[Bagian 4]Di bulan Agustus 1945, seorang dokter Jepang bernama Shuntaro Hida lagi buru-buru nangani pasien di pinggiran Hiroshima. Pagi itu, doi mendongak dan lihat satu pesawat melintas di langit biru—sendirian, senyap, mencurigakan. Beberapa detik kemudian, langit mendadak putih silau, dan bumi berguncang kayak kiamat kecil. Saat itu doi belum tahu kalau sejarah dunia baru aja patah jadi dua.Beberapa jam kemudian, pas masuk kota, Hiroshima udah nggak ada. Kota itu udah jadi arwah. Tubuh-tubuh terbakar nempel di aspal kayak bayangan. Gedung-gedung lenyap. Anak-anak nangis nyari ibunya yang udah jadi abu. Buat Dr. Hida, ini bukan sekadar perang—ini titik lahirnya sejarah baru. Sejarah yang nggak cuma dihitung dari jumlah korban, tapi dari betapa gilanya kemampuan manusia buat saling menghancurkan.Hiroshima bukan cuma zona perang—tapi jadi penanda moral. Tanda dunia udah berubah. Dulu perang cuma ganti peta. Sekarang perang bisa ganti nurani, ngebut di jalur teknologi, dan nabrak batas kemanusiaan.Perang itu bukan gangguan kecil dalam sejarah manusia—lebih kayak season baru dari serial dunia, yang terus tayang ulang dengan plot twist yang makin gila. Setiap kali perang muncul, doi nggak cuma ganti peta, tapi juga merobohkan kerajaan, bikin ulang identitas bangsa, sampai nyusun ulang siapa bos global .
Lihat aja zaman kuno, kayak Perang Peloponnesos antara Athena dan Sparta (431–404 SM). Ini bukan sekadar duel dua kota, tapi titik balik yang bikin demokrasi Athena goyah dan Yunani tercerai-berai. Sejarawan Thucydides bilang, perang itu cermin paling jujur buat lihat wajah kekuasaan dan ambisi manusia.
Donald Kagan dalam "A New History of the Peloponnesian War" (2009, Penguin Books) ngebedah gimana perang itu bukan cuma soal pedang, tapi soal ideologi dan politik yang robek.Kagan nunjukin bahwa perang ini bukan cuma bikin kota-kota Yunani kuno porak-poranda, tapi juga ngeguncang "otak dan hati" peradaban mereka. Bayangin perang ini kayak plot twist besar yang bikin para tokoh utama Yunani—kayak Athena dan Sparta—jadi tokoh yang beda total dari awal cerita.Athena yang dulunya kayak kampus liberal penuh debat filosofis dan pemilu langsung, tiba-tiba berubah jadi negara paranoid. Mereka mulai ngejar kekuasaan, ngadain sidang tipu-tipu, dan ngegas rakyat sendiri. Sparta, yang dulunya kalem dan anti ribet, malah jadi ikut-ikutan ekspansi dan main politik luar negeri. Semua nilai yang dulu sakral, kayak demokrasi, keadilan, bahkan peran dewa-dewa, mulai diragukan.Nah, di tengah kekacauan ini, muncul para pemikir keren kayak Socrates yang mulai nanya, "Eh, kita ini masih bener gak sih mikirnya?" Dan Thucydides—sejarahwan OG—tulis catatan perang yang bukan mitos atau drama dewa-dewi, tapi full analisis dingin kayak dokumenter Netflix.Jadi perang ini, menurut Kagan, adalah momen "akhir era idealis, masuk ke era realis". Dulu percaya keutamaan dan komunitas; sekarang? Bertahan hidup dan mikir sendiri. Kayak dunia Yunani kuno masuk fase midlife crisis intelektual dan politik.Dalam War Before Civilization: The Myth of the Peaceful Savage (1996, Oxford University Press), Lawrence H. Keeley tuh kayak bilang, “Eh, jangan terlalu percaya dong sama dongeng ‘manusia purba hidup damai dan peluk-pelukan di hutan’.” Buat doi, perang itu bukan penyakit modern, tapi emang udah mendarah daging dalam hidup manusia sejak zaman batu. Menurut Keeley, perang bukan cuma soal baku hantam antar suku—itulah cara manusia purba survive, rebutan lahan, jagain komunitas, bahkan nunjukin eksistensi. Jadi kalau ada yang bilang zaman dulu itu adem ayem tanpa konflik, Keeley bakal nyaut, “Yakin, tuh?”Yang bikin makin nendang, doi ngebandingin data kematian akibat perang suku dengan perang modern kayak Perang Dunia—dan ternyata, zaman dulu itu lebih ngeri. Intinya, Keeley ngajak kita buat ngaca: perang bukan hasil sampingan kemajuan, tapi udah dari sononya. Justru dengan adanya negara modern dan aturan, konflik bisa lebih dikontrol. Kayak bilang, “Oke, kita dulu