Sabtu, 20 Mei 2023

Fabel Ju Gong

"Di negeri antah berantah, sebuah negara sedang tertatih-tatih di ambang perang saudara, lantaran pemilu curang, hampir semua pihak menolak hasil pemilu.
Para pemberontak bersenjata menyerbu gedung Dewan, mengancam bakal berbuat kekerasan, namun akhirnya, mereka dapat ditaklukkan. Akan tetapi, para intelijen menunjukkan bahwa, boleh jadi, para pemberontak merencanakan serangan lain.
Para pemimpin negeri, meminta nasihat bagaimana menangani kekerasan tersebut.
Salah satu partai berteriak, 'Makzulkan presiden petahana di minggu terakhir masa jabatannya!'
Tapi, partai lain, memohon agar menjaga persatuan seraya tetap menolak mengakui hasil pemilu.

Seorang lelaki memandang ke arah ribuan pasukan militer, yang, demi melindungi gedung Dewan, terpaksa tidur dengan kepala tergeletak di lantai keras yang dingin, dan iapun segera memberitahu presiden bahwa kita perlu mengumpulkan lebih banyak pasukan dan memberlakukan darurat militer.
'Ente siyaaapah?' tanya sang presiden. 'Ahli strategi keamanankah? Atau jenderal militer yang berpengalaman dalam revolusikah?'
'Bukan Pak,' jawab sang lelaki. 'Ane jualan bantal,'" berkata Rembulan di saat mulai menunaikan tugasnya, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.

Rembulan lalu berkata, "Mencapai masyarakat yang merdeka dan damai, tentu saja, merupakan tugas yang penuh tantangan. Hal ini membutuhkan keterampilan strategis, pengorganisasian, dan perencanaan yang matang. Di atas segalanya, ia menghajatkan kekuatan.
Di negara-negara yang dikendalikan oleh otoritarian atau kediktatoran, berharap menggulingkan mereka dan membangun kemerdekaan politik, memerlukan para penegak demokrasi, mampu menggunakan kekuatan mereka sendiri secara efektif. Tapi, mungkinkah ini terjadi? Kekuatan macam apa yang dapat dimobilisasi oleh oposisi demokratik, yang cukup untuk menghancurkan kediktatoran beserta jaringan militer dan polisinya yang luas?

Ada sejumlah cara para cendekia mendefinisikan rezim otoriter. Seperti yang disebutkan Erica Frantz, sebuah rezim dikatakan otoriter jika eksekutif mencapai kekuasaan melalui cara-cara yang tak demokratis, yaitu cara apapun selain pemilihan langsung yang relatif bebas dan adil; atau jika eksekutif meraih kekuasaan melalui pemilu yang bebas dan adil, tetapi kemudian mengubah peraturan sedemikian rupa sehingga persaingan pemilu berikutnya (baik legislatif maupun eksekutif) dibatasi. Pemilu yang curang, sebenarnya akan mengarah pada rezim otoriter. Rezim otoriter, tulis Juan Linz, merupakan sistem politik dengan pluralisme politik yang terbatas dan tak bertanggung jawab; tanpa ideologi yang rumit dan membimbing (tetapi dengan mentalitas yang khas); tanpa mobilisasi politik yang intensif atau ekstensif (kecuali beberapa titik perkembangannya); dan dimana seorang pemimpin (atau terkadang kelompok kecil) menjalankan kekuasaan dalam batas-batas yang secara formal tak jelas, namun sebenarnya dapat diprediksi.
Definisi ini secara kasar diamini oleh Samuel Huntington, yang menulis bahwa rezim otoriter dicirikan oleh satu pemimpin atau sekelompok pemimpin, tanpa partai atau partai yang lemah, mobilisasi massa yang kecil, dan pluralisme politik yang terbatas. Adam Przeworski, ketika berbicara tentang demokrasi dan kediktatoran, mengatakan: 'demokrasi adalah rezim di mana 'mereka yang memerintah dipilih melalui pemilihan yang diperebutkan; kediktatoran 'bukan demokrasi.'

