Rabu, 30 Oktober 2024

Konsep Takwa (3)

"Untuk meningkatkan ketakwaanmu melalui refleksi diri, engkau dapat menerapkan beberapa strategi praktis yang mendorong kesadaran dan akuntabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa cara efektif menggunakan refleksi diri guna meningkatkan ketakwaanmu," jawab Lavender.
"Pertama, sisihkan waktu khusus setiap hari untuk refleksi diri. Lakukan di pagi hari atau sebelum tidur. Selama waktu ini, renungkan tindakan, niat, dan interaksimu sepanjang hari. Tanyakan kepada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti:
Sesuaikah tindakanku dengan prinsip-prinsip Islami hari ini?
Sucikah niatlku dalam tindakanku?
Bagaimana diriku memperlakukan orang lain, dan apakah aku mewujudkan kebaikan dan rasa hormat?
Kedua, buatlah jurnal khusus perjalanan spirituamu. Tuliskan refleksimu tentang pengalaman sehari-hari, pemikiran tentang imanmu, dan area yang dapat engkau tingkatkan. Menulis jurnal membantu memperjelas pikiranmu dan menyediakan cara nyata melacak kemajuanmu dalam menumbuhkan ketakwaan. Ketiga, temukan teman atau anggota keluarga tepercaya yang berkomitmen sama dalam meningkatkan ketakwaan. Diskusikan refleksimu secara teratur, saling bertanggungjawab atas pertumbuhan pribadi. Dukungan timbal balik ini dapat memotivasimu agar tetap fokus pada tujuan spiritualmu. Keempat, setelah merenungkan hari-harimu, bandingkan tindakanmu dengan ajaran Islam. Identifikasi setiap perbedaan antara perilakumu dan nilai-nilai Islam. Misalnya, jika dirimu terlibat dalam gosip atau hal-hal negatif, secara sadar ganti perilaku tersebut dengan percakapan dan tindakan yang positif.
Kelima, masukkan permohonan maaf ke dalam praktik refleksi dirimu. Akui kesalahan atau kekurangan yang engkkau temukan selama refleksi dan mohon ampun kepada Allah dengan tulus. Pertobatan ini membersihkan qalbu dan memperkuat ketakwaan.
Keenam, berdasarkan refleksimu, tetapkan tujuan yang spesifik dan dapat dicapai untuk meningkatkan aspek ketakwaanmu. Misalnya, jika engkau menyadari kurangnya kesabaran dalam situasi yang membuat stres, usahakan melatih kesabaran dengan lebih sadar dalam interaksi sehari-hari.
Ketujuh, renungkan ayat-ayat Al-Qur'an yang beresonansi denganmu selama sesi refleksi diri. Pertimbangkan bagaimana ajaran ini berlaku dalam hidupmu dan bagaimana dirimu dapat menerapkannya lebih penuh dalam tindakanmu.
Kedelapan, masukkan praktik kesadaran ke dalam rutinitasmu yang mendorong kesadaran akan kehadiran Allah, seperti dzikir (mengingat Allah) atau merenungkan tentang sifat-sifat-Nya. Praktik ini dapat membantumu membumi secara spiritual dan menjaga ketakwaan di garis depan pikiranmu. Dengan memadukan teknik refleksi diri ini ke dalam rutinitas harianmu, engkau dapat menumbuhkan rasa takwa yang lebih dalam dan meningkatkan kesadaran akan Tuhan dari waktu ke waktu. Ingatlah bahwa ini adalah perjalanan berkelanjutan yang membutuhkan usaha dan dedikasi yang konsisten untuk menyelaraskan pikiran, perkataan, dan perbuatanmu dengan prinsip-prinsip Islam.

