[Bagian 8]Di awal-awal Perang Irak 2003, ada momen yang meledak di televisi dunia: patung Saddam Hussein digeletakin di Lapangan Firdos, Baghdad. Kamera-kamera TV menyorot warga Irak yang bersorak-sorai, seolah-olah sedang menyambut pembebasan. Terlihat heroik, dramatis, dan kayak adegan klimaks film Hollywood. Tapi belakangan terungkap, itu ternyata settingan. Lapangan udah diblokir militer, dan orang-orang yang bersorak itu jumlahnya gak seberapa. Tapi citra itu telanjur viral dan dijadikan pembenaran bahwa invasi ini “diperlukan” dan “diterima rakyat”. Anekdot ini jadi bukti bahwa di era perang modern, pertempuran gak cuma soal tembak-menembak, tapi juga soal narasi dan kamera—dimana gambar bisa lebih kuat dari kenyataan.Pasca Perang Dingin, Perang Irak 2003 jadi pengingat pahit bahwa perang zaman now bukan lagi soal rebutan lahan, tapi rebutan narasi. Bukan soal siapa menguasai wilayah, tapi siapa yang menguasai cerita. Invasi Amerika ke Irak dilakukan atas dalih senjata pemusnah massal yang belakangan terbukti kagak ada. Ini bukan cuma bikin Timur Tengah jungkir balik, tapi juga bikin institusi internasional kehilangan wibawa dan kredibilitas. George Packer, dalam The Assassins’ Gate: America in Iraq (2005, Farrar, Straus and Giroux), ngulik gimana dampak perang ini bukan cuma terlihat dari puing-puing kota, tapi juga dari luka moral dan politik luar negeri yang dalam. Dunia jadi sadar: di abad ke-21, perang bisa dijual dengan narasi, dan kalau pemerintah bisa bikin rakyat takut, mereka bisa melegitimasi serangan duluan—tanpa nunggu diserang. Warisan Perang Irak bukan cuma kehancuran di Baghdad, tapi juga hancurnya kepercayaan dunia, dan betapa lenturnya kebenaran kalau udah dipegang kekuasaan.Packer nunjukin bahwa dampak Perang Irak itu gak berhenti di bangunan-bangunan yang luluh lantak. Yang lebih ngeri justru luka moral dan kehancuran diplomatik yang ditinggalkan. Amerika masuk dengan dalih muluk-muluk, tapi karena dasarnya rapuh, dunia justru ngelihatnya bukan sebagai pembebas, tapi penjajah sok tahu yang kagak ngarti Irak dan rakyatnya. Packer nyeritain gimana banyak pejabat idealis Amerika yang akhirnya frustrasi, gimana perencanaan pascaperang amburadul, dan gimana rakyat Irak dan tentara-tentara muda harus nanggung beban yang ngga mereka pilih. Citra moral Amerika babak belur, dan ini bikin dunia makin sinis tiap kali mereka mau campur tangan lagi. Perang ini nggak cuma ninggalin puing di Baghdad, tapi juga bikin Amerika kehilangan cermin nuraninya sendiri—dan nunjukin kalau kekuasaan tanpa pemahaman bisa jadi bumerang besar.Packer nunjukin juga gimana Perang Irak itu kayak versi upgrade dari cara jualan perang: yang dijual bukan lagi fakta di lapangan, tapi cerita yang bisa bikin publik panik. Pemerintahan Bush pinter banget bikin narasi ketakutan—Saddam digambarkan kayak monster yang siap meledakkan dunia dengan senjata pemusnah massal. Walaupun bukti nyatanya kagak ada, cerita itu terus diulang-ulang: dalam pidato, di TV, bahkan di briefing intelijen. Mereka colokin trauma 9/11 ke narasi Irak, jadi orang-orang mikir, “Jangan sampai kita kecolongan lagi.” Alhasil, bukan Irak yang harus buktiin punya senjata, tapi Amerika yang merasa harus menyerang duluan, biar gak nyesel belakangan. Ini yang disebut pre-emptive strike. Packer bilang, narasi itu bukan cuma bikin orang setuju—tapi juga ngebungkam suara kritis, bikin parlemen dan media kayak kena hipnotis. Perang ini akhirnya kayak produk marketing: kemasannya dramatis, dijual pakai rasa takut, tapi isinya penuh kebohongan yang mematikan.Packer ngegas bahwa warisan sejati dari Perang Irak bukan cuma bangunan-bangunan yang jadi puing di Baghdad, tapi retaknya kepercayaan dunia—terutama terhadap Amerika dan tatanan global yang selama ini dianggap “beradab”. Perang ini dipaksain lewat klaim ngasal dan intelijen yang dimanipulasi, dan ini nunjukin satu hal yang serem: kebenaran