[Bagian 9]Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, ada cewek namanya Sari. Baru lulus SMK keperawatan, nilainya keren banget. Cita-citanya? Pengen kerja di rumah sakit deket rumah, ngerawat tetangganya sendiri. Tapi apalah daya, rumah sakitnya udah penuh pelamar, dan lowongan PNS? Udah kayak unicorn—ada kabar tapi nggak pernah kelihatan. Ekonomi keluarga juga pas-pasan, jadi nggak bisa nungguin Sari nganggur terus.Akhirnya lewat jalur PJTKI, Sari kerja jadi caregiver di Taiwan. Gajinya mayan. Rumahnya dipasangi atap baru, dan mereka akhirnya punya kulkas. Tapi di balik itu, Sari harus ngerawat nenek-nenek demensia, kerja hampir nonstop, ngobrol pakai bahasa yang bikin pusing, dan malam-malam suka nangis kangen rumah. Pas pulang cuti dua tahun kemudian, adik cowoknya nanya, “Mbak, aku ikut sekolah kayak Embak. Ntar kerja ke luar negeri juga ya?”Sari diem. Lalu jawab pelan, “Kalau semua orang pergi, siapa yang ngerawat orang kita sendiri?”Kalimat itu kayak nyilet pelan. Jadi TKI mungkin bisa nyelametin satu keluarga dari kesusahan, tapi kita juga mesti nanya: gimana nasib bangsa ini kalau yang paling tulus dan terampil malah harus cabut demi bisa makan?Kalau pemerintah nyuruh tenaga kerja terampilnya buat kerja di luar negeri karena nggak bisa nyediain lapangan kerja di dalam negeri, lama-lama itu kayak bumerang yang balik nyangkut di jidat sendiri. Di awal sih kelihatan gampang: angka pengangguran turun, kiriman uang dari luar negeri naik, dan tekanan pasar kerja berkurang. Tapi makin lama, strategi ini justru ngasih sinyal ke rakyat: “Maaf ya, negara nggak sanggup ngurusin ellu.”Artinya, negara kayak nyerah sebelum perang dimulai. Tenaga medis, guru, insinyur, sampai teknisi yang seharusnya jadi tulang punggung pembangunan justru dilepas ke negara orang. Lama-lama sektor penting jadi ompong, dan kepercayaan publik makin luntur. Kalau anak muda yang pintar dan semangat malah nyari masa depan di luar negeri, terus ngapain susah-susah bayar pajak atau kuliah mahal?Padahal, tanggung jawab utama bikin lapangan kerja tuh ada di tangan negara. Swasta boleh bantu, startup boleh keren, pasar global bisa kasih peluang, tapi yang pegang setir itu tetep pemerintah. Dari kebijakan ekonomi, pembangunan sarana dan prasaran, sistem pendidikan, sampai insentif usaha—semuanya bisa jadi jalan lahirnya pekerjaan bermartabat. Tapi kalau itu semua nggak dijalanin dengan serius, ya akhirnya negara cuma jadi “agen outsourcing tenaga kerja,” bukan mesin pembangunan.Negara yang baik itu bukan yang pintar ngirim warganya ke luar, tapi yang bisa bikin warganya bangga hidup dan kerja di dalam negeri.Indonesia tuh termasuk juara dalam urusan “warganya kerja di luar negeri.” Resmi bilangnya sih ada sekitar 4,5 juta orang Indonesia yang kerja di luar negeri . Nah, kebanyakan adalah kaum perempuan—70 persennya mereka kerja jadi ART alias asisten rumah tangga, atau di pabrik. Sementara kaum lelakinya? Mereka nyemplung ke perkebunan (kayak sawit di Malaysia), proyek bangunan di negara teluk, kerjaan transportasi, dan sektor jasa lainnya.Kenapa demen banget kerja di luar ya? Ada beberapa alesan utama. Pertama, lowongan kerja di dalam negeri masih terbatas, terutama yang formal. Kedua, gaji di luar negeri itu jauh lebih gede, apalagi di