Selasa, 30 Mei 2023

Masyarakat yang Terbiasa Merdeka, Bakalan Menuntutnya Lagi

"Bos sebuah pabrik besar memutuskan, akan melakukan inspeksi dadakan dan memeriksa stafnya. Mereka enggak tahu, entah itu buat pencitraan doang atau sekedar kontrol biasa. Usai melalui jalan yang lecak dan rusak, sampailah sang bos ke pabrik dan di saat ia berjalan melewati pabrik itu, ia melihat seorang pemuda, gak ngelakuin apa-apa selain bersandar di dinding. Tanpa tedeng aling-aling, ia berjalan mendekati sang pemuda, dan dengan gusar berkata, 'Berapa upah mingguan loe?'
'Tiga ratus ribuh pak,' jawab sang pemuda.
Mengeluarkan dompetnya, sang bos menghitung uang tiga ratus ribuannya, menyodorkannya ke genggaman sang pemuda, lalu berkata, 'Ini upah elu buat seminggu—sekarang keluar dan jangan pernah kembali!'
Menoleh ke salah seorang mandornya, sang bos bertanya, 'Udah berapa lama sih, anak pemalas itu, kerja di mari?'
'Doski gak kerja disini bos,' tanggap sang mandor. 'Doski baruuu aja dateng, nganterin pesanan rujak cingur buat sarapan bersama kita, sesuai arahan bos,'" berkata Rembulan ketika cahayanya bersinar terang, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.

"Tatkala sebuah masyarakat terbiasa hidup di bawah budaya politik monarki atau kesewenang-wenangan, mereka tak dibudayakan menginginkan kemerdekaan atau dididik agar berhasil dalam upaya, semacam perlawanan atau kebangkitan," lanjut Rembulan. "Berbeda dengan masyarakat yang hidup di alam demokrasi bebas, yang menginginkan kembali kemerdekaannya, lebih siap memperebutkannya lagi, lantaran cara mereka di masa sebelumnya, menjalankan kemerdekaan itu.

Bila engkau pernah nonton Braveheart garapan Mel Gibson, sebuah film drama sejarah epik Amerika tahun 1995, engkau dapat menemukan apa motif Machiavelli yang sebenarnya, ketika menasihati Lorenzo.
Lakon fiksi tentang kisah William Wallace (diperankan oleh Mel Gibson), seorang pemimpin selama perang kemerdekaan Skotlandia dengan Inggris pada abad ketiga belas dan keempat belas. Film ini dimulai dengan penuturan bahwa raja Skotlandia mangkat tanpa sebab, sehingga Raja Inggris Edward I (Patrick McGoohan), yang dilukiskan sebagai 'pagan yang kejam,' bermaksud mengisi kekosongan kekuasaan dengan mengklaim tahta Skotlandia. Saat para bangsawan Skotlandia melawan Edward karena hal ini, ia mengusulkan gencatan senjata; tapi itu semata muslihat, sebab Edward telah membunuh seluruh bangsawan, sehingga membantu mengkonsolidasikan kekuasaannya atas Skotlandia. Orang Skotlandia, yang merupakan orang yang relatif merdeka, kemudian dianiaya oleh pemerintahan tirani Edward. Raja Edward merebut lahan milik orang Skotlandia dan memberikannya kepada bangsawannya sendiri. Kesalahan paling mengerikan yang mungkin dilakukan Edward dalam film tersebut ialah, memberikan para bangsawannya di Skotlandia, prima nocte, hak bagi bangsawan meniduri seorang wanita Skotlandia pada malam pernikahannya.
Ayah Wallace terbunuh, kala ia masih kecil, oleh pasukan Edward. Di saat ia mencapai usia dewasa, Skotlandia telah berada di bawah penguasa tirani Inggris selama hampir dua dekade. Wallace terpaksa menikahi kekasihnya, Murron MacClannough (Catherine McCormack), secara diam-diam, agar ia tak harus tunduk pada hak prima nocte yang diberikan kepada para bangsawan Inggris. Namun, ketika MacClannough kemudian menolak tunduk pada godaan tak senonoh tentara Inggris dan melawan mereka, ia dieksekusi oleh penguasa Inggris setempat karena 'pelanggaran hukum' dan penyerangan. Aturan keji dan kesewenang-wenangan ini, mendorong Wallace dan para penduduk desa, memberontak melawan penguasa setempat dan pasukannya, membunuh mereka semua. Inilah yang akhirnya, tumbuh menjadi gerakan kemerdekaan oleh Wallace dan para pemimpin Skotlandia lainnya, dan serangkaian pertempuran melawan tentara Inggris pun terjadi, dengan Wallace di pucuk pimpinan.

Machiavelli takkan terkejut dengan lakon fiksi tentang William Wallace, yang dapat dengan mudah mengumpulkan pasukan melawan penindasan Edward dan para bangsawannya yang memerintah Skotlandia. Orang Skotlandia punya lebih banyak hak dan kemerdekaan sebelum pemerintahan Edward, maka mereka menuntut kemerdekaan mereka kembali. Kala desas-desus menyebar tentang Wallace memulai pemberontakan, sukarelawan Skotlandia yang berjumlah ribuan, dengan cepat bergabung dalam peperangan. Saat ia memimpin rekan senegaranya di medan-laga di Battle of Stirling Bridge, ia berpidato, yang membangkitkan semangat yang menekankan betapa pentingnya bagi mereka memperjuangkan kemerdekaan mereka. Belakangan, saat ia bertemu dengan utusan Raja Edward, Putri Isabella dari Wales (Sophie Marceau), Wallace menjelaskan mengapa pasukannya menjarah Kota York dan membunuh keponakan raja, sepupu ipar Isabella, 'York titik pementasan bagi setiap invasi ke negeriku, dan sepupu istana itu, menggantung orang Skotlandia yang tak bersalah, bahkan wanita dan anak-anak, dari tembok kota. ... Longshanks melakukan jauh lebih buruk saat terakhir kali ia merebut kota Skotlandia.' Belakangan, Wallace ditangkap oleh Inggris, diadili karena pengkhianatan, dinyatakan bersalah, dan dijatuhi hukuman siksa dan eksekusi. Selama penyiksaan, Wallace menolak meminta 'belas kasihan', yang akan menyebabkan berakhirnya penyiksaan dan kematian yang cepat. Sebaliknya, satu-satunya kata yang ia teriakkan, 'Merdeka!' Seruan ini, dan sentimen yang diwakilinya, memacu tentara Wallace dan Raja Skotlandia Robert the Bruce (Angus Macfadyen), melanjutkan pemberontakan mereka melawan Inggris.
Bruce kemudian memimpin tentara Skotlandia ke medan-laga, dimana, dalam kata-kata narator, 'patriot Skotlandia, yang kelaparan dan kalah jumlah, menyerbu ladang Bannockburn. Mereka berjuang layaknya penyair pejuang, mereka berjuang bagaikan orang Skotlandia, dan merebut kemerdekaan mereka.'
Dengan demikian, orang Skotlandia terus melawan Inggris dan tetap menjadi duri di pihak raja Inggris, sampai mereka memperoleh kembali kemerdekaan mereka. Seharusnya, hal ini tak mengejutkan bagi para cendekiawan Machiavellian, sebab orang Skotlandia mengenal kemerdekaan, maka mereka akan melakukan apa saja, guna mendapatkannya kembali.

Niccolò Machiavelli lahir di Florence pada tanggal 3 Mei 1469. Permainannya dikenal dengan peran aktif dalam urusan kota asalnya pada tahun 1498, tahun dimana runtuhnya rezim yang dikendalikan oleh Savonarola. Girolamo Savonarola, pemimpin Dominikan San Marco, yang khotbah kenabiannya telah mendominasi politik Florentine selama empat tahun sebelumnya, ditangkap karena tuduhan sesat pada awal April; segera setelah itu, dewan penguasa kota mulai memberhentikan para pendukungnya yang tersisa dari posisi mereka di pemerintahan.
Pada saat Machiavelli memasuki kanselir, terdapat metode rekrutmen yang mapan di kantor-kantor utamanya. Selain memberikan bukti keterampilan diplomatik, calon pejabat diharapkan menunjukkan kompetensi tingkat tinggi dalam apa yang disebut disiplin manusiawi. Konsep studia humanitatis ini, diturunkan dari sumber-sumber Romawi, dan terutama dari Cicero, yang cita-cita pedagogisnya, dihidupkan kembali oleh para humanis Italia abad keempat belas dan mulai memberikan pengaruh yang kuat di universitas-universitas dan perilaku kehidupan publik Italia. Kaum humanis dibedakan terutama oleh komitmen mereka pada teori tertentu tentang isi yang tepat dari pendidikan yang 'benar-benar manusiawi'.
Pada saat Machiavelli hendak mencatat vonis terakhirnya tentang para penguasa dan negarawan yang pernah ia temui, ia telah mencapai kesimpulan bahwa ada satu pelajaran sederhana namun mendasar yang telah mereka salah pahami, akibatnya, mereka umumnya gagal dalam usaha mereka, atau lebih berhasil karena keberuntungan ketimbang penilaian politik yang sehat. Kelemahan dasar yang mereka semua miliki, ialah ketidakfleksibelan yang fatal dalam menghadapi perubahan keadaan. Cesare Borgia selalu terlalu percaya diri; Maximilian selalu berhati-hati dan terlalu ragu; Julius II selalu terburu nafsu dan terlalu bersemangat. Apa yang mereka tolak akui, bahwa mereka akan jauh lebih sukses jika mereka berusaha menyesuaikan kepribadian mereka dengan tuntutan zaman, ketimbang berupaya membentuk kembali zaman mereka ke dalam cetakan kepribadiannya sendiri.

Machiavelli akhirnya menempatkan penilaian ini, di jantung analisis kepemimpinan politiknya, the Prince. Dalam bab 1 the Prince, ia menulis, 'Semua Negara Bagian dan Pemerintahan yang sebagaimana, atau yang pernah diperintah oleh manusia, telah dan akan menjadi Republik atau Princedoms [Kerajaan]. Princedoms bersifat turun-temurun, dimana kedaulatan diturunkan melalui garis keturunan leluhur lama, atau yang sama sekali baru. Princedoms baru, dari garis keturunan yang sama sekali baru, semisal yang dari Milan ke Francesco Sforza; atau mereka laksana anggota tubuh yang digabungkan dengan milik turun-temurun dari Pangeran yang memperolehnya, seumpama Kerajaan Napoli ke dalam wilayah kekuasaan Raja Spanyol. Negara-negara yang diperoleh, dengan demikian, telah digunakan hidup di bawah seorang Pangeran atau yang telah dimerdekakan; dan ia yang memperolehnya, melakukannya dengan tangannya sendiri, atau melalui tangan orang lain, dan entah itu dengan keberuntungan, atau dengan kepantasan.'

