Selasa, 23 Mei 2023

Nafkah Halal : Perspektif Islam (2)

"Hidup kita ini, sebuah amanah, pula, sebuah perjalanan dimana nilai-nilai yang mengatur hidup kita, akan berdampak pada hasil perjalanan kita. Karenanya, ia memunculkan peluang dan memberi kita keyakinan bahwa perubahan itu, memungkinkan. Perubahan merupakan bagian dari takdir kita. Kita perlu punya visi terhadap perubahan itu, dan sebagai seorang Muslim atau Muslimah, kita perlu menghargai dan memanfaatkan kekuatan transformasional Islam sebagai sistem keyakinan, nilai, dan etika. Dalam sebuah hadits qudsi [Shahih Al-Bukhari], Allah berfirman, 'Aku bersama prasangka hamba-Ku,' maksudnya, Aku dapat melakukan untuknya, apa yang menurutnya, dapat Aku lakukan untuknya. Dalam hadits ini, Allah mengajarkan tentang paradigma kita. Nasib kita, sebenarnya terletak pada cara kita berpikir dan berperilaku," lanjut Rembulan.

“Ada orang yang beranggapan bahwa terdapat jenis pekerjaan atau profesi tertentu, sebagai hal yang hina. Namun, Rasulullah (ﷺ) menolak validitas gagasan ini. Beliau mengajarkan kepada para sahabat bahwa seluruh martabat manusia terikat dengan pekerjaannya—pekerjaan apa pun—dan bahwa aib dan cela yang sesungguhnya, bila bergantung pada bantuan orang lain. Seorang Muslim boleh mencari nafkah dengan pertanian, perdagangan, atau industri atau dengan profesi atau pekerjaan apapun selama itu tak melibatkan, melakukan, mendukung, atau menyebarkan sesuatu yang haram.
Manusia tak diperbolehkan menghindari bekerja mencari nafkah dengan dalih mengabdikan hidupnya untuk beribadah atau cuma ngomong bahwa ia bertawakkal kepada Allah, karena emas dan perak, tentunya, tak jatuh dari langit. Juga tak diperbolehkan baginya bergantung pada derma orang lain sementara ia mampu mendapatkan apa yang mencukupi kebutuhannya sendiri dan keluarganya melalui usahanya sendiri. Rasulullah (ﷺ) melarang seorang Muslim mengemis pada orang lain tanpa kebutuhan yang mendesak sehingga kehilangan kehormatan dan martabatnya.
Dengan teguran yang begitu keras, Rasulullah (ﷺ) bermaksud mendidik umat Islam agar menjaga martabatnya, mengembangkan kemandirian, dan jauh dari ketergantungan pada orang lain. Namun bagaimanapun, Rasulullah (ﷺ) menyadari situasi kebutuhan. Jika, di bawah tekanan kebutuhan, seseorang terpaksa memohon bantuan keuangan dari pemerintah atau dari individu, ia tak boleh disalahkan. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لْمَسَائِلُ كُدُوحٌ يَكْدَحُ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ فَمَنْ شَاءَ أَبْقَى عَلَى وَجْهِهِ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ ذَا سُلْطَانٍ أَوْ فِي أَمْرٍ لاَ يَجِدُ مِنْهُ بُدًّا
'Meminta-minta merupakan luka yang membuat seseorang merusak wajahnya, sehingga ia yang mau, dapat mempertahankan harga dirinya, dan ia yang mau, dapat meninggalkannya; namun hal ini tak berlaku bagi orang yang meminta dari seorang penguasa, atau dalam keadaan yang mengharuskannya.' [Sunan Abi Dawud; Sahih oleh Al-Albani]
Ketika Rasulullah (ﷺ) memberi nasehat kepada Abu Bisyr Qubaisah bin al-Makharaq, beliau (ﷺ) bersabda,
إِنَّ اَلْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ اَلْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ, فَحَلَّتْ لَهُ اَلْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُولَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَى مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ اَلْمَسْأَلَةُ
'Sesungguhnya, meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: seseorang yang menjamin hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti; seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai memperoleh sandaran hidup.' [Sahih Muslim].
Rasulullah (ﷺ) bekerja sebagai pedagang, berdagang dengan paman beliau, kemudian bersama Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, radhiyallahu 'anha. Dan ditemukan orang-orang kaya di antara para sahabat (semisal Abu Bakar, 'Utsman, 'Abdul-Rahmaan bin 'Auf, Thalhah bin 'Ubaidullah dan lainnya, radhiyallahu 'anhum) yang memperoleh kekayaan mereka melalui perdagangan dan menggunakan kekayaannya, guna mendukung perjuangan di Jalan Allah.
Begitu pula Abu Bakar As-Siddiq, radhiyallahu 'anhu, karena ia berjual-beli, dan mengorbankan kekayaannya untuk mendukung Islam dan umat Islam, sejak ia berada di Makkah sebelum hijrah, juga setelah hijrah. Ia mewakafkan sebagian besar kekayaannya di Jalan Allah.
Demikian pula 'Utsman bin 'Affan, radhiyallahu 'anhu, yang menyediakan perlengkapan tentara bagi orang miskin dan 'Abdur-Rahmaan bin 'Auf, radhiyallahu 'anhu, yang menyumbangkan uang kepada umat Islam pada saat dibutuhkan dan pada saat Jihad. Para Salaf saling mendukung dan murid-murid mereka agar 'mematuhi pasar'.
Oleh sebab itu, mencari rezeki menurut jalur yang halal—yang terbesar adalah jual-beli—bermanfaat banyak.

