[Bagian 1]Bertahun-tahun setelah Perang Dunia II usai, seorang mantan tentara Jerman datang lagi ke Normandy. Ia berjalan pelan di antara nisan-nisan—baik milik tentara Jerman maupun Sekutu—sunyi senyap, yang ada cuma nama, umur, dan tanggal yang membeku di batu.Seorang jurnalis nyamperin dan nanya, “Menurut Anda, siapa yang memenangkan perang ini?”Sang kakek menatap nisan-nisan itu, matanya lelah tapi jernih. Ia nunjuk ke batu-batu itu dan jawab, “Bukan mereka.”Lalu doi noleh ke parkiran yang penuh turis, toko suvenir perang, dan restoran yang ramai jualan nostalgia. Doski senyum tipis dan bilang, “Tapi ada yang menang.”Jawabannya bukan sinis—tapi jujur. Dalam perang, yang gugur gak pernah menang. Pemenang sesungguhnya seringkali adalah mereka yang bahkan gak pernah pegang senjata.Pemenang sejati dari perang itu bukan para tentara yang maju ke medan laga, berdarah-darah, lalu gugur demi idealisme yang bahkan kadang gak mereka pahami sepenuhnya. Mereka yang muda, penuh semangat, harus menghadapi neraka dunia: lumpur, luka, dan trauma yang nempel di kepala. Diangkat jadi pahlawan, tapi pas pulang? Banyak yang dilupain, ditinggal, atau harus bertahan hidup di dunia yang udah berubah total.Sementara itu, di balik layar, ada yang justru pesta pora. Para pedagang senjata, kontraktor militer, dan elit politik duduk manis sambil ngitung cuan. Setiap peluru yang ditembakkan, setiap bom yang dijatuhkan—itu semua jadi ladang emas buat mereka. Bagi mereka, perang bukan bencana, tapi peluang bisnis. Mereka menang bukan karena keberanian, tapi karena bisa nyulap kekerasan jadi duit.Howard Zinn, dalam karyanya A People’s History of the United States (1980, Harper & Row), ngebongkar “behind the scenes” film perang Amerika dari zaman penjajahan sampai era Vietnam. Katanya, perang-perang itu dijual ke publik pakai tagline mulia kayak “kebebasan” dan “demokrasi,” tapi kenyataannya yang paling babak belur tuh orang-orang kecil—buruh, petani, anak-anak muda kelas bawah yang dikirim perang. Sementara itu, para elite—penguasa politik dan pebisnis kelas kakap—malah makin tajir dan makin kuat cengkeramannya di panggung kekuasaan.Zinn ngasih contoh, misalnya Perang Revolusi bukan cuma buat merdeka dari Inggris, tapi juga buat ngamanin kepentingan para tuan tanah dan pedagang kaya Amerika yang pengen bebas dari pajak dan aturan dagang Inggris. Perang Saudara AS juga, meski berhasil ngehapus perbudakan, ternyata bantu banget industrialis Utara buat nguasain ekonomi Selatan. Nah, puncaknya di Perang Vietnam, dimana perusahaan senjata, minyak, dan kontraktor bangunan panen cuan gede-gedean, sementara jutaan rakyat—baik di Vietnam maupun Amerika—hancur mental, fisik, dan ekonominya. Bagi Zinn, perang itu bukan kecelakaan sejarah, tapi bagian dari sistem: yang nyuruh aman di menara gading, yang disuruh merangkak di parit.Dalam The War Business (1969, Simon & Schuster), George Thayer kayak buka kedok negara-negara gede yang ngomongin perdamaian sambil ngelipet duit dari jualan peluru. Mereka tampil elegan di meja perundingan, senyum-senyum di konferensi PBB, ngomong soal stabilitas dan kemanusiaan, tapi di belakang layar mereka dagang senjata kayak bakul gorengan—ke siapa aja, bahkan ke dua pihak yang lagi berantem sekaligus.Thayer ngegambarin dunia internasional itu penuh kemunafikan: ngomong damai di pagi hari, tanda tangan kontrak senjata di sore hari. Negara-negara ini tahu, selama masih ada konflik, bisnis jalan terus. Mereka nggak cuma jual senjata ke negara sahabat, tapi juga ke diktator, ke pemberontak, pokoknya siapa aja yang mau beli. Hasilnya? Perang makin panjang, korban makin banyak, tapi rekening bank mereka makin gemuk. Thayer nyindir keras bahwa perdamaian itu sering cuma jadi slogan brosur, sementara di balik layar, dunia digerakkan oleh kalkulasi untung-rugi, bukan nurani.Dalam The New Confessions of an Economic Hit Man (2016, Berrett-Koehler Publishers), John Perkins bilang cara perang zaman sekarang tuh udah upgrade—gak lagi pakai tank atau peluru, tapi pakai pinjaman luar negeri, proyek infrastruktur, dan janji-janji palsu soal kemajuan. Doi cerita dari pengalamannya sendiri sebagai “economic hit man,” semacam mata-mata ekonomi yang tugasnya ngerayu atau bahkan menekan negara berkembang buat ambil utang jumbo, padahal itu utang buat proyek yang sering gak mereka butuhin.Begitu negara tersebut ketagihan utang dan kagak sanggup bayar, mereka otomatis jadi patuh. Disuruh ngasih konsesi tambang—oke. Disuruh