bisa dibengkokin semau-maunya kalau udah dipegang ama kekuasaan. Packer bilang, AS jualan perang seolah-olah demi moral tinggi dan misi suci, padahal di balik layar ada strategi yang berantakan dan etika yang abu-abu. Buntutnya? Sekutu jadi renggang, institusi dunia kayak PBB kehilangan muka, dan aturan main soal “perang yang dibenarkan” setelah Perang Dunia II jadi kelihatan rapuh. Dunia makin sinis, makin curiga, dan ogah percaya begitu aja ama negara kuat. Perang Irak ngebuka mata bahwa kebenaran itu bisa elastis banget di tangan penguasa yang jago bikin cerita—dan kalau kepercayaan udah patah, susah banget buat benerin lagi.Packer pengen bilang satu hal penting: niat baik doang nggak cukup buat bikin dunia jadi tempat yang lebih baik—apalagi kalau niat itu dijalankan dengan sombong, tanpa ngerti konteks, dan minim persiapan. Dia nggak cuma nyeritain kronologi perang, tapi juga ngupas rasa kecewa para idealis, kesombongan pejabat Washington, dan derita rakyat Irak yang jadi korban kekacauan. Packer nunjukin gimana impian muluk ala neokonservatif tabrakan sama kenyataan pahit di lapangan. Perang yang katanya demi kebebasan, malah ngacak-ngacak negeri orang. Lewat tulisan yang tajam dan jujur, Packer ngingetin: saat negara demokratis nyoba “ngekspor” nilai-nilai kebebasan pakai tank dan misil, mereka justru sering nginjek-injek nilai itu sendiri. Karya ini kayak tamparan buat kita semua—bahwa orang baik bisa berubah jadi perusak kalau udah mabuk ideologi dan lupa dikasih batasan.Mau itu di Eropa, Asia, Afrika, atau Timur Tengah, perang selalu jadi tungku panas yang membakar ulang sejarah dari awal. Dari zaman dulu sampai sekarang, perang bukan cuma ngerobek peta dunia—tapi juga ngacak-ngacak siapa yang berkuasa, siapa yang ambruk, dan siapa yang dapat jatah menang. Bangsa-bangsa lahir di tengah kobaran api, kerajaan-kerajaan tumbang di bawah dentuman meriam, dan nilai-nilai “peradaban” diuji habis-habisan. Perang itu brutal, iya, tapi juga punya kekuatan magis: bisa ngubah arah dunia dalam sekejap. Tapi hasil akhirnya jarang bersih—kadang yang namanya kemerdekaan, masih nyisain rasa dijajah versi baru. Jadi pertanyaannya sekarang bukan lagi, “Apakah perang membentuk sejarah?” Itu udah jelas. Yang perlu kita tanyain sekarang adalah: seberapa dalam perang itu masih ngerancang masa depan kita? Dan yang lebih penting—siapa sih yang sebenarnya cuan dari semua kekacauan ini? Dan kita sendiri, diam-diam ikutan untung kagak sih, karena udah terlalu nyaman buat pura-pura gak tahu?
Dari Perang Salib sampai penjajahan, dari Perang Dunia sampai “Perang Melawan Teror”, konflik terus jadi alat penggaris yang nyoret-nyoret ulang peta dunia dan peta kekuasaan. Setiap perang pasti ngacak-ngacak kehidupan rakyat biasa—bikin rumah-rumah jadi abu, bikin orang kehilangan keluarga, bikin luka yang kagak sembuh-sembuh. Tapi anehnya, di balik semua kehancuran itu, justru ada kekaisaran yang tumbuh. Contoh paling nyata: Amerika pasca Perang Dunia II. Negara itu naik daun jadi superpower bukan cuma karena menang perang, tapi juga karena mesin industrinya ngebut gila-gilaan gara-gara kebutuhan perang. Dan sejak itu, kompleks militer-industrinya nggak pernah benar-benar tidur. Nah, Howard Zinn dalam A People’s History of the United States ngebuka mata kita: semua pencapaian itu dibayar mahal sama rakyat kecil—yang dikirim ke medan perang, yang kerja lembur di pabrik, yang ditinggal keluarganya. Sementara itu, para elit politik dan bisnis justru panen cuan dan kekuasaan. Jadi, perang bukan cuma urusan geopolitik, tapi juga mesin sosial yang nyusun ulang kelas dan kekuatan, sambil ngasih janji-janji muluk soal patriotisme dan “demi bangsa”—padahal ujung-ujungnya yang kaya makin kaya, yang bawah makin babak belur.Zinn ngajak kita ngelihat sejarah Amerika dari angle yang jarang disorot—bukan dari jenderal, presiden, atau pahlawan versi buku teks, tapi dari kacamata