Dalam berbisnis, umat Islam hendaknya menyadari bahwa semakin cepat mereka mempertimbangkan Islam dalam masa berbisnis, semakin mudah menerapkan praktik bisnis yang konsisten dengan keyakinan agama mereka. Investor Muslim, misalnya, dapat memanfaatkan peluang bisnis tertentu, tetapi baru kemudian menemukan bahwa model bisnis yang relevan biasanya didukung oleh unsur-unsur haram. Jika mereka tetap menjalankan bisnis tersebut dengan aspek haramnya, jelas akan merugikan diri mereka sendiri. Kendati jika mereka mengekstraksi diri mereka sendiri, dan sebanyak mungkin dari investasi awal mereka, keuntungan bersih mereka hampir selalu negatif, terutama jika kita mempertimbangkan biaya peluang dari aktivitas investasi palsu.
Bisnis yang memperoleh penghasilan dari produk atau layanan haram seperti daging babi, perjudian, minuman keras, narkoba, atau prostitusi, tak diragukan lagi, dilarang. Banyak umat Islam membodohi diri mereka sendiri dengan mengatakan bahwa meskipun mereka menjual minuman keras di toko minuman keras, mereka tak mengkonsumsinya sendiri. Umat Islam hendaklah benar-benar menghindari bisnis semacam itu, ketimbang berusaha mencari cara merasionalisasi keterlibatan mereka di dalamnya.

Di dalam Al-Qur'an, seraya mengacu pada karunia dan nikmat-Nya kepada manusia, Allah menyebutkan prinsip-prinsip yang diperlukan guna mengelola bidang pertanian. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, telah membentangkan bumi dan membuatnya layak dan subur bagi penanaman dan produksi; inilah karunia bagi manusia yang sepantasnya diingat dan disyukuri, karena Allah juga telah menyediakan air yang melimpah. Dia menurunkannya sebagai hujan dan membuatnya mengalir dalam aliran-aliran untuk menghidupkan kembali bumi setelah mati. Selanjutnya, Dia mengirimkan angin, dengan 'kabar baik' menggiring awan dan menyebarkan benih. Semua ini, merupakan dorongan bagi manusia agar melakukan kegiatan pertanian, karena telah dimudahkan baginya sebagai nikmat Ilahi. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
'Tiadalah seorang muslim yang menanam pohon dan dari buahnya dimakan oleh seseorang atau hewan atau unggas, melainkan ia akan bernilai sedekah di Hari Kiamat.’ [Shahih Muslim]
Pahala bagi orang yang menanam pohon atau tanaman, terus berlanjut selama hasil pohon atau tanaman tersebut, dimakan atau digunakan, meskipun ia mungkin telah menjualnya kepada orang lain. Para ulama berkata, 'Oleh rahmat Allah-lah bahwa Dia terus menambah pahala seseorang bahkan setelah kematiannya, seperti ketika ia masih hidup, terhadap enam hal: amal yang terus berlanjut manfaatnya, ilmu yang bermanfaat, anak-anak saleh yang berdoa untuknya, pohon yang ia tanam, benih yang ia tabur, dan batas wilayah yang ia jaga.'
Namun, tak diperbolehkan membudidayakan tumbuhan yang haram untuk dimakan, atau yang tak diketahui kegunaannya kecuali membahayakan.

