Selasa, 08 Juli 2025

Perang: Siapa yang Cuan? (6)

Salah satu anekdot paling menyentuh dari Perang Vietnam datang dari seorang prajurit muda Amerika bernama Ron Kovic. Doi daftar jadi tentara karena ngerasa terpanggil bela negara—doski mengira lagi berjuang buat kebebasan. Tapi takdir berkata lain. Tahun 1968, Kovic kena tembak dan lumpuh dari dada ke bawah. Pas dia pulang ke AS, bukannya disambut kayak pahlawan, malah banyak yang cuek atau malah nyinyir. Masyarakat udah mulai muak ama perang. Dari situ, Kovic berubah haluan: dari tentara jadi aktivis anti-perang. Kisah hidupnya dia tulis di buku Born on the Fourth of July, yang kemudian difilmkan dan dibintangi Tom Cruise—dan menang Oscar! Cerita Kovic itu kayak simbol generasi yang dikhianati oleh mimpi-mimpi heroik, tapi akhirnya sadar bahwa perang bukan tentang kejayaan—tapi tentang luka yang kagak kelihatan.

Di era Perang Dingin, konflik di Korea, Vietnam, dan Afghanistan tuh sebenernya bukan sekedar perang lokal—itu kayak battle royale antar dua ideologi dunia: kapitalisme lawan komunisme. Walau kelihatannya kayak konflik domestik, sebenernya itu "perang panas" berkedok dingin, tempat AS dan Uni Soviet main catur pakai nyawa negara lain. Gak cuma ngubah peta dan ekonomi negara-negara itu, tapi juga bikin warga dunia resah, takut kiamat nuklir, dan mulai mikir keras tentang kolonialisme, kebebasan, dan makna kemerdekaan. Nah, dalam Embers of War: The Fall of an Empire and the Making of America's Vietnam (2012, Random House), Fredrik Logevall ngebedah gimana warisan penjajahan Prancis dan ambisi dua negara adidaya ngegiling Vietnam jadi kuali panas politik global. Ini bukan sekadar perang senjata, tapi pertarungan simbolik tentang siapa yang berhak nentuin arah dunia—rakyat lokal atau kekuatan besar yang sok pahlawan.

