Selasa, 30 Mei 2023

Masyarakat yang Terbiasa Merdeka, Bakalan Menuntutnya Lagi

"Bos sebuah pabrik besar memutuskan, akan melakukan inspeksi dadakan dan memeriksa stafnya. Mereka enggak tahu, entah itu buat pencitraan doang atau sekedar kontrol biasa. Usai melalui jalan yang lecak dan rusak, sampailah sang bos ke pabrik dan di saat ia berjalan melewati pabrik itu, ia melihat seorang pemuda, gak ngelakuin apa-apa selain bersandar di dinding. Tanpa tedeng aling-aling, ia berjalan mendekati sang pemuda, dan dengan gusar berkata, 'Berapa upah mingguan loe?'
'Tiga ratus ribuh pak,' jawab sang pemuda.
Mengeluarkan dompetnya, sang bos menghitung uang tiga ratus ribuannya, menyodorkannya ke genggaman sang pemuda, lalu berkata, 'Ini upah elu buat seminggu—sekarang keluar dan jangan pernah kembali!'
Menoleh ke salah seorang mandornya, sang bos bertanya, 'Udah berapa lama sih, anak pemalas itu, kerja di mari?'
'Doski gak kerja disini bos,' tanggap sang mandor. 'Doski baruuu aja dateng, nganterin pesanan rujak cingur buat sarapan bersama kita, sesuai arahan bos,'" berkata Rembulan ketika cahayanya bersinar terang, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.

"Tatkala sebuah masyarakat terbiasa hidup di bawah budaya politik monarki atau kesewenang-wenangan, mereka tak dibudayakan menginginkan kemerdekaan atau dididik agar berhasil dalam upaya, semacam perlawanan atau kebangkitan," lanjut Rembulan. "Berbeda dengan masyarakat yang hidup di alam demokrasi bebas, yang menginginkan kembali kemerdekaannya, lebih siap memperebutkannya lagi, lantaran cara mereka di masa sebelumnya, menjalankan kemerdekaan itu.

Bila engkau pernah nonton Braveheart garapan Mel Gibson, sebuah film drama sejarah epik Amerika tahun 1995, engkau dapat menemukan apa motif Machiavelli yang sebenarnya, ketika menasihati Lorenzo.
Lakon fiksi tentang kisah William Wallace (diperankan oleh Mel Gibson), seorang pemimpin selama perang kemerdekaan Skotlandia dengan Inggris pada abad ketiga belas dan keempat belas. Film ini dimulai dengan penuturan bahwa raja Skotlandia mangkat tanpa sebab, sehingga Raja Inggris Edward I (Patrick McGoohan), yang dilukiskan sebagai 'pagan yang kejam,' bermaksud mengisi kekosongan kekuasaan dengan mengklaim tahta Skotlandia. Saat para bangsawan Skotlandia melawan Edward karena hal ini, ia mengusulkan gencatan senjata; tapi itu semata muslihat, sebab Edward telah membunuh seluruh bangsawan, sehingga membantu mengkonsolidasikan kekuasaannya atas Skotlandia. Orang Skotlandia, yang merupakan orang yang relatif merdeka, kemudian dianiaya oleh pemerintahan tirani Edward. Raja Edward merebut lahan milik orang Skotlandia dan memberikannya kepada bangsawannya sendiri. Kesalahan paling mengerikan yang mungkin dilakukan Edward dalam film tersebut ialah, memberikan para bangsawannya di Skotlandia, prima nocte, hak bagi bangsawan meniduri seorang wanita Skotlandia pada malam pernikahannya.
Ayah Wallace terbunuh, kala ia masih kecil, oleh pasukan Edward. Di saat ia mencapai usia dewasa, Skotlandia telah berada di bawah penguasa tirani Inggris selama hampir dua dekade. Wallace terpaksa menikahi kekasihnya, Murron MacClannough (Catherine McCormack), secara diam-diam, agar ia tak harus tunduk pada hak prima nocte yang diberikan kepada para bangsawan Inggris. Namun, ketika MacClannough kemudian menolak tunduk pada godaan tak senonoh tentara Inggris dan melawan mereka, ia dieksekusi oleh penguasa Inggris setempat karena 'pelanggaran hukum' dan penyerangan. Aturan keji dan kesewenang-wenangan ini, mendorong Wallace dan para penduduk desa, memberontak melawan penguasa setempat dan pasukannya, membunuh mereka semua. Inilah yang akhirnya, tumbuh menjadi gerakan kemerdekaan oleh Wallace dan para pemimpin Skotlandia lainnya, dan serangkaian pertempuran melawan tentara Inggris pun terjadi, dengan Wallace di pucuk pimpinan.