negara kek Malaysia, Taiwan, Saudi, Hong Kong, atau Singapur. Ketiga, banyak biro jebol—wali tenaganya yang ngepompa rakyat ke luar, walau gak jarang mereka juga berujung bikin masalah kayak eksploitasi, penipuan, sampai penyiksaan.Kalau dibayangkan, gini nih bayangan kerjanya: cewek-cewek RI jadi ART yang rawat rumah dan anak orang; cewek lainnya masuk pabrik. Ksum cowok? Bisa jadi buruh kebun sawit di Malaysia, kerja bangunan di Teluk, jadi supir ojek mandiri atau bus di negara lain, atau kerjaan layanan umum lainnya.Jumlah tenaga kerja Indonesia di luar itu bukan cuma soal “pengen keliling dunia,” tapi lebih ke pilihan ekonomi—dimana penghasilan besar, tapi risikonya juga gede. Makanya penting banget ada proteksi dan aturan yang jelas supaya ‘pahlawan devisa’ kita itu gak malah jadi korban.Dalam jangka pendek, banyaknya warga Indonesia kerja di luar negeri tuh bisa dibilang kayak power bank buat ekonomi kita. Soalnya, mereka kirim remitansi alias transfer uang ke keluarga di kampung, dan itu bener-bener bikin ekonomi lokal jalan: ada yang bangun rumah, bayar sekolah anak, buka warung, sampai beli sawah. Buat negara juga untung—soalnya nambah cadangan devisa. Plus, buat pemerintah? Lumayan, bisa ngurangin beban cari kerjaan dalam negeri yang masih seret.Taapii, kalau dilihat dari jangka panjang, efeknya gak se-simple itu. Kalau terus-terusan bergantung ama tenaga kerja di luar, bisa-bisa kita malah kena brain drain—alias orang-orang berbakat pada minggat cari rezeki di luar dan gak balik-balik. Ini bikin kualitas tenaga kerja di dalam negeri jadi stagnan dan bikin susah naik level ke ekonomi berbasis skill. Belum lagi efek sosialnya—anak-anak yang tumbuh tanpa orang tua, rumah tangga yang renggang, dan komunitas yang longgar karena banyak kepala keluarga kerja jauh dari rumah.Yang lebih bahaya lagi, kalau pemerintah malah keenakan ekspor tenaga kerja dan jadi males bikin kebijakan serius buat nyiptain lapangan kerja dan industri baru di dalam negeri. Jadinya kayak candu: nyaman jangka pendek, tapi bikin ketergantungan jangka panjang.Walaupun kerja di luar itu bisa kasih peluang ekonomi buat rakyat, jangan sampai Indonesia jadi negara yang cuma “ngegantungin nasib” dari devisa para pejuang TKW dan TKI. Harus ada strategi biar di dalam negeri pun bisa hidup layak, kerja layak, dan bangga di negeri sendiri.Nggak cuma Indonesia aja nih yang banyak warganya kerja di luar negeri. Ada lima negara yang paling ngocol soal kirim tenaga kerja. India, paling banyak, sekitar 16,6 juta orang kerja di luar negeri. Mulai dari buruh kasar di negara Teluk sampai programmer dan perawat di negara maju.Meksiko, sekitar 13 juta orang kerja di luar, kebanyakan ke AS, di sektor konstruksi, pertanian, hotel, dan jadi ART. Rusia, sekitar 10,6 juta orang, baik buruh kasar maupun profesional, banyak kerja di Eropa.China, sekitar 10 juta orang, dari pekerja pabrik, pelajar, sampai tech expert. Bangladesh, ngirim sekitar 7,5 juta pekerja, terutama ke GCC dan Asia Tenggara buat kerja konstruksi, pelayaran, dan jadi ART.Kenapa banyak orang mereka yang cabut kayak gini? Alasannya hampir sama: kerja di dalam negeri terbatas, gaji di luar jauh lebih tinggi, plus ada jaringan perekrutan yang sudah jalan lama. India dan Bangladesh misalnya udah punya