Jumat, 05 Mei 2023

Buah Tawakkal (1)

“Maqam yang luar biasa dalam agama dan berkedudukan yang tinggi bagi mereka yang bermusafir menuju Allah Tabaraka wa Ta'ala, ialah Tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,” berkata Rembulan tatkala datang pada malam itu, usai seperti biasa, mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan salam.

“Tawakkal [atau 'tawakal' dalam KBBI, namun dalam konteks ini, kita gunakan kata 'Tawakkal'] merupakan wadah Iman dan landasan ketaatan dan ibadah. Tegaknya agama dibangun di atas keyakinan yang tulus kepada Rabb segala yang ada, karena para hamba tak punya kekuatan atau kuasa kecuali Allah. Segala urusan berada dalam genggaman-Nya dan seluruh hamba berada di bawah arahan dan penaklukan-Nya. Apa pun yang Allah kehendaki, ada, dan apa pun yang Dia tak kehendaki, takkan ada. Segala urusan dari awal sampai akhir, milik Allah.

Tawakkal dalam bahasa Arab merupakan ketergantungan dan titipan, maka tawakkal kepada Allah, Dia Yang Mahasempurna, yaitu bersandar kepada-Nya dan mempercayakan urusan kepada-Nya; dan itulah kewajiban. Keikhlasan semata untuk Allah.
Menurut Syaikh Shalih Al-Fauzan (Shalih bin Fauzan Al-Fauzan), Tawakkal pada Allah bermakna: mempercayakan urusan kepada-Nya dan bersandar kepada-Nya dalam segala urusan, dan mempercayakan urusan kepada Allah dan tak berpaling kepada selain Dia.
Tawakkal kepada Allah merupakan urusan Aqidah, dimana seorang hamba tak berpaling kepada selain Allah dengan qalbunya; dengan demikian, ia selalu mengandalkan Allah, mempercayakan urusannya kepada-Nya, segala urusan.

Maqam Tawakkal pada Allah, menurut Syaikh 'Abdur-Razzaq bin 'Abdul-Muhsin al-'Abbad al-Badr, dibangun di atas orang yang punya pemahaman sangat baik tentang Allah. Namun siapa pun yang tak mempelajari kesempurnaan dan keagungan Rabb-Nya, pelaksanaan kehendak-Nya yang agung, kelengkapan kekuasaan-Nya, ilmu-Nya yang sempurna, kesempurnaan kehendak-Nya, dan pelaksanaan Ketetapan Ilahi-Nya, takkan berada dalam keadaan yang layak sebagaimana mestinya, yang terkait dengan Tawakkal pada Allah.
Maka, Tawakkal pada Allah dibangun atas pemahaman yang sangat baik tentang Allah. Berdasarkan hal ini, setiap kali iman kepada Allah seorang hamba, menguat, dan pemahamannya tentang Allah, menjadi benar, Tawakkalnya pada Allah semakin kuat dan kepasrahannya kepada Allah bertambah besar. Ia mempercayakan segala urusannya kepada Allah, dan ia berserah-diri kepada Allah dalam setiap urusan, kepentingan, dan kebutuhannya, baik urusan agama maupun urusan duniawi.

Allah Tabaraka wa Ta'ala telah menjadikan Tawakkal kepada Allah sebagai syarat bagi kesejahteraan Iman dan Islam seseorang. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, menyebutkan bahwa ketika Bani Israel menolak mematuhi Allah dan mengikuti Rasul-Nya, Nabi Musa, alaihissalam, dua orang saleh di antara mereka, yang telah dianugerahkan Allah karunia yang agung dan yang takut kepada Allah dan hukuman-Nya, mendorong mereka agar maju. Dikatakan pula bahwa orang-orang ini dihargai dan dihormati oleh rakyatnya. Kedua orang ini adalah Yusya` [Joshua], putra Nun, dan Kalib [Caleb], putra Yufna, sebagaimana dinyatakan Ibnu `Abbas, Mujahid, `Ikrimah, `Atiyyah, As-Suddi, Ar-Rabi` bin Anas dan beberapa ulama Salaf lainnya. Allah berfirman,
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
'Berkatalah dua orang lelaki di antara mereka yang bertakwa, yang keduanya telah diberi nikmat oleh Allah, 'Masukilah pintu gerbang negeri itu untuk (menyerang) mereka (penduduk Baitulmaqdis). Jika kamu memasukinya, kamu pasti akan menang. Bertawakkallah hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang mukmin'.' [QS. Al-Ma'idah (5):23]
Para ulama mengatakan, 'manfaat 'hanya kepada Allah..' [dalam ayat tersebut] mengandung makna larangan, dan maksudnya: letakkan tawakkalmu pada Allah dan bukan pada yang lain.' Maka Allah membatasi Tawakkal pada-Nya dan bukan pada yang lain. 'Dan hanya kepada Allah...' maknanya: bukan pada yang lain, 'bertawakkallah jika engkau benar-benar beriman.' Oleh karenanya, Dia menjadikan tanda iman dan Tauhid [mengesakan Allah dalam ibadah], yakni Tawakkal pada Allah.