Machiavelli takkan terkejut dengan lakon fiksi tentang William Wallace, yang dapat dengan mudah mengumpulkan pasukan melawan penindasan Edward dan para bangsawannya yang memerintah Skotlandia. Orang Skotlandia punya lebih banyak hak dan kemerdekaan sebelum pemerintahan Edward, maka mereka menuntut kemerdekaan mereka kembali. Kala desas-desus menyebar tentang Wallace memulai pemberontakan, sukarelawan Skotlandia yang berjumlah ribuan, dengan cepat bergabung dalam peperangan. Saat ia memimpin rekan senegaranya di medan-laga di Battle of Stirling Bridge, ia berpidato, yang membangkitkan semangat yang menekankan betapa pentingnya bagi mereka memperjuangkan kemerdekaan mereka. Belakangan, saat ia bertemu dengan utusan Raja Edward, Putri Isabella dari Wales (Sophie Marceau), Wallace menjelaskan mengapa pasukannya menjarah Kota York dan membunuh keponakan raja, sepupu ipar Isabella, 'York titik pementasan bagi setiap invasi ke negeriku, dan sepupu istana itu, menggantung orang Skotlandia yang tak bersalah, bahkan wanita dan anak-anak, dari tembok kota. ... Longshanks melakukan jauh lebih buruk saat terakhir kali ia merebut kota Skotlandia.' Belakangan, Wallace ditangkap oleh Inggris, diadili karena pengkhianatan, dinyatakan bersalah, dan dijatuhi hukuman siksa dan eksekusi. Selama penyiksaan, Wallace menolak meminta 'belas kasihan', yang akan menyebabkan berakhirnya penyiksaan dan kematian yang cepat. Sebaliknya, satu-satunya kata yang ia teriakkan, 'Merdeka!' Seruan ini, dan sentimen yang diwakilinya, memacu tentara Wallace dan Raja Skotlandia Robert the Bruce (Angus Macfadyen), melanjutkan pemberontakan mereka melawan Inggris.
Bruce kemudian memimpin tentara Skotlandia ke medan-laga, dimana, dalam kata-kata narator, 'patriot Skotlandia, yang kelaparan dan kalah jumlah, menyerbu ladang Bannockburn. Mereka berjuang layaknya penyair pejuang, mereka berjuang bagaikan orang Skotlandia, dan merebut kemerdekaan mereka.'
Dengan demikian, orang Skotlandia terus melawan Inggris dan tetap menjadi duri di pihak raja Inggris, sampai mereka memperoleh kembali kemerdekaan mereka. Seharusnya, hal ini tak mengejutkan bagi para cendekiawan Machiavellian, sebab orang Skotlandia mengenal kemerdekaan, maka mereka akan melakukan apa saja, guna mendapatkannya kembali.

