Senin, 25 Desember 2023

Cerita Bunga Matahari: Lucy (1)

“Seorang siswa bertanya kepada guru biologinya, 'Bagaimana cara Charles Darwin melamar istrinya?'
Sang mentor berpikir sejenak, lalu berkata, 'Dalam ilmu matematika, engkau dapat sampai pada jawaban 'the right answer', namun, tentang perilaku manusia, 'the right answer could be a myth'. Akan tetapi, engkau dapat menemukan 'the best answer' atau 'good judgement', usai membandingkan berbagai pernyataan dari beragam sudut pandang, yang tentunya, harus 'valid'.'
'Jadi, menurut Ibu, apa 'the best answer'-nya?' sang murid kepo.
'Darwin mengajukan lamaran dan mengungkapkan bahwa calon isterinya itu, terpilih oleh seleksi alam,' pungkas sang pengajar."

"Pernahkah dirimu menyaksikan film 'Lucy', sebuah gambar-hidup aksi fiksi ilmiah Prancis tahun 2014 yang ditulis dan disutradarai oleh Luc Besson, tentang seorang wanita, diperankan oleh Scarlett Johansson, yang secara tak sengaja bertransformasi jadi seorang johan tanpa ampun, yang berevolusi melampaui logika manusia?" ucap Bunga Matahari sambil menunggu Wulandari, sang Rembulan, yang belum juga tiba, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.
"Mengapa Lucy? Aku tak hendak mempercakapkan tentang seorang wanita yang aduhai, atau semlehoy, apalagi gemoy—kata nenek itu berbahaya, dan oleh Cak Imin diungkapkan dengan canda dalam kalimat interogatif—sehingga membuat kaum Adam tercelangap. Tidak, bukan itu.
Sebelum melanjutkan, perkenankan aku menyampaikan padamu bahwa Bunga Matahari, diriku dan sebangsaku, dikenal oleh kemampuan kami, disebut heliotropisme, melacak matahari sepanjang hari, mengikuti pergerakannya dari Timur ke Barat. Simbol realitas dari berlalunya waktu. Waktu merupakan konsep yang sulit dipahami dan telah memikat imajinasi manusia selama berabad-abad. Saat matahari terbenam dan terbit kembali, kami melacak pergerakannya, sebuah pengingat bahwa waktu terus berjalan. Selain itu, para bunga matahari telah digunakan sebagai simbol siklus hidup dan mati. Jadi, kamilah simbol terindah dan terkuat dari perjalanan waktu dan siklus kehidupan, menjadikan kami, pantas disertakan dalam setiap perbincangan tentang puspita, yang merepresentasikan waktu.
Aku teringat ketika menjelang Tahun Baru, para tetua memperhatikan kawula muda, dan mereka menggelengkan kepala sambil bergumam satu dengan yang lain, 'Betapa cepat waktu berlalu!'
Dan diriku bertanya-tanya, 'Ada apa sih dengan waktu? Adakah doi punya permulaan dan akankah berakhir?' Memang betul, doi bakalan baik-baik aja, tapi, H. James Birx ngomong bahwa pertanyaan mendalam inilah yang telah dipertanyakan oleh para pemikir khusyuk selama berabad-abad, mulai dari spekulasi awal di kalangan kaum Yunani kuno, hingga penemuan membagongkan dalam ilmu pengetahuan modern. Baik filsuf maupun teolog, kata Birx, telah menghaturkan pandangan dunia yang dinamis guna mengakomodasi fakta dan gagasan baru tentang waktu dan perubahan. Lantaran sifatnya yang sulit dipahami, waktu masih menjadi tantangan bagi individu yang berusaha memahami dan mengapresiasi perubahan realitas dan pengaruh waktu yang meluas terhadap semua objek dan peristiwa di dalamnya (termasuk spesies kita). Perspektif terhadap waktu berkisar dari partikel subatom hingga evolusi kosmik. Perubahan temporal mungkin hanya berlangsung beberapa detik atau miliaran tahun. Kemajuan luar biasa dalam teknologi, khususnya dalam bidang teleskop dan mikroskop, serta kemajuan pesat dalam bidang komputer, telah meningkatkan pengetahuan ilmiah kita tentang alam semesta secara umum dan planet kita pada khususnya. Sejarah kehidupan di Bumi dimulai sekitar 4 miliar tahun yang lalu, sedangkan kebudayaan manusia dimulai kurang dari 3 juta tahun yang lalu. Meski begitu, perluasan kosmos ini diperkirakan akan bertahan selama miliaran tahun ke depan. Dan, tak diragukan bahwa pandangan manusia tentang waktu, akan berubah selama berabad-abad mendatang, jika spesies kita bertahan.

