Senin, 15 Mei 2023

Ekonomi Islam : Selayang Pandang

“Islam merupakan cara hidup dan berpengaruh pada semua aspek kehidupan seorang Muslim. Hukum Islam, Syariah, melarang segala transaksi dengan bunga dan lebih dari enam dekade terakhir ini, umat Islam secara global tertarik menjalankan sistem keuangan dan perbankan mereka, dengan cara yang bebas Riba'," berkata Rembulan saat ia tiba, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.

"Menurut Syeda Famida Hamid (2018)—yang menghabiskan 22 tahun dalam hidupnya bekerja untuk memainkan peran lebih besar dalam pengembangan keuangan dan perbankan Syariah—bahwa sebelum uang diciptakan, pertukaran ekonomi terjadi melalui sistem barter. Dalam sistem barter, satu orang bertukar barang atau jasa dengan barang atau jasa orang lain. Sistem ini punya banyak ketidaknyamanan. Dua orang harus bertemu dimana masing-masing memiliki sesuatu yang diinginkan oleh yang lain. Ketidaknyamanan sistem barter menyebabkan munculnya uang sebagai alat tukar. Uang memisahkan pembelian dan penjualan sebagai dua aktivitas terpisah. Secara historis, banyak benda telah digunakan sebagai alat tukar, seperti ternak (sapi, unta, kuda), biji-bijian (gandum, jelai), logam mulia (emas, perak), dan akhirnya koin dan uang kertas.
Penciptaan uang mengarah pada perkembangan lembaga keuangan yang tujuan utamanya menyatukan mereka yang berkelebihan uang dan mereka yang kekurangan uang. Lembaga keuangan telah memainkan peran penting dalam ekonomi seluruh masyarakat dari waktu ke waktu, mengumpulkan uang dari pelanggan, melayani penyimpanan dan meminjamkan atau menginvestasikan dana ini. Proses ini disebut intermediasi keuangan dan merupakan bisnis inti bank.
Perbankan komersial Barat dimulai sekitar abad ke-14 di Florence dan menjadi lebih mapan pada abad ke-18 dengan munculnya Revolusi Industri. Ia didirikan oleh tiga kelompok orang dan sampai saat ini, perbankan konvensional menunjukkan jejak nenek moyangnya. Kelompok-kelompok ini : pertama, pedagang kaya dan terkemuka. Seperti pedagang, bank membiayai perdagangan luar negeri, menerbitkan surat wesel, dan menyediakan modal bagi usaha bisnis baru. Kedua, rentenir. Seperti pemberi pinjaman uang, bank mengumpulkan tabungan massa dan meminjamkannya kepada mereka yang kekurangan keuangan dan menghasilkan keuntungan dengan membebankan bunga yang lebih tinggi kepada peminjam dan membayar bunga yang lebih rendah kepada penabung. Ketiga, tukang emas. Seperti tukang emas, bank berfungsi sebagai wali-amanat barang berharga pelanggan.

