Senin, 07 Juli 2025

Perang: Siapa yang Cuan? (4)

Bayangin aja, lagi seru-serunya Perang Dunia I yang brutal dan bikin merinding, eh, tiba-tiba ada momen yang bikin hati meleleh. Namanya Christmas Truce 1914. Jadi gini, pas malam Natal di tahun 1914, tentara Inggris sama Jerman yang lagi saling sikat di parit-parit becek Front Barat, mendadak bikin perjanjian damai dadakan.
Pas malam tiba, suara tembakan yang bikin telinga pengang itu lenyap, digantiin sama melodi lagu "Stille Nacht" alias "Silent Night" yang dinyanyiin tentara Jerman. Tentara Inggris gak mau kalah, mereka ikutan nyanyiin lagu-lagu Natal versi mereka. Nah, pas pagi Natalnya, mereka semua pada keluar dari parit, tapi bukan bawa senjata, melainkan bawa senyuman, salaman, bahkan tukeran cokelat, rokok, sama kancing baju! Ada juga cerita yang bilang mereka sempat main bola bareng di tengah-tengah "No Man's Land" (area kosong di antara dua kubu yang lagi perang). Walaupun cuma sebentar, momen ini nunjukkin kalau kemanusiaan itu jauh lebih kuat daripada perang yang kejam. Bikin merinding campur haru!
Kalau dari Perang Dunia II, ada kisah yang nggak kalah gokil dari Hiroo Onoda. Doi ini perwira intelijen Jepang yang saking setianya, sampai gak percaya kalau perang udah kelar!
Onoda ini ditempatin di Filipina. Jepang udah nyerah dari tahun 1945, tapi doi malah ngelanjutin perang gerilya selama hampir 30 tahun! Tinggal di hutan belantara, doski ngira semua selebaran yang ngumumin perang udah berakhir itu cuma propaganda Sekutu. Akhirnya, doi baru nyerah di tahun 1974, itu pun setelah mantan komandannya sendiri terbang langsung ke pulau itu buat "bebasin" doski dari tugasnya. Dedikasi Onoda yang luar biasa ini, walaupun kalau dipikir-pikir jadi miris, tapi bener-bener bikin kita mikir seberapa dalam sih dampak psikologis perang itu.
Kalau dua kisah ini nggak bikin loe mikir bahwa manusia bisa jadi absurd sekaligus mulia di tengah perang, berarti loe butuh “update patch” empati.

Perang Dunia I (1914–1918) bikin Eropa jungkir balik. Kekaisaran Austro-Hungaria, Ottoman, Rusia, dan Jerman tumbang. Tapi korban jiwa bukan akhir cerita—justru awal dari munculnya fasisme, revolusi, dan negara-negara modern. Sejarawan Christopher Clark dalam The Sleepwalkers: How Europe Went to War in 1914  (2012, Allen Lane) bilang, semua ini berawal dari elite yang main-main sama api, sampai akhirnya benua meledak kayak bom waktu.
Menurut Clark, Perang Dunia I tuh kayak semacam konser rock yang awalnya cuma soundcheck, eh malah kebakar semua alat panggung gara-gara personelnya pada main korek di dekat bensin. Para elit politik dan militer di Eropa waktu itu diibaratkan "penidur yang jalan sambil ngelindur"—jalan terus ke jurang tapi merasa aman-aman aja. Mereka main-main dengan aliansi, ego nasional, dan strategi militer yang super kompleks, kayak main domino di atas meja yang udah goyang—dan mereka pikir semuanya masih bisa dikendalikan.
Clark nunjukin bahwa bukan cuma Jerman yang salah, tapi hampir semua negara besar waktu itu punya andil dalam bikin dunia meledak. Mereka terjebak dalam struktur kekuasaan, gengsi, dan ketakutan berlebihan, lalu saling dorong ke arah perang. Ketika Franz Ferdinand ditembak di Sarajevo, itu jadi pemantik—dan BOOM!—benua Eropa meledak kayak petasan banting yang dibungkus dinamit. Intinya, para pemimpin zaman itu bukan penjahat film Marvel, tapi manusia biasa yang terlalu pede main api di ladang minyak.