Dari sudut pandang Islam, akan sangat tak diinginkan jika orang membatasi upaya ekonomi mereka, semata pada satu bidang profesi, keadaan yang serupa dengan anggapan bahwa lautan yang tiada habisnya itu, tak berguna selain cuma untuk mengekstraksi mutiara dari kedalamannya.
Umat Islam hendaknya mengembangkan industri, kerajinan tangan, dan profesi yang esensial bagi kehidupan masyarakat, bagi kekuatan bangsa yang merdeka dan kuat, dan bagi generasi mendatang, serta bagi kemakmuran sebuah negara. Seperti yang telah dijelaskan oleh para ulama besar dan ahli hukum, industri dan profesi esensial tak semata diperbolehkan oleh Syari'at Islam, melainkan sebenarnya, merupakan kewajiban bagi masyarakat Muslim secara keseluruhan. Kewajiban seperti ini, disebut fardhu kifayah; maknanya, umat Islam seyogyanya memasukkan di antara para anggotanya, orang-orang yang berperan-serta dalam setiap bidang sains, industri, dan profesi esensial, dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhannya. Bila terdapat kekurangan orang-orang yang memenuhi syarat di beberapa bidang sains atau industri, seluruh umat Islam patut disalahkan, terutama mereka yang berada dalam posisi otoritas.
Tak heran bila kita mengatakan bahwa ilmu kedokteran dan aritmatika termasuk bidang ilmu yang fardhu kifayah, sebagaimana industri dasar seperti pertanian, tenun, politik, bahkan bekam dan menjahit. Sebab, jika sebuah kota kekurangan tenaga ahli atau spesialis, akan sangat mungkin, kepunahan akan menimpa penduduknya dan mereka akan terdorong untuk membuka diri mereka pada keruntuhan. Bukankah Dia, Subhanahu wa Ta'ala, Yang menurunkan penyakit, menurunkan pula obatnya, memberikan petunjuk penggunaannya, dan menyediakan sarana mengelolanya? Oleh karenanya, tak diperbolehkan, membiarkan diri sendiri, terpapar pada kehancuran dengan mengabaikan obatnya.'

Al-Qur'an menyebutkan banyak bidang industri dan kerajinan, menyebutnya sebagai nikmat dan karunia Allah. Allah melunakkan besi bagi Nabi Daud, alaihissalam, memerintahkannya membuat baju besi, guna melindunginya dari kekejaman. Dan Allah membuat sumber aliran tembaga cair bagi Nabi Sulaiman, alaihissalam; dan di antara jin ada yang bekerja di hadapannya atas seizin Rabb-nya. Allah membangunkan Dzul-Qarnain bendungan yang tinggi. Allah menyebutkan kisah Nabi Nuh, alaihissalam, dan pembangunan bahtera, dan Dia juga menyebutkan bahtera sebesar gunung yang mengarungi lautan. Al-Qur'an menyebutkan pula berburu dalam berbagai bentuknya, mulai dari menangkap ikan, memburu hewan melata, hingga menyelam di kedalaman guna mencari mutiara, koral, dan sejenisnya. Selain itu, Al-Qur'an memberi tahu kita tentang nilai besi, yang di dalamnya terdapat kekuatan dan manfaat yang besar bagi umat manusia.