Sistem ekonomi masyarakat sejak zaman kuno, didasarkan pada agama atau kapitalisme. Sistem berbasis agama mempromosikan keadilan dan kewajaran dalam kegiatan ekonomi, serta mendorong orang kaya agar berbagi kekayaan mereka dengan orang miskin. Sebaliknya, sistem ekonomi kapitalistik beroperasi pada konsep 'survival of the fittest' [istilah yang menjadi kondang dalam edisi kelima, diterbitkan pada tahun 1869, On the Origin of Species oleh naturalis Inggris Charles Darwin, yang menyatakan bahwa organisme yang paling baik menyesuaikan diri dengan lingkungannya adalah yang paling berhasil dalam bertahan hidup dan bereproduksi], persaingan dan maksimalisasi keuntungan. Pada zaman kuno, kegiatan ekonomi seperti bisnis dan perdagangan terutama dikendalikan oleh penguasa atau pemimpin agama, dan beberapa pedagang kaya dan berkuasa. Oleh karenanya, keuntungan yang dihasilkan sebagian besar dikonsumsi oleh elit penguasa, pendeta, dan pedagang kaya, dan hanya sebagian kecil yang mengalir ke masyarakat.
Selama abad ke-13, ada tiga konsep ekonomi yang saling terkait mulai muncul dan menjadi topik pembicaraan dan perdebatan yang signifikan. Pertama, Keadilan dalam pertukaran ekonomi. Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, menganggap harga barang apa pun sebagai nilai intrinsiknya, sedangkan menurut orang Romawi, harga barang ditentukan oleh faktor permintaan dan penawaran, dan pihak-pihak yang mengadakan kontrak berperan dalam menyelesaikan harga. Di sisi lain, para teolog Kristen percaya bahwa nilai intrinsik berarti kegunaan barang dan ini pada akhirnya akan menentukan harganya. Islam juga merekomendasikan harga yang adil bagi barang dan jasa.
Kedua, milik pribadi. Dalam bentuk aslinya, ketiga agama Ibrahim Yudaisme, Kristen, dan Islam menganggap properti pada akhirnya dimiliki oleh Tuhan dengan manusia semata melayani sebagai pengurusnya, dan dengan demikian, seluruh kepemilikan hendaklah bermanfaat bagi masyarakat. Dalam Islam, agama Abrahamic terakhir, pandangan ini masih berlaku dan berpengaruh signifikan terhadap ekonomi dan keuangan Islam. Gereja menjauh dari pandangan ini sekitar abad ke-5 dan dengan sendirinya menjadi pemilik properti dan kekayaan yang substansial. Dalam ekonomi modern, properti dimiliki secara pribadi dan merupakan salah satu faktor produksi.
Ketiga, Uang, riba dan larangan bunga. Pada awal abad ke-4, Aristoteles berpendapat bahwa uang hanyalah alat tukar, tanpa nilai intrinsiknya; karenanya uang tak dapat menghasilkan uang dengan sendirinya. Larangan lengkap atas riba dan larangan bunga merupakan sesuatu yang umum bagi ketiga agama Abrahamic dan tak semata dalam Islam. Menurut kepercayaan Yahudi, bunga tak dapat dibebankan dari saudaranya, dan itu ditafsirkan sebagai orang Yahudi lain, pada dasarnya menunjukkan bahwa bunga dapat dibebankan dari orang-orang yang beragama lain. Dalam kasus agama Kristen, 'saudara' dipandang sebagai seluruh manusia. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru melarang penghasilan dari riba. Awalnya, para teolog Kristen menerapkan larangan total terhadap riba, yang lama kelamaan berubah menjadi larangan bunga yang berlebihan saja. Larangan bunga dicabut di Prancis pada tahun 1789 dan di Vatikan pada tahun 1838. Islam merupakan satu-satunya agama yang melarang total segala bentuk riba atau bunga hingga saat ini. Beberapa faktor yang berkontribusi pada penerimaan bertahap masyarakat Barat terhadap kepentingan dalam kehidupan ekonomi mereka termasuk penggantian pertanian oleh Revolusi Industri, peran permintaan dan penawaran dalam menentukan harga, penerimaan uang sebagai faktor produksi dan pemisahan Gereja dari Negara.

