Selasa, 14 Oktober 2025

Penjaga Ketertiban atau Cermin Kekuasaan? (4)

Wawasan Shakespeare soal kekuasaan, moral, dan keadilan ternyata masih relevan banget. Dramanya penuh refleksi abadi tentang otoritas, korupsi, dan dilema etika pemimpin—nyambung banget ama tantangan modern yang dihadapi polisi sekarang.
Bayangin Macbeth. Doski dapet kekuasaan tanpa pengawasan, ambisinya bikin tirani, takut, dan kekacauan sosial. Buat kepolisian, Macbeth ini jadi peringatan: kalau kekuasaan nggak ada kontrolnya, polisi yang seharusnya ngelindungin rakyat bisa berubah jadi menindas, bikin kepercayaan publik ambyar.
Dalam King Lear, terlihat bahaya nilai-nilai yang keliru dan loyalitas palsu. Pemimpin yang gak bisa bedain kebenaran dan rayuan bakal bikin ketidakadilan dan chaos. Polri juga bisa kena risiko ini: promosi salah atau favoritisme tanpa akuntabilitas bisa bikin sistem yang seharusnya tegak malah goyah.
Hamlet kasih pelajaran lain. Di kerajaan yang korup, Hamlet berjuang buat ngambil keputusan moral—mirip sama polisi yang harus navigasi salah laku sistem tapi tetep mau bertindak etis. Reformasi, jadi, nggak cuma soal prosedur, tapi soal filosofi: butuh nurani dan keberanian.
Terakhir, Measure for Measure bicara langsung soal ketegangan antara hukum dan kebajikan. Sang Duke nyamar buat ngawasin pejabatnya, nunjukin pentingnya pengawasan, transparansi, dan integritas. Reformasi modern Polri juga begitu: badge nggak cuma simbol, tapi harus sejalan sama perilaku etis dan akuntabilitas publik.

Shakespeare ngingetin kita: kekuasaan itu tanggungjawab, bukan hak istimewa. Saat Indonesia jalanin reformasi Polri, dramanya bisa jadi peringatan sekaligus inspirasi: kekuasaan tanpa kontrol bikin korup, penilaian moral itu wajib, dan integritas adalah fondasi legitimasi. Sebelum masuk sejarah dan filosofi kepolisian, pantas rasanya berhenti sebentar dengan sang Bard, yang ceritanya ngasih cahaya soal dimensi kemanusiaan di balik tiap institusi berkuasa.

Sewaktu Shakespeare menulis Measure for Measure di awal abad ke-17, ia sebenarnya nggak cuma sedang nulis drama cinta dan keadilan—ia sedang ngaca ke arah mesin kekuasaan itu sendiri. Ceritanya terjadi di Wina, kota yang moralnya udah longgar dan hukum cuma jadi legenda. Saat Sang Adipati pura-pura pergi dan menyerahkan kekuasaan ke pejabat sok suci bernama Angelo, kekacauan langsung meledak—bukan karena hukum nggak ada, tapi karena hukum tiba-tiba ditegakkan tanpa kearifan dan tanpa belas kasihan. Dengan gaya khas satirenya, Shakespeare seolah bilang: keadilan tanpa kasih itu kediktatoran yang nyamar, sedangkan belas kasih tanpa keadilan hanyalah kelengahan yang pakai topeng kebaikan.

Nah, dari panggung moral yang rumit itu, kita bisa mulai merenungkan makna lembaga kepolisian. Polisi itu bukan sekadar penegak hukum, tapi penerjemah kemanusiaan lewat hukum. Seorang polisi, seperti Angelo atau Sang Adipati yang menyamar, selalu terjebak dalam paradoks: ia harus jadi pedang sekaligus nurani masyarakat. Negara yang membangun polisinya cuma di atas kekuasaan akan cepat sadar bahwa ketakutan itu pondasi yang rapuh, sedangkan negara yang hanya mengandalkan empati akan tenggelam dalam kekacauan.