Dalam bab 5, Machiavelli menulis, 'Ketika sebuah Negara yang baru diakuisisi telah terbiasa, seperti yang telah kuutarakan, hidup di bawah hukum dan kemerdekaannya sendiri, ada tiga metode yang dapat dilakukan. Yang pertama, menghancurkannya; yang kedua, pergi dan tinggal di sana secara pribadi; yang ketiga, menderita hidup di bawah hukumnya sendiri, tunduk pada upeti, dan mempercayakan pemerintahannya kepada beberapa penduduk yang akan menjaga sisanya sebagai teman. Pemerintahan seperti itu, karena merupakan makhluk dari Pangeran baru, akan melihat bahwa ia tak dapat bertahan tanpa perlindungan dan dukungannya, dan karenanya, harus melakukan semua yang dapat dilakukan guna mempertahankannya; dan sebuah kota yang terbiasa hidup dalam kemerdekaan, jika ingin dipertahankan, lebih mudah dikendalikan melalui warganya sendiri ketimbang dengan cara lain apa pun.
Kita punya contoh dari semua metode ini, dalam sejarah Spartan dan Romawi. Spartan menguasai Athena dan Thebes dengan menciptakan oligarki di kota-kota ini, namun pada akhirnya, kehilangan segalanya. Bangsa Romawi, mempertahankan Capua, Kartago, dan Numantia, menghancurkan dan tak pernah kehilangannya. Di sisi lain, saat mereka hendak mempertahankan Yunani seperti yang dipegang Spartan, meninggalkan kebebasannya dan membiarkannya diatur oleh hukumnya sendiri, mereka gagal, dan harus menghancurkan banyak kota di Provinsi itu, sebelum mereka dapat mengamankannya. . Karena sebenarnya, tiada cara yang pasti mempertahankan selain dengan menghancurkan, dan siapa pun yang menjadi penguasa Kota yang terbiasa hidup dalam kemerdekaan dan tak menghancurkannya, dapat diperhitungkan untuk dihancurkan olehnya. Karena jika ia herus melawan, ia selalu dapat menyaring dirinya sendiri, atas nama kemerdekaan dan aturan-aturan lawasnya, yang takkan pernah lama, atau manfaat apa pun yang diberikan, takkan membuatnya lupa; dan lakukan apa yang engkau mau, dan berhati-hatilah, kecuali jika penduduknya tersebar dan menyebar, nama ini, dan tatanan lama, takkan pernah berhenti diingat, tetapi akan segera berbalik melawanmu setiap kali nestapa menimpamu, seperti ketika Pisa bangkit melawan Florentines, setelah seratus tahun mengabdi.
Namun, jika Kota atau Provinsi yang baru diakuisisi telah terbiasa hidup di bawah seorang Pangeran, dan garis keturunannya dipadamkan, tak mungkin bagi warga negara, yang digunakan, di satu sisi, patuh, dan dirampas, di sisi lain, penguasa lama mereka, sepakat memilih pemimpin dari antara mereka sendiri; dan karena mereka tak tahu bagaimana hidup sebagai orang merdeka, dan karenanya, lambat mengangkat senjata, orang asing dapat dengan mudah menguasai dan mengikat mereka pada tujuannya. Tapi di negeri Republik, ada vitalitas yang lebih kuat, kebencian yang lebih ganas, rasa haus yang lebih kuat untuk balas dendam. Ingatan akan kemerdekaan mereka sebelumnya, takkan membiarkan mereka berleha-leha; sehingga jalan teraman adalah menghancurkannya, atau pergi dan tinggal di dalamnya.'

Dalam bab 15, 'Sekarang tinggal kita mempertimbangkan apa yang seharusnya menjadi perilaku dan sikap seorang Pangeran dalam kaitannya dengan rakyat dan teman-temannya. Dan karena kutahu bahwa banyak yang telah menulis tentang hal ini, aku khawatir, bisa jadi, dianggap lancang dalam diriku, menulisnya juga; terlebih lagi, karena dalam perlakuanku terhadapnya, menyimpang dari pandangan yang diambil orang lain.
Tetapi karena tujuanku menulis apa yang akan berguna bagi siapa pun yang memahaminya, menurutku, lebih baik mengikuti kebenaran yang sebenarnya daripada pandangan imajiner tentangnya. Bagi banyak Republik dan Pangeran, telah terbayangkan yang tak pernah terlihat atau diketahui keberadaannya dalam alam nyata. Dan cara dimana kita hidup, dan dimana kita harus hidup, merupakan hal-hal yang sangat terbelah, sehingga ia yang meninggalkan yang satu guna mempertaruhkan dirinya kepada yang lain, lebih mungkin menghancurkan daripada menyelamatkan dirinya sendiri; karena siapa pun yang bertindak sesuai dengan standar kebaikan yang sempurna dalam segala hal, pastilah rontok di antara sekian banyak orang yang tak baik. Oleh karenanya, penting bagi seorang Pangeran yang hendak mempertahankan posisinya, telah belajar bagaimana menjadi selain kebaikan, dan menggunakan atau tak menggunakan kebaikannya, sesuai kebutuhan.
Mengesampingkan, oleh karenanya, semua gagasan aneh tentang seorang Pangeran, dan mempertimbangkan hanya itu yang benar, aku mengatakan bahwa semua orang, ketika dibicarakan, dan Pangeran lebih dari yang lain dari kedudukan mereka yang teramat tinggi, dicirikan oleh beberapa darinya, kualitas yang melekat, baik pujian atau celaan. Jadi, yang satu dianggap liberal, yang lain kikir (kata yang aku gunakan, bukan serakah, untuk menunjukkan orang yang terlalu hemat dari apa yang menjadi miliknya, keserakahan menjadi kecenderungan mengambil secara salah, apa yang menjadi milik orang lain); yang satu murah hati, yang lain loba; yang satu kejam, yang lain berhati lembut; yang satu tak setia, yang lain setia pada kata-katanya; yang satu banci dan pengecut, yang lain bersemangat dan pemberani; yang satu sopan, yang lain angkuh; yang satu najis, yang lain suci; yang satu sederhana, yang lain licik; yang satu kaku, yang lain lentur; yang satu teliti, yang lain gegabah; yang satu saleh, yang lain mungkar; dan sejenisnya. Setiap orang, aku tahu, akan mengakui bahwa akan sangat terpuji bagi seorang Pangeran yang memiliki semua kualitas di atas yang dianggap baik; namun karena tak mungkin baginya mempunyai atau terus-menerus mempraktekkan semua itu, keadaan sifat manusia tak memungkinkannya, ia harus cukup berhati-hati mengetahui bagaimana menghindari keburukan sifat buruk yang akan merampas pemerintahannya, dan, jika mungkin, berwaspada terhadap mereka yang mungkin tak menghalanginya; meskipun jika ia tak dapat sepenuhnya menahan diri, ia mungkin dengan sedikit keberatan menuruti yang terakhir. Namun, ia tak perlu ragu menanggung celaan dari sifat buruk yang tanpanya, otoritasnya hampir tak dapat dipertahankan; sebab jika ia mempertimbangkan dengan baik seluruh masalah, ia akan menemukan, mungkin, ada garis perilaku yang tampak sebagai kebajikan guna diikuti, yang akan menjadi kehancurannya, dan mungkin ada jalan lain yang tampak sebagai sifat buruk, dengan mengikuti yang mana keselamatan dan kesejahteraannya terjamin.'

Lakon di Braveheart, mirip dengan contoh yang dijelaskan Machiavelli dalam bab 5 The Prince. Menurut Machiavelli, 'Spartan menguasai Athena dan Thebes [sebelumnya kota-kota bebas] dengan menciptakan keadaan beberapa orang di dalamnya.' Di Braveheart, Raja Edward memberikan gelar lahan kepada berbagai bangsawan Inggris, guna mendorong mereka pindah ke Skotlandia dan membantunya mengawasi Skotlandia; demikian pula, Spartan mengirim beberapa otoritas mereka sendiri ke Athena dan Thebes dalam upaya mengontrolnya dengan lebih baik. Namun, strategi ini, pada akhirnya tak berhasil dalam lakon Braveheart, dengan Skotlandia merebut kembali kemerdekaannya; demikian pula, Machiavelli memberitahu kita bahwa terlepas dari upaya Spartan di Athena dan Thebes, 'namun demikian, mereka kehilangan semuanya.' Dalam kedua kasus tersebut, penguasa tak mau menghancurkan kota-kota ini, atau setidaknya tinggal di sana, yang akhirnya, mengakibatkan mereka kehilangan segalanya."

"Akhirnya," Rembulan hendak pergi, "perbincangan Machiavelli dalam bab 5 The Prince, merupakan lakon pengingat bagi para penguasa yang hendak menaklukkan orang-orang merdeka. Takkan ada perdamaian selama seorang Pangeran berusaha memerintah orang-orang yang telah mengenal kemerdekaannya, dan tak mau, serta tak dapat melepaskannya. Masyarakat yang merdeka, tahu apa yang mereka inginkan. Maka, jalan terbaik bagi sang Pangeran, sebaiknya, cukup dengan menahan diri dan tak mengusik mereka. Wallahu a'lam."

Sebelum berangkat ke belahan dunia lain, Rembulan bersenandung,

Ampuni aku yang telah memasuki kehidupan kalian
Mencoba mencari celah dalam hatimu

Aku tau ku takkan bisa menjadi s’perti yang engkau minta
Namun selama nafas berhembus, aku kan mencoba
Aku tau dia yg bisa menjadi s’perti yang engkau minta
Namun selama aku bernyawa, aku kan mencoba menjadi s’perti yang kau minta *)
Kutipan & Rujukan:
- Niccolò Machiavelli, The Prince, translated by Ninian Hill Thomson, 1513, Feedbooks
- Eric T. Kasper and Troy A. Kozma, Machiavelli Goes to the Movies: Understanding The Prince through Television and Film, 2015, Lexington Books
- Quentin Skinner, Machiavelli: A Very Short Introduction, 1981, Oxford University Press
*) "Seperti Yang Kau Minta" karya Pongki Barata

Minggu, 28 Mei 2023

Menghapus Jejak

"Seorang lelaki ngomong ke bosnya, yang juga kawan dekatnya, 'Keknya, udah saatnya gua layak dapetin kenaikan gaji. Loe tahu gak, udah ada tiga perusahaan lain yang ngejar-ngejar gua.'
'Apa iya?' tanya sang bos. 'Perusahaan mana aja yang ngejar-ngejar loe?'
Sang lelaki mendongak, seolah berusaha mengingat sesuatu. 'Seingat gua sih,' jawabnya, 'perusahaan listrik, perusahaan telepon, dan perusahaan pinjol,' berkata Rembulan di saat ia datang, setelah menyapa dengan Basmalah dan Salam.

"Kita semua dilahirkan dalam lingkungan alam dan budaya yang membentuk diri kita, secara individu dan kolektif. Dari 'bahasa ibu' hingga 'keyakinan ayah kita', dari risiko medis hingga bahaya alam, dimana kita memulai perjalanan, yang banyak berhubungan dengan takdir kita, dan dengan demikian, bersama peluang, kita mengatasi rintangan di jalan kita," lanjut Rembulan.
"Dalam perjalanan kita sebagai sebuah bangsa, kita melewati legit dan getirnya sebuah perjalanan. Ada yang mengenakkan, ada pula yang tak menyenangkan. Nah, haruskah bagian yang tak menyenangkan dari sejarah sebuah bangsa itu, dihapuskan? Jawabannya, sama sekali tidak. Yang baik hendaklah ada bersama yang buruk. Kala kita mengaburkan yang buruk, kita mendapat kesan bahwa semata kebaikan sebuah bangsa, takkan pernah ada. Yang baik ada lantaran terdapat bandingannya, yang buruk; vice versa.
Sejarah merupakan 'sebuah bentuk pengetahuan sosial; pekerjaan dalam contoh tertentu, dari ribuan tangan yang berbeda. Gagasan tentang sejarah sebagai bentuk pengetahuan organik, dan yang sumbernya tidak jelas, tak semata menggambarkan pengalaman kehidupan nyata, melainkan pula, ingatan dan mitos, fantasi dan hasrat; tak hanya pada kronologis masa lalu dari catatan dokumenter, tapi juga 'tradisi' yang tak lekang oleh waktu.
Masa lalu dan masa kini, disatukan dalam analisis tentang cara orang menjadikan masa lalu sebagai bagian dari rutinitas keseharian mereka dan beralih ke masa lalu 'sebagai cara bergulat dengan pertanyaan mendalam tentang bagaimana menjalani hidup'. Masyarakat menggunakan masa lalu mereka, kesan yang mereka temukan, guna menjawab pertanyaan tentang 'hubungan, identitas, keabadian, dan hak pilihan'. Masa lalu bukanlah entitas tak penting yang jauh atau abstrak, melainkan fitur kunci dari kehidupan mereka saat ini.
Kita dapat mengatakan bahwa pengalaman kita tentang masa kini, sebagian besar bergantung pada pengetahuan kita tentang masa lalu, dan gambaran kita tentang masa lalu, umumnya berfungsi melegitimasi tatanan sosial masa kini.