Birx kemudian memaparkan bahwa bani Yunani kuno, merenungkan waktu dan perubahan. Yang terpenting ialah, gagasan Heraclitus bahwa kosmos ini, terus berubah, mewujudkan pola siklus yang berkelanjutan. Belakangan, Plato dan Aristoteles menafsirkan alam semesta ini, masing-masing dalam istilah geometri dan biologi. Perdebatan filosofis muncul mengenai apakah realitas itu berwujud statis, yang perubahannya merupakan ketidaksempurnaan atau ilusi, atau wujud kekal, yang kekekalannya semata ilusi. Sejak jaman dahulu, upaya cerdik telah dilakukan mensintesis perubahan dan ketetapan dalam pandangan dunia yang adil bagi keduanya. Upaya semacam ini, ditemukan dalam siklus kosmologi filosofi Ketimuran.
Dengan masuknya agama Kristen, kata Birx, para pemikir agama berusaha mendamaikan Tuhan yang berpribadi kekal dan sempurna, dengan alam semesta material yang sementara dan tak sempurna. Mengenai waktu, muncul keyakinan berbeda mengenai penciptaan ilahi atas kosmos yang terbatas ini, dan akhirnya, takdir. Santo Agustinus dari Hippo dan Santo Thomas Aquinas masing-masing menawarkan pandangan subjektif dan objektif tentang waktu. Bagi keduanya, asal usul alam semesta ini, dipandang sebagai peristiwa yang terjadi beberapa ribu tahun yang lalu. Kosmos yang diciptakan ini, menjadikan bumi sebagai pusatnya dan manusia menempati tempat khusus dalam alam yang statis. Akhir zaman diyakini akan terjadi dalam waktu dekat. Sebelum munculnya astronomi dan fisika modern, menurut pendapat Birx, orang-orang terdahulu yang meyakininya, tak pernah bisa membayangkan begitu panjangnya usia alam semesta ini, atau betapa rumitnya sejarah bentuk kehidupan di planet kita.

Selama Renaisans Italia, seniman jenius Leonardo da Vinci (1452–1519) merenungkan fosil laut yang ia temukan di lapisan batuan saat berjalan di Pegunungan Alpen Swiss. Doi beralasan bahwa fosil-fosil inilah sisa-sisa organisme yang pernah hidup di masa lalu; kekuatan alam telah mengangkat lapisan sedimen Laut Mediterania yang kaya akan fosil selama ribuan tahun. Faktanya, ketika konsensus umum menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan hanya beberapa ribu tahun yang lalu, pandangan dinamis Leonardo tentang sejarah bumi, menyatakan bahwa planet kita setidaknya berusia 200.000 tahun. Lebih jauh lagi, kosmologinya menganggap alam semesta abadi, tak terbatas, dan dipenuhi planet lain. Menanggapi perubahan dengan mendalam, Leonardo mengklaim waktu sebagai sesuatu yang jahat, yang merusak segalanya. Berspekulasi mengenai akhir bumi, ia meramalkan peristiwa bencana di masa depan, dimana api bakalan menghancurkan seluruh makhluk hidup di planet ini (termasuk spesies kita).
​Pada akhir Renaisans Italia, biarawan Giordano Bruno (1548–1600) menantang filosofi Aristotelian dan teologi Thomistik yang mendominasi pemikiran Barat. Dengan menggunakan kecerdasan kritis dan imajinasinya yang ekstraordineri, ia membayangkan alam semesta yang abadi dan tak terbatas dengan jumlah bintang dan planet yang tak ada habisnya. Kosmologinya mencakup pula dunia lainnya, yang dihuni oleh makhluk cerdas. Akibatnya, penafsiran nekat Bruno tentang alam semesta ini, membuka jalan bagi gagasan-gagasan baru tentang waktu dan perubahan. Dapat dikatakan bahwa ia mengantarkan kosmologi modern, yang bebas dari geosentrisme, antroposentrisme, dan langit-langit bintang yang tetap. Pandangan dunianya bahkan mengantisipasi kerangka relativitas dalam fisika modern.