Sistem ekonomi modern digambarkan sebagai jaringan hubungan antara rumah tangga, bisnis dan pemerintah yang terlibat dalam kegiatan ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa dengan cara yang melindungi hak generasi mendatang dan lingkungan. Secara global ada model ekonomi yang berbeda yang beroperasi, dan perbedaan ini berasal dari peran pasar dan pemerintah, serta moralitas dan keadilan dalam model ini.
Ekonomi pasar. Perekonomian ini mengatur diri sendiri, tanpa campur tangan pemerintah. Permintaan dan penawaran menentukan harga. Kekurangannya ialah sistem ini dapat menyebabkan polarisasi kekayaan dan dapat merugikan masyarakat – misalnya di Amerika Serikat.
Ekonomi pasar campuran. Dalam ekonomi pasar beroperasi di bawah mekanisme permintaan dan penawaran, tetapi pemerintah memastikan bahwa aturan pasar yang menguntungkan negara tak dilanggar. Sektor ekonomi penting seperti layanan publik, pertahanan, infrastruktur, dll. mungkin berada di bawah kendali pemerintah – misalnya di Swedia, Inggris, Prancis.
Ekonomi sosialis campuran. Di beberapa ekonomi pasar, untuk menangani ketimpangan pendapatan, kemiskinan, dan masalah sosial lainnya, beberapa sektor vital berada di bawah kendali pemerintah, seperti perbankan, perawatan kesehatan, pendidikan, energi, transportasi, dll. – misalnya di Cina.
Ekonomi komando atau terencana. Perekonomian ini merupakan kebalikan dari ekonomi pasar. Pemerintah menentukan produksi, distribusi dan konsumsi. Negara-negara komunis biasanya memiliki ekonomi seperti ini – misalnya Kuba, Korea Utara, dan negara-negara pecahan Uni Soviet.
Yang terakhir, Ekonomi Islam, sebagai sebuah istilah, pertama kali dicetuskan oleh Abul Ala Al Maududi, yang berupaya mengembangkan ilmu sosial Islam. Karena Islam merupakan jalan hidup, ia memberikan pedoman bagi para pengikutnya, baik dalam aspek materi maupun non-materi dalam kehidupan mereka. Menurut Askari, Iqbal & Mirakhor (2015), ekonomi Islam melibatkan mempelajari aturan-aturan yang diberikan dalam kitab suci Islam, Al-Qur'an, dan Sunnah, berkaitan dengan konsep-konsep ekonomi, membandingkan dan membedakannya dengan ekonomi kontemporer, mengidentifikasi kesenjangan dan menemukan cara menjembatani kesenjangan tersebut. Askari, Iqbal & Mirakhor (2015) lebih lanjut menegaskan bahwa ekonomi dan keadilan sosial, menjadi dasar ekonomi Islam, memberikan kesempatan yang sama dalam pemanfaatan sumber daya alam bagi seluruh masyarakat. Hal ini mendorong kerja sama dan kolaborasi antara individu dan masyarakat.
Ekonomi Islam membantu dalam alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, tanpa mengekang kebebasan individu, menyebabkan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial; ia bertujuan untuk menemukan keseimbangan antara manfaat individu dan sosial yang terkait dengan kepemilikan properti pribadi atau publik. Ekonomi Islam mendorong kegiatan produktif dan penciptaan kekayaan, menganggapnya sebagai ibadah, asalkan kegiatan tersebut sesuai dengan aturan Syariah. Kendati di sisi lain, Islam tak sepakat bahwa perolehan materi sebagai alasan utama keberadaan. Ekonomi Islam tak menganjurkan penimbunan kekayaan.

Mohammad Nejatullah Siddiqu (2010), membagi perkembangan ekonomi Islam menjadi tiga periode. Periode pertama dimulai dari awal Hijrah hingga 450 H, bertepatan dengan 1058 M. Selama periode ini, Rasulullah (ﷺ), para sahabat dan ulama Islam lainnya, berkonsentrasi pada aturan Syariah yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Periode kedua, mulai dari 450 H hingga 850 H, bersamaan dengan 1058 hingga 1446 M, merupakan periode gemilang dalam perkembangan ekonomi Islam. Periode ini berfokus pada isu-isu berikut: individu seyogyanya memenuhi kebutuhan dasarnya saja dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat; penguasa hendaknya menjaga keadilan dan memperkenalkan akuntansi dan harga yang adil. Periode ketiga dari 850 H hingga 1350 H, bersamaan dengan 1446 hingga 1932 M, dan inilah periode stagnasi dalam pemikiran intelektual dan individu. Konsep ekonomi yang dibahas dan dikembangkan selama periode awal Islam termasuk uang sebagai alat tukar, riba, perpajakan, peraturan pasar, perilaku ekonomi yang diperbolehkan, tenaga kerja, upah, harga dan perilaku perdagangan etis.
Beberapa prinsip terpenting yang memandu disiplin ekonomi Islam adalah: pertama, Agama dan ekonomi saling terkait dalam Islam; Kedua, keadilan ekonomi dan sosial tak dipaksakan pada individu, tetapi mereka didorong agar melaksanakannya; Ketiga, Harta dan kekayaan pada akhirnya dimiliki oleh Sang Pencipta, meskipun manusia punya kendali atasnya sebagai wali; Keempat, Masyarakat diharapkan tak berlebihan dalam pengeluaran dan menghindari pemborosan dan kemewahan. Kelima, Kegiatan produktif didorong, dan semua dapat mengejar keuntungan ekonomi pribadi sepanjang itu sesuai syariah dan tak merugikan masyarakat atau lingkungan. Keenam, Semua perdagangan dan bisnis halal, sah dan diperkenankan dalam Islam, dianjurkan, sedangkan segala jenis perdagangan dan bisnis Haram, melanggar hukum dan dilarang dalam Islam, harus dihindari. Ketujuh, Semua manusia berhak atas kesempatan yang sama, dan para pemilik kekayaan bertanggung jawab membaginya dengan masyarakat. Untuk mencapai hal ini, ekonomi Islam mewajibkan Zakat, yang merupakan pungutan agama, yang dirancang untuk mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, serta mendorong tambahan sedekah yang tidak wajib. Zakat berfungsi sebagai tulang punggung sistem ekonomi Islam dan mendorong orang kaya membantu orang miskin dalam masyarakat. Bentuk formal pertama dari perpajakan terukur inilah yang diketahui peradaban, dan merupakan bentuk asuransi sosial. Di negara-negara Islam bisa menjadi sumber pendapatan kas negara (yang dalam bahasa Arab disebut Baitul Maal) dan digunakan untuk biaya pelayanan publik. Zakat juga merupakan alat yang sangat penting guna melawan penimbunan kekayaan, lantaran uang yang digunakan dalam usaha produktif hanya dikenakan pajak atas pendapatannya, sedangkan uang yang menganggur, uang yang tak produktif dikenakan pajak atas jumlah pokok.

