Kutipan & Rujukan:Rembulan melanjutkan, “Tawakkal merupakan bentuk ibadah yang terkait dengan qalbu dan tak boleh ditunaikan demi apapun atau siapapun kecuali Allah. Tawakkal merupakan tindakan qalbu, maka, seseorang hendaklah menyerahkan urusannya kepada Allah guna beroleh rezeki dan kemaslahatan agama dan dunianya. Namun status Tawakkal ini, seyogyanya menggunakan sarana. Bahwa seseorang mestinya hebat dalam pekerjaannya, ia melakukannya dengan baik dan bahwa ia tulus melaksanakannya serta tak berbuat curang. Dengan demikian, ia akan menerima kompensasi dan bayarannya, yang akan menjadi berkah baginya dan anggota keluarganya. Namun seyogyanya ia tak sepenuhnya bergantung pada hal-hal ini (yakni, pekerjaan dll), melainkan ia hendaklah mengggunakannya sebagai sarana, memenuhi amanahnya dan tulus-ikhlas, dan dengan melakukannya, maka ia bertawakkal kepada Allah.Misalnya, jika seseorang melaksanakan shalat Istikharah guna mengambil keputusan. Shalat Istikharah mengandung makna mempercayakan urusan seseorang kepada Allah. Namun, Shalat Istikharah disertai pula dengan meminta nasihat atau berkonsultasi [sebagai sarananya]. Orang yang menunaikan Shalat Istikharah (yakni, memohon kebaikan dari keputusannya itu) takkan gagal dan siapapun yang meminta nasihat yang baik, takkan menyesal. Islam mensyaratkan kedua hal ini dari para hamba sebagaimana firman Allah,وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ'... dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.' [QS. Ali 'Imran (3):159]Mengenai implikasi dari kedua hal tersebut [bermusyawarah guna mengambil keputusan dan bertawakkal], maka wajib mempelajari dulu akar persoalannya, kemudian meminta nasihat dari orang-orang yang berbudi-luhur dan berakal-sehat, menerima nasihat mereka yang tulus, dan begitu ia telah memutuskan, lalu ia bertawakkal kepada Allah dan memohon kebaikan dari Allah dalam masalah yang dituju dan ditunaikan. Usai meminta nasihat, mempelajari permasalahannya, mempertanyakan dan menelitinya, maka ia lalu menunaikan Shalat Istikharah, mempercayakan segala urusannya kepada Allah dan memohon kebaikan dari-Nya.Nah pertanyaan selanjutnya, apakah orang yang berpandangan optimis terhadap orang lain dalam suatu tindakan atau perbuatan, meniadakan kesempurnaan Tawakkal kepada Allah? Syaikh Abdur Razzaaq memberikan jawaban bahwa Rasulullah (ﷺ) senang dengan optimisme dan ketika beliau (ﷺ) ditanya tentang hal ini, beliau (ﷺ) berkata, 'Itu pernyataan yang baik.' Optimisme menyegarkan seorang Muslim dan tak menghalangi atau mencegahnya. Berbeda dengan pertanda buruk dan pesimisme yang menghambat dan meniadakan keikhlasan Tawakkal umat Islam kepada Allah. Adapun optimisme itu, menyegarkan para hamba dan menyebabkannya didedikasikan dalam banyak persoalan. Ada banyak manfaat yang tak merugikannya. Rasulullah (ﷺ) senang dengan optimisme.Jika seseorang punya beberapa keahlian dalam bisnis dan ia beroleh manfaat dari pengalaman, keterampilan, dan pemahaman dalam konteks tersebut, maka tiada keberatan terhadapnya dan seluruhnya dari sarana yang dicari. Namun, ia semestinya tak semata-mata bergantung pada pengalaman atau keahlian tersebut. Sebaliknya, ia hendaklah menjadikannya sebagai sarana dimana ia mencari bekal, dan satu-satunya ketergantungan dan Tawakkalnya, semata kepada Allah.Dalam derajat apapun, transaksi dalam urusan jual-beli, perdagangan dan pekerjaan, seyogyanya ditunaikan dengan perilaku yang terpuji, perlakuan yang sehat, dan transaksi yang terhormat, berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hal-hal seperti ini, dipandang sebagai amal-shalih seseorang. Namun, jika ia cuma bersandiwara di depan orang lain dan memperlakukan orang lain dengan karakteristik semata demi keuntungan duniawinya, tak bertujuan mendekatkan diri kepada Allah atau memohon rahmat-Nya, maka hal ini, pastilah bukan akhlak orang beriman. Sebaliknya, orang beriman memperlakukan orang lain dengan sifat-sifat terpuji, menghadirkan standar dan etika yang bersih, serta perbuatan yang mulia, sembari berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan dalam mengejar kesuksesan, pertolongan, dan pahala dari Allah.Dalam hal ini, sangat penting bagi seseorang agar menjauhkan diri dari sifat orang yang suka berpura-pura dan suka menyanjung-nyanjung. Sebaliknya, ia hendaklah berurusan dengan orang lain dengan cara yang baik dan dengan standar moral Islam yang murni, mengharapkan pahala dan