Kita umumnya menganggap ingatan sebagai kemampuan individu. Kendati demikian, terdapat sejumlah pemikir yang sependapat dengan keyakinan bahwa ada yang namanya ingatan kolektif atau sosial. Kita dapat mencatat bahwa citra masa lalu-lah yang umumnya, melegitimasi tatanan sosial saat ini. Bahwa aturan implisit inilah, semestinya, peserta dalam tatanan sosial apa pun, mengandaikan ingatan kolektif. Sejauh ingatan sebuah masyarakat menyimpang tentang masa lalu, sejauh itu pula, para anggotanya tak dapat berbagi, baik dalam hal pengalaman maupun asumsi.
Sebagai upaya untuk menunjukkan bagaimana hal ini terjadi, mari kita mulai dengan mempertimbangkan contoh paradoks: Revolusi Prancis. Setiap kali seseorang memulai ceritanya, dapat dikatakan bahwa akan lebih baik memulainya dari yang paling permulaan.

Dalam istilah politik pra-revolusioner, Prancis merupakan negara monarki absolut. Raja tak membagikan kekuasaannya kepada siapa pun, dan tak bertanggung jawab atas pelaksanaannya kepada siapa pun kecuali Tuhan. Urusan negara, termasuk keuangan, adalah domain pribadinya; dan dalam segala hal, ia berdaulat dalam artian, keputusannya final. Di sisi lain, tiada raja yang, atau berusaha menjadi, agen yang sepenuhnya bebas. Bahkan Louis XIV pun berhati-hati meminta nasihat pada semua keputusan penting, dan orang-orang yang terlahir menjadi raja (karena ratu dilarang oleh hukum Prancis) dengan hati-hati diajari bahwa nasihat merupakan inti dari otoritas kedaulatan mereka. Louis XVI mempercayai ini secara implisit; namun tak seperti kakeknya, Louis XV (ayahnya sendiri telah mangkat sebelum mewarisi tahta) ia tak selalu melakukan apa yang direkomendasikan oleh mayoritas menterinya. Ia secara khusus mengira bahwa ia memahami bidang keuangan—sebuah delusi yang terbukti adanya.
Krisis dipicu oleh upaya Raja Louis XVI untuk menghindari kebangkrutan. Selama abad kedelapan belas, Prancis telah berperang tiga kali dalam skala dunia. Terbiasa dengan kebanggaan, ambisi, dan prestasi, Louis XIV (1643–1715) yang menganggap dirinya sebagai kekuatan Eropa terbesar, Prancis mendapati pretensinya ditantang selama tiga generasi setelah kematian raja agung dengan munculnya kekuatan baru–Rusia, Prusia, dan terutama, Britania Raya. Persaingan dengan Inggris terjadi di lautan dunia. Yang dipertaruhkan adalah dominasi sumber dan pasokan kemewahan tropis dan oriental, yang membuat Eropa mengembangkan selera yang tak terpuaskan.
Raja juga tak terkekang dalam memilih penasihatnya. Meskipun ia dapat memecat mereka tanpa penjelasan, pilihan praktisnya terbatas pada karir administrator, hakim, dan para punggawa atau abdi dalem istana. Mereka, pada gilirannya, hanya dapat diperhatikan oleh intrik menteri lain dan kenalan dari jenis yang diambil dari jajaran atau klien dari beberapa ratus keluarga yang cukup kaya agar hidup dalam kemegahan Istana yang bersepuh emas. Dipenjara dalam rutinitas tatakrama atau etiket yang hampir tak berubah, yang ditetapkan pada abad sebelumnya oleh Louis XIV, kedua penerusnya menjalani hidup mereka secara berpindah-pindah, mengikuti perburuan di sekitar istana hutan di luar Paris–Fontainebleau, Compiègne, dan tentu saja Versailles, kursi kekuasaan spektakuler yang ditiru oleh para penguasa di seluruh Eropa. Ketika mereka mengunjungi ibu kota, itu cuma sebentar. Louis XIV telah menetapkan gaya hidup kerajaan ini dengan sengaja guna menjauhkan diri dari kota yang bergolak dan bergejolak, yang orang-orangnya menentang otoritas kerajaan selama minoritasnya dalam pemberontakan Fronde (1648–53).
Otoritas absolut raja atas negara secara luas diwujudkan dalam segelintir agen eksekutif yang teramat berkuasa, yang disebut para intendant. Salah satunya, ditugaskan bagi masing-masing dari 36 generalitas yang membagi kerajaan Louis XVI. Raja menganggap mereka sebagai contoh pemerintahannya, dan tak diragukan tingkat profesionalisme mereka yang tinggi. Namun mereka semakin tak populer karena cara otoriternya, dan kekurangan serta kesalahan mereka tanpa ampun dikecam oleh badan-badan yang otoritasnya sebagian besar telah mereka gantikan sejak abad ketujuh belas. Perpajakan di beberapa provinsi besar, misalnya, masih memerlukan persetujuan perkebunan—perwakilan, meskipun jarang dipilih, majelis yang tak punya kekuatan tertinggi untuk melawan, tetapi kemiripan independensinya memungkinkan mereka meminjam dengan relatif murah atas nama raja. Di atas semuanya, pekerjaan fiskal dan administrasi para pelaku terus-menerus dihalangi oleh pengadilan, yang sebagian besar punya fungsi administratif dan yudisial.
Namun sulit untuk melihat bagaimana seorang raja Prancis dapat mempertahankan pretensi internasionalnya tanpa beberapa modifikasi dalam hal hak istimewa dan ketidaksetaraan. Tiada tempat dimana kurangnya keseragaman kerajaan lebih mencolok ketimbang struktur hak istimewa dan pengecualian yang memberi setiap institusi, kelompok, atau wilayah, status yang berbeda dengan yang lain.
Jadi krisis 1787 bukan hanya di bidang finansial. Calonne, menteri keuangan yang ditunjuk pada tahun 1783 untuk mengatur kembalinya kondisi masa damai, memulai dengan pengeluaran yang boros dengan harapan mempertahankan kepercayaan.
Itulah bencana politik. Beberapa tokoh menerima versi Calonne tentang krisis yang dihadapi negara. Bahkan mereka yang melakukannya cenderung menganggapnya bertanggung jawab, dan karenanya bukan orang yang tepat untuk menyelesaikannya.
Sebulan sebelum otoritas monarki runtuh menjadi kebangkrutan, badai es kolosal melanda Prancis utara dan menghancurkan sebagian besar panen yang matang. Dengan cadangan yang rendah setelah Calonne mengesahkan ekspor biji-bijian gratis pada tahun 1787, hasil yang tak terhindarkan adalah bahwa bulan-bulan sebelum panen tahun 1789 membawa kesulitan ekonomi yang parah. Harga roti naik, dan karena konsumen membelanjakan lebih banyak pendapatan mereka untuk makanan, permintaan barang lain akan turun. Manufaktur, yang terkena persaingan Inggris yang lebih murah di bawah perjanjian komersial tahun 1786, sudah merosot; dan ada PHK yang meluas pada saat harga roti mulai melambung.
Di atas semua itu, datanglah musim dingin yang luar biasa dingin, ketika sungai membeku, melumpuhkan pabrik dan transportasi massal dan menghasilkan banjir yang meluas ketika pencairan salju akhirnya datang. Jadi badai politik yang akan pecah akan terjadi dengan latar belakang krisis ekonomi, dan akan sangat terpengaruh olehnya. Maka, tanggal 14 Juli bukanlah awal dari Revolusi Prancis. Ia merupakan akhir dari sebuah permulaan.

Penggalan sejarah ini, merupakan kasus paradoks, karena jika dimana pun engkau tak berharap menemukan ingatan sosial sedang bekerja, itu pasti ada di era revolusi besar. Tapi satu hal yang cenderung dilupakan tentang Revolusi Prancis, bahwa seperti di semua permulaan, semuanya melibatkan ingatan. Lainnya, melibatkan pemenggalan kepala dan pergantian pakaian yang dikenakan masyarakat. Dapat diyakini bahwa ada hubungan antara dua hal ini, dan apa yang dapat kita katakan tentang hubungan itu, dapat digeneralisasikan di luar contoh tertentu."

“Dan terakhir,” kata Rembulan, “mari kita coba renungkan tentang tulisan Ernst Bloch yang bertajuk ‘the Mark!’ sebagai berikut,
'Semakin banyak yang muncul di sisi kita. Seseorang hendaknya mengamati dengan tepat hal-hal kecil, kemudian mengejarnya.
Apa yang lampai dan ganjil, seringkali menuntun ke arah yang paling jauh. Seseorang mendengar sebuah cerita, tentang prajurit yang datang terlambat saat berkumpul. Ia tak bergabung ke dalam barisan, melainkan berdiri di samping sang perwira, yang 'dengan demikian' tak memperhatikan apa pun. Terlepas dari candaan yang diberikan cerita ini, sebuah kesan masih bekerja: Apa itu? Sesuatu yang bergerak! Dan ia bergerak dengan caranya sendiri. Impresi yang takkan membiarkan kita bergantung pada apa yang kita dengar. Kesan di permukaan kehidupan, boleh jadi, koyak.
Singkatnya, berpikir dalam kisah-cerita, juga bagus. Begitu banyak yang tak usai dengan sendirinya ketika itu terjadi, bahkan dimana itu dikisahkan dengan indah. Sebaliknya, sangat aneh, ada lebih banyak hal yang terjadi di sana. Persoalan ini punya sesuatu tentangnya; inilah yang ditunjukkan atau disarankannya. Kisah-cerita semacam ini, tak semata dituturkan; sebaliknya kita menghitung pula apa yang terjadi di sana—atau kita dengarkan: Apa itu?
Dari peristiwa muncul 'Tanda!' yang takkan begitu; atau 'Tanda!' yang memang begitu, yang mengambil peristiwa kecil sebagai jejak dan contoh.
Semuanya menunjukkan 'kurang' atau 'lebih' yang hendaknya dipikirkan dalam penceritaan, disampaikan kembali dalam bentuk pemikiran; dalam kisah ini, ada yang tak benar, karena ada yang tak beres dengan kita, atau dengan apa pun itu. Beberapa hal semata dapat dipahami dalam lakon itu, bukan dengan gaya yang lebih ekspansif, terhormat, atau karenanaya, tidak dengan cara yang sama. Bagaimana beberapa hal seperti itu, menjadi perhatian, akan dituturkan kembali di sini, dan secara tentatif ditandai; menandai dengan penuh kasih dalam menarasikan kembali; dengan menandai, bermaksud meriwayatkan kembali. Goresan tipis dan semacamnya, dari kehidupan yang belum dilupakan; sampah kita akan sangat berharga di kemudiannya. Tetapi impuls yang lebih lawas, ada pula di sana: mendengar kisah-cerita, yang baik, yang buruk, lakon dengan nada yang berbeda, dari tahun yang berbeda, yang mengagumkan, yang, ketika semuanya berakhir, hanya benar-benar berakhir dalam keharuan. Inilah pembacaan jejak ke segala arah, di bagian yang hanya membagi bingkai. Pada akhirnya, semua yang ditemui dan diperhatikan, sama saja.'"
"Wallahu a'lam."