Dalam A History of the First World War, B. H. Liddell Hart ngajak kita nonton film perang berdurasi 10 jam—tapi sambil ngedumel, “Ini semua bisa kok lebih pendek kalau jenderalnya mikir dikit.” Sebagai mantan tentara sekaligus ahli strategi, Liddell Hart nggak cuma cerita soal siapa nembak siapa, tapi juga ngebongkar kenapa perang ini begitu sia-sia dan bego dalam banyak hal.
Doski ngritik keras model perang “adu kuat” di parit-parit Eropa Barat yang cuma buang-buang nyawa. Jenderal-jenderal macam Haig atau Joffre dinilai kayak stuck di mindset zaman batu: serang terus, walau udah jelas gagal. Sementara itu, doi ngasih acungan jempol ke tokoh-tokoh kayak Allenby yang lebih lincah dan out of the box. Intinya, Liddell Hart ngotot bahwa strategi muter—alias “indirect approach”—itu jauh lebih cerdas ketimbang nabrak terus kayak badak.
Karya ini juga nyentil soal front Timur, runtuhnya kekaisaran, dan drama revolusi Rusia yang ngebentuk ulang Eropa pascaperang. Buat doi, Perjanjian Versailles itu kayak nambah garam ke luka: terlalu kejam dan nyebabin dendam yang akhirnya nyulut Perang Dunia II.
Menurut Hart, cara Perang Dunia I dijalankan tuh kayak nonton sinetron yang gak abis-abis karena sutradaranya ogah ganti alur. Para jenderal zaman itu lebih doyan nyuruh pasukan nabrak tembok daripada nyari pintu samping. Mereka masih keukeuh pakai cara-cara jaman Napoleon, padahal musuh udah punya senjata otomatis dan parit berduri. Alhasil? Jutaan orang mati buat beberapa meter tanah berlumpur. Nggak efisien banget.
Hart usul, mending pakai “jalur muter”—alias strategi serang dari sisi yang nggak dijaga, banyak tipu-tipu, dan lincah. Kayak Allenby di Timur Tengah yang sukses nge-prank pasukan Ottoman dan menang tanpa jadi jagal. Buat Hart, perang itu harusnya lebih kayak catur, bukan adu banteng.
Doi juga nyinyir banget sama para pemimpin yang nggak belajar dari kesalahan, gak update sama teknologi, dan terlalu sibuk jaga gengsi daripada mikirin nyawa tentaranya. Intinya, perang ini jadi panjang dan berdarah banget gara-gara kebanyakan yang mimpin lebih mikir gaya daripada akal.
Singkatnya, Liddell Hart tuh kayak guru sejarah yang bilang, “Anak-anak, ini contoh gimana caranya jangan bikin perang.”

Dalam The First World War (1998, terbitan Hutchinson), John Keegan tuh kayak narator film dokumenter yang bukan cuma lihai cerita soal perangnya, tapi juga peka banget sama sisi manusianya. Doi gak cuma nunjukin satu negara lalu bilang, “Ini nih biang keroknya!”—tapi lebih nunjukin gimana Perang Dunia I tuh kayak pesta bencana gara-gara salah paham, keputusan-keputusan goblok, dan sistem militer yang ngotot pakai jurus lama buat ngadepin zaman baru.
Keegan fokus banget sama penderitaan para prajurit biasa. Doski bikin kita ngerasain gimana rasanya hidup di parit penuh lumpur, dihantui bom, dan ngeliat temen-temen mati satu-satu tanpa alasan yang jelas. Doi gak nulis perang kayak film aksi, tapi lebih kayak tragedi kemanusiaan yang absurd dan bikin frustrasi.
Meski kritiknya gak sepedas Liddell Hart, Keegan tetap nyindir para jenderal yang kayak robot: kurang kreativitas, terlalu formal, dan gak peka sama perubahan. Tapi doi juga ngerti bahwa para pemimpin itu sebenernya juga kejebak dalam tekanan dan situasi yang serba nggak pasti.
Keegan ngajak kita bukan cuma mikir soal “siapa yang menang atau kalah,” tapi gimana perang gede kayak gitu bisa bikin dunia berubah total—secara politik, budaya, sampai ke nurani manusia.