"Apa hubungan takwa dengan konsep rezeki?" tanya Anthurium.
Lavender menjawab, "Takwa sesungguhnya terkait erat dengan konsep rezeki dalam Islam. Al-Quran menegaskan bahwa orang yang bertakwa akan mendapatkan pertolongan dan rezeki dari Allah dengan cara yang tak terduga. Misalnya, Surat At-Talaq (65:2-3) menyatakan, "Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tak ia duga."
Hal ini menunjukkan bahwa takwa akan mendatangkan pertolongan Allah, termasuk rezeki.
Takwa tak semata mendatangkan pahala rohani,,melainkan pula memberikan manfaat nyata dalam kehidupan, termasuk bertambahnya rezeki. Surah Al-Maidah (5:112) menegaskan pentingnya takwa dan perannya dalam memperoleh berkah dan rezeki dari Allah,
اِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّوْنَ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيْعُ رَبُّكَ اَنْ يُّنَزِّلَ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ ۗقَالَ اتَّقُوا اللّٰهَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
(Ingatlah) ketika Hawariyun (para pengikut setia nabi Isa (alaihissalam)) berkata, “Wahai Isa putra Maryam, sanggupkah (bersediakah) Rabbmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, “Bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang mukmin.”
Hubungan antara takwa dan penyediaan materi merupakan tema yang berulang dalam ajaran Islam, yang menegaskan bahwa takwa dapat menuntun pada kesejahteraan. Mempraktikkan takwa mendorong perilaku beretika, yang dapat berdampak positif pada penghidupan seseorang. Dengan mematuhi prinsip-prinsip Islam, individu lebih cenderung pada pekerjaan yang jujur ​​dan menghindari praktik tak etis yang dapat membahayakan kelangsungan hidup mereka. Takwa menumbuhkan kepercayaan yang mendalam pada rencana Allah, yang memungkinkan individu agar tetap sabar dan penuh harapan selama masa-masa sulit. Ketergantungan ini dapat menuntun pada pandangan hidup yang lebih positif, yang dapat menarik lebih banyak berkah.

Dalam Islam Sunni, konsep rizki (rezeki) berakar kuat dalam pemahaman bahwa semata Allah-lah Yang Maha Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq) dan telah menentukan porsi rezeki bagi setiap orang. Rezeki ini mencakup lebih dari sekadar kekayaan materi; rezeki ini mencakup kesehatan, hubungan, ilmu, spiritual well-being, dan sumber daya apa pun yang bermanfaat bagi kehidupan seseorang.
Allah-lah sumber utama rezeki, sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ
"Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezeki [Yang senantiasa menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ciptaan-ciptaan-nya selama keberadaanyya yang ditetapkan. Rezeki-Nya mencakup petunjuk], Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh." [QS. Adz-Dzariyat (51):58]
Setiap orang telah ditentukan jatah rezekinya, dan meskipun manusia butuh usaha, namun Allah-lah yang akhirnya mengabulkannya.
Ulama Sunni menekankan pentingnya menyeimbangkan usaha dengan mengandalkan Allah. Sementara umat Islam didorong agar bekerja dan berjuang demi rezeki, mereka juga diajarkan agar mempercayakan kepada Allah atas hasilnya, sebagaimana digambarkan dalam hadits,
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di waktu sore dalam keadaan kenyang.” [Sunan Ibnu Majah No. 4164; Sahih menurut Al-Albani; Ibnu HIbban & Al-hakim]
Ajaran Sunni sangat menekankan pencarian rezeki melalui cara-cara yang halal dan menghindari sumber-sumber yang haram. Memperoleh rezeki melalui cara-cara yang haram tak hanya mempengaruhi kesuksesan materi seseorang, tapi juga dapat berdampak negatif pada kondisi spiritual dan moral seseorang.
Konsep rizki mencakup keyakinan bahwa rasa syukur akan menambah rezeki seseorang. Allah berfirman,
لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ
“... Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...." [QS Ibrahim (14):7].
Merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, daripada berjuang tanpa henti untuk mendapatkan keuntungan materi, dipandang sebagai cara mencapai kedamaian dan kepuasan. Rizki juga dimaknai sebagai ujian; baik kekurangan maupun keberlimpahan merupakan cobaan dari Allah untuk melihat apakah seorang mukmin akan tetap istiqomah, bersyukur, dan taat.