Saatnya pergi, Rembulan pamit dan bersenandung,

Terus melangkah melupakanmu, lelah hati perhatikan sikapmu
Jalan pikiranmu buatku ragu, tak mungkin ini tetap bertahan
Perlahan mimpi terasa mengganggu, kucoba untuk terus menjauh
Perlahan hatiku terbelenggu, kucoba untuk lanjutkan hidup
Engkau bukanlah segalaku, bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah, semua berlalu, biar hujan menghapus jejakmu *)
Kutipan & Rujukan:
- Paul Connerton, How Societies Remember, 1996, Cambridge University Press
- William Doyle, The French Revolution: A Very Short Introduction, 2001, Oxford University Press
- Ernst Bloch, Traces, 2006, Stanford University Press
*) "Mengapus Jejakmu" karya Nazriel Irham

Selasa, 23 Mei 2023

Nafkah Halal : Perspektif Islam (2)

"Hidup kita ini, sebuah amanah, pula, sebuah perjalanan dimana nilai-nilai yang mengatur hidup kita, akan berdampak pada hasil perjalanan kita. Karenanya, ia memunculkan peluang dan memberi kita keyakinan bahwa perubahan itu, memungkinkan. Perubahan merupakan bagian dari takdir kita. Kita perlu punya visi terhadap perubahan itu, dan sebagai seorang Muslim atau Muslimah, kita perlu menghargai dan memanfaatkan kekuatan transformasional Islam sebagai sistem keyakinan, nilai, dan etika. Dalam sebuah hadits qudsi [Shahih Al-Bukhari], Allah berfirman, 'Aku bersama prasangka hamba-Ku,' maksudnya, Aku dapat melakukan untuknya, apa yang menurutnya, dapat Aku lakukan untuknya. Dalam hadits ini, Allah mengajarkan tentang paradigma kita. Nasib kita, sebenarnya terletak pada cara kita berpikir dan berperilaku," lanjut Rembulan.

“Ada orang yang beranggapan bahwa terdapat jenis pekerjaan atau profesi tertentu, sebagai hal yang hina. Namun, Rasulullah (ﷺ) menolak validitas gagasan ini. Beliau mengajarkan kepada para sahabat bahwa seluruh martabat manusia terikat dengan pekerjaannya—pekerjaan apa pun—dan bahwa aib dan cela yang sesungguhnya, bila bergantung pada bantuan orang lain. Seorang Muslim boleh mencari nafkah dengan pertanian, perdagangan, atau industri atau dengan profesi atau pekerjaan apapun selama itu tak melibatkan, melakukan, mendukung, atau menyebarkan sesuatu yang haram.
Manusia tak diperbolehkan menghindari bekerja mencari nafkah dengan dalih mengabdikan hidupnya untuk beribadah atau cuma ngomong bahwa ia bertawakkal kepada Allah, karena emas dan perak, tentunya, tak jatuh dari langit. Juga tak diperbolehkan baginya bergantung pada derma orang lain sementara ia mampu mendapatkan apa yang mencukupi kebutuhannya sendiri dan keluarganya melalui usahanya sendiri. Rasulullah (ﷺ) melarang seorang Muslim mengemis pada orang lain tanpa kebutuhan yang mendesak sehingga kehilangan kehormatan dan martabatnya.
Dengan teguran yang begitu keras, Rasulullah (ﷺ) bermaksud mendidik umat Islam agar menjaga martabatnya, mengembangkan kemandirian, dan jauh dari ketergantungan pada orang lain. Namun bagaimanapun, Rasulullah (ﷺ) menyadari situasi kebutuhan. Jika, di bawah tekanan kebutuhan, seseorang terpaksa memohon bantuan keuangan dari pemerintah atau dari individu, ia tak boleh disalahkan. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لْمَسَائِلُ كُدُوحٌ يَكْدَحُ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ فَمَنْ شَاءَ أَبْقَى عَلَى وَجْهِهِ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ ذَا سُلْطَانٍ أَوْ فِي أَمْرٍ لاَ يَجِدُ مِنْهُ بُدًّا
'Meminta-minta merupakan luka yang membuat seseorang merusak wajahnya, sehingga ia yang mau, dapat mempertahankan harga dirinya, dan ia yang mau, dapat meninggalkannya; namun hal ini tak berlaku bagi orang yang meminta dari seorang penguasa, atau dalam keadaan yang mengharuskannya.' [Sunan Abi Dawud; Sahih oleh Al-Albani]
Ketika Rasulullah (ﷺ) memberi nasehat kepada Abu Bisyr Qubaisah bin al-Makharaq, beliau (ﷺ) bersabda,
إِنَّ اَلْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ اَلْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ, فَحَلَّتْ لَهُ اَلْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُولَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَى مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ اَلْمَسْأَلَةُ
'Sesungguhnya, meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: seseorang yang menjamin hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti; seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai memperoleh sandaran hidup.' [Sahih Muslim].
Rasulullah (ﷺ) bekerja sebagai pedagang, berdagang dengan paman beliau, kemudian bersama Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, radhiyallahu 'anha. Dan ditemukan orang-orang kaya di antara para sahabat (semisal Abu Bakar, 'Utsman, 'Abdul-Rahmaan bin 'Auf, Thalhah bin 'Ubaidullah dan lainnya, radhiyallahu 'anhum) yang memperoleh kekayaan mereka melalui perdagangan dan menggunakan kekayaannya, guna mendukung perjuangan di Jalan Allah.
Begitu pula Abu Bakar As-Siddiq, radhiyallahu 'anhu, karena ia berjual-beli, dan mengorbankan kekayaannya untuk mendukung Islam dan umat Islam, sejak ia berada di Makkah sebelum hijrah, juga setelah hijrah. Ia mewakafkan sebagian besar kekayaannya di Jalan Allah.
Demikian pula 'Utsman bin 'Affan, radhiyallahu 'anhu, yang menyediakan perlengkapan tentara bagi orang miskin dan 'Abdur-Rahmaan bin 'Auf, radhiyallahu 'anhu, yang menyumbangkan uang kepada umat Islam pada saat dibutuhkan dan pada saat Jihad. Para Salaf saling mendukung dan murid-murid mereka agar 'mematuhi pasar'.
Oleh sebab itu, mencari rezeki menurut jalur yang halal—yang terbesar adalah jual-beli—bermanfaat banyak.

Dalam berbisnis, umat Islam hendaknya menyadari bahwa semakin cepat mereka mempertimbangkan Islam dalam masa berbisnis, semakin mudah menerapkan praktik bisnis yang konsisten dengan keyakinan agama mereka. Investor Muslim, misalnya, dapat memanfaatkan peluang bisnis tertentu, tetapi baru kemudian menemukan bahwa model bisnis yang relevan biasanya didukung oleh unsur-unsur haram. Jika mereka tetap menjalankan bisnis tersebut dengan aspek haramnya, jelas akan merugikan diri mereka sendiri. Kendati jika mereka mengekstraksi diri mereka sendiri, dan sebanyak mungkin dari investasi awal mereka, keuntungan bersih mereka hampir selalu negatif, terutama jika kita mempertimbangkan biaya peluang dari aktivitas investasi palsu.
Bisnis yang memperoleh penghasilan dari produk atau layanan haram seperti daging babi, perjudian, minuman keras, narkoba, atau prostitusi, tak diragukan lagi, dilarang. Banyak umat Islam membodohi diri mereka sendiri dengan mengatakan bahwa meskipun mereka menjual minuman keras di toko minuman keras, mereka tak mengkonsumsinya sendiri. Umat Islam hendaklah benar-benar menghindari bisnis semacam itu, ketimbang berusaha mencari cara merasionalisasi keterlibatan mereka di dalamnya.

Di dalam Al-Qur'an, seraya mengacu pada karunia dan nikmat-Nya kepada manusia, Allah menyebutkan prinsip-prinsip yang diperlukan guna mengelola bidang pertanian. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, telah membentangkan bumi dan membuatnya layak dan subur bagi penanaman dan produksi; inilah karunia bagi manusia yang sepantasnya diingat dan disyukuri, karena Allah juga telah menyediakan air yang melimpah. Dia menurunkannya sebagai hujan dan membuatnya mengalir dalam aliran-aliran untuk menghidupkan kembali bumi setelah mati. Selanjutnya, Dia mengirimkan angin, dengan 'kabar baik' menggiring awan dan menyebarkan benih. Semua ini, merupakan dorongan bagi manusia agar melakukan kegiatan pertanian, karena telah dimudahkan baginya sebagai nikmat Ilahi. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
'Tiadalah seorang muslim yang menanam pohon dan dari buahnya dimakan oleh seseorang atau hewan atau unggas, melainkan ia akan bernilai sedekah di Hari Kiamat.’ [Shahih Muslim]
Pahala bagi orang yang menanam pohon atau tanaman, terus berlanjut selama hasil pohon atau tanaman tersebut, dimakan atau digunakan, meskipun ia mungkin telah menjualnya kepada orang lain. Para ulama berkata, 'Oleh rahmat Allah-lah bahwa Dia terus menambah pahala seseorang bahkan setelah kematiannya, seperti ketika ia masih hidup, terhadap enam hal: amal yang terus berlanjut manfaatnya, ilmu yang bermanfaat, anak-anak saleh yang berdoa untuknya, pohon yang ia tanam, benih yang ia tabur, dan batas wilayah yang ia jaga.'
Namun, tak diperbolehkan membudidayakan tumbuhan yang haram untuk dimakan, atau yang tak diketahui kegunaannya kecuali membahayakan.

Dari sudut pandang Islam, akan sangat tak diinginkan jika orang membatasi upaya ekonomi mereka, semata pada satu bidang profesi, keadaan yang serupa dengan anggapan bahwa lautan yang tiada habisnya itu, tak berguna selain cuma untuk mengekstraksi mutiara dari kedalamannya.
Umat Islam hendaknya mengembangkan industri, kerajinan tangan, dan profesi yang esensial bagi kehidupan masyarakat, bagi kekuatan bangsa yang merdeka dan kuat, dan bagi generasi mendatang, serta bagi kemakmuran sebuah negara. Seperti yang telah dijelaskan oleh para ulama besar dan ahli hukum, industri dan profesi esensial tak semata diperbolehkan oleh Syari'at Islam, melainkan sebenarnya, merupakan kewajiban bagi masyarakat Muslim secara keseluruhan. Kewajiban seperti ini, disebut fardhu kifayah; maknanya, umat Islam seyogyanya memasukkan di antara para anggotanya, orang-orang yang berperan-serta dalam setiap bidang sains, industri, dan profesi esensial, dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhannya. Bila terdapat kekurangan orang-orang yang memenuhi syarat di beberapa bidang sains atau industri, seluruh umat Islam patut disalahkan, terutama mereka yang berada dalam posisi otoritas.
Tak heran bila kita mengatakan bahwa ilmu kedokteran dan aritmatika termasuk bidang ilmu yang fardhu kifayah, sebagaimana industri dasar seperti pertanian, tenun, politik, bahkan bekam dan menjahit. Sebab, jika sebuah kota kekurangan tenaga ahli atau spesialis, akan sangat mungkin, kepunahan akan menimpa penduduknya dan mereka akan terdorong untuk membuka diri mereka pada keruntuhan. Bukankah Dia, Subhanahu wa Ta'ala, Yang menurunkan penyakit, menurunkan pula obatnya, memberikan petunjuk penggunaannya, dan menyediakan sarana mengelolanya? Oleh karenanya, tak diperbolehkan, membiarkan diri sendiri, terpapar pada kehancuran dengan mengabaikan obatnya.'