Bersama Era Pencerahan, para filsuf alam menekankan nilai sains dan akal. Menolak keyakinan dan pendapat sebelumnya, mereka menekankan pemikiran kritis dan kajian terbuka. Bagi mereka, sejarah merupakan proses progresif, dan kemajuan sains menjanjikan bebas dari dogmatisme dan takhayul. Para pemikir tercerahkan ini, membangun suasana intelektual yang penting dalam membuka jalan bagi munculnya ilmu-ilmu sosial, termasuk antropologi dan psikologi. Ilmu-ilmu sosial baru, melengkapi ilmu-ilmu alam yang sudah ada. Dengan menghargai nilai individu, panggung akademis, kini disiapkan bagi para naturalis dan filsuf hebat agar memberikan kontribusi besar dalam memahami dan menghargai waktu kosmik dan sejarah bumi.
Pada akhir masa Pencerahan, jauh sebelum nanoteknologi dan rekayasa genetika, filsuf visioner Marquis de Condorcet (1743–1794) meramalkan kemajuan berkelanjutan dalam ilmu pengetahuan alam, yang mengakibatkan manusia di masa depan, menikmati masa hidup yang tak terbatas.

Pada awal abad ke-19, para naturalis mulai mempelajari batuan, fosil, dan artefak dengan serius. Penyelidikan mereka menantang gagasan tradisional mengenai usia bumi, ketetapan spesies, dan kemunculan hewan manusia di planet kita belakangan ini. Geologi sejarah, paleontologi komparatif, dan arkeologi prasejarah, menjadi ilmu-ilmu berbeda, yang bersama-sama menawarkan kerangka waktu yang sangat luas. Selama beberapa dekade, akumulasi bukti empiris dengan jelas menunjukkan betapa besarnya usia bumi kita, evolusi spesies selama ribuan tahun, dan betapa purbanya manusia dan satwa. Sepanjang masa geologis, catatan fosil bahkan mengungkapkan bahwa banyak spesies di masa lalu, telah punah. Alam tak lagi dianggap sebagai perwujudan rancangan ilahi yang telah ditetapkan sebelumnya; tatanan yang dianggap tetap di planet kita, kini digantikan oleh perubahan yang meluas dan berkelanjutan. Waktu bumi sekarang tercatat dalam jutaan tahun, dan asal-usul alam semesta ini, terjadi di masa lalu, yang hilang dalam besarnya waktu kosmik.

Pada abad ke-20, muncul konflik yang tak terelakkan antara para fundamentalis bible, yang berpegang teguh pada penafsiran yang ketat dan harafiah atas Penciptaan sebagaimana disajikan dalam Kitab Kejadian, berhadapan dengan para evolusionis ilmiah yang menerima kerangka waktu baru, yang secara jelas didukung oleh bukti empiris dalam geologi, paleontologi, dan biologi, serta hasil teknik penanggalan radiometrik. Faktanya, konflik antara agama tradisional dan sains modern, masih berlanjut hingga kini, dan tak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir di masa mendatang.
Thomas Dixon mengilustrasikan bahwa di Roma pada tanggal 22 Juni 1633, seorang pria lanjut usia dinyatakan bersalah oleh Inkuisisi Katolik karena mencurigai dirinya sebagai sesat, lantaran 'menganut dan mempercayai doktrin yang salah dan bertentangan dengan Keilahian dan Kitab Suci'. Doktrin yang dimaksud ialah 'matahari adalah pusat dunia dan tak bergerak dari timur ke barat, bahwa bumi bergerak dan bukan pusat dunia, dan bahwa pendapat setelahnya boleh membela dan mempertahankannya dapat dinyatakan dan ditentukan sebagai bertentangan dengan Teks-teks Keramat'. Orang yang bersalah itu, filsuf Florentine berusia 70 tahun, Galileo Galilei, yang dijatuhi hukuman penjara (hukuman yang kemudian diubah menjadi tahanan rumah) dan diperintahkan melafalkan tujuh Mazmur pertobatan seminggu sekali selama tiga tahun berikutnya sebagai ' penebusan dosa yang bermanfaat'. Galileo menerima hukumannya, bersumpah sepenuhnya taat kepada 'Gereja Katolik Suci dan Apostolik', dan menyatakan bahwa ia mengutuk dan membenci 'kesalahan dan ajaran sesat' yang telah ia reka-reka– yakni keyakinan pada kosmos yang berpusat pada matahari dan dalam pergerakan bumi.