Jadi, mereformasi Polri itu bukan cuma soal ngebenerin struktur birokrasi atau ganti seragam. Ini soal menata ulang jiwa pelayanan itu sendiri. Kita enggak sedang mengatur ulang kursi, tapi sedang berhadapan dengan warisan berabad-abad: dari disiplin kolonial sampai kecemasan pasca-reformasi. Kalau Shakespeare jalan-jalan di Jakarta hari ini, mungkin doski bakal senyum sinis dan bilang, “Wah, ternyata pertanyaan tentang keadilan dan kekuasaan masih menghantui kalian juga, ya.”

Seperti Angelo, mungkin ada aparat yang masih percaya bahwa ketertiban lahir dari rasa takut. Seperti Isabella, ada rakyat yang berpegang teguh pada kebaikan tapi merasa suaranya nggak pernah didengar. Dan seperti Sang Adipati, mungkin para pemimpin kita juga sering memilih “menyamar”—pakai retorika reformasi, kunjungan simbolik, empati di TV—daripada keberanian untuk benar-benar berubah. Tapi, seperti kata Shakespeare, panggung kekuasaan itu nggak pernah sepi dari penonton. Rakyat selalu menatap.

Sejarah kepolisian bukan kisah tongkat dan lencana, tapi kisah bagaimana peradaban menyeimbangkan kekuasaan dan moralitas. Di London—tempat lahirnya polisi modern—Sir Robert Peel lewat Nine Principles of Policing (1829) menegaskan: “Polisi adalah rakyat, dan rakyat adalah polisi.” Shakespeare pasti bakal ngangguk setuju; baginya, keadilan yang terpisah dari kemanusiaan itu tragedi, dan hukum tanpa legitimasi hanyalah lelucon yang menyedihkan.
Sir Robert Peel, yang sering disebut sebagai “bapak polisi modern,” bikin sembilan prinsip dasar pas tahun 1829 pas ia ngebangun Metropolitan Police di London. Kesembilan prinsip ini dikenal dengan sebutan “Peelian Principles”. Dulu banget, prinsip ini revolusioner karena nunjukin kalau polisi itu bukan cuma alat represi, tapi harus jadi pelayanan publik yang bertanggungjawab, mencegah kejahatan, dan punya legitimasi moral. Peel bilang, efektif enggaknya polisi tergantung pada seberapa masyarakat setuju sama tindakannya; mencegah kejahatan lebih penting daripada menghukum setelah kejadian; dan polisi itu seharusnya bagian dari masyarakat, bukan penguasa yang datang dari atas. Intinya, prinsip ini ngajarin kalau polisi harus etis, dekat dengan masyarakat, dan kerja berdasarkan persetujuan, bukan cuma pakai otoritas. Sampai sekarang, Peelian Principles jadi pondasi filosofi kepolisian modern di seluruh dunia, dari London sampai Jakarta.

Sembilan prinsip polisi ala Sir Robert Peel itu nggak cuma aturan di buku, tapi filosofi yang bikin kepolisian jadi pelayanan etis dan dekat sama masyarakat. Prinsip pertama bilang, misi utama polisi itu mencegah kejahatan dan kekacauan, bukan cuma reaktif setelah kejadian. Peel paham, kalau polisi aktif mencegah masalah, masyarakat bakal lebih percaya, kayak tukang kebun yang nyiram tanaman sebelum gulma tumbuh.
Prinsip kedua: polisi harus punya dukungan publik supaya efektif. Polisi yang ditakuti tapi nggak dipercaya bakal runtuh; legitimasi datang dari persetujuan, bukan intimidasi. Peel bilang, polisi adalah rakyat, rakyat adalah polisi. Artinya, polisi itu bagian dari masyarakat, bukan tamu yang nyuruh-nyuruh.
Prinsip ketiga: polisi harus dapat kerjasama sukarela dari masyarakat, bukan cuma ngandelin otoritas hukum. Penegakan tanpa persetujuan itu rapuh, kayak rumah dibangun di atas pasir. Warga harus lihat polisi sebagai teman, bukan musuh.
Prinsip keempat: semakin banyak pakai kekerasan, semakin menipis kerjasama masyarakat. Terlalu galak bikin warga defensif. Peel ngingetin: persuasi lebih ampuh daripada paksaan, empati lebih penting daripada intimidasi.
Prinsip kelima: polisi cari dan pertahankan simpati publik, bukan lewat sogokan, tapi lewat pelayanan yang adil, konsisten, dan transparan. Fair play bikin reputasi tahan lama.
Prinsip keenam: pakai kekerasan fisik cuma kalau bujukan, saran, atau peringatan nggak mempan. Kekerasan itu terakhir, bukan alat pertama. Peel bilang, kekerasan yang nggak perlu itu kayak nyulap perisai jadi senjata lawan yang seharusnya dilindungi.
Prinsip ketujuh: polisi harus selalu dekat sama masyarakat, membuktikan tradisi lama: polisi adalah rakyat, rakyat adalah polisi. Terlihat, ramah, dan mau dengerin—itu kuncinya.
Prinsip kedelapan: keadilan harus netral. Hukum yang pilih kasih bakal bikin warga kesal.
Prinsip kesembilan: ukuran efektifitas polisi bukan dari banyaknya penangkapan, tapi dari minimnya kejahatan dan kekacauan. Polisi sukses kalau masyarakat aman dan tertib, bukan cuma karena laporan polisi banyak.
Kalau digabung, Peelian Principles itu jadi kompas moral kepolisian: seimbang antara otoritas dan tanggungjawab, penegakan hukum dan empati, kekuasaan dan pelayanan. Sampai sekarang, prinsip ini jadi blueprint buat reformasi polisi modern dimanapun, termasuk Indonesia.

