Kutipan & Rujukan:"Seorang lelaki ngomong ke bosnya, yang juga kawan dekatnya, 'Keknya, udah saatnya gua layak dapetin kenaikan gaji. Loe tahu gak, udah ada tiga perusahaan lain yang ngejar-ngejar gua.''Apa iya?' tanya sang bos. 'Perusahaan mana aja yang ngejar-ngejar loe?'Sang lelaki mendongak, seolah berusaha mengingat sesuatu. 'Seingat gua sih,' jawabnya, 'perusahaan listrik, perusahaan telepon, dan perusahaan pinjol,' berkata Rembulan di saat ia datang, setelah menyapa dengan Basmalah dan Salam."Kita semua dilahirkan dalam lingkungan alam dan budaya yang membentuk diri kita, secara individu dan kolektif. Dari 'bahasa ibu' hingga 'keyakinan ayah kita', dari risiko medis hingga bahaya alam, dimana kita memulai perjalanan, yang banyak berhubungan dengan takdir kita, dan dengan demikian, bersama peluang, kita mengatasi rintangan di jalan kita," lanjut Rembulan."Dalam perjalanan kita sebagai sebuah bangsa, kita melewati legit dan getirnya sebuah perjalanan. Ada yang mengenakkan, ada pula yang tak menyenangkan. Nah, haruskah bagian yang tak menyenangkan dari sejarah sebuah bangsa itu, dihapuskan? Jawabannya, sama sekali tidak. Yang baik hendaklah ada bersama yang buruk. Kala kita mengaburkan yang buruk, kita mendapat kesan bahwa semata kebaikan sebuah bangsa, takkan pernah ada. Yang baik ada lantaran terdapat bandingannya, yang buruk; vice versa.Sejarah merupakan 'sebuah bentuk pengetahuan sosial; pekerjaan dalam contoh tertentu, dari ribuan tangan yang berbeda. Gagasan tentang sejarah sebagai bentuk pengetahuan organik, dan yang sumbernya tidak jelas, tak semata menggambarkan pengalaman kehidupan nyata, melainkan pula, ingatan dan mitos, fantasi dan hasrat; tak hanya pada kronologis masa lalu dari catatan dokumenter, tapi juga 'tradisi' yang tak lekang oleh waktu.Masa lalu dan masa kini, disatukan dalam analisis tentang cara orang menjadikan masa lalu sebagai bagian dari rutinitas keseharian mereka dan beralih ke masa lalu 'sebagai cara bergulat dengan pertanyaan mendalam tentang bagaimana menjalani hidup'. Masyarakat menggunakan masa lalu mereka, kesan yang mereka temukan, guna menjawab pertanyaan tentang 'hubungan, identitas, keabadian, dan hak pilihan'. Masa lalu bukanlah entitas tak penting yang jauh atau abstrak, melainkan fitur kunci dari kehidupan mereka saat ini.Kita dapat mengatakan bahwa pengalaman kita tentang masa kini, sebagian besar bergantung pada pengetahuan kita tentang masa lalu, dan gambaran kita tentang masa lalu, umumnya berfungsi melegitimasi tatanan sosial masa kini.Kita umumnya menganggap ingatan sebagai kemampuan individu. Kendati demikian, terdapat sejumlah pemikir yang sependapat dengan keyakinan bahwa ada yang namanya ingatan kolektif atau sosial. Kita dapat mencatat bahwa citra masa lalu-lah yang umumnya, melegitimasi tatanan sosial saat ini. Bahwa aturan implisit inilah, semestinya, peserta dalam tatanan sosial apa pun, mengandaikan ingatan kolektif. Sejauh ingatan sebuah masyarakat menyimpang tentang masa lalu, sejauh itu pula, para anggotanya tak dapat berbagi, baik dalam hal pengalaman maupun asumsi.Sebagai upaya untuk menunjukkan bagaimana hal ini terjadi, mari kita mulai dengan mempertimbangkan contoh paradoks: Revolusi Prancis. Setiap kali seseorang memulai ceritanya, dapat dikatakan bahwa akan lebih baik memulainya dari yang paling permulaan.Dalam istilah politik pra-revolusioner, Prancis merupakan negara monarki absolut. Raja tak membagikan kekuasaannya kepada siapa pun, dan tak bertanggung jawab atas pelaksanaannya kepada siapa pun kecuali Tuhan. Urusan negara, termasuk keuangan, adalah domain pribadinya; dan dalam segala hal, ia berdaulat dalam artian, keputusannya final. Di sisi lain, tiada raja yang, atau berusaha menjadi, agen yang sepenuhnya bebas. Bahkan Louis XIV pun berhati-hati meminta nasihat pada semua keputusan penting, dan orang-orang yang terlahir menjadi raja (karena ratu dilarang oleh hukum Prancis) dengan hati-hati diajari bahwa nasihat merupakan inti dari otoritas kedaulatan mereka. Louis XVI mempercayai ini secara implisit; namun tak seperti kakeknya, Louis XV (ayahnya sendiri telah mangkat sebelum mewarisi tahta) ia tak selalu melakukan apa yang direkomendasikan oleh mayoritas menterinya. Ia secara khusus mengira bahwa ia