Niccolò Machiavelli lahir di Florence pada tanggal 3 Mei 1469. Permainannya dikenal dengan peran aktif dalam urusan kota asalnya pada tahun 1498, tahun dimana runtuhnya rezim yang dikendalikan oleh Savonarola. Girolamo Savonarola, pemimpin Dominikan San Marco, yang khotbah kenabiannya telah mendominasi politik Florentine selama empat tahun sebelumnya, ditangkap karena tuduhan sesat pada awal April; segera setelah itu, dewan penguasa kota mulai memberhentikan para pendukungnya yang tersisa dari posisi mereka di pemerintahan.
Pada saat Machiavelli memasuki kanselir, terdapat metode rekrutmen yang mapan di kantor-kantor utamanya. Selain memberikan bukti keterampilan diplomatik, calon pejabat diharapkan menunjukkan kompetensi tingkat tinggi dalam apa yang disebut disiplin manusiawi. Konsep studia humanitatis ini, diturunkan dari sumber-sumber Romawi, dan terutama dari Cicero, yang cita-cita pedagogisnya, dihidupkan kembali oleh para humanis Italia abad keempat belas dan mulai memberikan pengaruh yang kuat di universitas-universitas dan perilaku kehidupan publik Italia. Kaum humanis dibedakan terutama oleh komitmen mereka pada teori tertentu tentang isi yang tepat dari pendidikan yang 'benar-benar manusiawi'.
Pada saat Machiavelli hendak mencatat vonis terakhirnya tentang para penguasa dan negarawan yang pernah ia temui, ia telah mencapai kesimpulan bahwa ada satu pelajaran sederhana namun mendasar yang telah mereka salah pahami, akibatnya, mereka umumnya gagal dalam usaha mereka, atau lebih berhasil karena keberuntungan ketimbang penilaian politik yang sehat. Kelemahan dasar yang mereka semua miliki, ialah ketidakfleksibelan yang fatal dalam menghadapi perubahan keadaan. Cesare Borgia selalu terlalu percaya diri; Maximilian selalu berhati-hati dan terlalu ragu; Julius II selalu terburu nafsu dan terlalu bersemangat. Apa yang mereka tolak akui, bahwa mereka akan jauh lebih sukses jika mereka berusaha menyesuaikan kepribadian mereka dengan tuntutan zaman, ketimbang berupaya membentuk kembali zaman mereka ke dalam cetakan kepribadiannya sendiri.

Machiavelli akhirnya menempatkan penilaian ini, di jantung analisis kepemimpinan politiknya, the Prince. Dalam bab 1 the Prince, ia menulis, 'Semua Negara Bagian dan Pemerintahan yang sebagaimana, atau yang pernah diperintah oleh manusia, telah dan akan menjadi Republik atau Princedoms [Kerajaan]. Princedoms bersifat turun-temurun, dimana kedaulatan diturunkan melalui garis keturunan leluhur lama, atau yang sama sekali baru. Princedoms baru, dari garis keturunan yang sama sekali baru, semisal yang dari Milan ke Francesco Sforza; atau mereka laksana anggota tubuh yang digabungkan dengan milik turun-temurun dari Pangeran yang memperolehnya, seumpama Kerajaan Napoli ke dalam wilayah kekuasaan Raja Spanyol. Negara-negara yang diperoleh, dengan demikian, telah digunakan hidup di bawah seorang Pangeran atau yang telah dimerdekakan; dan ia yang memperolehnya, melakukannya dengan tangannya sendiri, atau melalui tangan orang lain, dan entah itu dengan keberuntungan, atau dengan kepantasan.'