Kalau bahasan ini dimulai dengan Shakespeare, itu bukan karena mau sok puitis, tapi karena doi paham satu hal yang abadi: setiap sistem keadilan pada akhirnya membuka jati diri masyarakatnya. Jadi, mereformasi Polri bukan cuma urusan administrasi, tapi urusan menulis ulang naskah hidup bangsa ini—menentukan apakah kita mau jadi tiran, munafik, atau penjaga sejati kedamaian.

Kisah kepolisian gak dimulai dari seragam atau borgol, tapi dari kegelisahan manusia akan kekacauan. Jauh sebelum Sir Robert Peel mendirikan Polisi Metropolitan London tahun 1829, orang-orang udah punya cara sendiri buat ngejaga ketertiban. Di Mesopotamia kuno, ada penjaga malam yang bukan cuma melindungi pedagang tapi juga menjaga ketenangan warga. Di Yunani, astynomoi memastikan kota tetap bersih dan tertib. Di Roma, vigiles berkeliling dengan obor, menjaga keamanan dan reputasi warga.
Tapi para penjaga awal ini lebih mirip tangan panjang kekuasaan ketimbang pelindung rakyat. Mereka melindungi kaisar, bukan masyarakat. Menegakkan titah, bukan keadilan. Baru ketika kota-kota mulai tumbuh dari semangat kewargaan—seperti Athena, Firenze, dan London—muncul ide baru: bahwa keamanan bukan alat penguasa, tapi hak warga.

Loncat ke Inggris abad ke-17—zaman dimana Shakespeare hidup. London saat itu ramai, kotor, dan penuh drama. Belum ada polisi resmi; yang ada cuma penjaga dan konstabel yang digaji gereja lokal. Di masa itu, suara khotbah lebih nyaring daripada sirene. Tapi pertanyaan yang dilempar Shakespeare di Measure for Measure—“Siapa yang menjaga para penjaga?”—udah bergema dari zaman itu.

Saat Revolusi Industri datang, kota-kota makin sesak dan kejahatan gak lagi terlihat sebagai dosa moral, tapi tanda ketimpangan sosial. Di sinilah Sir Robert Peel tampil dengan ide radikal: polisi bukan alat represi, tapi lembaga pelayanan publik. Prinsip-prinsipnya yang sembilan itu jadi pondasi moral polisi modern. Yang paling keren: “Kemampuan polisi menjalankan tugasnya tergantung pada sejauh mana rakyat menyetujui tindakannya.”

Shakespeare pasti bakal tepuk tangan—karena yang digambarkan Peel bukan sekadar reformasi, tapi transformasi: dari otoritas menuju akuntabilitas. Keadilan, supaya abadi, harus terlihat seimbang. Polisi bukan lagi tangan negara, tapi cermin rakyat.