Al-Qur'an menceritakan kisah Nabi Musa, alaihissalam, yang bekerja selama delapan tahun sebagai pekerja upahan guna mendapatkan putri seorang lelaki tua untuk dinikahi. Nabi Musa merupakan pekerja dan karyawan yang mengagumkan.
Seorang Muslim bebas mencari pekerjaan dalam pelayanan pemerintah, organisasi, atau individu selama ia mampu melakukan dan menunaikan tugasnya dengan memuaskan. Namun, ia tak diperkenankan mencari pekerjaan dimana ia tak memenuhi syarat, terutama jika pekerjaan itu berotoritas yudisial atau eksekutif, kecuali orang yang memenuhi syarat dan memenuhi tanggung jawab terhadapnya. Bila tidak, maka di Hari Kiamat, akan menjadi penyebab penyesalan dan rasa malu, lantaran merupakan sebuah amanah.
Namun jika seseorang mengetahui bahwa tak ada orang lain yang memenuhi syarat melakukan pekerjaan tertentu kecuali dirinya, dan jika ia tak maju mengambilnya, kepentingan umum akan terancam, maka ia seyogyanya tampil ke depan.
Al-Hakim mencatat bahwa Ibnu 'Abbas, radhiyallahu 'anhu, berkata, 'Daud pembuat baju besi dan perisai, Adam seorang petani, Nuh seorang tukang kayu, Idris seorang penjahit, dan Musa seorang penggembala.' Karena setiap Nabi Allah memiliki beberapa pekerjaan, seorang Muslim hendaknya mendapatkan kepuasan dalam pekerjaan atau profesinya. Islam memberi martabat pada banyak profesi. Segala jenis pekerjaan yang memenuhi kebutuhan masyarakat atau membawa manfaat nyata, dipandang baik, asalkan orang tersebut melakukannya dengan cara yang benar, seperti yang diwajibkan oleh Islam.

Tentang diperbolehkannya bekerja sebagai pegawai pemerintah, organisasi, atau individu, tidak termasuk pekerjaan yang merugikan agama Islam atau yang merugikan umat Islam. Oleh karenanya, seorang Muslim tak diperbolehkan menjadi perwira atau prajurit dalam pasukan yang berperang melawan umat Islam, atau bekerja di perusahaan atau pabrik yang memproduksi persenjataan untuk digunakan melawan umat Islam, atau dalam organisasi yang memusuhi umat Islam dan memerangi penganutnya. Demikian pula, setiap layanan yang diberikan untuk mendukung ketidakadilan atau dalam menggalakkan apa yang haram itu sendiri, adalah haram. Sebagai contoh, tak diperbolehkan bagi seorang muslim menjadi karyawan di sebuah organisasi yang berurusan dengan riba, di sebuah bar atau toko minuman keras, klub malam, ruang dansa, dan sejenisnya.
Islam tak melarang perdagangan apa pun kecuali yang melibatkan ketidakadilan, penipuan, menghasilkan keuntungan yang berlebihan, dan memunculkan sesuatu yang haram. Islam melarang profesi dan industri tertentu bagi pengikutnya karena berbahaya bagi keyakinan, moral, kehormatan, atau perilaku yang baik dari masyarakat. Prostitusi, misalnya, legal di banyak negara di Barat; izin dan lisensi dikeluarkan bagi mereka yang memainkan perdagangan ini, dan pelacur menikmati hak yang serupa dengan profesi lainnya. Islam dengan tegas menolak dan mengutuk praktik ini, dan melarang setiap wanita, memperoleh uang dengan memperdagangkan dirinya dalam hubungan seksual.
Demikian pula, Islam tak membolehkan tarian yang menggairahkan secara seksual atau aktivitas erotis lainnya. Islam melarang segala bentuk kontak seksual dan hubungan seksual di luar pernikahan. Inilah rahasia di balik kata-kata penting Al-Qur'an yang melarang zina.
Islam juga melarang akuisisi patung dan bahkan lebih keras lagi, pembuatannya. Adapun menggambar, melukis, atau fotografi, diperbolehkan atau paling buruk, dibenci, tergantung pada apa yang paling dekat dengan semangat hukum Islam. Tentu saja, subjeknya tak boleh provokatif secara seksual, seperti, misalnya, bagian erotis dari tubuh wanita atau pria dan wanita dalam keadaan intim, dan tak boleh mengenai seseorang yang suci atau dihormati, seperti malaikat atau para Nabi.
Islam melarang partisipasi apa pun dalam promosi minuman-keras, baik dalam pembuatan, distribusi, atau konsumsinya, dan bahwa siapa pun yang berpartisipasi dalam semua ini, dikutuk Rasulullah (ﷺ). Kasus minuman keras dan narkoba lainnya, seperti ganja, kokain, dan sejenisnya, sama; manufaktur, mendistribusikan, atau mengkonsumsi salah satu darinya, tak diperbolehkan.