Runtuhnya kekuasaan kolonial Prancis di Indochina tuh kayak narik sumbat dari botol soda—langsung muncrat chaos politik dan perebutan pengaruh. Buat rakyat Vietnam, apalagi Viet Minh di bawah Ho Chi Minh, momen inilah peluang emas buat bener-bener merdeka, bukan cuma ganti penjajah. Tapi sayangnya, mereka lagi apes: pas banget momennya barengan ama puncak-puncaknya Perang Dingin, dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet lagi haus banget pengaruh. Harusnya ini proses dekolonisasi biasa, malah jadi rebutan dua kekuatan dunia. AS takut banget negara-negara Asia Tenggara bakal jatuh satu per satu ke tangan komunisme—makanya mereka buru-buru ikut campur, bukan buat bantu merdeka, tapi buat nahan “efek domino”. Di sisi lain, Uni Soviet dan China ngedukung Vietnam Utara kayak ngasih semangat ke temen satu geng revolusi. Jadilah Vietnam itu kayak adu gulat antara cita-cita merdeka rakyat lokal lawan ambisi geopolitik dua negara superpower. Ironisnya, perjuangan rakyat buat kebebasan malah jadi korban perang ego dunia.
Perang Vietnam yang ngelibatin Amerika itu terjadi pas banget di masa Perang Dingin. Ini bukan sekadar perang antardua negara, tapi lebih kayak “episode panas” dari serial panjang pertarungan ideologi antara blok Barat yang dipimpin AS dan kubu komunis yang dikomandoi Uni Soviet sama China. Pas perang makin panas di tahun 1960-an, Amerika sebenernya gak fokus banget ama Vietnam-nya—mereka lebih takut efek domino, alias ketularan komunisme yang bisa merembet ke negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Jadi, keterlibatan Amerika di sana lebih ke urusan jaga gengsi global dan nahan pengaruh lawan. Hasilnya? Perang Vietnam jadi salah satu drama paling brutal dan penuh kontroversi di tengah tensi Perang Dingin—baik secara militer maupun moral. Dan ya, bekas lukanya masih terasa, di hati rakyat Vietnam dan juga dalam memori kolektif rakyat Amerika.
Perang Vietnam meledak karena campuran rumit antara warisan kolonial, gerakan nasionalis, dan adu ego ideologi di era Perang Dingin. Awalnya sih, rakyat Vietnam pengin bebas dari penjajahan Prancis. Tapi setelah Prancis keok di Dien Bien Phu tahun 1954, Vietnam dibelah dua: Utara yang komunis di bawah Ho Chi Minh, dan Selatan yang disokong Amerika dan negara Barat lainnya. Vietnam Utara pengin nyatuin negara di bawah sistem komunis, sementara Vietnam Selatan dan AS bilang: “Eits, jangan sampai komunisme nyebar kemana-mana!” Maka mulailah Amerika ikut campur, makin lama makin dalam, apalagi pas paranoia soal komunisme lagi tinggi-tingginya. Perangnya brutal, panjang, dan penuh darah selama hampir 20 tahun. Tapi akhirnya, Amerika angkat kaki tahun 1973, dan dua tahun kemudian, pasukan Vietnam Utara ngegas dan berhasil nguasai Saigon tahun 1975. Game over! Vietnam pun bersatu di bawah komunis. Jadi, yang menang? Jelas Vietnam Utara. Dan perang ini berubah dari drama kemerdekaan jadi simbol betapa pahitnya ambisi ideologis zaman Perang Dingin.
Perang Vietnam tuh jadi salah satu blunder terbesar Amerika—mahal banget, baik nyawa maupun duit. Lebih dari 58.000 tentara Amerika tewas, dan lebih dari 150.000 luka-luka, belum lagi ribuan veteran yang pulang bawa luka batin alias trauma perang yang parah banget (dulu belum disebut PTSD, tapi efeknya ngeri). Dari sisi duit? Gila-gilaan! AS ngabisin lebih dari 140 miliar dolar waktu itu—kalau dihitung pakai kurs zaman sekarang, tembus lebih dari 1 triliun dolar! Tapi semua itu kayak buang garam di laut—Vietnam tetep bersatu di bawah komunis, dan Amerika pulang gigit jari. Yang lebih pait lagi, perang ini bikin banyak rakyat AS kecewa berat ama pemerintahnya, bikin demo besar-besaran, bahkan ngebakar semangat generasi muda buat bilang, “Enough is enough!”