Tak mengherankan bila aib terhadap pemikir ilmiah ternama pada zamannya oleh Inkuisisi Katolik atas dasar keyakinannya tentang astronomi dan kontradiksinya dengan Bible, seharusnya ditafsirkan oleh beberapa orang sebagai bukti konflik yang tak terhindarkan antara sains dan agama, Dixon lebih jauh mengimbuhkan. Pertemuan modern antara kaum evolusionis dan kreasionis, nampak pula mengungkap antagonisme yang sedang berlangsung, kendati kali ini sainslah yang lebih berkuasa, bukan church, kata Dixon.
Apakah itu bermakna bahwa konflik tersebut perlu dihapuskan sama sekali dari kisah-kisah kita? Gak perlu, kata Dixon. Satu-satunya hal yang seyogyanya dihindari adalah gagasan yang terlalu sempit tentang jenis konflik yang mungkin terjadi antara sains dan agama. Kisahnya tak selalu tentang seorang ilmuwan yang heroik dan berpikiran terbuka, yang berselisih dengan gereja, yang reaksioner dan fanatik. Fanatisme buta [dalam Islam dikenal sebagai Asabiah atau Taasub], dalam keterbukaan pikiran, terjadi di segala sisi– begitu pula pencarian pemahaman, kecintaan pada kebenaran, penggunaan retorika, dan keterikatan dengan kekuasaan negara. Individu, gagasan, dan institusi dapat dan telah mengalami konflik, atau dapat diselesaikan secara harmonis, dalam beragam kombinasi yang berbeda-beda.

Sains ilmiah didasarkan pada pengamatan terhadap alam. Namun mengamati alam bukanlah aktivitas yang sederhana atau hasil dari pemgucilan-diri. Ambil contoh Bulan. Saat dirimu melihat ke langit pada malam yang cerah, apa yang engkau lihat? Dikau melihat bulan dan bintang-bintang. Tapi apa yang sebenarnya engkau amati? Ada banyak lampu kecil terang dan kemudian benda melingkar besar berwarna keputihan. Bila engkau belum pernah mempelajari ilmu apa pun, menurutmu, benda berwarna putih itu, ape sih? Piringan datar, seperti aspirin raksasakah? Atau itu sebuah bolakah? Jika yang terakhir, mengapa kita selalu melihat sisi yang sama? Dan mengapa bentuknya berubah dari bulan sabit tipis menjadi cakram penuh dan kembali lagi? Mirip Bumikah benda itu? Jika ya, seberapa besar ukurannya? Dan seberapa dekat? Dan adakah orang yang tinggal di sana? Ataukah ia setara dengan matahari pada malam hari yang lebih kecil? Yang terakhir, mungkinkah itu seperti salah satu cahaya kecil yang terang tetapi lebih besar atau lebih dekat? Bagaimana dan mengapa ia bergerak melintasi langit seperti itu? Adakah hal lain yang mendorongnya? Melekatkah ia pada suatu mekanisme yang tak terlihat? Makhluk gaibkah itu?
Nah coba, sekarang, jika dirimu mengetahui sains modern dengan baik, dikau bakalan mengetahui bahwa Bulan itu, satelit berbatu, berbentuk bola besar yang mengorbit bumi sebulan sekali dan berputar satu kali pada porosnya, dalam waktu yang sama (yang menjelaskan mengapa kita selalu melihat sisi yang sama). Perubahan posisi relatif matahari, bumi, dan bulan, menjelaskan pula mengapa bulan menampilkan ‘fase’–yakni keseluruhan atau cuma sebagian kecil dari separuh bulan yang diterangi, terlihat pada waktu tertentu. Boleh jadi, engkau mengetahui pula bahwa seluruh benda fisik, saling tertarik oleh gaya gravitasi, yang sebanding dengan hasil kali massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya, dan hal ini membantu menjelaskan pergerakan reguler bulan, mengelilingi bumi dan bumi mengelilingi matahari. Mungkin, engkau juga tahu bahwa cahaya kecil terang di langit malam itu, adalah bintang, mirip dengan matahari kita; bahwa objek yang terlihat dengan mata telanjang, berjarak ribuan tahun cahaya, dan objek yang dapat diamati melalui teleskop, berjarak jutaan atau bahkan miliaran tahun cahaya; sehingga menatap langit malam, bermakna, melihat ke masa lalu alam semesta kita. Namun seberapa banyak pun yang engkau ketahui, dikau tak menemukannya melalui observasi. Dikau beroleh ilmu. Bisa jadi, engkau mempelajarinya dari orangtuamu, atau guru sains, atau program televisi, atau ensiklopedia online. Bahkan para astronom profesional pun, umumnya tak dapat menilik kebenaran apa yang telah kusebutkan sebelumnya, melalui pengamatan empiris mereka sendiri. Argumennya bukan karena para astronom malas atau tak kompeten, melainkan karena mereka dapat mengandalkan pengamatan resmi dan pemikiran teoretis dari komunitas ilmiah yang, selama berabad-abad, telah menetapkan fakta-fakta ini, sebagai kebenaran fisika mendasar.