Dan pula, Allah berfirman,
وَقَالَ مُوْسٰى يٰقَوْمِ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّسْلِمِيْنَ
'Musa berkata, 'Wahai kaumku, jika kamu sungguh-sungguh beriman kepada Allah, bertawakkallah hanya kepada-Nya apabila kamu benar-benar orang-orang muslim (yang berserah diri kepada Allah)'.' [QS. Yunus (10):84]
Allah memerintahkan para hamba-Nya agar bertawakkal pada-Nya. Dia juga menyebutkannya sebagai gambaran tentang hamba-hamba-Nya yang beriman dan para sahabat dekat-Nya. Dia menyebutkan bahwa memohon perlindungan-Nya yang teragung, dengan bergantung pada-Nya di dalam qalbu, mempercayakan Allah dalam segala urusan dan tulus dalam memohon perlindungan-Nya.

Sekarang pertanyaannya, manakala engkau menugaskan seseorang guna melaksanakan dan menyelesaikan urusanmu, semisal membeli barang atau menyewakan sesuatu untukmu atau berkontestasi atas namamu, apakah itu bermakna engkau telah meletakkan Tawakkalmu kepada selain Allah?
Jawabannya, 'Kagak.' Ini masalah Taukil (perwakilan atau perwalian). Perwakilan bukanlah Tawakkal. Tawakkal merupakan ketergantungan dan keyakinan, dan ini tak lain hanya kepada Allah. Adapun Taukil, maka itu mengutus orang lain guna mencapai sesuatu yang dicari, dari hal-hal pencarian yang dibolehkan, yang mampu dilakukan, sehingga ini merupakan sarana (mencapai sesuatu), jadi engkau menunjuk seorang wakil atau wali dari aspek sarana, dan, engkau menempatkan Tawakkalmu pada Allah dalam mencapai niat dari aspek ibadahnya, dan engkau tak meletakkan Tawakkalmu pada wakil atau walimu itu, engkau semata menempatkan Tawakkalmu pada Allah.
Jadi, menurut Syaikh Shalih Al-Fauzan, mendelegasikan orang lain dalam suatu perbuatan, tak melanggar aqidah dan bukanlah Tawakkal kepada selain Allah. Itu melainkan semata bekerjasama pada hal-hal yang diperlukan. Allah berfirman,
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ
'... Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) al-birr [perilaku yang menunjukkan moral standar yang tinggi dan kebajikan] dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. ....' [QS. Al-Ma'idah (5):2]
Maka, perwakilan atau pendelegasian itu, semata membantu dalam urusan yang diwakilkan, ia memenuhi kedudukannya dan merupakan sarana, maka sebagaimana melaksanakan urusan dengan suatu perbuatan merupakan penyebab, demikian pula delegasi atau wakil yang melaksanakannya, penyebab dari banyak sebab, dan hal ini bukan termasuk tawakkal kepada selain Allah.

Orang-orang musyrik berbuat Syirik [yaitu mengarahkan sesuatu dari ibadah kepada selain Allah, baik itu Malaikat dari para Malaikat atau seorang Nabi dari para Nabi atau orang shalih dari para orang shalih atau sebuah struktur dari beragam struktur atau yang selainnya, yang dari ciptaan Allah, barangsiapa yang mengarahkan sesuatu dari ibadah kepada selain Allah, maka itulah perbuatan yang teramat sangat dilarang Allah] dan kufur kepada Allah lantaran mereka menempatkan Tawakkal mereka pada selain Dia, dan mereka mempercayakan urusan mereka kepada selain Allah; mereka percaya bahwa ada selain Allah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, meringankan kekhawatiran mereka dan menolak bahaya dari mereka. Oleh karenanya, mereka bergantung pada berhala, patung, pohon, batu, kuburan, makam dan orang mati; mengandalkan ciptaan dalam apa yang semata Allah Yang mampu melakukannya. Mereka memohon pembebasan dari berhala-berhala itu, mengorbankan (binatang) kepadanya, bersumpah kepadanya dan mengarahkan berbagai jenis ibadah kepadanya karena lebih mengandalkannya ketimbang Allah dan mengira bahwa berhala tersebut membawa peruntungan atau kerugian, atau dapat memenuhi kebutuhan mereka; sehingga lantaran itulah, mereka kafir kepada Allah dengan mengandalkan dan bergantung pada selain Dia dan mengarahkan keyakinan dan ibadah mereka kepada selain Dia. Oleh sebab itu, dasar syirik ialah menempatkan Tawakkal pada selain Allah dan bergantung pada selain Dia.