Al-Qur'an menyebutkan banyak bidang industri dan kerajinan, menyebutnya sebagai nikmat dan karunia Allah. Allah melunakkan besi bagi Nabi Daud, alaihissalam, memerintahkannya membuat baju besi, guna melindunginya dari kekejaman. Dan Allah membuat sumber aliran tembaga cair bagi Nabi Sulaiman, alaihissalam; dan di antara jin ada yang bekerja di hadapannya atas seizin Rabb-nya. Allah membangunkan Dzul-Qarnain bendungan yang tinggi. Allah menyebutkan kisah Nabi Nuh, alaihissalam, dan pembangunan bahtera, dan Dia juga menyebutkan bahtera sebesar gunung yang mengarungi lautan. Al-Qur'an menyebutkan pula berburu dalam berbagai bentuknya, mulai dari menangkap ikan, memburu hewan melata, hingga menyelam di kedalaman guna mencari mutiara, koral, dan sejenisnya. Selain itu, Al-Qur'an memberi tahu kita tentang nilai besi, yang di dalamnya terdapat kekuatan dan manfaat yang besar bagi umat manusia.

Al-Qur'an menceritakan kisah Nabi Musa, alaihissalam, yang bekerja selama delapan tahun sebagai pekerja upahan guna mendapatkan putri seorang lelaki tua untuk dinikahi. Nabi Musa merupakan pekerja dan karyawan yang mengagumkan.
Seorang Muslim bebas mencari pekerjaan dalam pelayanan pemerintah, organisasi, atau individu selama ia mampu melakukan dan menunaikan tugasnya dengan memuaskan. Namun, ia tak diperkenankan mencari pekerjaan dimana ia tak memenuhi syarat, terutama jika pekerjaan itu berotoritas yudisial atau eksekutif, kecuali orang yang memenuhi syarat dan memenuhi tanggung jawab terhadapnya. Bila tidak, maka di Hari Kiamat, akan menjadi penyebab penyesalan dan rasa malu, lantaran merupakan sebuah amanah.
Namun jika seseorang mengetahui bahwa tak ada orang lain yang memenuhi syarat melakukan pekerjaan tertentu kecuali dirinya, dan jika ia tak maju mengambilnya, kepentingan umum akan terancam, maka ia seyogyanya tampil ke depan.
Al-Hakim mencatat bahwa Ibnu 'Abbas, radhiyallahu 'anhu, berkata, 'Daud pembuat baju besi dan perisai, Adam seorang petani, Nuh seorang tukang kayu, Idris seorang penjahit, dan Musa seorang penggembala.' Karena setiap Nabi Allah memiliki beberapa pekerjaan, seorang Muslim hendaknya mendapatkan kepuasan dalam pekerjaan atau profesinya. Islam memberi martabat pada banyak profesi. Segala jenis pekerjaan yang memenuhi kebutuhan masyarakat atau membawa manfaat nyata, dipandang baik, asalkan orang tersebut melakukannya dengan cara yang benar, seperti yang diwajibkan oleh Islam.

Tentang diperbolehkannya bekerja sebagai pegawai pemerintah, organisasi, atau individu, tidak termasuk pekerjaan yang merugikan agama Islam atau yang merugikan umat Islam. Oleh karenanya, seorang Muslim tak diperbolehkan menjadi perwira atau prajurit dalam pasukan yang berperang melawan umat Islam, atau bekerja di perusahaan atau pabrik yang memproduksi persenjataan untuk digunakan melawan umat Islam, atau dalam organisasi yang memusuhi umat Islam dan memerangi penganutnya. Demikian pula, setiap layanan yang diberikan untuk mendukung ketidakadilan atau dalam menggalakkan apa yang haram itu sendiri, adalah haram. Sebagai contoh, tak diperbolehkan bagi seorang muslim menjadi karyawan di sebuah organisasi yang berurusan dengan riba, di sebuah bar atau toko minuman keras, klub malam, ruang dansa, dan sejenisnya.
Islam tak melarang perdagangan apa pun kecuali yang melibatkan ketidakadilan, penipuan, menghasilkan keuntungan yang berlebihan, dan memunculkan sesuatu yang haram. Islam melarang profesi dan industri tertentu bagi pengikutnya karena berbahaya bagi keyakinan, moral, kehormatan, atau perilaku yang baik dari masyarakat. Prostitusi, misalnya, legal di banyak negara di Barat; izin dan lisensi dikeluarkan bagi mereka yang memainkan perdagangan ini, dan pelacur menikmati hak yang serupa dengan profesi lainnya. Islam dengan tegas menolak dan mengutuk praktik ini, dan melarang setiap wanita, memperoleh uang dengan memperdagangkan dirinya dalam hubungan seksual.
Demikian pula, Islam tak membolehkan tarian yang menggairahkan secara seksual atau aktivitas erotis lainnya. Islam melarang segala bentuk kontak seksual dan hubungan seksual di luar pernikahan. Inilah rahasia di balik kata-kata penting Al-Qur'an yang melarang zina.
Islam juga melarang akuisisi patung dan bahkan lebih keras lagi, pembuatannya. Adapun menggambar, melukis, atau fotografi, diperbolehkan atau paling buruk, dibenci, tergantung pada apa yang paling dekat dengan semangat hukum Islam. Tentu saja, subjeknya tak boleh provokatif secara seksual, seperti, misalnya, bagian erotis dari tubuh wanita atau pria dan wanita dalam keadaan intim, dan tak boleh mengenai seseorang yang suci atau dihormati, seperti malaikat atau para Nabi.
Islam melarang partisipasi apa pun dalam promosi minuman-keras, baik dalam pembuatan, distribusi, atau konsumsinya, dan bahwa siapa pun yang berpartisipasi dalam semua ini, dikutuk Rasulullah (ﷺ). Kasus minuman keras dan narkoba lainnya, seperti ganja, kokain, dan sejenisnya, sama; manufaktur, mendistribusikan, atau mengkonsumsi salah satu darinya, tak diperbolehkan.

Transaksi niaga dan pendapatan halal lainnya, hendaknya diatur dengan tuntunan agama, sehingga seorang muslim terhindar dari transaksi yang haram dan bentuk pendapatan yang haram. Dan dari sekian banyak transaksi, Allah mengharamkan Riba. Ada dua bentuk utama Riba yang didefinisikan dalam Islam. Yaitu Riba Al-qurud, yang berkaitan dengan riba yang melibatkan pinjaman, dan Riba Al-Buyu, yang berkaitan dengan riba dalam perdagangan.
Asuransi telah menjadi bahan diskusi dan penelitian para ulama. Kesimpulan mayoritas dari mereka bahwa asuransi tak diperbolehkan, karena asuransi komersial mengandung unsur gharar (akad yang tak diketahui hasilnya), maisir (bentuk perjudian) dan riba.
Perjudian dilarang, saat ini banyak sekali bentuk perjudian antara lain: togel dan undian, dimana orang membayar uang untuk membeli nomor, kemudian diundi bagi hadiah pertama, hadiah kedua, dan seterusnya dalam berbagai macam hadiah. Ini dilarang, kendati itu dilakukan untuk amal. Membeli produk yang mengandung sesuatu yang tak diketahui, atau membayar sejumlah undian yang akan memutuskan siapa yang mendapatkan apa.
Memberi atau menerima suap, tak diperbolehkan. Memberi suap kepada seorang qadi atau hakim agar membuatnya menutup mata terhadap kebenaran atau untuk membuat pernyataan palsu, merupakan dosa, karena mengarah pada penindasan dan ketidakadilan bagi orang yang benar, dan menyebarkan kerusakan. Begitu pula, seorang pejabat dilarang menerima imbalan, untuk menguntungkan orang lain dengan cara yang zalim."

“Dan sebagai kesimpulan,” kata Rembulan, “Aturan umum dalam mencari nafkah adalah bahwa Islam tak memperkenankan pemeluknya mencari nafkah dengan cara apapun yang mereka suka, melainkan membedakan antara cara yang halal dan haram berdasarkan kriteria kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pembedaan ini didasarkan pada asas umum bahwa setiap transaksi yang menguntungkan seseorang, tapi mengakibatkan kerugian pada orang lain, dipandang haram, sedangkan transaksi yang adil dan menguntungkan semua pihak yang berkepentingan, serta ditransaksikan atas persetujuan bersama, dipandang halal. Disinilah arti pentingnya, dalam bekerja dan mencari nafkah yang halal, ada dua hal yang menyertai paradigma kita: Al-Adl dan Al-Ihsan, yakni kita menempatkan sesuatu itu, pada tempatnya, dan kita menyempurnakan pekerjaan kita sesempurna mungkin, bukan lantaran ingin dipuji atau alasan lain, melainkan karena, Allah menyaksikan apa yang kita kerjakan. Wallahu a'lam."

Bias cahayanya mulai redup, lalu Rembulan bersenandung lembut,

إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً
Ilahi, tak pantas kujadi penghuni Firdaus

وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الجَحِيْمِ
Dan tak kuat menahan bara neraka jahim

فَهَبْ ليِ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبيِ
Maka, kabulkan taubatku dan ampuni dosaku

فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ العَظِيْمِ
Sebab sungguh, Engkaulah Pengampun dosa-dosa besar

ذُنُوْبيِ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ
Dosa-dosaku sebanyak buliran-pasir

فَهَبْ ليِ تَوْبَةً يَاذاَالجَلاَلِ
Maka, kabulkan taubatku, duhai Pemilik Keagungan

وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ
Dan umurku, tak genap barang sehari

وَذَنْبيِ زَئِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ
Dan penyesalanku, kian bertumpuk

إِلهِي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ
Ilahi, hamba yang mendurhakai-Mu, menghadap-Mu

فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَا أَهْلٌ
Sungguh, bila Engkau mengampuni, maka Engkaulah Pemilik ampunan

فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
Dan jika Engkau berpaling, kemana lagi asaku, selain Engkau?
Kutipan & Rujukan:
- Sheikh Yusuf al-Qaradawi, The Lawful and the Prohibited in Islam, 2001, Al-Falah Foundation
- Darussalam Research Divsion, Rizq and Lawful Earnings, 2014, Darussalam
- Mohammad Rahman, Your Money Matters: The Islamic Approach to Business, Money, and Work, 2014, IIPH

Senin, 22 Mei 2023

Nafkah Halal : Perspektif Islam (1)

“Sikap fundamental Islam terhadap posisi manusia di dunia ini, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala, telah menjadikan bumi bagi kepentingan manusia, yang telah Dia berikan kendali atasnya. Tugas manusialah, mengambil manfaat darinya dan berikhtiar mencari karunia Allah di seluruh muka bumi,” berkata Rembulan saat menyebutkan topik yang berkaitan dengan perbincangan sebelumnya [yang ini dan yang ini], usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam.

"Dalam perspektif Islam, prinsip dasar penghasilan atau nafkah, dapat dilihat secara luas sebagai berikut: Bahwa Allahlah yang menyediakan rezeki bagi kita; karenanya, dari Dialah kita memperoleh rezeki kita. Tugas kita ialah berikhtiar terhadap apa yang telah ditetapkan bagi kita. Fakta bahwa Allah Yang menyediakannya bagi kita, tak mengesampingkan fakta bahwa kita seyogyanya mencari cara mencapai apa yang telah ditetapkan untuk kita. Meskipun telah ditetapkan bahwa kita akan lapar, tak seorang pun cuma duduk-diam di satu tempat tanpa berusaha memuaskan rasa lapar itu, dan hanya bergantung pada fakta bahwa Allah akan memberinya makan. Ia semestinya mencari jalan untuk memuaskan rasa laparnya.

Demikian pula dengan mata pencaharian kita, kita takkan pernah memperoleh apa yang belum ditetapkan untuk kita, namun kita hendaknya mengupayakan apa yang telah ditetapkan. Allah berfirman,
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
'Apabila shalat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, agar kamu beruntung.' [QS. Al-Jumu'ah (62):10]
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا ‏
'Jika kalian bertawakal dengan sebenar-benarnya kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan kalian rezeki sebagaimana seekor unggas beroleh rezekinya. Ia keluar di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.' [Jami' at-Tirmidzi; Hasan Shahih menurut Tirmidzi]
Sebagian dari kita, mungkin menanggapi sabda Rasulullah (ﷺ) ini, bermakna bahwa dimanapun kita berada, kita bakalan mendapatkan rezeki kita; akan tetapi, hendaknya hadits tersebut dimaknai pula bahwa sang unggas, memang keluar, mereka gak ogah-ogahan, tinggal-diam di sarangnya sepanjang hari. Yang dimaksud dalam Hadits ini, ialah gagasan tentang keluar rumah dan pulang kembali, berupaya dan bergerak; tentu saja bukan gagasan agar duduk diam, tak melakukan apa-apa dan kemudian mengklaim bahwa kita telah bertawakkal kepada Allah.