Dalam bab 5, Machiavelli menulis, 'Ketika sebuah Negara yang baru diakuisisi telah terbiasa, seperti yang telah kuutarakan, hidup di bawah hukum dan kemerdekaannya sendiri, ada tiga metode yang dapat dilakukan. Yang pertama, menghancurkannya; yang kedua, pergi dan tinggal di sana secara pribadi; yang ketiga, menderita hidup di bawah hukumnya sendiri, tunduk pada upeti, dan mempercayakan pemerintahannya kepada beberapa penduduk yang akan menjaga sisanya sebagai teman. Pemerintahan seperti itu, karena merupakan makhluk dari Pangeran baru, akan melihat bahwa ia tak dapat bertahan tanpa perlindungan dan dukungannya, dan karenanya, harus melakukan semua yang dapat dilakukan guna mempertahankannya; dan sebuah kota yang terbiasa hidup dalam kemerdekaan, jika ingin dipertahankan, lebih mudah dikendalikan melalui warganya sendiri ketimbang dengan cara lain apa pun.
Kita punya contoh dari semua metode ini, dalam sejarah Spartan dan Romawi. Spartan menguasai Athena dan Thebes dengan menciptakan oligarki di kota-kota ini, namun pada akhirnya, kehilangan segalanya. Bangsa Romawi, mempertahankan Capua, Kartago, dan Numantia, menghancurkan dan tak pernah kehilangannya. Di sisi lain, saat mereka hendak mempertahankan Yunani seperti yang dipegang Spartan, meninggalkan kebebasannya dan membiarkannya diatur oleh hukumnya sendiri, mereka gagal, dan harus menghancurkan banyak kota di Provinsi itu, sebelum mereka dapat mengamankannya. . Karena sebenarnya, tiada cara yang pasti mempertahankan selain dengan menghancurkan, dan siapa pun yang menjadi penguasa Kota yang terbiasa hidup dalam kemerdekaan dan tak menghancurkannya, dapat diperhitungkan untuk dihancurkan olehnya. Karena jika ia herus melawan, ia selalu dapat menyaring dirinya sendiri, atas nama kemerdekaan dan aturan-aturan lawasnya, yang takkan pernah lama, atau manfaat apa pun yang diberikan, takkan membuatnya lupa; dan lakukan apa yang engkau mau, dan berhati-hatilah, kecuali jika penduduknya tersebar dan menyebar, nama ini, dan tatanan lama, takkan pernah berhenti diingat, tetapi akan segera berbalik melawanmu setiap kali nestapa menimpamu, seperti ketika Pisa bangkit melawan Florentines, setelah seratus tahun mengabdi.
Namun, jika Kota atau Provinsi yang baru diakuisisi telah terbiasa hidup di bawah seorang Pangeran, dan garis keturunannya dipadamkan, tak mungkin bagi warga negara, yang digunakan, di satu sisi, patuh, dan dirampas, di sisi lain, penguasa lama mereka, sepakat memilih pemimpin dari antara mereka sendiri; dan karena mereka tak tahu bagaimana hidup sebagai orang merdeka, dan karenanya, lambat mengangkat senjata, orang asing dapat dengan mudah menguasai dan mengikat mereka pada tujuannya. Tapi di negeri Republik, ada vitalitas yang lebih kuat, kebencian yang lebih ganas, rasa haus yang lebih kuat untuk balas dendam. Ingatan akan kemerdekaan mereka sebelumnya, takkan membiarkan mereka berleha-leha; sehingga jalan teraman adalah menghancurkannya, atau pergi dan tinggal di dalamnya.'

Dalam bab 15, 'Sekarang tinggal kita mempertimbangkan apa yang seharusnya menjadi perilaku dan sikap seorang Pangeran dalam kaitannya dengan rakyat dan teman-temannya. Dan karena kutahu bahwa banyak yang telah menulis tentang hal ini, aku khawatir, bisa jadi, dianggap lancang dalam diriku, menulisnya juga; terlebih lagi, karena dalam perlakuanku terhadapnya, menyimpang dari pandangan yang diambil orang lain.
Tetapi karena tujuanku menulis apa yang akan berguna bagi siapa pun yang memahaminya, menurutku, lebih baik mengikuti kebenaran yang sebenarnya daripada pandangan imajiner tentangnya. Bagi banyak Republik dan Pangeran, telah terbayangkan yang tak pernah terlihat atau diketahui keberadaannya dalam alam nyata. Dan cara dimana kita hidup, dan dimana kita harus hidup, merupakan hal-hal yang sangat terbelah, sehingga ia yang meninggalkan yang satu guna mempertaruhkan dirinya kepada yang lain, lebih mungkin menghancurkan daripada menyelamatkan dirinya sendiri; karena siapa pun yang bertindak sesuai dengan standar kebaikan yang sempurna dalam segala hal, pastilah rontok di antara sekian banyak orang yang tak baik. Oleh karenanya, penting bagi seorang Pangeran yang hendak mempertahankan posisinya, telah belajar bagaimana menjadi selain kebaikan, dan menggunakan atau tak menggunakan kebaikannya, sesuai kebutuhan.
Mengesampingkan, oleh karenanya, semua gagasan aneh tentang seorang Pangeran, dan mempertimbangkan hanya itu yang benar, aku mengatakan bahwa semua orang, ketika dibicarakan, dan Pangeran lebih dari yang lain dari kedudukan mereka yang teramat tinggi, dicirikan oleh beberapa darinya, kualitas yang melekat, baik pujian atau celaan. Jadi, yang satu dianggap liberal, yang lain kikir (kata yang aku gunakan, bukan serakah, untuk menunjukkan orang yang terlalu hemat dari apa yang menjadi miliknya, keserakahan menjadi kecenderungan mengambil secara salah, apa yang menjadi milik orang lain); yang satu murah hati, yang lain loba; yang satu kejam, yang lain berhati lembut; yang satu tak setia, yang lain setia pada kata-katanya; yang satu banci dan pengecut, yang lain bersemangat dan pemberani; yang satu sopan, yang lain angkuh; yang satu najis, yang lain suci; yang satu sederhana, yang lain licik; yang satu kaku, yang lain lentur; yang satu teliti, yang lain gegabah; yang satu saleh, yang lain mungkar; dan sejenisnya. Setiap orang, aku tahu, akan mengakui bahwa akan sangat terpuji bagi seorang Pangeran yang memiliki semua kualitas di atas yang dianggap baik; namun karena tak mungkin baginya mempunyai atau terus-menerus mempraktekkan semua itu, keadaan sifat manusia tak memungkinkannya, ia harus cukup berhati-hati mengetahui bagaimana menghindari keburukan sifat buruk yang akan merampas pemerintahannya, dan, jika mungkin, berwaspada terhadap mereka yang mungkin tak menghalanginya; meskipun jika ia tak dapat sepenuhnya menahan diri, ia mungkin dengan sedikit keberatan menuruti yang terakhir. Namun, ia tak perlu ragu menanggung celaan dari sifat buruk yang tanpanya, otoritasnya hampir tak dapat dipertahankan; sebab jika ia mempertimbangkan dengan baik seluruh masalah, ia akan menemukan, mungkin, ada garis perilaku yang tampak sebagai kebajikan guna diikuti, yang akan menjadi kehancurannya, dan mungkin ada jalan lain yang tampak sebagai sifat buruk, dengan mengikuti yang mana keselamatan dan kesejahteraannya terjamin.'