memahami bidang keuangan—sebuah delusi yang terbukti adanya.Krisis dipicu oleh upaya Raja Louis XVI untuk menghindari kebangkrutan. Selama abad kedelapan belas, Prancis telah berperang tiga kali dalam skala dunia. Terbiasa dengan kebanggaan, ambisi, dan prestasi, Louis XIV (1643–1715) yang menganggap dirinya sebagai kekuatan Eropa terbesar, Prancis mendapati pretensinya ditantang selama tiga generasi setelah kematian raja agung dengan munculnya kekuatan baru–Rusia, Prusia, dan terutama, Britania Raya. Persaingan dengan Inggris terjadi di lautan dunia. Yang dipertaruhkan adalah dominasi sumber dan pasokan kemewahan tropis dan oriental, yang membuat Eropa mengembangkan selera yang tak terpuaskan.Raja juga tak terkekang dalam memilih penasihatnya. Meskipun ia dapat memecat mereka tanpa penjelasan, pilihan praktisnya terbatas pada karir administrator, hakim, dan para punggawa atau abdi dalem istana. Mereka, pada gilirannya, hanya dapat diperhatikan oleh intrik menteri lain dan kenalan dari jenis yang diambil dari jajaran atau klien dari beberapa ratus keluarga yang cukup kaya agar hidup dalam kemegahan Istana yang bersepuh emas. Dipenjara dalam rutinitas tatakrama atau etiket yang hampir tak berubah, yang ditetapkan pada abad sebelumnya oleh Louis XIV, kedua penerusnya menjalani hidup mereka secara berpindah-pindah, mengikuti perburuan di sekitar istana hutan di luar Paris–Fontainebleau, Compiègne, dan tentu saja Versailles, kursi kekuasaan spektakuler yang ditiru oleh para penguasa di seluruh Eropa. Ketika mereka mengunjungi ibu kota, itu cuma sebentar. Louis XIV telah menetapkan gaya hidup kerajaan ini dengan sengaja guna menjauhkan diri dari kota yang bergolak dan bergejolak, yang orang-orangnya menentang otoritas kerajaan selama minoritasnya dalam pemberontakan Fronde (1648–53).Otoritas absolut raja atas negara secara luas diwujudkan dalam segelintir agen eksekutif yang teramat berkuasa, yang disebut para intendant. Salah satunya, ditugaskan bagi masing-masing dari 36 generalitas yang membagi kerajaan Louis XVI. Raja menganggap mereka sebagai contoh pemerintahannya, dan tak diragukan tingkat profesionalisme mereka yang tinggi. Namun mereka semakin tak populer karena cara otoriternya, dan kekurangan serta kesalahan mereka tanpa ampun dikecam oleh badan-badan yang otoritasnya sebagian besar telah mereka gantikan sejak abad ketujuh belas. Perpajakan di beberapa provinsi besar, misalnya, masih memerlukan persetujuan perkebunan—perwakilan, meskipun jarang dipilih, majelis yang tak punya kekuatan tertinggi untuk melawan, tetapi kemiripan independensinya memungkinkan mereka meminjam dengan relatif murah atas nama raja. Di atas semuanya, pekerjaan fiskal dan administrasi para pelaku terus-menerus dihalangi oleh pengadilan, yang sebagian besar punya fungsi administratif dan yudisial.Namun sulit untuk melihat bagaimana seorang raja Prancis dapat mempertahankan pretensi internasionalnya tanpa beberapa modifikasi dalam hal hak istimewa dan ketidaksetaraan. Tiada tempat dimana kurangnya keseragaman kerajaan lebih mencolok ketimbang struktur hak istimewa dan pengecualian yang memberi setiap institusi, kelompok, atau wilayah, status yang berbeda dengan yang lain.Jadi krisis 1787 bukan hanya di bidang finansial. Calonne, menteri keuangan yang ditunjuk pada tahun 1783 untuk mengatur kembalinya kondisi masa damai, memulai dengan pengeluaran yang boros dengan harapan mempertahankan kepercayaan.Itulah bencana politik. Beberapa tokoh menerima versi Calonne tentang krisis yang dihadapi negara. Bahkan mereka yang melakukannya cenderung menganggapnya bertanggung jawab, dan karenanya bukan orang yang tepat untuk menyelesaikannya.Sebulan sebelum otoritas monarki runtuh menjadi kebangkrutan, badai es kolosal melanda Prancis utara dan menghancurkan sebagian besar panen yang matang. Dengan cadangan yang rendah setelah Calonne mengesahkan ekspor biji-bijian gratis pada tahun 1787, hasil yang tak terhindarkan adalah bahwa bulan-bulan sebelum panen tahun 1789 membawa kesulitan ekonomi yang parah. Harga roti naik, dan karena konsumen membelanjakan lebih banyak pendapatan mereka untuk makanan, permintaan barang lain akan turun. Manufaktur, yang terkena persaingan Inggris yang lebih murah di bawah perjanjian komersial