“A Bright Shining Lie” karya Neil Sheehan bukan cuma buku sejarah biasa—ini kisah nyata tentang John Paul Vann, seorang penasihat militer AS yang awalnya semangat banget, tapi lama-lama nyadar bahwa strategi Amerika di Vietnam tuh kacau dan salah arah. Gaya ceritanya dramatis, tapi tetap berbasis fakta. Karya ini ngegambarin betapa rumit dan kelamnya konflik itu—gak cuma soal perang, tapi juga soal idealisme yang dijual mahal, padahal nyatanya zonk.
Sheehan bener-bener ngebongkar borok strategi Amerika di Vietnam. Menurut doi, AS datang ke Vietnam dengan modal sok tahu—gak paham sejarah lokal, nasionalisme Vietnam, atau semangat anti-kolonial mereka. Amerika ngira mereka lagi “nahan” komunisme, padahal rakyat Vietnam itu sebenarnya lagi pengin lepas dari bayang-bayang penjajahan, bukan nyari ideologi. AS main hantam aja pakai logika perang konvensional: hitung jumlah musuh tewas, kirim bom, kirim teknologi. Padahal ini perang gerilya, perang politik, bukan Call of Duty. Akibatnya? Blunder besar dan perang yang gak kelar-kelar. Lewat kisah John Paul Vann, Sheehan nunjukkin bahwa sebenarnya ada orang-orang dalam sistem yang sadar ini semua keliru, tapi mereka malah dibungkam. Intinya, kekalahan Amerika bukan karena kurang kuat—tapi karena terlalu angkuh, bebal, dan gak mau ngelihat kenyataan di lapangan.
Sheehan nyajiin kisah yang pedas dan nyentil banget soal Perang Vietnam lewat tokoh nyata: John Paul Vann—seorang perwira militer AS yang belakangan jadi penasihat sipil. Di awal, Vann percaya penuh sama misi Amerika, tapi makin ke sini, doi sadar semuanya amburadul. Pemerintah Vietnam Selatan korup, dan tentara AS sibuk ngitung mayat musuh tanpa ngerti konteks budaya atau politik di lapangan. Amerika terlalu percaya ama data dan laporan indah, padahal kondisi di medan perang makin parah. Lewat perjalanan hidup Vann, Sheehan ngegambarin gimana para pejabat AS kayak hidup dalam delusi—nutup mata dari kenyataan dan terus bilang “semuanya baik-baik aja kok.” Judul karyanya aja udah sarkas banget: A Bright Shining Lie—kebohongan yang dibungkus rapi dengan kata-kata indah soal kebebasan dan demokrasi, padahal isinya cuman arogansi, penyangkalan, dan ambisi penjajahan bergaya baru.

Konflik Korea yang meledak tahun 1950 itu, salah satu “episode pilot” dari drama panjang Perang Dingin. Usai Jepang kalah di Perang Dunia II, Korea yang dulu dijajah Jepang langsung dibelah dua secara mendadak: Korea Utara masuk geng Soviet, Korea Selatan masuk geng Amerika. Awalnya pembagian ini cuma sementara, tapi karena gengsi dua ideologi—komunisme vs kapitalisme—situasinya makin panas. Juni 1950, Korea Utara nyelonong nyerbu Selatan, pengin satukan Korea di bawah komunisme, dibekingi Uni Soviet dan nantinya dibantu China juga. AS nggak tinggal diam, langsung kirim pasukan atas nama PBB buat bantu Korea Selatan. Perangnya brutal, cepet banget berubah arah, dan bikin jutaan nyawa melayang. Tahun 1953 akhirnya mereka teken gencatan senjata, tapi... nggak pernah ada perdamaian resmi! Sampai sekarang Korea masih kepisah dua, dipisahin Zona Demiliterisasi yang super tegang. Jadi, perang ini nunjukkin betapa cepat konflik lokal bisa disulap jadi adu kuat negara adidaya, dan Korea dijadiin papan catur berdarah dari ambisi global yang saling jegal.
Korea gampang banget dibelah dua setelah Perang Dunia II karena waktu Jepang nyerah tahun 1945, Korea tuh belum punya “negara” dalam arti sebenarnya. Selama puluhan tahun dijajah Jepang, seluruh sistem politik lokal dihancurin, pemimpin asli ditindas, dan rakyatnya gak dikasih ruang buat bangun institusi sendiri. Pas Jepang cabut, sekutu (Amerika dan Soviet) kayak panik dan asal bagi wilayah: “Eh, kita ambil dari sini ke atas, kalian dari situ ke bawah,” dan muncullah garis 38 derajat sebagai batas. Awalnya sih katanya sementara, tapi karena Perang Dingin makin panas, masing-masing mulai pasang kuda-kuda ideologi—Utara dikasih komunis, Selatan dikasih kapitalis. Jadi bukan karena Korea pengin terbelah, tapi karena mereka dijadiin pion dalam permainan catur dua negara superpower. Kalau mau paham kenapa Korea bisa dibelah segampang itu, ya harus lihat gimana dekolonisasi bisa dibajak oleh ambisi geopolitik. Negara yang baru lepas dari penjajahan tuh gampang banget dijadiin “makanan empuk”—diiris kiri-kanan, padahal rakyatnya sendiri belum sempet bilang “kami pengin pilih jalan kami sendiri.”