Lakon di Braveheart, mirip dengan contoh yang dijelaskan Machiavelli dalam bab 5 The Prince. Menurut Machiavelli, 'Spartan menguasai Athena dan Thebes [sebelumnya kota-kota bebas] dengan menciptakan keadaan beberapa orang di dalamnya.' Di Braveheart, Raja Edward memberikan gelar lahan kepada berbagai bangsawan Inggris, guna mendorong mereka pindah ke Skotlandia dan membantunya mengawasi Skotlandia; demikian pula, Spartan mengirim beberapa otoritas mereka sendiri ke Athena dan Thebes dalam upaya mengontrolnya dengan lebih baik. Namun, strategi ini, pada akhirnya tak berhasil dalam lakon Braveheart, dengan Skotlandia merebut kembali kemerdekaannya; demikian pula, Machiavelli memberitahu kita bahwa terlepas dari upaya Spartan di Athena dan Thebes, 'namun demikian, mereka kehilangan semuanya.' Dalam kedua kasus tersebut, penguasa tak mau menghancurkan kota-kota ini, atau setidaknya tinggal di sana, yang akhirnya, mengakibatkan mereka kehilangan segalanya."

"Akhirnya," Rembulan hendak pergi, "perbincangan Machiavelli dalam bab 5 The Prince, merupakan lakon pengingat bagi para penguasa yang hendak menaklukkan orang-orang merdeka. Takkan ada perdamaian selama seorang Pangeran berusaha memerintah orang-orang yang telah mengenal kemerdekaannya, dan tak mau, serta tak dapat melepaskannya. Masyarakat yang merdeka, tahu apa yang mereka inginkan. Maka, jalan terbaik bagi sang Pangeran, sebaiknya, cukup dengan menahan diri dan tak mengusik mereka. Wallahu a'lam."

Sebelum berangkat ke belahan dunia lain, Rembulan bersenandung,

Ampuni aku yang telah memasuki kehidupan kalian
Mencoba mencari celah dalam hatimu

Aku tau ku takkan bisa menjadi s’perti yang engkau minta
Namun selama nafas berhembus, aku kan mencoba
Aku tau dia yg bisa menjadi s’perti yang engkau minta
Namun selama aku bernyawa, aku kan mencoba menjadi s’perti yang kau minta *)
Kutipan & Rujukan:
- Niccolò Machiavelli, The Prince, translated by Ninian Hill Thomson, 1513, Feedbooks
- Eric T. Kasper and Troy A. Kozma, Machiavelli Goes to the Movies: Understanding The Prince through Television and Film, 2015, Lexington Books
- Quentin Skinner, Machiavelli: A Very Short Introduction, 1981, Oxford University Press
*) "Seperti Yang Kau Minta" karya Pongki Barata