Tapi begitu ide ini menyeberangi lautan, ia ketemu sejarah yang beda—dan luka yang beda pula. Di negeri jajahan, polisi justru jadi alat represi. Di Hindia Belanda, sistem kepolisian dibangun bukan untuk dipercaya, tapi buat nakut-nakutin. Veldpolitie dan inlandsche politie dibuat agar rakyat tunduk pada ketertiban versi kolonial. Drama moral berubah jadi drama pengawasan.

Indonesia mewarisi jejak pahit ini: polisi lahir dari debu kolonialisme dan bara revolusi. Begitu republik berdiri, tugas awalnya adalah menyatukan potongan-potongan polisi kolonial menjadi institusi rakyat merdeka. Tapi bayangan masa lalu belum hilang. Tongkat yang dulu memaksa kini harus belajar menyentuh. Seragam yang dulu menakuti kini harus bisa dipercaya.

Dari situlah perjalanan panjang dimulai—bukan cuma perjuangan kekuasaan, tapi perjuangan makna. Apa artinya polisi dari rakyat dan untuk rakyat? Keadilan macam apa yang ingin dibangun bangsa ini lewat polisinya? Pertanyaan itu, dari panggung Shakespeare sampai trotoar Jakarta, masih relevan banget hari ini.

Ada anekdot lawas dari masa awal kemerdekaan. Seorang warga desa bilang ke polisi muda, “Nak, dulu kami takut sama polisi. Sekarang kamu katanya polisi rakyat—jadi, haruskah kami sayang atau tetep takut?” Sang polisi cuma nyengir, gak tahu harus jawab apa. Tapi di balik senyum itu, tersembunyi dilema yang masih terasa sampai kini.

Kepolisian itu sejatinya tindakan filosofis. Ia latihan harian dari keadilan. Ia bukan cuma soal bagaimana hukum ditegakkan, tapi kenapa hukum itu ada. Sebuah masyarakat akan mendapat polisi ibarat moral yang dimilikinya. Kalau rakyat kehilangan arah moral, polisi sehebat apa pun bakal kehilangan arah. Kalau polisinya kehilangan nurani, sistem seadil apa pun bakalan membusuk.

Dari Wina-nya Shakespeare sampai Jakarta modern, pelajarannya tetep sama: hukum dan belas-kasih harus menari bersama, atau dua-duanya akan tersungkur jatuh. Mereformasi Polri berarti mengajarkan lagi tarian itu—agar penguasa dan rakyat sama-sama inget: kekuasaan tanpa kebajikan, cepat atau lambat, akan berakhir jadi tragedi.

Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, itu bukan cuma soal lepas dari penjajahan, tapi juga soal menemukan jati diri. Salah satu lembaga yang harus dibangun ulang dari nol adalah kepolisian—lembaga yang dulu jadi alat penjajah, tapi kini diharap jadi pelindung rakyat. Ironinya lucu: seragamnya sama, tongkatnya masih itu-itu juga, tapi jiwanya harus lahir baru.

Di awal kemerdekaan, polisi lebih mirip pejuang berjaket moral daripada aparat profesional. Banyak di antara mereka bekas tentara perang, orang-orang yang tukar senapan dengan aturan hukum, revolusioner yang tiba-tiba disuruh jadi penjaga kedamaian. Mereka gagah, nasionalis, tapi juga bingung: gimana caranya jadi lembut tanpa kehilangan wibawa? Ada yang nyeletuk, “Dulu Belanda yang patroli, sekarang anaknya pejuang—tapi bedanya, dulu takut, sekarang malah pengin curhat.”

Tahun 1950-an jadi masa eksperimentasi. Indonesia masih belajar jadi negara, dan polisi masih belajar jadi lembaga. Identitasnya belum solid—cuma potongan-potongan warisan kolonial yang dijahit dengan semangat kemerdekaan. Polisi saat itu nggak cuma jaga ketertiban, tapi juga bantu bangun rasa kebangsaan. Mereka pelindung, penasehat, kadang politisi dadakan.