rakyat kecil: buruh, tentara biasa, pembangkang, dan kaum miskin. Soal perang, Zinn sangat blak-blakan. Doski ngebongkar habis gimana perang sering dikemas kayak hal mulia, demi kemanusiaan atau “membela tanah air”, padahal di balik layar, itu cuma strategi elit politik dan penguasa bisnis buat ngedapetin kekuasaan dan duit lebih banyak. Dari Perang Meksiko, Perang Sipil, dua Perang Dunia, sampai Vietnam dan Irak—semuanya, kata Zinn, punya pola yang sama: rakyat dibikin percaya lewat jargon patriotisme, padahal ujungnya rakyat yang disuruh tempur, elit yang ngitung cuan. Zinn juga nunjukin gimana orang-orang yang berani ngebantah perang sering dicap pengkhianat, media dibungkam, dan kebebasan sipil dikorbankan. Intinya, doi bilang: jangan anggap perang itu takdir atau kewajiban. Perang itu sering dipake sebagai alat pengalih isu, alat penaklukan, dan mesin penghasil keuntungan—dibungkus rapi pakai bendera dan kata-kata pengorbanan.Siapa sih yang bener-bener menang dalam perang? Bukan tentara yang berlumuran darah di garis depan. Bukan pula ibu yang terpaksa mengubur anaknya dengan pelipatan bendera. Di balik kehancuran dan air mata, para pemenang sejatinya adalah para taipan senjata dan kontraktor militer yang duduk manis di ruang rapat, jauh dari bau mesiu dan debu reruntuhan. Mereka bukan hanya menjual alat penghancur, tapi juga ikut tender membangun kembali kota-kota yang mereka hancurkan sendiri. Seperti yang dibongkar Naomi Klein dalam The Shock Doctrine (2007, Penguin Books), perang itu bukan kegagalan kemanusiaan—melainkan ladang bisnis paling menguntungkan dalam dunia kapitalisme bencana.Di era sekarang, perang bukan cuma soal tembakan dan tank, tapi juga soal narasi dan citra. Media massa besar ikut bermain: memoles konflik, menutupi kekejaman, dan membakar semangat nasionalisme. Perhatian publik dijadikan komoditas, opini dijadikan senjata. Perusahaan yang dulunya cuma jual iklan, sekarang jual perpecahan. Dalam Manufacturing Consent karya Edward S. Herman dan Noam Chomsky (1988, Pantheon Books), dijelaskan gimana media itu sering jadi mesin propaganda halus yang mengarahkan opini rakyat agar sesuai dengan kepentingan elit—terutama saat perang sedang berlangsung. Media bukan cuma melaporkan perang; mereka juga ikut memperpanjang napasnya.War is a Force That Gives Us Meaning (2002, PublicAffairs), Chris Hedges, yang bukan cuma penulis tapi mantan jurnalis perang yang udah ngerasain langsung gimana gilanya medan tempur, buka-bukaan soal gimana perang itu kayak candu—bisa bikin orang dan negara merasa punya "tujuan hidup," padahal isinya cuma siklus kehancuran yang menguntungkan elit tapi nyapu bersih kaum lemah. Hedges bilang, perang itu bukan cuma soal duit atau politik, tapi juga soal mitos: dikemas dalam cerita heroik, dijadikan identitas, dan dijadikan alat buat bungkam kritik.Hedges menyajikan pengakuan yang jujur dan pedih tentang bagaimana perang itu bukan cuma soal peluru dan bom—tapi soal makna palsu yang membuat manusia merasa hidup. Berdasarkan pengalamannya sebagai jurnalis perang di tempat-tempat berdarah seperti Bosnia, El Salvador, dan Timur Tengah, Hedges bilang perang itu menawarkan ilusi: seolah-olah kita ini pahlawan dan mereka musuh biadab. Dalam dunia perang, semuanya jadi hitam-putih—nggak ada lagi ruang untuk keraguan, diskusi, atau nurani.Hedges menggambarkan perang layaknya narkoba: bikin teler, bikin candu. Orang jadi mabuk dengan kata-kata seperti “pengorbanan”, “kehormatan”, dan “negara”—padahal di balik itu semua ada luka, kekejaman, dan kematian yang dijadikan tontonan. Hidup damai terasa membosankan, sementara perang memberi sensasi—meskipun sensasi itu palsu. Menurut Hedges, saat masyarakat terlalu memuja perang atau membiarkan mitos-mitos perang berkembang tanpa dikritisi, mereka sebenarnya sedang kehilangan sisi kemanusiaannya dan terjebak dalam siklus kehancuran yang dibungkus bendera.Dengan