dukung kebijakan luar negeri Amerika—juga oke. Disuruh buka pangkalan militer—oke lagi. Menurut Perkins, ini bentuk penjajahan gaya baru: gak ada tembakan, tapi tetap bikin negara lemah gak berkutik. Rasanya kayak ditawarin surga, tapi ternyata masuk jebakan ekonomi. Bagi Perkins, ini bukan lagi perang antar tentara, tapi perang lewat PowerPoint, kontrak licik, dan mimpi palsu yang bikin negara kecil makin tergantung.Dalam karyanya War Made Easy: How Presidents and Pundits Keep Spinning Us to Death (2005, Wiley), Norman Solomon ngebongkar gimana media gede Amerika bukan jadi penjaga kebenaran pas perang, tapi malah jadi pom-pom girl-nya perang. Bukan nanya “kenapa kita perang?”, mereka malah ngegembor “ayo perang!”—pakai narasi bombastis, footage dramatis, dan wajah presenter yang bikin penonton percaya, tanpa curiga. Solomon nunjukin kalau itu bukan sekadar kebetulan, tapi emang udah di-setting dari sononya, karena para bos media, politisi, dan pengusaha senjata itu main di kolam yang sama.Dari Vietnam sampai Irak, Solomon jelasin gimana kata-kata manis kayak “senjata pemusnah massal,” “shock and awe,” atau “misi pembebasan” itu kayak slogan iklan yang didaur ulang—kesannya heroik, padahal isinya ngeri. Dan tahu enggak? Banyak media itu dimiliki konglomerat yang punya saham juga di industri militer. Jadi ya wajar aja kalau berita perang disuguhin kayak trailer film action. Buat Solomon, saat media udah gak nanya, cuma ngegaungkan narasi negara, maka perang bukan lagi sesuatu yang diperdebatkan—tapi jadi produk yang laris dijual ke rakyat.Bagaimana Perang itu tetap ada dengan sendirinya? Perang itu gak cuma bertahan karena senjata dan tentara. Ia hidup dari rasa takut, propaganda, dan diamnya banyak orang. Pemerintah bikin rakyat panik—katanya ada musuh, ada ancaman, ada “mereka” yang harus dilawan. Media ikut-ikutan, nyebarin narasi yang bikin perang kelihatan masuk akal. Kayak di novel 1984-nya George Orwell: “Perang itu damai. Kebebasan itu perbudakan. Ketidaktahuan itu kekuatan.” Kalau kebenaran bisa dimanipulasi, maka perang pun bisa dibungkus jadi sesuatu yang mulia.Sejarah juga ikut main. Buku pelajaran sering banget ngebanggain penjajahan, seolah-olah itu petualangan heroik. Parade militer, lagu kebangsaan—semuanya jadi ritual yang bikin perang terasa wajar, bahkan keren. Chris Hedges dalam War Is a Force That Gives Us Meaning bilang, masyarakat bisa kecanduan euforia perang, walau sebenarnya itu merusak nurani. Perang jadi kebiasaan. Jadi budaya.Dan jangan lupa: duit. Industri senjata panen raya tiap kali konflik meletus. Kontraktor militer, politisi, investor—semua kebagian kue. Perang bukan lagi pilihan terakhir, tapi udah kayak model bisnis. Selama ada yang untung, selalu ada alasan buat terus bakar-bakaran.Pertanyaan “Siapa yang diuntungkan dari perang?” itu bukan sekadar tugas anak kuliahan. Itu pertanyaan moral. Kalau konflik gak bisa dihindari, maka tanggungjawab kita adalah cari tahu: siapa yang nyulut api, dan siapa yang jual bensinnya. Howard Zinn di A People’s History of the United States bilang, sejarah bukan cuma ditulis pemenang, tapi juga dibentuk sama yang dapet cuan dari kemenangan itu. Diam? Sama aja ikutan main.Saat senjata udah berhenti nembak dan jenazah terakhir dikuburkan, masih ada yang terus ngitung—bukan jumlah korban, tapi jumlah untung. Medan perang boleh merah darah, tapi di balik layar, laporan keuangan para kontraktor militer justru hijau segar. Perusahaan minyak diam-diam dapet izin ngebor di wilayah baru. Korporasi konstruksi ikut proyek "rekonstruksi" atas bangunan yang sebelumnya mereka bantu hancurkan. Di versi sejarah yang ini, perang bukan tragedi—tapi transaksi.Yang dapat “kemenangan” bukan ibu yang kehilangan anak atau veteran yang pulang cacat, tapi pemegang saham yang beli saham industri senjata di momen yang pas. Perang dikemas pakai lagu kebangsaan dan bendera, tapi dijual lewat tender, kontrak, dan bursa saham. Rakyat disuruh berkorban, sementara ada orang lain di ruangan ber-AC yang tanda tangan kontrak bernilai miliaran dolar.So, siapa sih sebenernya yang cuan dari perang? Bukan mereka yang bertarung. Bukan pulak yang kehilangan rumah, tangan, kaki, atau keluarga. Pemenang sejatinya jarang disebut di tugu peringatan. Mereka gak pakai seragam, gak ikut tembak-tembakan, tapi selalu pulang dengan dompet yang lebih tebal. Pada akhirnya, harga perang dibayar pakai nyawa manusia—tapi keuntungannya dihitung pakai mata uang orang lain.
[Bagian 7]