World War I yang dipublikasikan oleh Dorling Kindersley (DK) mengirim pesan utama yang jelas: Perang Dunia I itu bukan cuma soal jenderal dan peta taktik—tapi soal jutaan manusia yang hidupnya berubah total, atau bahkan berakhir tragis, gara-gara perang yang makin brutal karena mesin dan teknologi.
Perang Dunia I itu bukan hanya “episode pembuka” sebelum Hitler naik panggung, tapi sebuah drama besar yang beneran bikin dunia patah—mulai dari keruntuhan kerajaan, munculnya nasionalisme ganas, sampai revolusi sosial. Lewat cerita-cerita pribadi—dari suster, buruh pabrik, sampai tentara parit yang kedinginan—DK ngajak kita buat ngerasain betapa perangnya nggak abstrak, tapi sangat manusiawi dan menyayat hati.
Perang bisa muncul bukan karena orang jahat doang, tapi karena kombinasi ambisi, rasa takut, dan teknologi yang gak dikendalikan dengan akal sehat. Jadi intinya? Kalau manusia gak belajar dari sejarah, ya siap-siap aja neraka dunia keulang lagi.

Belum selese napas, Perang Dunia II (1939–1945) langsung gas pol. Dunia dibelah dua: ada PBB, Perang Dingin, dekolonisasi, dan munculnya institusi kayak IMF dan World Bank. Bom atom bikin logika perang berubah total. Ian Kershaw dalam To Hell and Back (2015, Allen Lane) nunjukin bahwa perang ini bukan cuma soal rebutan wilayah, tapi juga pertarungan hidup-mati antara fasisme, komunisme, dan demokrasi liberal.
Sir Ian Kershaw kayak bikin film epik Eropa abad ke-20—cuma tanpa popcorn. Karya ini ngebedah gimana fasisme, komunisme, dan demokrasi liberal bukan cuma tiga aliran politik, tapi kayak tiga gladiator brutal di arena sejarah, saling jegal buat jadi raja dunia setelah Perang Dunia I bikin segalanya ambyar.

Komunisme itu lahir sebagai ideologi politik dan ekonomi di abad ke-19, pas lagi seru-serunya Revolusi Industri. Meskipun ide-ide tentang kepemilikan bersama dan masyarakat tanpa kelas udah ada dari dulu, tapi teori komunisme modern yang paling ngehits itu diformulasiin sama Karl Marx dan Friedrich Engels di buku mereka, The Communist Manifesto, yang terbit tahun 1848. Pas itu lagi banyak banget gejolak sosial dan gerakan revolusioner di seantero Eropa.
Latarbelakang munculnya komunisme ini yalah dunia yang lagi berubah super cepat. Kapitalisme lagi naik daun, kota-kota makin ramai, dan ada pembagian kelas yang tajam banget: antara kaum borjuis (sang pemilik modal dan alat produksi) dan proletar (kaum buruh alias rakyat pekerja). Industrialisasi bikin para pemilik pabrik kaya mendadak, sementara para buruh hidup dalam kondisi mengenaskan, kerja rodi berjam-jam, dan melarat. Marx dan Engels bilang, sistem kayak gini itu udah jelas-jelas eksploitatif dan pasti bakal nyebabin konflik kelas. Mereka ngebayangin masyarakat dimana para buruh bakal bangkit, ngegulingin kaum kapitalis, ngapus kepemilikan pribadi, dan nyiptain masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara, dimana semua kekayaan dan kekuasaan dibagi bareng-bareng.
Komunisme makin populer di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama di kalangan kelas pekerja di Eropa. Puncak dramatisnya itu pas Revolusi Rusia 1917, waktu Vladimir Lenin dan kaum Bolshevik ngegulingin rezim Tsar dan ngebentuk negara komunis pertama: Uni Soviet. Peristiwa ini gak cuma ngasih bobot teori, tapi juga kekuatan geopolitik buat komunisme.
So, komunisme itu muncul sebagai kritik pedas terhadap kapitalisme industri dan seruan revolusioner buat ngebangun ulang masyarakat secara total. Janjinya sih kesetaraan buat semua, tapi pas diterapin di lapangan, seringnya malah berujung ke pemerintahan otoriter. Komunisme itu muncul dari keresahan kelas pekerja yang tiap hari hidup kayak figuran dalam film orang kaya, lalu berubah jadi revolusi global yang ngerombak sistem—kadang berujung utopis, tapi sering juga plot-twist jadi distopia.
Banyak rezim komunis di abad ke-20 itu kayak pasangan toxic: awalnya ngaku sayang rakyat, tapi ujung-ujungnya nyiksa habis-habisan demi “cinta ideologi.” Demi ngejar utopia tanpa kelas, banyak yang malah jadi pelaku genosida dan pembantaian massal. Ibarat film distopia, tapi ini kejadian beneran—bukan fiksi.
Di Uni Soviet, Stalin tuh kayak sutradara horror politik. Tahun 1930-an, doi ngegas habis-habisan di Great Purge—siapa pun yang dicurigai anti-partai langsung ditangkep, dikirim ke gulag (kamp kerja paksa), atau ditembak. Jutaan lenyap. Sebelumnya ada Holodomor, kelaparan buatan di Ukraina gara-gara kebijakan pertanian yang ngawur—jutaan orang mati, tapi partai bilang “demi masa depan cerah.”
Di China, Mao Zedong gak mau kalah. Doi ngadain Great Leap Forward yang katanya mau ngejar barat dalam hal industri. Yang ada, rakyat disuruh ngeleburin panci buat bikin baja, sawah terbengkalai, dan puluhan juta orang tewas kelaparan. Terus lanjut ke Cultural Revolution—anak-anak sekolah disuruh gebukin guru sendiri, yang pakai kacamata dibilang elit, langsung diciduk.
Pol Pot di Kamboja lebih hardcore lagi. Tahun 1975, doski bubarin sekolah, rumah sakit, uang, dan semua orang kota dipaksa jadi petani. Yang punya gelar, guru, bahkan yang cuma pakai kacamata, dicap musuh rakyat. Akibatnya? Sekitar dua juta orang mati—itu seperempat rakyat Kamboja!
Di tempat lain kayak Korea Utara, Vietnam, Ethiopia, sampai Eropa Timur, cerita tragis serupa juga terjadi. Semuanya bawa jargon “keadilan sosial” tapi ujungnya kayak konser berdarah: yang beda suara, disikat.
Pembantaian oleh rezim komunis sering terjadi bukan karena kehabisan akal, tapi karena mereka rela ngorbanin manusia demi ngejar “surga versi ideologi.” Tapi nyatanya, yang lahir bukan surga—malah neraka versi revolusi.