Masuk ke 1960-an, suasana mulai tegang. Ideologi bentrok, politik panas. Polisi terjebak di tengah badai—antara kekuasaan sipil dan dominasi militer. Di era Demokrasi Terpimpin, garis antara pelayanan publik dan loyalitas politik makin kabur. Banyak polisi sadar, hukum sering kali kalah sama kepentingan.

Zaman Orde Baru bikin pola itu makin permanen. Polisi digabung ke ABRI di bawah doktrin Dwifungsi. Di atas kertas sih buat koordinasi, tapi praktiknya lebih mirip subordinasi. Militer memimpin, polisi mengikuti. Hukum jadi alat stabilitas, dan stabilitas sering berarti diam. Keadilan punya seragam, tapi nuraninya disenyapkan.

Namun di balik itu, ada bara kecil yang tetap menyala—keinginan untuk berubah. Beberapa perwira mulai bicara soal profesionalisme dan kepercayaan publik. Mereka sadar, polisi tanpa legitimasi moral cuma mesin negara—mungkin efisien, tapi nggak akan pernah dihormati.

Lalu datang 1998—tahun dimana suara rakyat lebih keras dari peluru. Kejatuhan Soeharto bukan sekadar pergantian rezim, tapi kebangkitan nurani. Rakyat nggak cuma minta demokrasi, tapi juga martabat. Di antara teriakan reformasi, muncul satu tuntutan sederhana tapi tajam: “Polisi bukan alat, tapi pelindung!”

Tahun 1999 jadi titik balik. Polisi resmi dipisahkan dari militer dan berdiri sendiri di bawah kontrol sipil. Itu seperti lahir kembali—tapi kelahirannya bukan tanpa rasa sakit. Tiba-tiba, polisi harus meredefinisi diri: dari penjaga kekuasaan jadi pelayan keadilan; dari pengawal rezim jadi pengabdi rakyat.

Tapi reformasi itu kayak tobat—nggak bisa instan. Awal 2000-an jadi masa adaptasi penuh drama. Polisi dapat otonomi, tapi juga sorotan. Dulu media diam, sekarang cerewet. Dulu rakyat takut, sekarang malah cerewet banget. Seorang perwira senior bercanda, “Zaman dulu ditakuti, sekarang disalahin terus. Katanya reformasi, tapi kerjaan makin banyak.”

Namun justru di situlah sehatnya reformasi: kritik berarti rakyat peduli. Dari lalu lintas sampai terorisme, dari mediasi warga sampai kejahatan siber, polisi harus terus berevolusi. Reformasi bukan slogan, tapi sistem—pelatihan etika, polisi komunitas, pengawasan internal. Maju, meski tersendat.

Secara filosofis, ini perubahan besar. Polisi Indonesia bukan lagi cuma penegak hukum, tapi penjaga kepercayaan sosial. Ukuran keberhasilannya bukan berapa banyak tangkapan, tapi seberapa dalam rakyat percaya. Polisi yang sabar mendengar lebih berharga dari yang cepat menembak.

Sekarang, di era Presiden Prabowo, janji reformasi bergema lagi. Tantangannya bukan cuma soal institusi, tapi nurani: gimana membangun Polri yang tegas tapi adil, disiplin tapi empatik. Reformasi nggak boleh cuma kosmetik—harus menyentuh hati.

Shakespeare mungkin akan bilang, “Uneasy lies the head that wears the crown.” Tapi di sini, yang berat bukan mahkota—melainkan lencana. Kekuasaan itu berat bukan karena ia memerintah, tapi karena ia harus terus membenahi dirinya.

Btw, jauh sebelum Band Sukatani ngegas nyindir polisi lewat lagu “Bayar Bayar Bayar”, Iwan Fals udah duluan nyelipin travesti halus tapi pedes lewat tembang “Kereta Tiba Pukul Berapa”,

Traffic light aku lewati
Lampu merah tak peduli
Jalan terus 

Di depan ada polantas
Wajahnya begitu buas, tangkap aku
Tawar-menawar, harga pas, tancap gas
Kalau dulu polisi menjaga jalanan, maka polisi yang sudah direformasi hendaklah menjaga jiwa bangsa.
[Bagian 5]