“The Coldest Winter: America and the Korean War” karya David Halberstam (2007, Hyperion), gak main-main—tebel, dalem, dan nendang banget. Halberstam nyajiin kisah Perang Korea dengan gaya yang manusiawi tapi tetap tajam. Loe bakal diajak ngeliat gimana kerasnya medan tempur, betapa gagalnya strategi jenderal-jenderal Amerika, dan gimana Korea dijadiin ajang uji coba ideologi kapitalisme lawan komunisme. Tapi yang bikin karya ini beda: doi juga nunjukkin sisi manusia biasa—tentara muda yang kebingungan, warga sipil Korea yang jadi korban perang, dan efek domino yang terus bergaung sampai sekarang. Ini bukan cuma buku sejarah, tapi kayak nonton film perang dengan naskah yang bener-bener niat. 
Halberstam ngebahas dengan detail kenapa Korea bisa jadi titik panas pertama di Perang Dingin. Dalam karyanya dijelasin gimana Korea yang baru aja bebas dari penjajahan Jepang malah jadi “rebutan” dua negara superpower—Amerika dan Uni Soviet—yang lagi pengin ngegambarin dunia sesuai peta ideologi masing-masing. Karena Korea waktu itu belum punya sistem negara yang kuat, mereka gampang banget dibelah dua tanpa nanya dulu ke rakyatnya. Halberstam nunjukin gimana pembagian yang maksa itu ditambah adu gengsi global bikin Korea jadi panggung utama pertarungan ideologis—komunisme lawan kapitalisme. Pemerintahan Truman di AS ngelihat perang ini sebagai ujian kredibilitas buat nahan komunisme, sedangkan China dan Soviet ngerasa ini benteng terakhir buat nahan gempuran kapitalisme. Dengan gaya nulis yang mengalir dan analisis tajam, Halberstam bikin kita sadar: Korea tuh kayak pemain figuran yang tiba-tiba diseret jadi bintang utama dalam drama dunia yang doski sendiri nggak pernah daftar casting-nya.

Konflik Afghanistan selama Perang Dingin dimulai Desember 1979, waktu Uni Soviet ngegas masuk dengan invasi besar-besaran buat bantu pemerintah komunis yang lagi megap-megap di Kabul. Perangnya resmi kelar Februari 1989, saat pasukan Soviet cabut pulang kampung dengan lelah dan luka. Latar belakangnya? Campuran panas antara ambisi Perang Dingin dan kekacauan politik dalam negeri Afghanistan sendiri. Tahun 1978, ada kudeta ala komunis yang ngegulingin pemerintah sah, terus ngedeklarasiin negara baru bernama Republik Demokratik Afghanistan. Mereka langsung nerapin reformasi ekstrem—kayak bagi-bagi lahan dan bikin negara jadi lebih sekuler. Tapi langkah ini malah bikin marah rakyat di desa-desa, kelompok agama, dan suku-suku lokal. Pemerintah makin brutal, dan Uni Soviet ngerasa perlu turun tangan buat ngejagain 'teman sekubu'. Di sisi lain, Amerika, bareng Pakistan, Arab Saudi, dan kawan-kawannya, diem-diem ngasih senjata, duit, dan pelatihan buat Mujahidin—pasukan perlawanan lokal. Jadilah Afghanistan medan perang proksi berdarah antara dua adidaya. Uni Soviet babak belur, dan ini ikut bikin mereka kolaps total. Sementara itu, Afghanistan hancur lebur, dan kekosongan kekuasaan pasca-perang jadi jalan masuk buat lahirnya Taliban.
Amerika, lewat CIA, mulai ikut nimbrung dalam kekacauan Afghanistan sejak Uni Soviet ngelakuin invasi tahun 1979. Lewat operasi rahasia bernama Operation Cyclone—yang jadi salah satu operasi CIA paling mahal dan lama—AS ngucurin miliaran dolar buat bantu Mujahidin: dikasih senjata, pelatihan, dan dukungan logistik. Tujuannya? Biar Soviet kejebak dalam “Vietnam versi mereka sendiri”—perang yang lama, mahal, dan bikin stres. Tapi mainnya kagak sendirian, CIA kerja bareng intelijen Pakistan (ISI), yang sayangnya sering ngalihin bantuan ke kelompok Islam garis keras. Salah satu yang ikut kecipratan? Osama bin Laden—pemuda tajir dari Arab Saudi yang malah bangun jaringan sendiri, yang nantinya dikenal sebagai al-Qaeda. Pas Soviet cabut dari Afghanistan tahun 1989, Amerika langsung cabut juga, kayak abis pesta tinggalin ruangan berantakan. Afghanistan dibiarin ancur, penuh senjata, dan jadi ajang rebutan antar kelompok. Dari kekosongan itulah Taliban muncul di tahun 1990-an, dan kelompok ekstrem makin bebas tumbuh. Jadi, pas sehari sebelum 9/11, medan yang dulu dibentuk diam-diam oleh CIA udah berubah jadi ladang subur buat terorisme global—boomerang yang akhirnya nyasar balik ke AS sendiri.