Tapi kenapa penumpasan G 30 S PKI di Indonesia disebut pelanggaran HAM padahal mereka (PKI) memberontak dan membunuh rakyat jelata?
Gini, lur. Penumpasan G30S PKI itu ibaratnya kayak film action yang ending-nya bikin baper campur ngeri. Memang sih, PKI itu bad guy banget, udah berontak, bunuh-bunuhin orang nggak bersalah, bikin negara gempar. Levelnya udah villain kakap, deh! Dan emang, di mata dunia waktu itu, Komunis itu kayak monster yang bikin parno, jadi wajar kalau pemerintah sama rakyat pada zamannya pengen 'ngabisin' mereka.
Masalahnya, setelah kejadian itu, penumpasannya itu jadi kayak 'balas dendam kesumat' yang kebablasan. Ibaratnya, mereka yang dicurigai PKI atau simpatisannya langsung diciduk, dibantai massal, kadang gak pake pengadilan, gak pake bukti kuat, langsung main 'sikat' aja. Kayak netizen nge-judge tanpa tabayyun, tapi ini nyawa taruhannya, bestie! Jumlah korbannya itu nggak main-main, bisa ratusan ribu orang meninggal, belum lagi yang dipenjara, disiksa. Horor banget, kan?
Nah, ini yang dibilang pelanggaran HAM. Ibaratnya, loe sebel ama preman, terus loe gebukin preman itu sampai sekarat di jalanan tanpa ada proses hukum. Kan gak bener juga, meskipun si preman salah. Meskipun ideologi Komunis dianggap bahaya, tapi caranya pemerintah dan rakyat menumpas itu yang jadi sorotan. Kayak, 'nggak gitu juga qalle!' Jadi, kalau ditanya salah apa nggak, ya jawabannya gak sesederhana hitam-putih sinetron. Ada yang bilang wajar karena negara dalam bahaya, tapi banyak juga yang bilang ini dark chapter banget di sejarah kita karena banyak nyawa melayang sia-sia tanpa keadilan. Udah kayak plot twist drama Korea yang bikin mikir keras, kan?