Takwa mendorong individu agar memperlakukan orang lain dengan rasa hormat dan bermartabat. Ini termasuk menghormati orang yang lebih tua, menunjukkan kebaikan kepada generasi yang lebih muda, dan memperlakukan teman dengan adil. Penekanan pada pemeliharaan keharmonisan dalam hubungan keluarga dan sosial berasal dari keyakinan bahwa Allah mengawasi seluruh interaksi, mendorong orang beriman berperilaku etis.
Dalam Islam, toleransi merupakan konsep berharga yang berakar pada Al-Qur'an dan Sunnah. Toleransi menekankan kesabaran, rasa hormat, dan kasih sayang terhadap orang lain, apa pun latar belakangnya, dengan tetap menjunjung tinggi keyakinan dan prinsip-prinsip Islam.
Meskipun toleransi dianjurkan, ada batasan-batasan tertentu yang tak memperbolehkan toleransi. Batasan-batasan ini umumnya berkaitan dengan pemeliharaan iman, penegakan keadilan, dan perlindungan standar etika dan moral masyarakat. Berikut beberapa skenario dimana toleransi tak diperbolehkan:
1. Kompromi pada Keyakinan Inti. Kompromi pada keyakinan dasar Islam, semisal Keesaan Allah, finalitas Nabi Muhammad (ﷺ), dan pasal-pasal penting iman lainnya, tak dapat ditoleransi. Mempertahankan kemurnian keyakinan ditekankan dalam Al-Qur'an, "Katakanlah, 'Hai orang-orang kafir, kutakkan menyembah apa yang kamu sembah. Kamu juga bukan penyembah apa yang kusembah. Aku juga tak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kamu tak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang kusembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.'" (QS. Al Kafirun (109):1–6)
Surah ini menekankan agar tak mengorbankan keyakinan mendasar dengan menegaskan bahwa setiap orang punya cara beribadahnya sendiri. Surah ini menyampaikan pentingnya mempertahankan prinsip-prinsip Islam tanpa mengorbankan atau menggabungkannya dengan sistem kepercayaan lain.
2. Islam tak menoleransi ketidakadilan atau penindasan, bahkan jika itu berarti merugikan diri sendiri atau keluarga. Keadilan merupakan dasar ajaran Islam, dan segala bentuk ketidakadilan dikecam. Allah memerintahkan,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
"Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabat. Baik orang kaya maupun orang miskin, Allah lebih mengetahui keduanya [yakni, lebih mengetahui kepentingan terbaik mereka. Karena itu, patuhilah apa yang telah Dia perintahkan kepadamu dan bersaksilah dengan jujur]. Karena itu, berpeganglah kepada apa yang telah diperintahkan-Nya kepadamu dan bersaksilah dengan jujur. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, yang dapat menyebabkan kamu tak berlaku adil. Dan jika kamu memutarbalikkan (keteranganmu) atau enggan (memberikan kesaksian), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qur'an, 4:135).
Perintah ini bermakna bahwa tiada toleransi yang diberikan terhadap ketidakadilan, baik yang terjadi dalam komunitas Muslim atau terhadap yang lain.
3. Islam tak menoleransi tindakan yang merugikan kesejahteraan moral, sosial, atau ekonomi masyarakat. Ini termasuk, misalnya, menyebarkan kerusakan (fitnah) atau tindakan yang mengancam kedamaian dan keamanan masyarakat. Allah berfirman,
اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
"Sesungguhnya azab [hukuman setimpal] bagi orang-orang yang memerangi [yakni, melakukan tindakan kekerasan dan terorisme terhadap individu atau pengkhianatan dan agresi terhadap negara Islam] Allah dan rasul-Nya serta membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu merupakan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat (kelak) mereka mendapat azab yang sangat berat,” [QS Al-Ma’idah (5):33]
Ayat ini membahas tindakan agresi dan kerusakan terbuka yang mengganggu stabilitas masyarakat, dan menetapkan langkah-langkah ketat guna menjaga kerukunan antar umat beragama.
4. Menghina atau menghujat secara terbuka terhadap Allah, Rasulullah (ﷺ), atau aspek-aspek suci Islam lainnya dipandang tak dapat ditoleransi. Menghina atau mengolok-olok Allah dan Rasulullah (ﷺ) dilarang keras, seperti yang dapat ditemukan dalam:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ اَنْ اِذَا سَمِعْتُمْ اٰيٰتِ اللّٰهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَاُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖٓ ۖ اِنَّكُمْ اِذًا مِّثْلُهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ جَامِعُ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْكٰفِرِيْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًاۙ
"Sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Sesungguhnya kamu (apabila tetap berbuat demikian) tentulah serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di (neraka) Jahanam." [QS. An-Nisa (4):120]
5. Islam melarang sikap permisif terhadap perbuatan dosa atau amoral yang dapat merugikan masyarakat, semisal pencurian, perzinahan, dan mabuk-mabukan. Rasulullah (ﷺ) juga menganjurkan agar menjaga moral masyarakat:
مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ ‏
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tak mampu, maka dengan lisannya, jika tak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman.” [Sunan an-Nasai No. 5008; Shahih menurut Al-Albani]
Hadits ini mendorong orang-orang beriman agar bertindak terhadap perilaku yang merugikan secara terang-terangan dan mengikuti jalur yang benar, menunjukkan bahwa Islam tak menoleransi dosa besar yang nyata di depan publik, yang mengancam moral masyarakat.
Singkatnya, Islam menetapkan batasan seputar keyakinan inti, keadilan, kesejahteraan masyarakat, penghormatan terhadap hal-hal yang suci, dan moral masyarakat. Toleransi didorong dalam perilaku umum, akan tetapi, bila nilai-nilai inti ini dipertaruhkan, maka menjaga keimanan, keadilan, dan kesehatan masyarakat menjadi prioritas.