Carl Friedrich dan Zbigniew Brzezinski, menyoroti enam ciri kediktatoran totaliter. Ciri-cirinya yaitu: penerapan ideologi resmi, partai politik tunggal, kontrol partai atas komunikasi massa, kontrol partai atas militer, ekonomi sentral, dan polisi rahasia. Dalam karya selanjutnya, Brzezinski mendefinisikan totalitarianisme sebagai bentuk pemerintahan baru yang berupaya mewujudkan revolusi sosial, berdasarkan asumsi ideologis yang dinyatakan oleh kepemimpinan. Dalam rezim totaliter, kekuasaan 'digunakan tanpa hambatan'. Tujuan utama kepemimpinan adalah untuk mencapai persatuan total masyarakat dan politisasi rakyat melalui organisasi politik. Cara-cara ini dicapai melalui propaganda dan teror. Pemimpin punya kekuatan yang lebih besar daripada partai atau aparat keamanan dan biasanya memiliki daya tarik religius atau karismatik. Contoh yang dapat dikutip termasuk Nazi Jerman, Komunis Eropa Timur dan Uni Soviet, Fasis Italia, dan Komunis China.
Ada faktor kunci yang membedakan rezim totaliter dan otoriter, yakni derajat pluralisme sosial, dan tingkat mobilisasi politik. Linz berpendapat bahwa rezim otoriter dicirikan oleh mentalitas, sedangkan rezim totaliter, dicirikan oleh sistem kepercayaan ideologis. Tujuan utama rezim otoriter adalah demobilisasi dan depolitisasi politik. Rezim otoriter tak berusaha menyeragamkan masyarakat dan sebaliknya membiarkan beberapa tingkat pluralisme. Sebaliknya, rezim totaliter sangat menekankan mobilisasi politik dan menggunakan ideologi sebagai sumber utama legitimasi mereka.

Sebagaimana yang kita semua tahu, Kediktatoran berkembang sebagai bentuk utama pemerintahan di abad ke-19. Kediktatoran, suatu bentuk pemerintahan dimana satu orang atau kelompok kecil, berkuasa absolut tanpa batasan konstitusional yang efektif. Diktator merupakan jabatan publik di Republik Romawi. Di saat krisis, pemerintah menunjuk seorang Diktator Roma, yang diberi kemampuan luas guna mengatasi krisis tersebut, yang merupakan tanggung jawab utamanya. Menurut tradisi, Diktator hanya boleh menjabat untuk masa jabatan singkat (ada yang menyebutkan enam bulan sebagai masa jabatan) dan diharap mengundurkan diri seketika usai krisis diatasi. Pembatasan ini diterapkan agar mencegah Roma tergelincir menjadi monarki. Dalam dekade-dekade terakhir Republik Romawi, posisi Diktator disalahgunakan oleh orang-orang seperti Sulla dan Caesar, yang menggunakan jabatan itu untuk mengagungkan dirinya sendiri. Pelecehan ini, merusak institusi Republik dan menyebabkan bangkitnya peran Kekaisaran.
Tiga diktator top dunia ialah Mussolini, Stalin dan Hitler. Selama abad ke-20, beberapa nama diktator yang dapat disebutkan, antara lain: Juan Perón (1895–1974) dari Argentina, Fulgencio Batista (1901–1973) dari Kuba, François Duvalier (1907–1971) dari Haiti, Anastasio Somoza (1896– 1956) dari Nikaragua, dan Alfredo Stroessner (1912–2006) dari Paraguay.