Ekonomi Islam punya dua solusi terhadap masalah ekonomi klasik, yakni masalah kelangkaan, sebab keinginan bisa tak terbatas sementara sumber daya terbatas.
Di sisi permintaan, manusia tak boleh punya keinginan yang tak terbatas. Mereka hendaknya berkonsentrasi pada kebutuhan dasar saja, menghindari kemewahan dan pemborosan yang tak perlu. Dengan demikian, masing-masing akan mengkonsumsi lebih sedikit sumber daya yang tersedia.
Di sisi penawaran, manusia hendaknya meningkatkan sumber daya yang telah disediakan oleh Allah melalui aktivitas produktif. Upaya produktif merupakan cara melayani Sang Pencipta dan dengan demikian, meningkatkan sumber daya yang tersedia. Setiap individu yang mampu, seyogyanya bekerja untuk mencari nafkah dan kekayaan yang mereka peroleh, tak semata bermanfaat bagi mereka, melainkan pula, bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Islam menyebutkan bahwa manusia semata di beri amanah dari kekayaan yang dimilikinya, sedangkan pemilik sebenarnya adalah Allah. Umat Islam bersaudara dan bertanggung jawab atas kesejahteraan satu sama lain. Hal ini menetapkan ekonomi kesejahteraan dalam Islam. Dua konsep penting yang didorong oleh Islam dan bekerja menuju kebaikan bersama adalah Al-Adl, yang bermakna bersikap adil dan wajar dalam berhubungan dengan orang lain; dan Al-Ihsan, yang mendorong umat Islam agar melampaui kewajiban minimum terhadap orang lain dan menunjukkan kebaikan. Konsep lain dalam Islam yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial adalah perintah khusus Islam terkait dengan kepemilikan properti dan usaha amal Zakat dan Sedekah.