So, jujur aja nih, ada juga angle benernya soal penumpasan PKI ini, gaes. Jadi gini, alasan utama yang sering diangkat itu karena PKI ini dianggap udah jadi threat alias ancaman serius banget buat negara kita, Indonesia, dan ideologi Pancasila yang kita anut. Bayangin aja, waktu itu tanggal 30 September 1965, atau yang kita kenal G30S, itu para jenderal tentara kita dibunuh secara brutal, kayak di film-film thriller sadis gitu.
Nah, kejadian ini langsung dianggap sebagai serangan langsung ke pemerintah yang sah dan usaha buat ngubah total tatanan politik dan sosial negara kita. Intinya, mereka mau bikin Indonesia jadi negara komunis. Ibaratnya, udah ada lampu merah menyala tanda bahaya besar!
Apalagi waktu itu lagi peak-nya Perang Dingin, jadi komunisme itu di mata dunia, terutama negara-negara Barat, udah kayak villain utama yang haus kekuasaan dan bisa bikin negara jadi otoriter. Di Indonesia sendiri, PKI udah makin gede banget, bikin kelompok agama, kaum konservatif, sama militer pada was-was tingkat dewa kalau-kalau komunis beneran take over.
Dari sudut pandang mereka yang pengen ngejaga tatanan negara, Pancasila, dan cegah revolusi komunis, tindakan tegas buat ngancurin PKI itu dianggap sebagai langkah yang harus diambil, meskipun pahit, demi nyelametin negara. Ibaratnya, 'daripada nasi jadi bubur' atau 'mending potong jari daripada tangan diamputasi' gitu loh. Mereka percaya, kalau PKI berhasil, Indonesia bakalan punya nasib yang beda, boleh jadi lebih suram di bawah rezim komunis, kayak yang kejadian di negara lain. Jadi, penumpasan itu, menurut mereka, mencegah bencana yang lebih gede dan ngelindungin kemerdekaan serta jalan yang udah kita pilih. 

Kata pepatah, "Loe kagak bisa nyenengin semua orang." Nah, pepatah ini relate banget ama polemik soal penumpasan G30S PKI. Memang sih, ada aja yang teriak-teriak bilang itu pelanggaran HAM, kayak netizen julid di Twitter. Tapi, please deh, kita juga harus inget kalau Bangsa Indonesia waktu itu punya pertimbangan dan argumen sendiri yang valid banget buat numpas keganasan PKI. Mereka itu bukan asal main sikat, tapi ada alasan kuat kenapa mereka harus bertindak tegas.
Kalau ada yang bilang itu melanggar HAM, ya itu kata mereka doang. Kita sebagai bangsa punya narasi dan sudut pandang sendiri yang gak bisa digoyahkan begitu aja. Nggak bisa disalahin mutlak lah, ibaratnya. Yang justru parah dan salah besar itu adalah mereka yang gampang nyerah dan nelen mentah-mentah kalau Pemberantasan G30S PKI itu pelanggaran HAM. Padahal mah, harusnya mikir kritis dulu, bro! Kita punya harga diri dan sejarah yang perlu kita pahami dari kacamata kita sendiri, bukan cuma dari narasi luar yang belum tentu tahu jeroan permasalahannya. Ini kan drama bangsa kita, jadi ya kita punya hak dong buat punya versi cerita kita sendiri!