Adapun orang yang mengaku beriman dan bertauhid, namun ia menempatkan Tawakkalnya kepada selain Allah, baik itu pada batu, pohon, berhala, kuburan, orang mati, dan lain-lain, maka sesungguhnya, ucapannya itu sebuah dusta dan ia bukanlah orang beriman, sebab ia menempatkan tawakkalnya kepada selain Allah dalam urusannya. Tawakkal kepada Allah diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan duniawi seseorang, dalam memperoleh rezeki, menghalangi musuh, serta bahaya dan cedera.
Tawakkal pada Allah merupakan urusan Dien dan dunia; jadi engkau mengandalkan Allah dalam kaitannya dengan Aqidah dan Tauhidmu, dan engkau bergantung pada Allah dalam mencapai kebutuhanmu kendati jika itu kebutuhan duniawi seperti makan, minum, pakaian dan mencapai tujuan seseorang. Demikian pula, selalu bertawakkal pada Allah dan bergantung pada-Nya dalam segala urusanmu.
Tawakkal tak terbatas pada urusan aqidah dan tauhid, melainkan mencakup pula urusan duniawi dan mencari rezeki. Jangan mengandalkan selain Allah guna mencapai tujuanmu, sebab semua urusan ada dalam Genggaman Allah, dan di dalam Gengaman-Nya-lah kunci langit dan bumi, maka engkau wajib menempatkan Tawakkalmu pada-Nya. Jadi, kebutuhan para hamba ada dalam Gengaman-Nya, bagaimana bisa manusia menempatkan Tawakkal pada selain Allah, dan bersandar pada selain Allah dalam Dien dan kehidupan duniawinya? Tak ada keraguan bahwa penyebabnya oleh ketidaktahuan dan berpaling dari Allah, maka maqam Tawakkal itu, maqam pengabdian teragung.

Sebagian orang, boleh jadi, memahami bahwa makna Tawakkal pada Allah itu: 'percayakan urusan kepada Allah dan meninggalkan sarananya', dan mereka meninggalkan sarana bermanfaat yang Allah sediakan, lalu mereka membuangnya, kemudian menunggu hasilnya.
Tawakkal pada Allah bukan berarti meninggalkan sarananya, dan mempercayakan urusan kepada Allah. Konsekuensinya, kita tak menunggu begitu saja rejeki datang dan mengatakan 'jika Allah menghendaki rezeki buat kita, rezeki itu bakalan datang sendiri saat kita sedang duduk-duduk; dan kita tak mencari ilmu dan mengatakan 'jika Allah menginginkan ilmu untuk kita, ia bakalan datang saat kita duduk di rumah dan meninggalkan semua hal bermanfaat, yang perlu kita ambil, sembari berkata,' jika Allah telah memutuskannya bagi kita, ia bakalan datang kepada kita tanpa melakukan sarana... ini kleru, pake banget!
Perlu menggabungkan antara dua hal: Tawakkal pada Allah dan memanfaatkan sarananya. Manusia menjalankan sarana dalam mencari rezeki sembari bertawakkal kepada Allah dalam mencapai tujuan. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah hadits yang direkam oleh at-Tirmidzi dan lainnya, atas otoritas Anas bin Malik yang mengatakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah (ﷺ), “Duhai Rasulullah! Haruskah aku mengikatnya (binatang tunggangannya) dan aku bertawakkal kepada Allah, atau haruskah aku melepaskannya dan aku bertawakkal kepada Allah?' Beliau (ﷺ) menjawab, 'Ikat dan bertawakkallah pada Allah.' [Hasan menurut Syaikh al-Albani]

Manusia menabur benih sambil bertawakkal kepada Allah, dalam menanam benih dan buahnya, menjaganya dari penyakit, serta dalam memperoleh kebaikan dan manfaat darinya. Tiada keraguan bahwa engkau semestinya menabur dan menanam benihmu, menyiraminya, memeliharanya, dan menempatkan Tawakkalmu kepada Allah dalam pemeliharaan, perawatan, pengembangan, dan kemahiran dalam menghasilkan buahnya, dan memanfaatkannya.
Demikian pula, andai ada seorang tak mau menikah dan bilang, 'Ini kan Tawakkal, jika Allah menghendaki ada anak untukku, maka bakal datang kepadaku tanpa perlu menikah.' Ini keliru, dan orang yang bijak takkan mengucapkannya, apalagi ia orang beriman!
Allah telah membuat sarana bagi segala sesuatu. Menikah merupakan sarana memperoleh keturunan dan mendapatkan anak, dan Allah telah memerintahkan agar mengambil sarana tersebut, maka wajib bagimu melaksanakan sarana tersebut. Pernikahan merupakan sarana, dan itu darimu, engkau melaksanakannya dan mencarinya, dan untuk mendapatkan anak, maka itu dari Allah dan itulah buahnya, dan hasilnya ada dalam Genggaman Allah; Adapun melaksanakan sarananya, maka itu darimu.

Lantas, bagaimana dengan buah Tawakkal itu? Kita bahas di sesi selanjutnya, bi idznillah."
[Sesi 2]