Dalam semua pengertian praktis, kepemilikan properti diperbolehkan dalam Islam. Kepemilikan tertinggi dari segala sesuatu adalah milik Sang Pencipta, dan manusia hanyalah pengawas properti. Dengan demikian, properti semestinya tersedia bagi kepentingan publik dan lingkungan. Hal ini mengidentifikasi unsur-unsur sistem kapitalistik dan sosial. Ekonomi Islam tak bertentangan dengan ekonomi pasar. Permintaan dan penawaran, persaingan, hak pihak-pihak yang berkontrak guna menentukan harga dan mendapatkan keuntungan dari usaha produktif merupakah semua konsep yang dapat diterima, asalkan keadilan dan kewajaran dipertahankan.
Dalam ekonomi Islam, hak kepemilikan properti ditangani berdasarkan hal-hal berikut: pertama, Allah adalah pemilik akhir dari semua properti dan Dia telah membolehkan manusia, memiliki dan menggunakan properti yang dipercayakan sedemikian rupa, sehingga tersedia untuk keuntungan masyarakat dan generasi yang akan datang, dan tak menyebabkan kerusakan lingkungan. Kedua, seluruh manusia seyogyanya punya akses terhadap sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Allah. Ketiga, properti dapat diperoleh manusia melalui aktivitas produktif mereka sendiri atau melalui berbagai jenis transfer seperti pertukaran, kontrak, hadiah, donasi, atau warisan. Keempat, Islam membatasi akumulasi kekayaan (dengan demikian penimbunan berbahaya secara sosial, yang dilarang) dan menetapkan bahwa seluruh umat Islam berkewajiban membagi pendapatan dan kekayaan mereka dengan yang kurang beruntung, melalui Zakat, yang wajib, atau Sedekah, yang bersifat sukarela. Kelima, Islam menganjurkan agar menjaga harta milik kita dan tak menganjurkan pemborosan atau pengrusakan.

Ekonomi Islam mengakui modal sebagai salah satu faktor produksi, dan dengan demikian ada biaya atas modal ini. Di sisi lain, Islam menganggap uang hanyalah sebagai alat tukar dan tak sepakat jika uang diperlakukan sebagai komoditas atau bernilai intrinsik (sehingga menghasilkan uang dari uang). Hal ini dipandang sebagai Riba atau bunga, yang pada dasarnya merupakan pendapatan terhadap nilai waktu dari uang, atau melalui pertukaran barang dengan kualitas atau kuantitas yang tak sama. Ekonomi Islam tak menerima bunga sebagai ukuran efisiensi investasi, melainkan meyakini bahwa hasil ditentukan dengan membagi keuntungan atau kerugian, atau dengan harga yang dinegosiasikan dari transaksi penjualan atau sewa. Semua transaksi keuangan Islam, perlu dikaitkan dengan aset riil yang mendasarinya, atau harus ada investasi dalam bisnis, dan investasi modal ini, akan menghasilkan keuntungan atau kerugian seperti halnya dengan aset atau bisnis yang mendasarinya. Sebagai kesimpulan, Islam memperbolehkan biaya modal dengan membiarkan modal berbagi dalam surplus, tapi tidak tanpa menjadi bagian dari defisit, juga dalam investasi apa pun."

Sebagai penutup, Rembulan berkata, “Pemikiran ekonomi modern, seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith, memandang uang atau modal sebagai bagian dari faktor produksi. Masalah utama dalam ekonomi modern ialah masalah ekonomi klasik – keinginan yang tak terbatas dan sumber daya yang terbatas. Ekonomi Islam berakar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan menyatakan bahwa keinginan seyogyanya dibatasi, produksi didorong, pemborosan dan kemewahan tak dianjurkan. Dengan demikian memecahkan masalah ekonomi klasik.
Ekonomi Islam terkait erat dengan kesejahteraan sosial. Doktrin Islam tentang kepemilikan properti mengimlakan bahwa Allah-lah sebagai Pemilik Utama dan manusia sebagai wali amanat, dan dengan demikian, manfaat aset perlu dibagi melalui mode Zakat wajib dan Sedekah sukarela. Islam sama sekali melarang bunga atau Riba', meskipun membolehkan biaya modal dalam bentuk pembagian keuntungan, asalkan kerugiannya juga ditanggung bersama. Ada perbedaan yang jelas antara ekonomi konvensional dan Islam terkait dengan kepemilikan dan akumulasi kekayaan, keinginan dan sumber daya, peran negara, siklus ekonomi dan ekonomi pasar, imbalan modal, kesejahteraan sosial dan hukum waris. Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Syeda Fahmida Habib, Fundamentals of Islamic Finance and Banking, 2018, Wiley
- Mohd Azmi Omar, Muhamad Abduh, Raditya Sukmana, Fundamentals of Islamic Money and Capital Markets, 2013, Wiley