Fasisme muncul di awal abad ke-20, tepatnya setelah Perang Dunia I. Bisa dibilang, ini reaksi keras karena orang-orang udah pada muak ama demokrasi liberal yang dianggap gagal, sosialisme yang gak jelas, dan kekacauan pasca-perang yang bikin pusing tujuh keliling.
Akar-akar pemikirannya sendiri udah ada dari akhir abad ke-19, pas para pemikir kayak Georges Sorel dan Friedrich Nietzsche mulai mempertanyakan ide-ide Pencerahan kayak akal sehat, kesetaraan, sama kemajuan. Tapi, Fasisme bener-bener jadi gerakan politik yang konkret pertama kali di Italia bareng Benito Mussolini. Doi ini yang ngediriin Fasci di Combattimento di tahun 1919, yang akhirnya jadi Partai Fasis Nasional.
Kondisi Eropa pas itu lagi parah banget setelah Perang Dunia I. Ekonomi ancur, konflik kelas dimana-mana, ditambah lagi ketakutan akan komunisme setelah Revolusi Rusia 1917. Banyak orang udah gak percaya ama parlemen dan pemerintahan liberal buat balikin ketertiban dan harga diri bangsa. Nah, Fasisme ini datang dengan janji manis: persatuan, kekuatan, dan kejayaan lagi. Tapi ya, caranya lewat otoritarianisme, ultranasionalisme, dan gak segan-segan pake kekerasan buat ngebungkam siapa pun yang gak sependapat.
Fasisme ala Mussolini ini ngeagung-agungin negara, militerisme, dan nganggap bangsa itu di atas segalanya dibanding individu. Anti-komunis, anti-liberal, dan ngegerakin massa bukan lewat partisipasi demokratis, tapi lewat propaganda yang heboh, pencitraan, dan kekerasan. Model kayak gini yang akhirnya nginspirasi Adolf Hitler dan Nazi di Jerman, bikin Fasisme jadi makin masyhur (dalam artian negatif tentunya).
Fasisme itu lahir dari rasa kecewa berat. Campur aduk antara mimpi yang hancur, veteran perang yang marah, ekonomi yang nggak stabil, dan dahaga akan "tangan besi" buat bikin dunia yang lagi berantakan ini jadi tertib lagi.

Kenapa sih disebut fasisme dan komunisme? Ini bukan karena random aja kayak nama band indie, tapi karena ada makna filosofis dan simbolik di baliknya.
Fasisme itu diambil dari kata Italia fascio, yang artinya “ikatan” atau “bundel.” Ini merujuk ke simbol Romawi kuno fasces: seikat batang kayu yang diikat mengelilingi kapak. Artinya? “Kalau sendiri gampang dipatahkan, tapi kalau bareng kuat banget.” Mussolini ngambil nama ini buat nunjukin kekuatan dalam kesatuan—tapi bukan kesatuan happy-happy, ya. Ini kesatuan yang maksa, harus tunduk total ama negara dan pemimpin. Kayak boyband totaliter: semua harus satu gerakan, satu suara, gak boleh solo karier.
Komunisme itu dari bahasa Latin communis, artinya “milik bersama.” Jadi konsep utamanya: gak ada harta pribadi, gak ada bos-bosan, semua dikelola bareng-bareng buat kesejahteraan bersama. Marx dan Engels bawa istilah ini ke pentas dunia lewat The Communist Manifesto (1848), dengan misi besar: hancurin kapitalisme, bentuk masyarakat tanpa kelas—kayak kos-kosan impian, tapi semua orang rata, gak ada yang nyetir Mercy sendirian.
Trus, kenapa namanya begicu? Karena fasisme pengen semua orang diikat dalam satu kekuasaan absolut, sedangkan komunisme pengen semua orang berbagi dan setara—ya, setidaknya dalam teori. Kenyataannya sih, sering melenceng kayak sinetron politik penuh plot twist.
Dua ideologi ini kayak dua genre musik beda aliran—yang satu suka marching band nasionalistik penuh teriakan, yang satu suka nyanyi koor “semua harus sama.” Tapi kadang ujung-ujungnya, dua-duanya maksain loe dengerin terus lagunya…pakai toa.

Menurut Kershaw, fasisme itu lahir dari rasa frustrasi dan amarah massal. Di Italia dan Jerman, rakyat udah muak ama demokrasi yang banci dan takut ama komunisme yang dianggap serem. Jadi, muncullah Mussolini dan Hitler, kayak influencer toxic yang janjiin "Make Europe Great Again"—dengan cara nyalahin Yahudi, minoritas, dan siapa pun yang beda. Di sisi lain, komunisme ala Soviet bawa jargon revolusi proletar, tapi praktiknya kayak reality show distopia: penuh penyiksaan, pengawasan, dan penghilangan paksa.
Sementara itu, demokrasi liberal? Kayak anak kos idealis yang hidup di tengah kontrakan penuh preman. Inggris dan Perancis masih trauma Perang Dunia I, jadi mereka lebih milih diam dulu sambil minum teh. Tapi akhirnya, perang meletus juga, dan dunia jadi panggung pertarungan ideologi paling berdarah sepanjang sejarah.
Menurut Kershaw, Perang Dunia II bukan cuma perang antarnegara, tapi perang keyakinan tentang cara menjalani hidup. Nazi datang dengan agenda rasialis gila, Stalin dengan paranoia massalnya, dan para sekutu akhirnya turun tangan bukan cuma buat menang perang, tapi buat nyelametin ide demokrasi. Setelah Hitler tumbang, tinggal dua ideologi yang berdiri: demokrasi dan komunisme, kayak dua jagoan yang siap lanjut tanding di season berikutnya—alias Perang Dingin.
Gambaran Kershaw ini kayak ngeliat ulang sejarah sebagai trilogi blockbuster: penuh plot twist, villain berbahaya, dan pertarungan ide yang masih relevan sampai sekarang.