koneksi kuat di negara-negara Teluk. Meksiko udah kayak tetangga AS, jadi gampang kirim buruhnya. Rusia dan China juga punya tenaga profesional yang bisa nyari kerjaan global di bidang IT atau riset, plus buruh kasar juga dibutuhin di luar.Nah, begini nih bocoran lengkap soal negara tujuan favorit sang pejuang devisa:Di peringkat pertama, Hong Kong—tahun 2024 kemarin ada 99.773 orang Indonesia kerja di sana, kebanyakan jadi ART, caregiver, pegawai hotel, sopir, tenaga kesehatan, sampai guru les privat dan tenaga jasa lainnya. Di Hong Kong, nasib TKI—terutama yang kerja jadi ART—itu kayak roller coaster. Di atas kertas sih, mereka punya hak yang lumayan oke: ada kontrak resmi, gaji minimum, libur seminggu sekali. Tapi pas di lapangan, banyak juga yang harus kerja dari subuh sampai malem, tidur di ruang sempit kayak laci, dan masih dapat bonus bentakan dari majikan. Yang bikin tambah ruwet, banyak dari mereka yang harus bayar utang gede ke agen penyalur sebelum bisa kerja, jadi mau nggak mau harus tahan semua perlakuan demi nutup utang. Untungnya, di sana, komunitas TKI cukup solid, banyak yang saling bantu, ikut komunitas pengajian atau gereja, dan didukung juga sama LSM lokal. Tapi ya itu, pandangan publik Hong Kong soal ART asing masih campur aduk—ada yang menghormati, tapi ada juga yang masih mikir mereka itu cuma “asisten gak kasat mata” yang kerja terus tanpa butuh istirahat.Kedua Taiwan, kira-kira 79–83 ribu orang RI, kerja di rumah tangga, caregiving, pabrik, dan bantu-bantu di pertanian. Di Taiwan, nasib TKI Indonesia itu kayak dua sisi koin. Yang kerja di pabrik-pabrik biasanya dapet aturan kerja yang lebih jelas, gaji lumayan, dan jam kerja yang bisa dihitung. Tapi yang kerja sebagai perawat lansia di rumah-rumah pribadi sering banget kena shift seumur hidup—kerja dari pagi sampai pagi lagi, jarang libur, dan hidupnya literally numpang di rumah majikan tanpa ruang privasi. Meski pemerintah Taiwan udah mulai bergerak, bikin hotline pengaduan dan bantuan hukum, tapi tembok bahasa, ketergantungan ke agen, dan kerjaan yang terisolasi bikin banyak TKI masih rentan dieksploitasi. Tapi jangan salah, komunitas TKI di Taiwan tuh kuat banget! Mereka biasa kumpul pas weekend, ngadain pengajian, senam bareng, atau sekadar curhat-curhatan di grup WA biar teuteep waras di tengah tekanan kerja.
Ketiga ada Malaysia—sekitar 51.700–72.000 orang, mereka nyemplung ke kebun sawit, kerja ART, di pabrik, dan sektor informal lainnya. Udah kayak cerita sinetron lama—banyak tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang nasibnya bener-bener miris. Ada yang disuruh kerja dari pagi buta sampai tengah malam, tapi gajinya kagak dibayar. Tempat tinggal? Jangan bayangin apartemen, kadang malah kayak gudang. Udah gitu, kalau kena marah majikan, ada juga yang sampai disiksa, baik secara fisik maupun mental. Meskipun enggak semua orang Malaysia kayak gitu, sistem hukum di sana belum cukup kuat buat ngelindungin para pekerja migran ini, terutama yang kerja sebagai ART, buruh kebun, atau di proyek bangunan. Pemerintah dua negara udah sering janji mau beresin, tapi ya gitu deh… realisasinya lambat banget. Makanya, banyak orang Indonesia ngerasa kalau kerja di Malaysia itu kayak masuk zona rawan—dihargai kayak mesin, bukan manusia.