Lantas, bagaimana cara kita memperoleh nafkah? Dan bagaimana kita membelanjakannya? Dari Abu Huraira, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
« أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».
'Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah takkan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[QS. Al Mu'minun (23:51)]’ Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu. [QS.Al-Baqah (2):172]' Beliau (ﷺ) lalu menceritakan tentang seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Ia mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a, 'Ya Rabbku, Ya Rabbku.' Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?' [Shahih Muslim]
Jadi, kita hendaknya mencari nafkah kita dengan cara yang telah diresepkan dan karenanya, mengharuskan kita mengetahui cara yang tak diperbolehkan. Hanya setelah kita mengetahui bahwa sesuatu itu tak halal, barulah kita bisa menjauhinya.

Kita seyogyanya membelanjakan penghasilan kita dengan cara yang diresepkan; dan untuk melakukannya, berarti, kita juga hendaknya tahu, keadaan dimana nafkah itu tak dibelanjakan. Allah berfirman,
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا وَاِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاۤءَ رَحْمَةٍ مِّنْ رَّبِّكَ تَرْجُوْهَا فَقُلْ لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُوْرًا
'Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu, saudara-saudara setan, dan setan itu, sangat ingkar kepada Rabbnya.' [QS. Al-Isra (17):26-27]
Dasar ekonomi Islam ialah bekerja dan berikhtiar mencari nafkah yang halal. Bekerja merupakan sumber utama pendapatan halal. Bekerja merupakan sarana yang ditentukan dengan mana manusia dapat mencapai tujuan untuk mengisi bumi dimana ia telah diberi wewenang. Pula, bekerja merupakan sarana memanfaatkan hal-hal yang ditaklukkan Allah bagi manusia, sehingga ia dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan sesama manusia, dengan memenuhi dan memuaskan kebutuhannya. Islam menganjurkan kita agar berusaha dan bekerja melalui banyak cara. Diantaranya,

Takwa. Jika engkau ingin menambah rezekimu dari Allah dan menjalani kehidupan yang nyaman, maka bertakwalah kepada Allah dan bertakwalah dalam segala urusanmu: di rumah, di tempat kerja dan dengan keluargamu. Lindungi dirimu dari dosa, patuhi perintah Rabbmu, jauhi larangan-Nya dan lindungi dirimu dari apa pun yang mengakibatkan adzab-Nya.

Bertobat dan memohon ampunan. Jenis permohonan ampunan yang membawa rezeki seseorang, menambahnya dan memberkahinya, yakni yang dilakukan dari qalbu dan juga lidah, sementara ia tak berkanjang-kanjang dalam berbuat dosa. Akan tetapi, orang yang memohon ampunan dengan lisan, sementara pada saat yang sama, melakukan berbagai jenis dosa, tak ikhlas dalam doanya, maka doa-doa ini, bakalan sia-sia. Jika Allah telah menganugerahkanmu keberlimpahan, maka bergegaslah bertobat dan ikuti kata-katamu itu, dengan perbuatan.

Tawakkal. Barangsiapa yang hatinya berharap semata kepada Allah dalam mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya, dan bertawakal penuh kepada-Nya, Dia akan mencukupkannya, membebaskannya dari segala kesedihan dan memberinya sumber yang tak dipunyai orang lain. Beberapa Salaf mengatakan, 'Jika engkau mengandalkan Allah, rezeki akan datang kepadamu tanpa usaha.'
Tawakkal mengungkapkan ketidakmampuan bawaan seseorang, ketergantungan penuh dan inklusif hanya kepada Allah, bersama dengan kepastian bahwa hanya Allah Yang punya kendali atas alam semesta, dan bahwa urusan semua ciptaan, berada di bawah Kehendak-Nya. Hanya Dialah Yang menyediakan, menciptakan, menganugerahkan, dan mencabut karunia, manfaat, kesengsaraan, memberi kekayaan, menyebabkan kemiskinan, kesehatan, penyakit, hidup dan mati.
Tawakkal bukan berarti meninggalkan penggunaan sarana duniawi, karena Allah telah memerintahkan kita menggunakan semua sarana yang memungkinkan, serta mengandalkan-Nya. Berusaha secara fisik untuk menggunakan segala sarana duniawi, sebenarnya merupakan tindakan ketaatan kepada Allah, dan bersandar kepada-Nya dengan hati yang tulus, mencerminkan keyakinannya kepada-Nya.
Seorang Muslim hendaknya menggunakan segala cara, namun, tak menggantungkan hasilnya pada sarana itu. Sebaliknya, ia seyogyanya yakin dengan teguh, bahwa urusan itu, sepenuhnya ada pada Allah, dan semata Dialah Sang Pemberi Rezeki.

Menjaga tali silaturahmi [atau silaturahim, keduanya punya maksud yang sama]. Rasulullah (ﷺ) menjelaskan bahwa hubungan baik dengan kaum-kerabat, berbuah banyak dan hasil yang baik; silaturahmi menambah rezeki, memperpanjang umur, melindungi dari kematian yang buruk dan membawa cinta antar kerabat. Oleh karenanya, timbul pertanyaan: siapa sih kaum-kerabat itu, dan bagaimana seseorang menjaga hubungan baik dengan mereka?
Kerabat merupakan sanak sedarah atau perkawinan, terlepas dari apakah seseorang, secara Islami, memperoleh warisan dari mereka atau tidak. Tali silaturahmi terhadap kaum-kerabat, dapat dirawat dengan berbagai cara: mengunjungi mereka, memberi mereka hadiah, menanyakan keadaan mereka, bersedekah kepada yang miskin di antara mereka, bersikap baik dan hormat kepada orang tua di antara mereka, mengundang dan beramah-tamah dengan mereka, bergabung dalam acara perayaaan dan kegembiraan mereka, menghibur mereka saat kesulitan, berdoa bagi mereka, tak menyimpan dendam terhadap mereka, menerima undangan mereka, mengunjungi mereka ketika sakit, menasihati mereka, mengajak mereka ke dalam kebaikan dan mencegah mereka dari berbuat mungkar, melindungi mereka dari kejahatan, dan banyak lainnya.

Membelanjakan harta karena Allah. Ibnu Katsir, rahimahullah, mengatakan bahwa apa pun yang engkau belanjakan di bidang yang Allah perintahkan atau perbolehkan agar engkau belanjakan, akan diganti di kehidupan ini dan dibalas di akhirat. Ibnu 'Abbas, rahiyallahu 'anhu, berkata, 'Dua hal dari Allah dan dua hal dari setan. Setan berkata, 'Jangan membelanjakan hartamu, dan simpanlah karena engkau membutuhkannya,' dan kemudian, setan memerintahkanmu berbuat kejahatan. Allah menjanjikanmu ampunan atas dosa-dosamu, dan lebih banyak berkah dalam rezekimu. Allah menyembunyikan dosa hamba-Nya di kehidupan ini dan di akhirat, dan menambah rezekinya di kehidupan ini dan melimpahkan karunia-Nya di akhirat.'
Banyak hadits menganjurkan membelanjakan harta di jalan Allah dan menjanjikan pahala dan karunia yang besar dari Allah, ditambah mengangkat derajat orang yang membelanjakannya.

Sering-sering mengerjakan ibadah haji dan umrah. Lantaran keduanya menghapuskan kepapaan dan dosa seperti halnya api memurnikan partikel-partikel dalam logam, emas dan perak. Ibadah Haji yang ditunaikan dengan benar, akan berpahala, yang tak kurang dari Surga.

Memperlakukan orang-orang yang lemah dengan ramah. Rasulullah (ﷺ) menjelaskan bahwa orang memperoleh rezeki dan kemenangan, karena berbaik hati kepada yang lemah di antara mereka. Orang lemah yang dimaksud oleh Rasulullah (ﷺ), beragam, semisal fakir, miskin, anak yatim, orang sakit, musafir dan wanita yang tak punya wali atau pendukung. Cara agar menunjukkan keramahan kepada mereka, berbeda-beda: orang miskin diperlakukan dengan memberi mereka uang dan derma, anak yatim dan wanita tanpa wali dengan memperhatikan dan menolong mereka secara finansial, orang sakit dengan mengunjungi dan mendorong mereka agar tabah, dan lain sebagainya.
Jika engkau ingin menambah rezekimu, usahakanlah memperoleh dukungan Allah, dengan berbaik hati kepada yang lemah dan jangan merugikan mereka.

Mengabdikan diri untuk beribadah. Allah menjanjikan dua hal kepada orang yang mengabdikan dirinya, beribadah kepada Allah: kepuasan dan kekayaan. Diketahui bahwa orang yang Allah berikan qalbu yang ridha, kemiskinan takkan pernah menemukan jalan merenggut dirinya.
Mengabdikan diri beribadah kepada Allah, bukan berarti berhenti mencari rezeki, berhenti bekerja dan duduk di masjid siang dan malam. Sebaliknya, yang dimaksud ialah, seorang hamba hendaknya senantiasa memusatkan perhatian qalbunya selama beribadah kepada Allah, merendahkan diri kepada-Nya, menyadari keagungan-Nya dan mengingat bahwa ia sedang memohon kepada Rabb langit dan bumi.

Ada cara lain memperbanyak rezeki yang dapat disebutkan secara ringkas: berhijrah karena Allah; berjihad karena Allah; bersyukur kepada Allah; menikah; berdoa kepada Allah pada saat-saat yang dibutuhkan; Menjauhi dosa dan menjaga diri di atas agama Allah dengan melakukan ketaatan.
Yang terpenting dari semua yang telah disebutkan, karena rizki diperoleh dengan ketaatan dan hilang bersama kemaksiatan, maka seseorang kan kehilangan rezeki oleh dosa yang diiperbuatnya. Dosa-dosalah penyebab terbesar kehilangan rezeki, kesulitan hidup dan sirnanya keberkahan dalam hidup.

Trus, konkritnya, pekerjaan atau profesi apa yang diperbolehkan dalam perspektif Islam? Akan kita perbincangkan dalam sesi selanjutnya, bi idznillah."
[Sesi 2]

Sabtu, 20 Mei 2023

Fabel Ju Gong

"Di negeri antah berantah, sebuah negara sedang tertatih-tatih di ambang perang saudara, lantaran pemilu curang, hampir semua pihak menolak hasil pemilu.
Para pemberontak bersenjata menyerbu gedung Dewan, mengancam bakal berbuat kekerasan, namun akhirnya, mereka dapat ditaklukkan. Akan tetapi, para intelijen menunjukkan bahwa, boleh jadi, para pemberontak merencanakan serangan lain.
Para pemimpin negeri, meminta nasihat bagaimana menangani kekerasan tersebut.
Salah satu partai berteriak, 'Makzulkan presiden petahana di minggu terakhir masa jabatannya!'
Tapi, partai lain, memohon agar menjaga persatuan seraya tetap menolak mengakui hasil pemilu.

Seorang lelaki memandang ke arah ribuan pasukan militer, yang, demi melindungi gedung Dewan, terpaksa tidur dengan kepala tergeletak di lantai keras yang dingin, dan iapun segera memberitahu presiden bahwa kita perlu mengumpulkan lebih banyak pasukan dan memberlakukan darurat militer.
'Ente siyaaapah?' tanya sang presiden. 'Ahli strategi keamanankah? Atau jenderal militer yang berpengalaman dalam revolusikah?'
'Bukan Pak,' jawab sang lelaki. 'Ane jualan bantal,'" berkata Rembulan di saat mulai menunaikan tugasnya, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.