Mengapa kediktatoran muncul? Menurut Natasha Ezrow dan Erica Frantz, faktor kelembagaan mungkin menjadi penyebab pertama. Pemerintah dengan tingkat pelembagaan yang rendah berada dalam keadaan pembusukan politik, ditandai dengan tingkat korupsi yang tinggi, buramnya antara pihak swasta dan publik dalam pemerintahan, kurangnya asosiasi sipil, dan tiadanya konsensus politik. Skenario seperti ini, mengarah pada 'ketidakberdayaan' dan ketidaklayakan demokrasi. Kedua, bagi Seymour Martin Lipset, faktor ekonomi dan demografis menjelaskan mengapa beberapa negara, ada yang demokratis dan yang lainnya tidak. Secara khusus, urbanisasi, industrialisasi, pendidikan, dan populasi yang sehat, semuanya mengarah pada tekanan dalam suatu negara untuk melakukan demokratisasi. 'Modernisasi' masyarakat membuat demokrasi lebih mungkin dengan mengarah pada perubahan mentalitas warga negara. Tanpa karakteristik masyarakat seperti itu, kediktatoran akan bertahan. Ketiga, Barrington Moore menyoroti bagaimana kehadiran kelas menengah yang besar mendukung demokratisasi. Ia merujuk pada peran penting dari kelas atas yang mapan dan pemilik tanah serta kaum tani selama transisi negara-negara dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dalam menentukan jenis sistem politik yang akan terbentuk. Demokrasi kemungkinan besar akan muncul bilamana ada kelompok dalam masyarakat yang berbasis ekonomi mandiri, yaitu dimana ada kelas menengah. Keempat, Peran Etnisitas. Segelintir cendekiawan telah berusaha menguraikan peran etnisitas dalam menentukan tipe rezim. Donald Horowitz mengklaim bahwa perpecahan dan keragaman etnis merupakan hambatan bagi negara-negara yang berusaha untuk mendemokratisasikan diri.
Natasha Ezrow dan Erica Frantz selanjutnya menyarankan bentuk-bentuk kediktatoran. Kediktatoran militer dimulai dengan militer yang mengeksekusi (atau mengancam akan mengeksekusi) sebuah kudeta. Atau kediktatoran partai tunggal muncul dalam berbagai keadaan. Atau kediktatoran Personalis biasanya muncul setelah perebutan kekuasaan dimana para konspirator tak terorganisir dengan ketat, memungkinkan pemimpin memaksimalkan kekuasaan. Atau Monarki yang berbeda dari bentuk kediktatoran lainnya, karena melibatkan aturan turun-temurun yang dilembagakan, seringkali berakar pada warisan sejarah garis keturunan keluarga. Kelompok kepemimpinan terdiri dari keluarga kerajaan, bukan institusi militer atau partai.

Ada hal yang menarik dalam pembahasan yang dihaturkan oleh Gene Sharp (2010), kala memperbincangkan kediktatoran dan kekuasaan politik. Liu-Ji, memberi perumpamaan, kata Sharp, guna memahami kekuatan politik. Fabel Cina abad keempat belas itu, berbunyi seperti ini,
Di negeri feodal Chu, seorang lelaki tua bertahan hidup dengan memelihara para kera untuk melayaninya. Orang-orang Chu memanggilnya 'ju gong' (majikan kera).
Setiap pagi, sang lelaki tua, mengumpulkan para kera di halaman rumahnya, dan memerintahkan yang tertua agar menuntun kera yang lain ke gunung, untuk mengumpulkan buah-buahan dari semak dan pohon.
Aturannya, bahwa setiap kera harus memberikan sepersepuluh dari hasil yang mereka kumpulkan, kepada sang lelaki tua. Mereka yang tak berhasil melakukannya, bakalan dicambuk dengan bengis. Seluruh kera sangat menderita, tapi gak berani komplain.

Suatu hari, seekor kera kecil bertanya kepada kera lainnya, 'Emang, yang nanem pohon buah-buahan dan semak-belukar entu, si Pak tua?' Yang lain bilang, 'Kagak, semuanya tumbuh sendiri.' Sang kera kecil bertanya lebih lanjut. 'Trus, kalau buah-buahan itu, kita ambil gak pake ijin si Pak tua, enggak boleh ya?' Yang lain menjawab. 'Yaa ... sebenernya sih, kita semua biisaa.'
Sang kera kecil lanjut bertanya. 'Lantas, napa sih kita mesti bergantung sama Pak tua, nape sih, kita mesti ngasih setoran buat doi?'
Belum lagi sang kera kecil menuntaskan pernyataannya, mendadak, para kera tercerahkan dan tersadar.

Di malam harinya, memperhatikan sang lelaki tua telah terlelap, para kera membobol semua barikade benteng tempat mereka dikurung, dan meruntuhkan seluruh benteng. Mereka mengambil pula buah-buahan yang disimpan sang lelaki tua, membawa semuanya ke hutan, dan gak pernah balik lagi. Si Pak tua, akhirnya, mati kelaparan.
Cerita ini, berjudul 'Aturan dengan Trik' berasal dari Yu-li-zi oleh Liu Ji (1311-1375). Yu-li-zi juga merupakan nama samaran Liu Ji. Ia mengomentari ceritanya begini, 'Ada orang-orang di dunia ini, memerintah rakyatnya dengan 'trik' dan bukan dengan prinsip-prinsip yang shalih. Bukankah mereka itu, ibarat sang majikan kera? Mereka tak menyadari akan kebodohan mereka. Tatkala rakyatnya telah tersadar dan tercerahkan, trik mereka, bakalan tak berhasil lagi.'

