Di koperasi, orang biasa bisa punya andil, punya suara, dan ikut nikmatin hasil kerja keras bareng-bareng. Nggak kayak perusahaan besar yang cuma mikirin pemegang saham yang entah tinggal di mana, koperasi itu hadir buat orang yang terlibat langsung.
Apalagi sekarang makin banyak yang peduli soal krisis iklim, keadilan sosial, dan bisnis yang etis, koperasi punya posisi strategis buat jadi pionir. Karena mereka lebih mikirin manfaat kolektif daripada untung pribadi, otomatis mereka juga lebih peduli ama lingkungan dan kesejahteraan sosial. Mulai dari proyek energi terbarukan milik warga sampai koperasi pangan yang dukung pertanian lokal dan organik—koperasi buktiin bahwa bisnis bisa jalan tanpa ngerusak bumi atau nurunin martabat orang.
Di saat kepercayaan publik ke institusi besar makin luntur dan orang-orang mulai nyari makna hidup yang kagak melulu soal duit, koperasi hadir bukan cuma sebagai model bisnis, tapi sebagai filosofi hidup: tentang keadilan, demokrasi, dan ketahanan. Koperasi ngingetin kita bahwa ekonomi itu seharusnya ngelayanin manusia—bukan sebaliknya.

[Bagian 3]