“Ghost Wars: The Secret History of the CIA, Afghanistan, and Bin Laden, from the Soviet Invasion to September 10, 2001” karya Steve Coll (2004, Penguin Press), pemenang Pulitzer dan emang gak main-main—risetnya dalem, ceritanya bikin merinding. Coll ngebongkar gimana Amerika (khususnya lewat CIA) ikut nimbrung dalam kekacauan Afghanistan sejak era invasi Soviet sampai sehari sebelum tragedi 9/11. Isinya ngulik gimana rahasia pendanaan, operasi intelijen, dan politik bayangan bikin Afghanistan jadi ajang pertempuran ideologi dan ego negara adidaya. Loe bakal ngerti gimana Mujahidin dibentuk, dikasih senjata dan dukungan buat ngusir Soviet, tapi terus dibiarkan lepas kendali. Ghost Wars bukan sekadar buku sejarah—ini thriller politik nyata, yang nunjukin betapa bahayanya main catur di negara orang. Afghanistan dijadiin papan permainan, dan kita semua akhirnya kena imbasnya.
Steve Coll ngebedah dengan detail dan bikin merinding gimana Amerika—terutama lewat CIA—masuk terlalu dalam ke kekacauan Afghanistan sejak invasi Soviet tahun 1979 sampai sehari sebelum tragedi 9/11. Di masa Perang Dingin, CIA nggak ngelihat Afghanistan sebagai negara yang butuh kedamaian, tapi lebih kayak papan catur buat ngabisin energi Uni Soviet. Lewat Operasi Cyclone, mereka nyalurin duit dan senjata gila-gilaan ke Mujahidin, tapi tanggungjawab lapangannya malah diserahin ke intelijen Pakistan (ISI), yang justru lebih milih kelompok Islam garis keras buat dikasih bantuan. Akibatnya? Warlord dan ekstremis makin gede kepala, termasuk Osama bin Laden, yang jadi bisa leluasa bikin jaringan jihadnya.
Pas Soviet cabut tahun 1989, AS juga langsung angkat kaki dan cuek bebek—Afghanistan dibiarin remuk, perang saudara makin brutal, Taliban naik, dan al-Qaeda tumbuh subur. Sepanjang 1990-an, menurut Coll, para pejabat AS sebenernya udah bolak-balik dikasih sinyal bahaya soal bin Laden, tapi responnya? Lemot, saling lempar tanggungjawab, dan penuh drama birokrasi. Begitu CIA akhirnya anggap serius ancaman bin Laden, semuanya udah terlambat. Afghanistan udah keburu jadi markas besar jihad global—dunia yang sebagian dibentuk dari strategi AS sendiri, tapi tanpa arah, tanpa konsistensi, dan yang paling fatal: tanpa niat buat mikir jangka panjang.
Coll ngebongkar gimana duit gelap, operasi intelijen rahasia, dan politik bayangan ngebikin Afghanistan berubah dari negeri pegunungan terpencil jadi medan pertempuran ideologi paling panas di era Perang Dingin—bahkan sampai sesudahnya. AS lewat CIA ngucurin miliaran dolar buat ngasih senjata dan pelatihan ke Mujahidin biar bisa ngelawan Soviet. Tapi ini bukan soal bantu rakyat Afghanistan—ini soal bikin Uni Soviet malu dan kehabisan napas. Ironisnya, proyek ini diserahkan ke intelijen Pakistan (ISI), yang punya agenda Islamis sendiri. Alhasil, kelompok paling garis keras justru yang paling banyak dapet senjata dan dana.