gaya tulis yang puitis tapi menyayat, Hedges membongkar romantisisme perang yang sering dijual media dan politikus. Ia menunjukkan bahwa meskipun perang terlihat memberi arti hidup, sebenarnya itu cuma membius—membuat kita kehilangan empati dan akal sehat. Ironisnya, meski perang usai, mitos-mitosnya tetap hidup, menular ke generasi berikutnya yang kembali mencari “makna” lewat peluru dan propaganda.The Propaganda Model Revisited yang disusun oleh Joan Pedro-CaraƱana, Daniel Broudy, dan Jeffery Klaehn (2018, Westminster Press) ngebongkar gimana kekuatan politik dan korporat masih terus mengendalikan opini publik lewat media sosial, echo chamber digital, dan realitas yang udah dikurasi algoritma. Jadi kalau loe mikir udah "bebas" karena dapet info dari internet—think again.Para penulisnya bilang kalau cara elit politik dan korporat mengendalikan opini publik udah makin licin dan canggih. Dulu mereka ngatur lewat TV dan koran—sekarang, cukup lewat algoritma, data yang dicuri, dan desain medsos yang bikin kita kecanduan scroll. Mereka nggak perlu lagi nyuruh kita baca ini-itu; cukup kasih konten yang kita suka, yang sesuai sama bias kita, lalu biarkan kita hidup di gelembung digital masing-masing. Inilah yang disebut echo chamber—ruang maya yang bikin kita denger suara sendiri terus, jadi makin yakin, makin fanatik.Mereka nunjukin bahwa algoritma medsos gak peduli mana yang benar, mana yang penting buat demokrasi; mereka cuma ngejar klik, share, dan emosi. Akibatnya? Polarisasi makin tajam, ruang diskusi makin sempit, dan kemampuan mikir kritis makin luntur. Medsos yang katanya bikin suara semua orang kedengaran, justru sering bikin suara-suara beda malah dikurung di pojok internet yang sepi.Intinya, mereka ngasih peringatan: kalau perusahaan teknologi raksasa dan negara saling mendukung (secara langsung atau karena sama-sama untung), maka kontrol atas cara kita mikir jadi nyaris tak kasat mata. Kita nggak lagi disuruh mikir A atau B—kita dibentuk buat merasa seolah-olah itu pilihan kita sendiri. Ini propaganda tanpa spanduk. Diam-diam. Algoritmik. Dan selalu mengintai.
Menurut The Propaganda Model Revisited, salah satu dampak paling ngeri dari manipulasi media zaman sekarang adalah lenyapnya kemampuan warga buat berperan aktif dalam demokrasi. Kalau orang cuma disuapin info yang cocok sama selera dan keyakinannya lewat algoritma, lama-lama mereka jadi nggak bisa lagi ngobrol secara sehat sama yang beda pendapat. Masyarakat terpecah—bukan karena beda ide, tapi karena udah nggak bisa saling dengar. Padahal, demokrasi sehat itu butuh debat terbuka, diskusi yang jujur, dan saling memahami. Tapi sekarang, ruang publik malah jadi ajang perang buzzer, hoaks, dan drama. Kebenaran gak lagi ditentukan dari bukti, tapi dari seberapa viral suatu narasi.Buku ini juga menyorot satu hal yang lebih halus tapi lebih bahaya: propaganda yang ditelan mentah-mentah dan gak kelihatan. Dulu propaganda itu kelihatan—lewat poster, pidato, atau spanduk. Sekarang, menyusup lewat aplikasi yang kita pakai tiap hari. Kita merasa bebas memilih dan berpikir, padahal semua udah dikuras pelan-pelan. Kita pikir kita mandiri, padahal pikiran kita udah dibentuk sama konten yang dirancang biar kita makin lama nempel di layar.Dan yang paling serem? Kesadaran kritis masyarakat pelan-pelan mati. Soalnya, kalau alat-alat manipulasi ini gak kelihatan, orang jadi males nanya, apalagi melawan. Mereka cuma jadi penonton pasif, bukan pelaku perubahan. Akhirnya, bukan cuma politik yang rusak—budaya juga ikut beku. Kreativitas digantikan konformitas, dan kesadaran digantikan scroll-scroll yang bikin candu. Buku The Propaganda Model Revisited kasih alarm: kalau kita gak belajar melek media dan gak ngedorong pertanggungjawaban platform digital, maka masyarakat bisa jadi nyaman hidup dalam kebohongan—bukan karena ditindas paksa, tapi karena dibuai kenyamanan yang direkayasa.
[Bagian 6]