Sharp lalu menjawab pertanyaan sebelumnya. Bahwa jawabannya, terletak pada pemahaman yang sering diabaikan tentang kekuatan politik. Mempelajari wawasan ini, bukanlah tugas yang begitu sulit. Prinsipnya sederhana, kata Sharp. Diktator membutuhkan bantuan dari orang-orang yang mereka kuasai, yang tanpanya, mereka tak dapat mengamankan dan memelihara sumber-sumber kekuatan politik. Sumber-sumber kekuatan politik ini, meliputi,
Otoritas, keyakinan di kalangan masyarakat bahwa rezim itu sah, dan bahwa mereka berkewajiban moral mematuhinya;
Sumber daya manusia, jumlah dan pentingnya orang dan kelompok yang patuh, bekerja sama, atau memberi bantuan kepada sang penguasa;
Keterampilan dan pengetahuan, yang dibutuhkan oleh rezim guna melakukan tindakan tertentu dan disediakan oleh orang dan kelompok yang bekerja sama;
Faktor intangible, faktor psikologis dan ideologis yang dapat mendorong orang agar patuh dan membantu sang penguasa;
Sumber daya material, sejauh mana penguasa menguasai atau punya akses terhadap properti, sumber daya alam, sumber keuangan, sistem ekonomi, dan sarana komunikasi dan transportasi; dan,
Sanksi dan hukuman, yang diancamkan atau diterapkan, terhadap yang tak patuh dan tak kooperatif guna memastikan kepatuhan dan kerja sama yang dibutuhkan rezim agar tetap eksis dan menjalankan kebijakannya.

Namun, seluruh sumber ini, bergantung pada penerimaan terhadap rezim, pada kepasrahan dan kepatuhan rakyatnya, dan pada kerja sama banyak orang dan banyak lembaga masyarakat. Tak ada jaminannya.
Kerja sama penuh, kepatuhan, dan dukungan akan meningkatkan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan dan, akibatnya, memperluas kapasitas kekuasaan pemerintah mana pun.
Di sisi lain, penarikan kerja sama yang dikenal dan disukai orang, dan institusional dengan agresor dan diktator, akan mengurangi, dan bisa jadi, memutuskan, ketersediaan sumber-sumber kekuasaan yang diandalkan oleh seluruh penguasa. Tanpa tersedianya sumber-sumber itu, kekuasaan penguasa melemah dan akhirnya bubar.
Secara alami, diktator peka terhadap tindakan dan gagasan yang mengancam kemampuan mereka untuk melakukan apa yang mereka suka. Oleh karenanya, diktator cenderung mengancam dan menghukum mereka yang tak patuh, mogok, atau tak mau bekerjasama. Namun, itu bukanlah akhir dari cerita. Penindasan, bahkan kebrutalan, tak selalu menghasilkan kembalinya tingkat kepatuhan dan kerjasama yang diperlukan agar rezim berfungsi.

Jika, terlepas dari represi, sumber-sumber kekuasaan dapat dibatasi atau diputus untuk waktu yang cukup lama, hasil awalnya mungkin berupa ketidakpastian dan kebingungan di dalam kediktatoran. Hal ini kemungkinan akan diikuti oleh melemahnya kekuatan kediktatoran. Seiring waktu, pemotongan sumber kekuasaan dapat menghasilkan kelumpuhan dan impotensi rezim, dan dalam kasus yang berat, disintegrasi. Kekuasaan para diktator akan mati, perlahan atau cepat, karena kelaparan politik.
Tingkat kebebasan atau tirani dalam pemerintahan mana pun, selanjutnya, sebagian besar merupakan cerminan dari tekad relatif subjek agar merdeka, dan kemauan serta kemampuan mereka melawan upaya memperbudak mereka.
Berlawanan dengan pendapat umum, kata Sharp, bahkan kediktatoran totaliter, bergantung pada populasi dan rakyat yang mereka kuasai. Seperti yang dicatat oleh cendekiawan politik Karl W. Deutsch pada tahun 1953,
'Kekuatan totaliter kuat hanya jika tak terlalu sering digunakan. Jika kekuatan totaliter hendak digunakan setiap saat untuk melawan seluruh rakyat, kekuatan itu, tak mungkin bertahan lama. Sebab rezim totaliter membutuhkan lebih banyak kekuatan guna menangani rakyatnya dibanding jenis pemerintahan lainnya, rezim seperti ini, lebih membutuhkan kebiasaan kepatuhan yang tersebar luas dan dapat diandalkan di antara rakyatnya; lebih dari itu, mereka harus dapat mengandalkan dukungan aktif dari setidaknya, sebagian besar penduduk, jika diperlukan.'