Nomor empat Jepang, ada di kisaran 40.000–120.000 orang, lewat program Specified Skilled Worker dan Technical Intern, kerjanya di bidang manufaktur, caregiving, konstruksi, dan pertanian. Di Jepang, cerita TKI kita tuh agak kayak anime yang plot-nya manis di awal tapi makin lama makin dramatis. Mereka datang lewat program magang teknis yang katanya sih buat ngasah skill dan buka peluang karier. Tapi kenyataannya, banyak yang malah disuruh kerja rodi, jam kerja gila-gilaan, tidur di tempat sempit, paspor disita, dan nggak bisa ngeluh karena takut diusir. Bahasa Jepang yang njelimet dan budaya kerja yang super ketat bikin hidup di sana makin serasa jadi karakter figuran. Meski Jepang udah mulai buka lebih banyak lowongan buat tenaga asing gara-gara krisis tenaga kerja, tapi sebagian orang sana masih nganggep TKI itu cuma buruh numpang lewat. Untungnya, para TKI Indonesia di Jepang nggak gampang nyerah. Mereka bikin komunitas, ngadain acara budaya, kumpul di tempat ibadah, dan aktif banget di grup medsos buat saling ngedukung dan biar nggak gila sendiri di negeri sakura.Terakhir Korea Selatan, menampung 10.000–35.000 orang, kerja di pabrik, pertanian, dan armada perikanan, biasanya kontrak pendek. Di Korea Selatan, nasib TKI Indonesia itu kayak drakor—penuh drama, tapi masih ada harapan. Banyak yang berangkat lewat jalur EPS (Employment Permit System), jadi bisa kerja dengan kontrak resmi, gaji lumayan, dan ada perlindungan hukum. Tapi jangan salah, di balik layar kadang masih banyak adegan gelap: kerja lembur gila-gilaan, diskriminasi, tempat tinggal kayak kandang ayam, dan majikan yang galaknya ngalahin bos drama TV. Budaya kerja Korea yang super hierarkis dan bahasa yang bikin pusing tujuh keliling bikin para TKI susah buat protes atau nuntut hak mereka. Untungnya, Korea punya pusat bantuan dan tempat penampungan migran, walaupun nggak semua TKI tahu cara ngaksesnya. Tapi yang paling keren? Komunitas TKI Indonesia di sana solid banget! Mereka sering bikin kumpul-kumpul, pengajian, karaoke bareng, atau sekadar curhat online buat nyelamatin mental biar tetap waras di tengah tekanan kerja dan cuaca dingin yang nyengat.
Kenapa negara-negara ini jadi favorit? Karena bayarannya lumayan, sistem regulasinya jelas, dan negara yang terima kekurangan tenaga kerja—apalagi yang butuh perawat lansia atau pekerja fisik. Jadi pahlawan devisa RI itu mayoritas nyemplung di sektor ART, caregiving, manufaktur, pertanian, konstruksi, hospitality, dan transportasi. Intinya: it's varied, tapi umumnya low- sampai mid-skilled job.
Tahu nggak, bro/sis, siapa aja nih yang juara dari segi jumlah orang “siap kerja” alias angkatan kerja di dunia? Ternyata nomer wahid itu China—sekitar 781 juta orang! Disusul India dengan 596 juta, AS 171 juta, Indonesia 143 juta, dan Brasil 106 juta . Negara‑negara ini emang disokong populasi banget, banyak anak muda, dan ekonominya lagi ngegas—jadi angkatan kerjanya juga melimpah dan variatif.Di sisi sebaliknya, ada yang malah tiny banget: negara-negara kecil atau yang bergantung ke minyak, gas, atau pariwisata. Contohnya sih Tonga cuma sekitar 32 ribu orang, Belize 177 ribu, Brunei 220 ribu, Islandia 200 ribu, sama Gabon 718 ribu orang . Mereka rata‑rata punya pasar lokal kecil, nggak banyak anak muda masuk kerja tiap tahun, jadi kebayang kan gimana terbatasnya peluang.Nah, bedanya? Negara‑negara besar ini untung demografi dan bisa jadi raksasa ekonomi global, tapi negara‑negara kecil harus pintar banget atur strategi: mau sejahtera harus pakai jurus jitu, kaya per orang lumayan oke tapi harus tahan guncangan global.Dalam data terkini global, ada negara-negara yang angkanya