Menurut Bernard Wood, usai runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5, gagasan Yunani-Romawi tentang penciptaan dunia dan umat manusia, digantikan dengan narasi yang dituangkan dalam Kejadian: penjelasan berdasarkan akal, tergantikan oleh penjelasan berdasarkan keyakinan atau keagamaan.
Dengan sedikit pengecualian, para filsuf Barat yang hidup pada, dan segera setelah Abad Kegelapan (abad ke-5 hingga ke-12) mendukung penjelasan bible tentang asal-usul manusia. Hal ini berubah dengan penemuan kembali dan pertumbuhan pesat falsafah alam yang kemudian disebut sains. Namun, secara paradoks, tak lama setelah metode ilmiah mulai diterapkan dalam studi asal-usul manusia pada abad ke-19 dan ke-20, beberapa kelompok agama menanggapi upaya para ilmuwan guna menafsirkan Bible secara kurang harafiah, dengan bersikap lebih ketat terhadap literalisme bible mereka. Reaksi inilah cikal bakal kreasionisme, yang secara keliru disebut sebagai ‘Ilmu Penciptaan’.

Selama Abad Kegelapan, sangat sedikit teks klasik Yunani yang bertahan di Eropa. Literatur yang cukup sedikit itu, yang masih bertahan, dibaca dan dihargai oleh para filsuf dan cendekiawan Muslim, dan beberapa di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kata Wood. Ketika umat Islam terhalau dari Spanyol pada abad ke-12, beberapa cendekiawan Kristen abad pertengahan, cukup penasaran menerjemahkan naskah-naskah tersebut dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Beberapa dari teks terjemahan ini berhubungan dengan alam, termasuk asal usul manusia. Misalnya, filsuf Kristen Italia abad ke-13, Thomas Aquinas, mengintegrasikan gagasan Yunani tentang alam dan manusia modern, dengan beberapa interpretasi Kristen berdasarkan Bible. Karya Thomas Aquinas dan orang-orang sezamannya meletakkan dasar-dasar Renaisans, ketika sains dan pembelajaran rasional diperkenalkan kembali ke Eropa.
Perpindahan dari ketergantungan pada dogma bible, kata Wood, terutama penting bagi mereka yang tertarik pada apa yang sekarang kita sebut ilmu-ilmu alam, seperti biologi dan ilmu bumi. Orang Inggris, Francis Bacon, berpengaruh besar terhadap perkembangan kajian ilmiah. Para teolog menggunakan metode deduktif: dimulai dengan suatu keyakinan, mereka lalu menyimpulkan konsekuensi dari keyakinan tersebut. Bacon menyarankan agar para ilmuwan bekerja dengan cara berbeda, yang disebutnya metode ‘induktif’. Induktif dimulai dengan observasi, disebut juga bukti atau ‘data’. Para ilmuwan menyusun penjelasan, yang disebut ‘hipotesis’, guna menjelaskan pengamatan tersebut. Kemudian mereka menguji hipotesisnya, dengan melakukan lebih banyak observasi, atau dalam sains semisal kimia, fisika dan biologi, dengan bereksperimen. Cara induktif dalam melakukan sesuatu merupakan cara kerja ilmu-ilmu yang terlibat dalam penelitian evolusi manusia.