Ahli teori hukum Inggris abad kesembilan belas, John Austin, menggambarkan situasi kediktatoran yang berhadapan dengan orang-orang yang tak terpengaruh. Austin berargumen bahwa jika sebagian besar rakyat bertekad meruntuhkan pemerintah dan bersedia menanggung represi demi melakukannya, maka kekuatan pemerintah, termasuk para pendukungnya, tak dapat mempertahankan pemerintah yang tak disukai, kendati jika mendapat bantuan asing. Orang-orang yang membangkang, tak dapat dipaksa kembali tunduk dan patuh secara permanen.
Niccolo Machiavelli, jauh sebelumnya berpendapat bahwa the Prince '... yang membuat rakyat secara keseluruhan menjadi musuhnya, takkan pernah bisa membuat dirinya aman; dan semakin besar kekejamannya, semakin lemah rezimnya.'
Karenanya, kata Sharp, ada tiga faktor terpenting dalam menentukan sejauh mana kekuasaan pemerintah akan dikendalikan atau tak dikendalikan, yaitu:
(1) kehendak relatif rakyat membatasi kekuasaan pemerintah;
(2) kekuatan relatif subyek organisasi dan institusi independen untuk menarik kembali sumber-sumber kekuasaan secara kolektif; dan
(3) kemampuan relatif rakyat agar tak memberikan persetujuan dan bantuan mereka.

Lalu, adakah ciri-ciri masyarakat demokratis itu? Salah satu ciri masyarakat demokratis, kata Sharp, bahwa terdapat banyak kelompok dan lembaga non-pemerintah yang independen dalam sebuah negara. Termasuk, misalnya, keluarga, organisasi keagamaan, asosiasi budaya, klub olahraga, lembaga ekonomi, serikat pekerja, asosiasi mahasiswa, partai politik, pedesaaan, asosiasi lingkungan, klub berkebun, organisasi hak asasi manusia, grup musik, perkumpulan sastra, dan lain-lain. Badan-badan ini, penting dalam melayani tujuan mereka sendiri, dan juga, dalam membantu memenuhi kebutuhan sosial.
Selain itu, badan-badan ini, punya signifikansi politik yang besar. Semuanya menyediakan basis kelompok dan institusi, yang dengannya, rakyat dapat menggunakan pengaruh atas arah masyarakat mereka dan melawan kelompok lain atau pemerintah ketika mereka terlihat melanggar kepentingan, kegiatan, atau tujuan mereka secara tak adil. Individu-individu yang terisolasi, bukan anggota dari kelompok semacam itu, biasanya tak dapat memberikan dampak yang signifikan pada masyarakat lainnya, apalagi pemerintah, dan tentu saja, bukan kediktatoran.
Konsekuensinya, jika otonomi dan kebebasan badan-badan tersebut dapat dirampas oleh para diktator, rakyat bakalan relatif tak berdaya. Pula, jika lembaga-lembaga ini sendiri dapat dikendalikan secara kediktatoran oleh rezim pusat atau diganti dengan yang baru, yang dikendalikan, mereka dapat digunakan untuk mendominasi, baik anggota individu maupun wilayah masyarakat tersebut.
Namun, jika otonomi dan kemerdekaan lembaga sipil independen ini (di luar kendali pemerintah) dapat dipertahankan atau diperoleh kembali, mereka sangat penting bagi penerapan pembangkangan politik.
Pusat-pusat kekuasaan ini, menyediakan basis institusional yang darinya, rakyat dapat menekan atau melawan kontrol kediktatoran. Di masa depan, mereka akan menjadi bagian dari basis struktural yang sangat diperlukan bagi masyarakat bebas. Oleh karenanya, kemandirian dan pertumbuhan mereka yang berkelanjutan, seringkali merupakan prasyarat bagi keberhasilan perjuangan pembebasan. Jika kediktatoran telah berhasil menghancurkan atau mengendalikan sebagian besar badan-badan independen masyarakat, penting bagi para penentang, agar membuat kelompok dan institusi sosial baru yang independen, atau agar menegaskan kembali kendali demokratis atas badan-badan yang masih hidup atau yang sebagian masih terkendalikan."