bikin geleng kepala karena penganggurannya segitu banyak. Eswatini misalnya, penganggurannya nyentuh 37 %, karena ekonominya lambat, sektor yang dikuasai terbatas. Afrika Selatan juga sama parah, di atas 30 %, gara-gara ketimpangan yang akut, skill penduduk kurang cocok ama kebutuhan kerja, dan sejarah eksklusi sosial . Djibouti kalah dikit, penganggurannya 26 %+, ekonomi kecil nggak nyerap banyak tenaga kerja. Palestina (termasuk West Bank & Gaza) ada 24 %, sehari-hari disekap instabilitas politik dan aktivitas ekonomi dibatasi. Terus Kosovo—katanya sih baru bangkit dari konflik, tapi penganggurannya tetep di atas 30 %, kebanyakan gara-gara youth unemployment dan sektor swasta yang masih lemah.Satunya lagi, ada negara yang angkanya hampir nggak ada: pengangguran rendah parah. Qatar cuma 0.1 %, karena duitnya dari minyak-gas dan kebijakan tenaga kerja yang ketat. Niger dan Kamboja angka resminya kayak 0.4–0.5 %, tapi itu karena ekonominya masih agraris informal—banyak kerja di sawah, statistik resmi nggak hitung. Thailand di 0.7 %, thanks gabungan industri, pariwisata, ama tenaga kerja desa . Terus ada juga Solomon Islands, angka penganggur juga di kisaran 0.7 %, ekonomi kecilnya kebanyakan informal.Nah, ini nih yang bikin mikir: negara dengan pengangguran tinggi biasanya ekonominya jalan di tempat, belum terdiversifikasi, dan rapuh secara sosial. Sementara negara dengan pengangguran super rendah itu biasanya ngandelin model ekonomi seperti ‘tulang tambang’ atau pertanian tradisional—tapi itu justru bisa nutupin banyak masalah yang nggak kelihatan di permukaan.Indonesia sekarang punya angkatan kerja sekitar 152 juta orang per Agustus 2024—naik gede dibanding tahun sebelumnya. Tapi angka penganggur tetep di ambang-tunggu pada angka 4,91 persen, alias sekitar 7,47 juta orang.Dari sisi makroekonomi, ini pertanda kalau meski makin banyak orang cari kerja—karena populasi makin besar, lebih banyak cewek gabung kerja, dan urbanisasi—tapi penyerapan ekonomi masih belum cukup gesit. Tahun 2024 sendiri tambah sekitar 4,79 juta lapangan kerja, utamanya di pertanian dan sektor jasa. Tapi masih ada masalah: warga yang kerja paruh waktu tapi pengennya full-time (underemployment), dan kesempatan buat masuk kelas menengah aja masih terbatas.Memang sih, angka pengangguran turun dari lebih dari 5% di 2023 ke bawah 5% di 2024—ini karena ekonomi mulai bangkit pasca pandemi dan kebijakan ketenagakerjaan makin oke. Tapi faktanya, hampir delapan juta orang masih nganggur—terutama anak muda—ini nunjukin ada masalah struktural: mismatch skill dan pendidikan, ekonomi belum terdiversifikasi, dan wilayah nggak merata perkembangan lapangannya.Yang unik, jumlah orang yang masuk angkatan kerja naik sekitar 4,4 juta setahun, tapi lapangan kerja yang tersedia belum cukup ngejar. Makanya meski persentase pengangguran turun, jumlah orang yang nganggur bisa tetap naik. Jadi pelajarannya? Indonesia harus gak cuma bikin banyak kerjaan, tapi juga yang layak—resmi, gaji pas, dan ada peluang untuk maju di tiap daerah.Ketenagakerjaan itu penting banget buat nentuin arah ekonomi sebuah negara. Kalo tingkat orang yang kerja tinggi, biasanya sih itu sinyal ekonomi lagi ngegas, rumah tangga stabil, dan daya beli masyarakat lagi kuat-kuatnya.Nah, sebaliknya, kalo pengangguran terus-terusan tinggi, itu berarti ada masalah struktural yang parah. Bisa jadi karena teknologi yang bikin banyak pekerjaan hilang, atau perencanaan kebijakan yang amburadul. Ujung-ujungnya, ini bisa memicu kemiskinan, kesenjangan sosial, bahkan kerusuhan.Jadi, ketenagakerjaan itu bukan cuma masalah ekonomi doang, tapi juga politik dan moral!
[Bagian 7]