tahun 1786, sudah merosot; dan ada PHK yang meluas pada saat harga roti mulai melambung.Di atas semua itu, datanglah musim dingin yang luar biasa dingin, ketika sungai membeku, melumpuhkan pabrik dan transportasi massal dan menghasilkan banjir yang meluas ketika pencairan salju akhirnya datang. Jadi badai politik yang akan pecah akan terjadi dengan latar belakang krisis ekonomi, dan akan sangat terpengaruh olehnya. Maka, tanggal 14 Juli bukanlah awal dari Revolusi Prancis. Ia merupakan akhir dari sebuah permulaan.Penggalan sejarah ini, merupakan kasus paradoks, karena jika dimana pun engkau tak berharap menemukan ingatan sosial sedang bekerja, itu pasti ada di era revolusi besar. Tapi satu hal yang cenderung dilupakan tentang Revolusi Prancis, bahwa seperti di semua permulaan, semuanya melibatkan ingatan. Lainnya, melibatkan pemenggalan kepala dan pergantian pakaian yang dikenakan masyarakat. Dapat diyakini bahwa ada hubungan antara dua hal ini, dan apa yang dapat kita katakan tentang hubungan itu, dapat digeneralisasikan di luar contoh tertentu."“Dan terakhir,” kata Rembulan, “mari kita coba renungkan tentang tulisan Ernst Bloch yang bertajuk ‘the Mark!’ sebagai berikut,'Semakin banyak yang muncul di sisi kita. Seseorang hendaknya mengamati dengan tepat hal-hal kecil, kemudian mengejarnya.Apa yang lampai dan ganjil, seringkali menuntun ke arah yang paling jauh. Seseorang mendengar sebuah cerita, tentang prajurit yang datang terlambat saat berkumpul. Ia tak bergabung ke dalam barisan, melainkan berdiri di samping sang perwira, yang 'dengan demikian' tak memperhatikan apa pun. Terlepas dari candaan yang diberikan cerita ini, sebuah kesan masih bekerja: Apa itu? Sesuatu yang bergerak! Dan ia bergerak dengan caranya sendiri. Impresi yang takkan membiarkan kita bergantung pada apa yang kita dengar. Kesan di permukaan kehidupan, boleh jadi, koyak.Singkatnya, berpikir dalam kisah-cerita, juga bagus. Begitu banyak yang tak usai dengan sendirinya ketika itu terjadi, bahkan dimana itu dikisahkan dengan indah. Sebaliknya, sangat aneh, ada lebih banyak hal yang terjadi di sana. Persoalan ini punya sesuatu tentangnya; inilah yang ditunjukkan atau disarankannya. Kisah-cerita semacam ini, tak semata dituturkan; sebaliknya kita menghitung pula apa yang terjadi di sana—atau kita dengarkan: Apa itu?Dari peristiwa muncul 'Tanda!' yang takkan begitu; atau 'Tanda!' yang memang begitu, yang mengambil peristiwa kecil sebagai jejak dan contoh.Semuanya menunjukkan 'kurang' atau 'lebih' yang hendaknya dipikirkan dalam penceritaan, disampaikan kembali dalam bentuk pemikiran; dalam kisah ini, ada yang tak benar, karena ada yang tak beres dengan kita, atau dengan apa pun itu. Beberapa hal semata dapat dipahami dalam lakon itu, bukan dengan gaya yang lebih ekspansif, terhormat, atau karenanaya, tidak dengan cara yang sama. Bagaimana beberapa hal seperti itu, menjadi perhatian, akan dituturkan kembali di sini, dan secara tentatif ditandai; menandai dengan penuh kasih dalam menarasikan kembali; dengan menandai, bermaksud meriwayatkan kembali. Goresan tipis dan semacamnya, dari kehidupan yang belum dilupakan; sampah kita akan sangat berharga di kemudiannya. Tetapi impuls yang lebih lawas, ada pula di sana: mendengar kisah-cerita, yang baik, yang buruk, lakon dengan nada yang berbeda, dari tahun yang berbeda, yang mengagumkan, yang, ketika semuanya berakhir, hanya benar-benar berakhir dalam keharuan. Inilah pembacaan jejak ke segala arah, di bagian yang hanya membagi bingkai. Pada akhirnya, semua yang ditemui dan diperhatikan, sama saja.'""Wallahu a'lam."Saatnya pergi, Rembulan pamit dan bersenandung,Terus melangkah melupakanmu, lelah hati perhatikan sikapmuJalan pikiranmu buatku ragu, tak mungkin ini tetap bertahanPerlahan mimpi terasa mengganggu, kucoba untuk terus menjauhPerlahan hatiku terbelenggu, kucoba untuk lanjutkan hidupEngkau bukanlah segalaku, bukan tempat tuk hentikan langkahkuUsai sudah, semua berlalu, biar hujan menghapus jejakmu *)
- Paul Connerton, How Societies Remember, 1996, Cambridge University Press
- William Doyle, The French Revolution: A Very Short Introduction, 2001, Oxford University Press
- Ernst Bloch, Traces, 2006, Stanford University Press
*) "Mengapus Jejakmu" karya Nazriel Irham