berkah Allah di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, sangat diperlukan agar seseorang menghadirkan perilaku dengan standar moral yang tinggi, dengan niat berusaha mendekatkan diri kepada Allah.Adapun buah Tawakkal itu, banyak sekali, kata Syaikh Shalih Al-Fauzan. Yang teragung bahwa Allah mencukupkan seseorang dalam apa yang menyusahkanya. Allah berfirman,وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗ'... Siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah hasbuhu ....' [QS. Al-Talaq (65):3]Maka barangsiapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah dan bertawakkal hanya kepada-Nya, serta meyakini bahwa tiada yang dapat mendatangkan kebaikan atau menolak kemudharatan kecuali Dia, Subhanahu wa Ta'ala, '... niscaya Allah hasbuhu...' bermakna 'maka Allah akan mencukupkan keperluannya.' Dia mencukupkannya dari setiap kesulitan, oleh balasan memadai karena jenis amalnya. Tatkala seseorang Tawakkal kepada Allah dengan Tawakkal yang sesungguhnya, Dia membalasnya dengan mencukupkannya dengan mengurus urusannya, sebab ia telah mempercayakan segala urusannya kepada Allah dan tak mempercayakannya kepada selain Allah, maka inilah buah Tawakkal yang terbesar.Buah Tawakkal lainnya ialah beroleh cinta Allah. Barangsiapa yang menggantungkan tawakkalnya kepada Allah dengan Tawakkal yang sebenar-benarnya, maka sesungguhnya, Allah mencintainya, dan manakala Allah mencintainya, ia bakalan bahagia di dunia dan akhirat dengan menjadi salah seorang dari umat yang dicintai Allah, dan dari aulia-Nya.Dan dari buah Tawakkal pada Allah Tabaraka wa Ta'ala, bahwa manusia teruskan hidup dengan mengerjakan apa yang bermanfaat, dan tak takut maupun gentar dari apapun selain Allah. Oleh karenanya, para Mujahidin sejati yang turut-serta dalam peperangan melawan para orang kafir pada waktu itu, melakukannya karena mereka menempatkan Tawakkal mereka kepada Allah, sehingga Tawakkal memberi mereka keberanian dan kekuatan, setiap kesulitan dan ketidaknyamanan menjadi mudah di hadapan mereka, dan mereka rela gugur di jalan Allah, dan mencapai syahid di jalan-Nya, semua ini lantaran Tawakkal pada Allah.Buah lainnya, mendorong pencarian rizki dan dalam memperoleh ilmu, serta dalam setiap hal yang bermanfaat, sebab sesungguhnya, orang yang Tawakkal kepada Allah, gigih dan berani dalam mencari hal-hal yang bermanfaat, karena ia tahu bahwa Allah bersama orang-orang yang Tawakkal dan bahwa Dia akan menolong mereka; maka ia bertahan dalam segala urusan yang bermanfaat di dunia dan akhirat, dan tak bermalas-malasan serta menjauhkan diri dari orang-orang yang, 'kurang kerjaan.'Ummul Mukminin 'Aisyah, radhiyallahu 'anha, menjawab surat Mu'awiyah yang meminta, 'Tulislah surat untuk menasihatiku, tapi tak membebaniku.' Maka, Ummul Mukminin menulis, 'Salamun 'alaika. Amma ba'du. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda,مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ'Barangsiapa mencari ridha Allah ketika manusia tak suka, maka Allah mencukupkannya dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia, dengan kemurkaan Allah, maka Allah membuatnya terbebani oleh manusia.''Wassalamu 'alaika.' [HR At-Tirmidhi, Shahih oleh Al-Albani, dan kalimat yang mirip disampaikan oleh Ibnu Hibban]Para Sahabat merupakan orang-orang yang paling berani oleh Tawakkal sejati mereka kepada Allah. Karena Allah, mereka tak takut pada celaan para pencela, mereka bergantung kepada Allah dengan keyakinan mutlak, dan mereka sepenuhnya mempercayakan urusan mereka kepada-Nya dan tak berpaling kepada selain-Nya, entah orang lain ridha ataupun tidak, asalkan Allah ridha padanya. Allah berfirman,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ'Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut pada celaan orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.' [QS. Al-Ma'idah (5):54]"Waktunya telah habis, lalu Rembulan menyimpulkan dengan, 'Duhai saudara-saudariku, Bergantung dan Tawakkal pada Allah, dan mempercayakan urusan kepada-Nya, merupakan dasar Tauhid, amal dan kebaikan; dan itulah sebabnya, dijadikan sebagai syarat lman. Wallahu a'lam.”
- Shaykh Saalih Al-Fawzan, Tawakkul (Trus & Reliance on Allah), translated by Abu Faatimah Azhar Majothi, 2010, Darul Imam Muslim
- Shaykh Abdur Razzaaq bin Abdul-Muhsin Al-Badr, Tawakkul on Allah, translated by Abu Sulayman Muhammad 'Abdul-'Azim Ibn Joshua Baker, 2016, Maktabatulirshad Publications
[Sesi 1]