“Dan terakhir, sebelum aku pergi,” kata Rembulan, "perkenankan aku menyampaikan hal berikut ini padamu. Jerzy J. Wiatr ketika berbicara tentang Otoritarianisme Baru di Abad ke-21, mengatakan bahwa masalah krusial bagi rezim otoriter gaya baru ialah, bagaimana mengkonsolidasikan sistem baru. Dalam demokrasi, partai terbiasa dengan fakta rotasi politik. Karena mereka menghormati aturan demokrasi, mereka tak takut kalah dalam pemilu, mengetahui bahwa dengan berlalunya waktu, mereka akan mendapatkan kesempatan kedua. Para pemimpin otoriter berada dalam posisi yang berbeda. Semakin mereka mengonsolidasikan cengkeraman mereka pada kekuasaan negara dengan cara legal atau ekstra-legal, semakin banyak alasan mereka, takut kalah. Oleh sebab itu, mereka punya kepentingan yang kuat demi membentengi posisi politik mereka, sehingga pencopotan mereka dari kekuasaan akan sangat sulit, bahkan tak mungkin.
Ada tiga elemen penting dalam proses ini. Pertama, mereka harus membangun kontrol politik atas peradilan guna mencegah pengadilan independen mempertanyakan kekuasaan mereka. Ini dilakukan dengan menggabungkan undang-undang baru dan membeli dukungan dari beberapa hakim.
Kedua, mereka harus menyentuh media massa, terutama yang memberi mereka akses ke strata yang kurang berpendidikan. Televisi dan survei–selebihnya dari media cetak–sangat penting, sebab merupakan sumber utama informasi politik bagi mereka yang kurang berpendidikan. Memang benar bahwa saat ini, dengan akses mudah ke internet, lebih sulit membangun kontrol penuh atas pertukaran informasi dan pendapat, tetapi sejauh mana internet digunakan, bervariasi tergantung pada pendidikan dan status sosial.
Ketiga, rezim otoriter gaya baru membeli dukungan dari strata yang lebih miskin dengan mengadopsi strategi redistribusi sosial dan ekonomi populis. Bahkanpun jika, seperti yang terjadi di Rusia, mereka mentolerir atau bahkan mendukung oligarki, mereka melakukan upaya sistematis guna memperbaiki keadaan ekonomi strata yang lebih miskin—sesuatu yang diabaikan oleh banyak pemerintahan liberal sebelumnya.
Selain ketiga kebijakan ini, yang umum bagi semua rezim otoriter gaya baru, bahwa ada kebijakan khusus negara yang mencerminkan kondisi tertentu dari beragam negara. Wallahu a'lam.”

Saatnya berangkat, dan Rembulan pun bersenandung,

I want to ride my bicycle
I want to ride my bike
I want to ride my bicycle
I want to ride it where I like *)
Kutipan & Rujukan:
- Gene Sharp, From Dictatorship to Democracy, 2010, the Albert Einstein Institution
- Natasha M. Ezrow & Erica Frantz, Dictators and Dictatorships: Understanding Authoritarian Regimes and Their Leaders, 2011, The Continuum International Publishing Group
- Jerzy J. Wiatr (ed.), New Authoritarianism Challenges to Democracy in the 21st century, 2019, Barbara Budrich Publishers
- Barbara Geddes, Joseph Wright & Erica Frantz, How Dictatorships Work: Power, Personalization, and Collapse, 2018, Cambridge University Press
*) "Bicycle Race" karya Freddie Mercury