Strategi CIA yang cuma mikirin hasil jangka pendek dan ego politik itu bikin efek domino: para warlord makin kuat, masyarakat Afghanistan makin terpecah, dan militansi tumbuh jadi budaya. Kata Coll, semua kesepakatan diam-diam dan politik pura-pura ini nyiptain lingkungan beracun—dimana ideologi dianggap lebih penting dari kemanusiaan. Afghanistan pun berubah dari negara jadi semacam kotak pasir tempat negara-negara adidaya main perang-perangan ideologis. Sampai akhirnya, mainannya meledak di muka semua orang.
Coll nunjukin bahwa Mujahidin itu sebenernya bukan pasukan tunggal, tapi kumpulan kelompok perlawanan lokal yang beragam—ada yang super religius, ada yang tribal banget—semuanya pengin ngusir Soviet dari negeri mereka. CIA ngucurin dana miliaran dolar, termasuk ngasih rudal Stinger yang bisa nembak jatuh helikopter. Tapi semua bantuan itu disalurin lewat intelijen Pakistan (ISI), yang bukannya bagi rata, malah lebih milih ngasih ke kelompok Islam garis keras yang cocok ama agenda mereka sendiri. Amerika? Fokus utamanya cuma satu: bikin Soviet babak belur. Mereka tutup mata soal siapa yang pegang senjata, asal banyak dan bisa ngelawan Moskow.
Hasilnya? Para komandan perang dan tokoh jihadis makin kuat dan merasa gak bisa disentuh. Pas Soviet cabut tahun 1989, para Mujahidin yang udah bersenjata lengkap dan punya mental "pemenang perang suci" malah saling serang, bikin Afghanistan makin porak-poranda. Amerika, setelah ngerasa “misi selesai”, langsung cabut—gak mikirin nasib negara yang udah mereka jadiin medan tempur. Menurut Coll, inilah kesalahan fatal: AS ninggalin kekacauan yang akhirnya jadi lahan subur buat Taliban tumbuh dan Osama bin Laden berkembang tanpa hambatan. Jadi, Mujahidin yang dulu dipuji sebagai "pahlawan kebebasan" malah berubah jadi bayangan gelap dari perang yang dibiarin lepas kendali.
Pesan utama dari Ghost Wars karya Steve Coll adalah: kalau negara adidaya cuma mikirin kemenangan jangka pendek demi gengsi geopolitik, tanpa mikirin dampak jangka panjang, maka yang tumbuh bukan stabilitas—tapi kekacauan. Amerika, kata Coll, terlalu fokus buat ngalahin Uni Soviet di Afghanistan, sampai-sampai gak peduli sama rumitnya budaya, agama, dan struktur sosial di sana. Mereka ngucurin duit dan senjata ke kelompok-kelompok radikal lewat Pakistan (ISI), tapi tanpa kontrol yang jelas. Yang mereka kuatkan justru para ekstremis, yang nantinya malah jadi musuh dunia.
Dan setelah Soviet kabur? Amerika juga ikutan angkat kaki, ninggalin Afghanistan kayak habis pesta: berantakan, penuh konflik, dan gak ada yang ngeberesin. Dari situ Taliban bangkit, dan al-Qaeda berkembang dengan leluasa. Jadi, kata Coll, kalau negara besar cuma ngejadiin negara kecil sebagai pion catur buat adu ideologi, tapi nggak mikir soal perdamaian jangka panjang, jangan kaget kalau akhirnya semuanya meledak—dan serpihannya bukan cuma nyakitin yang di medan perang, tapi juga nyasar ke seluruh dunia.