Rembulan lalu berkata, "Mencapai masyarakat yang merdeka dan damai, tentu saja, merupakan tugas yang penuh tantangan. Hal ini membutuhkan keterampilan strategis, pengorganisasian, dan perencanaan yang matang. Di atas segalanya, ia menghajatkan kekuatan.
Di negara-negara yang dikendalikan oleh otoritarian atau kediktatoran, berharap menggulingkan mereka dan membangun kemerdekaan politik, memerlukan para penegak demokrasi, mampu menggunakan kekuatan mereka sendiri secara efektif. Tapi, mungkinkah ini terjadi? Kekuatan macam apa yang dapat dimobilisasi oleh oposisi demokratik, yang cukup untuk menghancurkan kediktatoran beserta jaringan militer dan polisinya yang luas?

Ada sejumlah cara para cendekia mendefinisikan rezim otoriter. Seperti yang disebutkan Erica Frantz, sebuah rezim dikatakan otoriter jika eksekutif mencapai kekuasaan melalui cara-cara yang tak demokratis, yaitu cara apapun selain pemilihan langsung yang relatif bebas dan adil; atau jika eksekutif meraih kekuasaan melalui pemilu yang bebas dan adil, tetapi kemudian mengubah peraturan sedemikian rupa sehingga persaingan pemilu berikutnya (baik legislatif maupun eksekutif) dibatasi. Pemilu yang curang, sebenarnya akan mengarah pada rezim otoriter. Rezim otoriter, tulis Juan Linz, merupakan sistem politik dengan pluralisme politik yang terbatas dan tak bertanggung jawab; tanpa ideologi yang rumit dan membimbing (tetapi dengan mentalitas yang khas); tanpa mobilisasi politik yang intensif atau ekstensif (kecuali beberapa titik perkembangannya); dan dimana seorang pemimpin (atau terkadang kelompok kecil) menjalankan kekuasaan dalam batas-batas yang secara formal tak jelas, namun sebenarnya dapat diprediksi.
Definisi ini secara kasar diamini oleh Samuel Huntington, yang menulis bahwa rezim otoriter dicirikan oleh satu pemimpin atau sekelompok pemimpin, tanpa partai atau partai yang lemah, mobilisasi massa yang kecil, dan pluralisme politik yang terbatas. Adam Przeworski, ketika berbicara tentang demokrasi dan kediktatoran, mengatakan: 'demokrasi adalah rezim di mana 'mereka yang memerintah dipilih melalui pemilihan yang diperebutkan; kediktatoran 'bukan demokrasi.'

Carl Friedrich dan Zbigniew Brzezinski, menyoroti enam ciri kediktatoran totaliter. Ciri-cirinya yaitu: penerapan ideologi resmi, partai politik tunggal, kontrol partai atas komunikasi massa, kontrol partai atas militer, ekonomi sentral, dan polisi rahasia. Dalam karya selanjutnya, Brzezinski mendefinisikan totalitarianisme sebagai bentuk pemerintahan baru yang berupaya mewujudkan revolusi sosial, berdasarkan asumsi ideologis yang dinyatakan oleh kepemimpinan. Dalam rezim totaliter, kekuasaan 'digunakan tanpa hambatan'. Tujuan utama kepemimpinan adalah untuk mencapai persatuan total masyarakat dan politisasi rakyat melalui organisasi politik. Cara-cara ini dicapai melalui propaganda dan teror. Pemimpin punya kekuatan yang lebih besar daripada partai atau aparat keamanan dan biasanya memiliki daya tarik religius atau karismatik. Contoh yang dapat dikutip termasuk Nazi Jerman, Komunis Eropa Timur dan Uni Soviet, Fasis Italia, dan Komunis China.
Ada faktor kunci yang membedakan rezim totaliter dan otoriter, yakni derajat pluralisme sosial, dan tingkat mobilisasi politik. Linz berpendapat bahwa rezim otoriter dicirikan oleh mentalitas, sedangkan rezim totaliter, dicirikan oleh sistem kepercayaan ideologis. Tujuan utama rezim otoriter adalah demobilisasi dan depolitisasi politik. Rezim otoriter tak berusaha menyeragamkan masyarakat dan sebaliknya membiarkan beberapa tingkat pluralisme. Sebaliknya, rezim totaliter sangat menekankan mobilisasi politik dan menggunakan ideologi sebagai sumber utama legitimasi mereka.

Sebagaimana yang kita semua tahu, Kediktatoran berkembang sebagai bentuk utama pemerintahan di abad ke-19. Kediktatoran, suatu bentuk pemerintahan dimana satu orang atau kelompok kecil, berkuasa absolut tanpa batasan konstitusional yang efektif. Diktator merupakan jabatan publik di Republik Romawi. Di saat krisis, pemerintah menunjuk seorang Diktator Roma, yang diberi kemampuan luas guna mengatasi krisis tersebut, yang merupakan tanggung jawab utamanya. Menurut tradisi, Diktator hanya boleh menjabat untuk masa jabatan singkat (ada yang menyebutkan enam bulan sebagai masa jabatan) dan diharap mengundurkan diri seketika usai krisis diatasi. Pembatasan ini diterapkan agar mencegah Roma tergelincir menjadi monarki. Dalam dekade-dekade terakhir Republik Romawi, posisi Diktator disalahgunakan oleh orang-orang seperti Sulla dan Caesar, yang menggunakan jabatan itu untuk mengagungkan dirinya sendiri. Pelecehan ini, merusak institusi Republik dan menyebabkan bangkitnya peran Kekaisaran.
Tiga diktator top dunia ialah Mussolini, Stalin dan Hitler. Selama abad ke-20, beberapa nama diktator yang dapat disebutkan, antara lain: Juan Perón (1895–1974) dari Argentina, Fulgencio Batista (1901–1973) dari Kuba, François Duvalier (1907–1971) dari Haiti, Anastasio Somoza (1896– 1956) dari Nikaragua, dan Alfredo Stroessner (1912–2006) dari Paraguay.

Mengapa kediktatoran muncul? Menurut Natasha Ezrow dan Erica Frantz, faktor kelembagaan mungkin menjadi penyebab pertama. Pemerintah dengan tingkat pelembagaan yang rendah berada dalam keadaan pembusukan politik, ditandai dengan tingkat korupsi yang tinggi, buramnya antara pihak swasta dan publik dalam pemerintahan, kurangnya asosiasi sipil, dan tiadanya konsensus politik. Skenario seperti ini, mengarah pada 'ketidakberdayaan' dan ketidaklayakan demokrasi. Kedua, bagi Seymour Martin Lipset, faktor ekonomi dan demografis menjelaskan mengapa beberapa negara, ada yang demokratis dan yang lainnya tidak. Secara khusus, urbanisasi, industrialisasi, pendidikan, dan populasi yang sehat, semuanya mengarah pada tekanan dalam suatu negara untuk melakukan demokratisasi. 'Modernisasi' masyarakat membuat demokrasi lebih mungkin dengan mengarah pada perubahan mentalitas warga negara. Tanpa karakteristik masyarakat seperti itu, kediktatoran akan bertahan. Ketiga, Barrington Moore menyoroti bagaimana kehadiran kelas menengah yang besar mendukung demokratisasi. Ia merujuk pada peran penting dari kelas atas yang mapan dan pemilik tanah serta kaum tani selama transisi negara-negara dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dalam menentukan jenis sistem politik yang akan terbentuk. Demokrasi kemungkinan besar akan muncul bilamana ada kelompok dalam masyarakat yang berbasis ekonomi mandiri, yaitu dimana ada kelas menengah. Keempat, Peran Etnisitas. Segelintir cendekiawan telah berusaha menguraikan peran etnisitas dalam menentukan tipe rezim. Donald Horowitz mengklaim bahwa perpecahan dan keragaman etnis merupakan hambatan bagi negara-negara yang berusaha untuk mendemokratisasikan diri.
Natasha Ezrow dan Erica Frantz selanjutnya menyarankan bentuk-bentuk kediktatoran. Kediktatoran militer dimulai dengan militer yang mengeksekusi (atau mengancam akan mengeksekusi) sebuah kudeta. Atau kediktatoran partai tunggal muncul dalam berbagai keadaan. Atau kediktatoran Personalis biasanya muncul setelah perebutan kekuasaan dimana para konspirator tak terorganisir dengan ketat, memungkinkan pemimpin memaksimalkan kekuasaan. Atau Monarki yang berbeda dari bentuk kediktatoran lainnya, karena melibatkan aturan turun-temurun yang dilembagakan, seringkali berakar pada warisan sejarah garis keturunan keluarga. Kelompok kepemimpinan terdiri dari keluarga kerajaan, bukan institusi militer atau partai.

Ada hal yang menarik dalam pembahasan yang dihaturkan oleh Gene Sharp (2010), kala memperbincangkan kediktatoran dan kekuasaan politik. Liu-Ji, memberi perumpamaan, kata Sharp, guna memahami kekuatan politik. Fabel Cina abad keempat belas itu, berbunyi seperti ini,
Di negeri feodal Chu, seorang lelaki tua bertahan hidup dengan memelihara para kera untuk melayaninya. Orang-orang Chu memanggilnya 'ju gong' (majikan kera).
Setiap pagi, sang lelaki tua, mengumpulkan para kera di halaman rumahnya, dan memerintahkan yang tertua agar menuntun kera yang lain ke gunung, untuk mengumpulkan buah-buahan dari semak dan pohon.
Aturannya, bahwa setiap kera harus memberikan sepersepuluh dari hasil yang mereka kumpulkan, kepada sang lelaki tua. Mereka yang tak berhasil melakukannya, bakalan dicambuk dengan bengis. Seluruh kera sangat menderita, tapi gak berani komplain.

Suatu hari, seekor kera kecil bertanya kepada kera lainnya, 'Emang, yang nanem pohon buah-buahan dan semak-belukar entu, si Pak tua?' Yang lain bilang, 'Kagak, semuanya tumbuh sendiri.' Sang kera kecil bertanya lebih lanjut. 'Trus, kalau buah-buahan itu, kita ambil gak pake ijin si Pak tua, enggak boleh ya?' Yang lain menjawab. 'Yaa ... sebenernya sih, kita semua biisaa.'
Sang kera kecil lanjut bertanya. 'Lantas, napa sih kita mesti bergantung sama Pak tua, nape sih, kita mesti ngasih setoran buat doi?'
Belum lagi sang kera kecil menuntaskan pernyataannya, mendadak, para kera tercerahkan dan tersadar.

Di malam harinya, memperhatikan sang lelaki tua telah terlelap, para kera membobol semua barikade benteng tempat mereka dikurung, dan meruntuhkan seluruh benteng. Mereka mengambil pula buah-buahan yang disimpan sang lelaki tua, membawa semuanya ke hutan, dan gak pernah balik lagi. Si Pak tua, akhirnya, mati kelaparan.
Cerita ini, berjudul 'Aturan dengan Trik' berasal dari Yu-li-zi oleh Liu Ji (1311-1375). Yu-li-zi juga merupakan nama samaran Liu Ji. Ia mengomentari ceritanya begini, 'Ada orang-orang di dunia ini, memerintah rakyatnya dengan 'trik' dan bukan dengan prinsip-prinsip yang shalih. Bukankah mereka itu, ibarat sang majikan kera? Mereka tak menyadari akan kebodohan mereka. Tatkala rakyatnya telah tersadar dan tercerahkan, trik mereka, bakalan tak berhasil lagi.'