Tiada yang tahu kapan manusia pertama kali muncul. Dalam sudut pandang para evolusionis, satu-satunya petunjuk bagi kita terletak pada fosil dan peralatan batu. Perjalanan ini dimulai sekitar enam mya (mya=million years ago; atau jtl=juta tahun yang lalu) di Afrika. Manusia diklasifikasikan sebagai primata, kelompok yang mencakup kera dan monyet. Kerabat terdekat kita yang masih hidup adalah simpanse, yang hampir 99 persen gennya sama dengan kita, namun perbedaan genetik yang sangat kecil inilah, yang membuat kita amat jauh berbeda dari kera. Menurut para evolusionis, salah satu nenek moyang manusia paling awal yang diketahui merupakan primata kecil yang hidup di hutan bernama Ardipithecus anamensis, yang tumbuh subur di Afar, Ethiopia, sekitar 4,5 juta tahun yang lalu. Ardipithecus mungkin nenek moyang Australopithecus—hominin yang sangat beragam yang muncul pertama kali satu juta tahun kemudian. Yang paling awal ditemukan, Australopithecus afarensis, dijuluki 'Lucy' oleh para arkeolog yang menemukannya pada tahun 1974. Kendati nampak bahwa hominin berkaki panjang ini, menghabiskan banyak waktu di pepohonan, beberapa jejak kaki yang terpelihara dengan baik, mengungkapkan bahwa spesies inilah, spesies bipedal (berjalan dengan dua kaki). Begitulah, 'Lucy' merupakan penghubung penting antara kita dan nenek moyang kita, yang tinggal di pohon.

Yang hendak kusampaikan padamu bukanlah tentang ada agama yang buruk, bukan, melainkan jika kita merenungkan tentang waktu, kita akan sampai pada pertanyaan tentang siapa diri kita dan darimana kita berasal. Socrates pernah diminta merangkum seluruh perintah filosofis, ia menjawab, 'Kenali dirimu.' Aristoteles berkata, 'Mengenal diri sendiri merupakan awal dari segala kebijaksanaan.' 'Kenali dirimu, duhai manusia, maka engkau akan mengenal Tuhanmu' ucap Ibnu Sina. Dan kita mulai menelaah Sejarah. Sejarah itu penting dan kita semua dapat belajar dari keberhasilan—dan kekeliruan—yang dilakukan nenek moyang kita, kata Adam Hart-Davis. Kita akan selalu tersadar oleh waktu. Pasang surut air-laut, erosi, fase bulan, gerhana matahari, kembalinya komet, pergantian musim, serta pergantian siang dan malam, memberikan gambaran kepada kita, bahwa alam semesta ini, selalu berubah. Kelahiran, perkembangan, dan kematian organisme, merupakan pengingat darurat akan keterbatasan bentuk kehidupan di planet kita. Dengan contoh-contoh waktu dan perubahan yang begitu menakjubkan sekaligus meresahkan, tak mengherankan, jika para pemikir besar berusaha memahami perubahan realitas. Bahkan mengukur waktu dan perubahan, hingga tingkat kepastian yang semakin besar, merupakan tantangan berkelanjutan bagi sains dan teknologi modern.

Ngomong-ngomong, sebagai orang Indonesia, tak hendakkah dikau tahu tentang mengapa dirimu disebut orang Indonesia? Tak ingin tahukah engkau segala tentang latarbelakang Keindonesiaanmu? Yuk kita cari tahu pada sesi berikutnya yaq, tentu dari perspektif 'bagaimana orang luar menilai Indonesia'. Bi 'idznillah."

Lalu, Kembang Matahari mengalunkan tembangnya Vanessa Carlton,

Take my hand, live while you can
[Peganglah tanganku, jalanilah hidup selagi bisa]
Don't you see your dreams
[Tidakkah dirimu melihat impianmu]
lie right in the palm of your hand?
[tergeletak tepat di telapak tanganmu?]
In the palm of your hand *)
[Di telapak tanganmu]
Kutipan & Rujukan:
- H. James Birx (Ed.), Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology, & Culture, 1-3, 2009, Sage
- Bernard Wood, Human Evolution: A Very Short Introduction, 2005, Oxford University Press
- Dorling Kindersley, History: The Definitive Visual Guide, 2007, DK Publishing
- Smithsonian, Timelines of Everything, 2018, DK Publishing
- Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction, 2008, Oxford University Press
*) "Ordinary Day" karya Vanessa Carlton
[Sesi 2]