Transaksi niaga dan pendapatan halal lainnya, hendaknya diatur dengan tuntunan agama, sehingga seorang muslim terhindar dari transaksi yang haram dan bentuk pendapatan yang haram. Dan dari sekian banyak transaksi, Allah mengharamkan Riba. Ada dua bentuk utama Riba yang didefinisikan dalam Islam. Yaitu Riba Al-qurud, yang berkaitan dengan riba yang melibatkan pinjaman, dan Riba Al-Buyu, yang berkaitan dengan riba dalam perdagangan.
Asuransi telah menjadi bahan diskusi dan penelitian para ulama. Kesimpulan mayoritas dari mereka bahwa asuransi tak diperbolehkan, karena asuransi komersial mengandung unsur gharar (akad yang tak diketahui hasilnya), maisir (bentuk perjudian) dan riba.
Perjudian dilarang, saat ini banyak sekali bentuk perjudian antara lain: togel dan undian, dimana orang membayar uang untuk membeli nomor, kemudian diundi bagi hadiah pertama, hadiah kedua, dan seterusnya dalam berbagai macam hadiah. Ini dilarang, kendati itu dilakukan untuk amal. Membeli produk yang mengandung sesuatu yang tak diketahui, atau membayar sejumlah undian yang akan memutuskan siapa yang mendapatkan apa.
Memberi atau menerima suap, tak diperbolehkan. Memberi suap kepada seorang qadi atau hakim agar membuatnya menutup mata terhadap kebenaran atau untuk membuat pernyataan palsu, merupakan dosa, karena mengarah pada penindasan dan ketidakadilan bagi orang yang benar, dan menyebarkan kerusakan. Begitu pula, seorang pejabat dilarang menerima imbalan, untuk menguntungkan orang lain dengan cara yang zalim."

“Dan sebagai kesimpulan,” kata Rembulan, “Aturan umum dalam mencari nafkah adalah bahwa Islam tak memperkenankan pemeluknya mencari nafkah dengan cara apapun yang mereka suka, melainkan membedakan antara cara yang halal dan haram berdasarkan kriteria kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pembedaan ini didasarkan pada asas umum bahwa setiap transaksi yang menguntungkan seseorang, tapi mengakibatkan kerugian pada orang lain, dipandang haram, sedangkan transaksi yang adil dan menguntungkan semua pihak yang berkepentingan, serta ditransaksikan atas persetujuan bersama, dipandang halal. Disinilah arti pentingnya, dalam bekerja dan mencari nafkah yang halal, ada dua hal yang menyertai paradigma kita: Al-Adl dan Al-Ihsan, yakni kita menempatkan sesuatu itu, pada tempatnya, dan kita menyempurnakan pekerjaan kita sesempurna mungkin, bukan lantaran ingin dipuji atau alasan lain, melainkan karena, Allah menyaksikan apa yang kita kerjakan. Wallahu a'lam."

Bias cahayanya mulai redup, lalu Rembulan bersenandung lembut,

إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً
Ilahi, tak pantas kujadi penghuni Firdaus

وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الجَحِيْمِ
Dan tak kuat menahan bara neraka jahim

فَهَبْ ليِ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبيِ
Maka, kabulkan taubatku dan ampuni dosaku

فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ العَظِيْمِ
Sebab sungguh, Engkaulah Pengampun dosa-dosa besar

ذُنُوْبيِ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ
Dosa-dosaku sebanyak buliran-pasir

فَهَبْ ليِ تَوْبَةً يَاذاَالجَلاَلِ
Maka, kabulkan taubatku, duhai Pemilik Keagungan

وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ
Dan umurku, tak genap barang sehari

وَذَنْبيِ زَئِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ
Dan penyesalanku, kian bertumpuk

إِلهِي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ
Ilahi, hamba yang mendurhakai-Mu, menghadap-Mu

فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَا أَهْلٌ
Sungguh, bila Engkau mengampuni, maka Engkaulah Pemilik ampunan

فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
Dan jika Engkau berpaling, kemana lagi asaku, selain Engkau?
Kutipan & Rujukan:
- Sheikh Yusuf al-Qaradawi, The Lawful and the Prohibited in Islam, 2001, Al-Falah Foundation
- Darussalam Research Divsion, Rizq and Lawful Earnings, 2014, Darussalam
- Mohammad Rahman, Your Money Matters: The Islamic Approach to Business, Money, and Work, 2014, IIPH