bar-bar, tapi sekarang udah bisa bedain antara duel dan debat.”Mau gimana pun, menurut Keeley, perang itu ibarat remix kehidupan manusia—kadang destruktif, tapi juga bisa ngebentuk siapa kita hari ini..Keeley tuh kayak buka mata kita soal perang zaman baheula. Jangan bayangin orang-orang purba cuma lempar batu sambil teriak-teriak barbar. Nope—mereka punya taktik yang nggak kalah cerdas dari film perang modern. Ada strategi ngumpet di semak-semak, nyerang subuh-subuh waktu musuh masih ngorok, atau nungguin momen musuh lagi upacara keagamaan baru dihantam. Kalau kata Keeley, suku-suku dulu itu paham banget konsep “strike when they’re weakest”—kayak ninja, cuma versi zaman batu.Soal senjata? Waduh, jangan remehin. Mereka punya busur yang bisa nembus perisai, tombak-tombak tajam, sampai racun biar sekali tusuk langsung tumbang. Bahkan ada juga semacam baju zirah dari kulit keras—low budget tapi high function. Pokoknya, senjata mereka tuh bukan asal bikin, tapi hasil rekayasa survival yang keren dan efisien.Keeley pengen kita sadar: perang zaman purba itu bukan cuma adu otot, tapi juga adu otak. Jadi, kalau loe kira perang canggih itu baru dimulai sejak ada drone, berarti belum kenalan sama kreativitas pejuang masa lampau!Keeley ngegas banget soal ide bahwa perang zaman dulu itu cuma semacam “tari perang simbolis” doang. Nggak, bro! Menurutnya, orang-orang zaman batu itu nggak main-main soal baku hantam. Bentuk-bentuk perangnya tuh bervariasi dan beneran brutal, bukan cuma saling gertak sambil bawa tombak.Yang paling sering itu ya serangan dadakan alias raid. Ini tuh kayak ngedatengin desa musuh pas mereka lagi tidur siang atau lagi nyantai—langsung hajar, rebut makanan atau ternak, terus cabut sebelum ada yang sempat balas. Ada juga gaya jebakan—kayak ngumpet di balik semak, terus nyergap musuh dari belakang. Kadang juga ada baku perang massal, meskipun ini jarang banget karena suku-suku lebih milih perang cepat daripada bentrokan panjang. Trus, jangan salah, mereka juga ngerti perang gaya gerilya: nyerang cepet, kabur, nyerang lagi, kayak musuh dalam selimut gitu.Buat Keeley, bentuk-bentuk pertarungan zaman dulu itu jauh lebih niat dan berdarah-darah dari yang orang kira. Ini bukan cosplay atau latihan silat sore-sore. Ini soal bertahan hidup, ngelindungin keluarga, dan buktiin siapa yang berkuasa. Kalau mau jujur, itu udah mirip banget sama strategi perang zaman sekarang—cuma tanpa drone, tapi tetap dengan niat yang mematikan!Keeley ngelempar bom ke asumsi lama yang bilang “pejuang zaman dulu itu lebih mulia dan damai daripada tentara modern.” Doski nyolot banget: “Jangan ngimpi, men! Prajurit tribal itu bisa lebih sadis dari pasukan berseragam!”Buat Keeley, pejuang primitif itu walau nggak punya pangkat militer, markas besar, atau sekolah perang, tapi mereka jago banget soal taktik dan kejamnya nggak kira-kira. Mereka nyerang tanpa peringatan, suka nyulik atau bantai satu kampung, dan gak pake aturan Geneva Convention segala. Mereka ngerti satu hal: kalau mau menang, hajar duluan dan jangan kasih kesempatan buat musuh balas dendam. Yang ngeri, angka kematian per orang dalam perang suku itu sering lebih tinggi dibanding perang dunia!Sebaliknya, tentara negara modern itu memang punya aturan, SOP, dan pengawasan politik. Perangnya bisa masif, iya, tapi juga ada sistem buat ngerem kekejaman—kayak pengadilan militer atau hukum perang internasional. Bukan berarti perang modern itu lebih suci, tapi menurut Keeley, perang tribal sering banget diremehkan kejamnya, padahal nyatanya bisa lebih brutal dari yang kita bayangin.Keeley ngingetin kita: jangan terlalu cepat nyebut perang suku itu perang yang “nanggung” atau “sopan.” Mereka mungkin nggak punya seragam, tapi punya cara buat bikin lawan merinding dan luluh lantak. Kalau zaman sekarang ada sniper dan drone, zaman dulu ada racun di panah dan serangan subuh—sama-sama mengerikan, cuma beda versi.Keeley ngebongkar total ilusi yang bilang “perang zaman dulu itu nggak separah