Sharp lalu menjawab pertanyaan sebelumnya. Bahwa jawabannya, terletak pada pemahaman yang sering diabaikan tentang kekuatan politik. Mempelajari wawasan ini, bukanlah tugas yang begitu sulit. Prinsipnya sederhana, kata Sharp. Diktator membutuhkan bantuan dari orang-orang yang mereka kuasai, yang tanpanya, mereka tak dapat mengamankan dan memelihara sumber-sumber kekuatan politik. Sumber-sumber kekuatan politik ini, meliputi,
Otoritas, keyakinan di kalangan masyarakat bahwa rezim itu sah, dan bahwa mereka berkewajiban moral mematuhinya;
Sumber daya manusia, jumlah dan pentingnya orang dan kelompok yang patuh, bekerja sama, atau memberi bantuan kepada sang penguasa;
Keterampilan dan pengetahuan, yang dibutuhkan oleh rezim guna melakukan tindakan tertentu dan disediakan oleh orang dan kelompok yang bekerja sama;
Faktor intangible, faktor psikologis dan ideologis yang dapat mendorong orang agar patuh dan membantu sang penguasa;
Sumber daya material, sejauh mana penguasa menguasai atau punya akses terhadap properti, sumber daya alam, sumber keuangan, sistem ekonomi, dan sarana komunikasi dan transportasi; dan,
Sanksi dan hukuman, yang diancamkan atau diterapkan, terhadap yang tak patuh dan tak kooperatif guna memastikan kepatuhan dan kerja sama yang dibutuhkan rezim agar tetap eksis dan menjalankan kebijakannya.

Namun, seluruh sumber ini, bergantung pada penerimaan terhadap rezim, pada kepasrahan dan kepatuhan rakyatnya, dan pada kerja sama banyak orang dan banyak lembaga masyarakat. Tak ada jaminannya.
Kerja sama penuh, kepatuhan, dan dukungan akan meningkatkan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan dan, akibatnya, memperluas kapasitas kekuasaan pemerintah mana pun.
Di sisi lain, penarikan kerja sama yang dikenal dan disukai orang, dan institusional dengan agresor dan diktator, akan mengurangi, dan bisa jadi, memutuskan, ketersediaan sumber-sumber kekuasaan yang diandalkan oleh seluruh penguasa. Tanpa tersedianya sumber-sumber itu, kekuasaan penguasa melemah dan akhirnya bubar.
Secara alami, diktator peka terhadap tindakan dan gagasan yang mengancam kemampuan mereka untuk melakukan apa yang mereka suka. Oleh karenanya, diktator cenderung mengancam dan menghukum mereka yang tak patuh, mogok, atau tak mau bekerjasama. Namun, itu bukanlah akhir dari cerita. Penindasan, bahkan kebrutalan, tak selalu menghasilkan kembalinya tingkat kepatuhan dan kerjasama yang diperlukan agar rezim berfungsi.

Jika, terlepas dari represi, sumber-sumber kekuasaan dapat dibatasi atau diputus untuk waktu yang cukup lama, hasil awalnya mungkin berupa ketidakpastian dan kebingungan di dalam kediktatoran. Hal ini kemungkinan akan diikuti oleh melemahnya kekuatan kediktatoran. Seiring waktu, pemotongan sumber kekuasaan dapat menghasilkan kelumpuhan dan impotensi rezim, dan dalam kasus yang berat, disintegrasi. Kekuasaan para diktator akan mati, perlahan atau cepat, karena kelaparan politik.
Tingkat kebebasan atau tirani dalam pemerintahan mana pun, selanjutnya, sebagian besar merupakan cerminan dari tekad relatif subjek agar merdeka, dan kemauan serta kemampuan mereka melawan upaya memperbudak mereka.
Berlawanan dengan pendapat umum, kata Sharp, bahkan kediktatoran totaliter, bergantung pada populasi dan rakyat yang mereka kuasai. Seperti yang dicatat oleh cendekiawan politik Karl W. Deutsch pada tahun 1953,
'Kekuatan totaliter kuat hanya jika tak terlalu sering digunakan. Jika kekuatan totaliter hendak digunakan setiap saat untuk melawan seluruh rakyat, kekuatan itu, tak mungkin bertahan lama. Sebab rezim totaliter membutuhkan lebih banyak kekuatan guna menangani rakyatnya dibanding jenis pemerintahan lainnya, rezim seperti ini, lebih membutuhkan kebiasaan kepatuhan yang tersebar luas dan dapat diandalkan di antara rakyatnya; lebih dari itu, mereka harus dapat mengandalkan dukungan aktif dari setidaknya, sebagian besar penduduk, jika diperlukan.'

Ahli teori hukum Inggris abad kesembilan belas, John Austin, menggambarkan situasi kediktatoran yang berhadapan dengan orang-orang yang tak terpengaruh. Austin berargumen bahwa jika sebagian besar rakyat bertekad meruntuhkan pemerintah dan bersedia menanggung represi demi melakukannya, maka kekuatan pemerintah, termasuk para pendukungnya, tak dapat mempertahankan pemerintah yang tak disukai, kendati jika mendapat bantuan asing. Orang-orang yang membangkang, tak dapat dipaksa kembali tunduk dan patuh secara permanen.
Niccolo Machiavelli, jauh sebelumnya berpendapat bahwa the Prince '... yang membuat rakyat secara keseluruhan menjadi musuhnya, takkan pernah bisa membuat dirinya aman; dan semakin besar kekejamannya, semakin lemah rezimnya.'
Karenanya, kata Sharp, ada tiga faktor terpenting dalam menentukan sejauh mana kekuasaan pemerintah akan dikendalikan atau tak dikendalikan, yaitu:
(1) kehendak relatif rakyat membatasi kekuasaan pemerintah;
(2) kekuatan relatif subyek organisasi dan institusi independen untuk menarik kembali sumber-sumber kekuasaan secara kolektif; dan
(3) kemampuan relatif rakyat agar tak memberikan persetujuan dan bantuan mereka.

Lalu, adakah ciri-ciri masyarakat demokratis itu? Salah satu ciri masyarakat demokratis, kata Sharp, bahwa terdapat banyak kelompok dan lembaga non-pemerintah yang independen dalam sebuah negara. Termasuk, misalnya, keluarga, organisasi keagamaan, asosiasi budaya, klub olahraga, lembaga ekonomi, serikat pekerja, asosiasi mahasiswa, partai politik, pedesaaan, asosiasi lingkungan, klub berkebun, organisasi hak asasi manusia, grup musik, perkumpulan sastra, dan lain-lain. Badan-badan ini, penting dalam melayani tujuan mereka sendiri, dan juga, dalam membantu memenuhi kebutuhan sosial.
Selain itu, badan-badan ini, punya signifikansi politik yang besar. Semuanya menyediakan basis kelompok dan institusi, yang dengannya, rakyat dapat menggunakan pengaruh atas arah masyarakat mereka dan melawan kelompok lain atau pemerintah ketika mereka terlihat melanggar kepentingan, kegiatan, atau tujuan mereka secara tak adil. Individu-individu yang terisolasi, bukan anggota dari kelompok semacam itu, biasanya tak dapat memberikan dampak yang signifikan pada masyarakat lainnya, apalagi pemerintah, dan tentu saja, bukan kediktatoran.
Konsekuensinya, jika otonomi dan kebebasan badan-badan tersebut dapat dirampas oleh para diktator, rakyat bakalan relatif tak berdaya. Pula, jika lembaga-lembaga ini sendiri dapat dikendalikan secara kediktatoran oleh rezim pusat atau diganti dengan yang baru, yang dikendalikan, mereka dapat digunakan untuk mendominasi, baik anggota individu maupun wilayah masyarakat tersebut.
Namun, jika otonomi dan kemerdekaan lembaga sipil independen ini (di luar kendali pemerintah) dapat dipertahankan atau diperoleh kembali, mereka sangat penting bagi penerapan pembangkangan politik.
Pusat-pusat kekuasaan ini, menyediakan basis institusional yang darinya, rakyat dapat menekan atau melawan kontrol kediktatoran. Di masa depan, mereka akan menjadi bagian dari basis struktural yang sangat diperlukan bagi masyarakat bebas. Oleh karenanya, kemandirian dan pertumbuhan mereka yang berkelanjutan, seringkali merupakan prasyarat bagi keberhasilan perjuangan pembebasan. Jika kediktatoran telah berhasil menghancurkan atau mengendalikan sebagian besar badan-badan independen masyarakat, penting bagi para penentang, agar membuat kelompok dan institusi sosial baru yang independen, atau agar menegaskan kembali kendali demokratis atas badan-badan yang masih hidup atau yang sebagian masih terkendalikan."

“Dan terakhir, sebelum aku pergi,” kata Rembulan, "perkenankan aku menyampaikan hal berikut ini padamu. Jerzy J. Wiatr ketika berbicara tentang Otoritarianisme Baru di Abad ke-21, mengatakan bahwa masalah krusial bagi rezim otoriter gaya baru ialah, bagaimana mengkonsolidasikan sistem baru. Dalam demokrasi, partai terbiasa dengan fakta rotasi politik. Karena mereka menghormati aturan demokrasi, mereka tak takut kalah dalam pemilu, mengetahui bahwa dengan berlalunya waktu, mereka akan mendapatkan kesempatan kedua. Para pemimpin otoriter berada dalam posisi yang berbeda. Semakin mereka mengonsolidasikan cengkeraman mereka pada kekuasaan negara dengan cara legal atau ekstra-legal, semakin banyak alasan mereka, takut kalah. Oleh sebab itu, mereka punya kepentingan yang kuat demi membentengi posisi politik mereka, sehingga pencopotan mereka dari kekuasaan akan sangat sulit, bahkan tak mungkin.
Ada tiga elemen penting dalam proses ini. Pertama, mereka harus membangun kontrol politik atas peradilan guna mencegah pengadilan independen mempertanyakan kekuasaan mereka. Ini dilakukan dengan menggabungkan undang-undang baru dan membeli dukungan dari beberapa hakim.
Kedua, mereka harus menyentuh media massa, terutama yang memberi mereka akses ke strata yang kurang berpendidikan. Televisi dan survei–selebihnya dari media cetak–sangat penting, sebab merupakan sumber utama informasi politik bagi mereka yang kurang berpendidikan. Memang benar bahwa saat ini, dengan akses mudah ke internet, lebih sulit membangun kontrol penuh atas pertukaran informasi dan pendapat, tetapi sejauh mana internet digunakan, bervariasi tergantung pada pendidikan dan status sosial.
Ketiga, rezim otoriter gaya baru membeli dukungan dari strata yang lebih miskin dengan mengadopsi strategi redistribusi sosial dan ekonomi populis. Bahkanpun jika, seperti yang terjadi di Rusia, mereka mentolerir atau bahkan mendukung oligarki, mereka melakukan upaya sistematis guna memperbaiki keadaan ekonomi strata yang lebih miskin—sesuatu yang diabaikan oleh banyak pemerintahan liberal sebelumnya.
Selain ketiga kebijakan ini, yang umum bagi semua rezim otoriter gaya baru, bahwa ada kebijakan khusus negara yang mencerminkan kondisi tertentu dari beragam negara. Wallahu a'lam.”

Saatnya berangkat, dan Rembulan pun bersenandung,

I want to ride my bicycle
I want to ride my bike
I want to ride my bicycle
I want to ride it where I like *)
Kutipan & Rujukan:
- Gene Sharp, From Dictatorship to Democracy, 2010, the Albert Einstein Institution
- Natasha M. Ezrow & Erica Frantz, Dictators and Dictatorships: Understanding Authoritarian Regimes and Their Leaders, 2011, The Continuum International Publishing Group
- Jerzy J. Wiatr (ed.), New Authoritarianism Challenges to Democracy in the 21st century, 2019, Barbara Budrich Publishers
- Barbara Geddes, Joseph Wright & Erica Frantz, How Dictatorships Work: Power, Personalization, and Collapse, 2018, Cambridge University Press
*) "Bicycle Race" karya Freddie Mercury