Menurut A. J. P. Taylor dalam The Origins of the Second World War (1961, Hamish Hamilton), Perang Dunia II itu bukan semata-mata plot jahat dari Hitler yang udah nulis skrip kekacauan dunia dari awal. Enggak. Menurut Taylor, perang itu malah kayak hasil dari "kesalahan komunikasi tingkat dewa" yang dilakuin bareng-bareng sama negara-negara Eropa setelah Perang Dunia I.
Bayangin loe abis ribut besar (PD I), terus bikin perjanjian (Versailles) yang ngebikin Jerman kayak orang abis bangkrut dan dihina-hina. Nah, Hitler datang bukan kayak villain di film Marvel, tapi lebih mirip politisi culas yang jago ambil momen. Doski gak selalu punya rencana panjang—doi lebih sering mikir, “Eh ini celahnya, gas!”
Britania Raya dan Prancis? Alih-alih nyetop dari awal, mereka malah kayak teman-teman yang ngasih utang terus ke temen toxic, berharap si toxic bisa berubah. Itulah kebijakan appeasement: kasih jalan biar Jerman gak marah, tapi ujungnya malah dikibulin. Mulai dari aneksasi Austria sampai Sudetenland, semua dikasih cuma biar “tenang dulu,” tapi justru makin bikin Hitler pede.
Taylor juga nyentil bahwa sistem dunia pasca PD I itu emang udah rusak. Jadi Perang Dunia II bukan kayak meteor yang gak bisa dihindari. Ini lebih ke arah: semua orang ngelihat badai datang, tapi mereka sibuk debat soal payung mana yang harus dipakai.
Perang Dunia II versi Taylor tuh kayak kerusuhan konser yang bisa dicegah... asal panitianya gak bego dan security-nya gak ketiduran.

Nah, bayangin loe lagi nonton film perang, kayak Dunkirk dicampur Band of Brothers, tapi yang jadi naratornya bukan tentara di lapangan, melainkan dosen taktik militer senior yang skeptis dan ngomel terus sepanjang film—itulah kira-kira History of the Second World War versi B. H. Liddell Hart. Karyanya bukan cuma nyeritain siapa lawan siapa dan siapa yang menang, tapi ngebedah "kenapa sih mereka semua bego banget?" dalam strategi dan keputusan politik.
Hart tuh kayak guru sejarah yang nyinyir tapi tajam, nyorotin gimana Perancis terlalu ngegantungin Maginot Line (kayak ngandelin tembok rumah dari kardus pas ada gempa), gimana Inggris awalnya gak ngerti pentingnya tank, dan bahkan berani nyentil Churchill karena lebih mikirin citra publik daripada kalkulasi militer.
Pesan penting Hart? Kemenangan itu bukan bukti kecerdasan. Kadang yang menang pun bisa keliru arah, dan yang kalah bukan selalu pecundang. Perang Dunia II baginya kayak sinetron yang babaknya kelamaan gara-gara semua karakter keras kepala. Hart ngajarin kita: jangan jadi pemimpin yang ngegas doang tapi nggak mikir, karena bisa-bisa dunia kejeblos ke perang lagi cuma gara-gara gengsi dan strategi kopong.
Kalau loe suka perang, jangan cuma lihat ledakannya—pahami juga kenapa itu bisa kejadian, biar kita gak ngulangin sinetron berdarah yang sama.

[Bagian 5]
[Bagian 3]