sekarang.” Doski bilang, “Bro, justru zaman dulu tuh ngerinya lebih pribadi, lebih brutal, dan lebih sering kejadian!”Menurutnya, angka kematian dalam perang antar suku zaman purba tuh edan banget. Loe bayangin aja, dalam beberapa komunitas prasejarah, sampai 1 dari 3 cowok dewasa tewas gara-gara perang. Bandingin ama Perang Dunia II yang katanya paling parah—ternyata secara persentase korban per kepala, suku-suku primitif itu jauh lebih mematikan. Perangnya mungkin nggak pake tank, tapi dampaknya bisa bikin satu generasi lenyap.Dan jangan kira mereka cuma “main-main perang” pake ritual doang. Di banyak budaya, perang itu beneran sadis. Bukan cuma lawan bersenjata yang dibantai—kadang-kadang warga sipil, perempuan, anak-anak pun ikut jadi korban. Bahkan penyiksaan dan pembantaian itu bukan “kecelakaan,” tapi strategi. Jadi, ide bahwa suku-suku purba itu punya kode etik perang yang penuh kehormatan? Menurut Keeley, itu mitos yang manis tapi jauh dari kenyataan.Manusia udah akrab banget ama tragedi perang sejak zaman batu. Yang beda cuma senjatanya, bukan horornya. Jadi jangan heran kalau sejarah kita—dari tombak sampai drone—penuh darah dan luka.Keeley kayak ngasih kalkulasi: “Oke, perang zaman dulu itu berdarah-darah, tapi gak asal ngamuk doang—ada untung ruginya juga.” Buat doi, perang itu semacam investasi brutal. Loe bisa rugi besar, tapi kalau menang, cuannya juga lumayan.Jadi gini, ketika satu suku menang perang, mereka gak cuma dapat lahan baru—mereka bisa jarah makanan, rebut ternak, ambil alat-alat, bahkan culik perempuan dan anak-anak buat dijadiin bagian dari komunitas. Pejuang yang jago juga bisa naik pamor—bisa dapetin lebih banyak pasangan, jadi pemimpin, atau minimal disegani kayak seleb kampung. Intinya, perang jadi ajang ngebuktiin diri, sekaligus cara “mendaur ulang” sumber daya dari suku lain.Tapi, ya jelas ada kerugian super besar. Kadang satu desa bisa lenyap dalam semalam, dan dendam turun-temurun bisa bikin hidup jadi was-was terus. Orang-orang mesti bangun benteng, tidur sambil pegangan tombak, dan tenaga yang mestinya buat bercocok tanam malah habis buat perang. Jadi walaupun kelihatan ada “keuntungan,” sebenarnya biaya sosial dan emosionalnya gede banget.Keeley pengen kita nyadar: perang zaman dulu tuh bukan barbar tanpa otak, tapi mekanisme keras buat bertahan dan berkuasa. Tapi kayak semua sistem kekerasan, hasilnya nggak pernah adil—yang dapet untung segelintir, yang kena rugi? Ya, orang biasa, perempuan, anak-anak, dan masa depan itu sendiri.Keeley kayak bilang: “Ayo stop bilang manusia purba itu damai kayak di iklan teh herbal.” Menurut doski, perang itu bukan produk sampingan modernitas, tapi emang udah jadi bagian dari cara manusia bertahan hidup sejak zaman batu.So, kenapa mereka perang? Bukan karena iseng, tapi karena rebutan sumber daya: lahan berburu, air, lahan subur. Kalau makanan langka, ya solusinya seringkali bukan diplomasi—tapi serangan! Trus, jangan lupa faktor balas dendam. Karena gak ada pengadilan atau polisi, urusan nyawa ya diselesaikan sendiri. Satu orang dibunuh, sukunya nyerang balik. Habis itu suku satunya lagi balas lagi. Begitu terus, kayak sinetron tanpa akhir.Selain itu, perang juga jadi ajang buat naikin status sosial. Buat cowok muda zaman itu, kalau mau dianggap keren dan dapet pasangan, ya harus buktiin diri di medan perang. Tambah lagi, faktor gengsi suku, rasa takut sama yang asing, dan dorongan buat jadi penguasa juga bikin konflik makin gampang meledak.Keeley nggak bilang perang itu takdir mutlak. Tapi doi juga nolak mentah-mentah ide bahwa perang zaman dulu itu aneh atau langka. Buat doski, perang itu kayak GPS survival zaman purba—kapan harus nyerang, kapan harus bertahan, semua ada hitung-hitungannya.Kesimpulannya? Manusia perang karena alasan klasik: rebutan, harga diri, dendam, rasa takut, dan keinginan buat berkuasa. Bedanya, zaman sekarang ada hukum dan negara buat ngerem. Zaman dulu? Ya... yang punya tombak paling tajam yang bicara.
[Bagian 2]