Selama Perang Dingin, dunia ini kayak panggung gede penuh konflik—gak cuma di Korea, Vietnam, atau Afghanistan. Banyak perang lain yang meletus, dan hampir semuanya kayak “reality show” politik adidaya: Uni Soviet dan Amerika jarang banget berantem langsung, tapi mereka sering banget main belakang—ngedukung kubu yang saling sikut di berbagai penjuru dunia. Di Angola, misalnya, perang saudara meledak tahun 1975; Uni Soviet plus Kuba dukung satu pihak, Amerika dan Afrika Selatan zaman apartheid dukung pihak satunya. Di Amerika Latin, AS bantuin rezim militer dan milisi kanan buat ngehajar pemberontak kiri, kayak di Nikaragua dan El Salvador. Di Timur Tengah? Jangan ditanya! Konflik Arab-Israel, perang Iran-Irak—semuanya penuh drama, dan seringkali yang main di balik layar itu negara-negara besar yang ngatur strategi kayak lagi main catur. Jadi jangan salah—meskipun namanya Perang Dingin, dunia tetap panas, dan rakyat sipil di banyak negara jadi korban pertarungan ideologi dua raksasa yang saling adu ego.

Salah satu pelajaran paling ngena dari Perang Dingin adalah: kemerdekaan sejati gak cuma soal ngibarin bendera sendiri, tapi juga soal bisa nentuin arah hidup bangsa tanpa terus disetir dari luar. Selama Perang Dingin, banyak negara yang baru merdeka dari penjajah—terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin—tapi langsung kepeleset masuk ke perang proxy antara Amerika dan Uni Soviet. Yang satu ngaku bawa demokrasi, yang satu lagi ngaku bawa keadilan sosial—padahal dua-duanya kadang sama-sama main paksa, sogok-sogokan, dan nyetir politik dalam negeri.
Perang Dingin ngajarin kita bahwa penjajahan gak selalu datang pakai seragam tentara. Kadang datang dalam bentuk bantuan luar negeri, kontrak pertahanan, atau utang pembangunan. Jadi, kalau sebuah bangsa mau benar-benar merdeka, mereka harus punya kesadaran buat ngebedain mana bantuan tulus dan mana jebakan halus. Karena kadang, yang kita kira teman, ternyata sedang pasang borgol baru—cuma warnanya aja yang beda.

Kemerdekaan bangsa itu kagak main-main—itu hasil keringat, darah, dan air mata. Jadi kalau udah direbut, jangan dibuang cuma karena tergiur cuan. Negara yang ngejual kedaulatannya demi keuntungan instan bisa-bisa jadi tamu di rumah sendiri—semua keputusan penting malah dikendalikan orang luar. Merdeka itu bukan cuma soal ngusir penjajah, tapi soal menjaga harga diri bangsa tiap hari, lewat kejujuran, ketegasan, dan gak gampang dibeli. Dan kalau kemerdekaan itu sampai hilang—entah lewat penjajahan gaya baru, utang luar negeri, atau politik yang dikendalikan asing—balikinnya jauh lebih susah dari ngerebut pertama kali. Bangsa yang lupa nilai kemerdekaannya, bisa-bisa suatu hari bangun dan nyadar: “Wah, kita udah jual negeri ini, dan gak inget kapan tanda tangannya.”

[Bagian 7]
[Bagian 5]