Takwa mendorong kerendahan hati dan kesederhanaan, hal ini penting agar menjaga hubungan yang sehat. Mengenali keterbatasan dan kelemahan diri membantu individu menghindari kesombongan dan keangkuhan, menumbuhkan sikap yang lebih empatik dan rendah hati terhadap orang lain. Kerendahan hati ini mencegah kesalahpahaman dan mendorong rekonsiliasi dalam perselisihan. Salah satu aspek utama takwa adalah dorongannya untuk memaafkan orang lain dan menunjukkan belas kasihan (selama tak melanggar apa yang dilarang, misalnya, apa yang telah disebutkan tentang hal-hal yang terlarang dalam toleransi). Sifat ini dimodelkan berdasarkan sifat penyayang Allah, mendesak orang-orang beriman memaafkan dan memberikan kebaikan bahkan ketika menghadapi kesulitan. Perilaku seperti itu memperkuat ikatan dalam keluarga dan persahabatan dengan membangun lingkungan yang mendukung.
Orang beriman yang bertakwa cenderung menghargai berkah yang mereka terima dari Allah, termasuk hubungan mereka. Mengungkapkan rasa syukur kepada keluarga dan teman membantu membangun ikatan yang lebih kuat dengan mengakui nilai hubungan ini. Penghargaan ini menumbuhkan rasa puas, mengurangi kecemburuan atau kebencian yang dapat merusak hubungan."

"Apa hubungan takwa dan tawakal?" Amarilis bertanya.
[Konsep Tawakal Bagian 1]

Selasa, 29 Oktober 2024

Konsep Takwa (2)

Asoka menjawab, "Takwa memainkan peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan emosional di antara individu. Konsep ini tak semata menumbuhkan hubungan spiritual dengan Allah tetapi juga meningkatkan ketahanan psikologis dan kecerdasan emosional.
Penelitian menunjukkan bahwa takwa dan syukur secara positif mempengaruhi kecerdasan emosional. Individu yang mewujudkan takwa menunjukkan penilaian diri yang lebih baik terhadap emosi dan kemampuan yang lebih baik dalam memahami dan mengelola emosinya secara efektif. Kesadaran emosional yang meningkat ini memungkinkannya membedakan antara emosi positif dan negatif, yang mengarah pada peningkatan empati dan interaksi sosial.
Takwa menghadirkan rasa tenang dan kepuasan yang mendalam. Dengan berpegang teguh pada ajaran Islam dan percaya pada rencana Allah, individu merasakan kedamaian pikiran walau di tengah tantangan hidup. Al-Quran menekankan hubungan ini:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram." [QS. Ar-Ra'd 13:28].
Ayat ini menegaskan bahwa mengingat Allah, aspek kunci takwa, membawa kepada kestabilan dan kepuasan emosional.
Orang yang bertakwa lebih siap menghadapi kesulitan. Keyakinan bahwa Allah bersamanya memberikan kekuatan dan ketahanan selama masa-masa sulit. Mereka diingatkan bahwa tantangan dapat diatasi melalui keimanan, yang menumbuhkan pandangan hidup yang positif. Ketahanan ini berkontribusi pada kesehatan emosional secara keseluruhan dengan mengurangi kecemasan dan mendorong pendekatan proaktif untuk memecahkan masalah.
Takwa bertindak sebagai perisai terhadap emosi negatif seperti rasa takut, marah, dan putus asa. Dengan berfokus pada kebenaran dan ketaatan kepada Allah, individu menumbuhkan pola pikir yang mengutamakan kepositifan dan rasa syukur. Fokus ini membantu meredakan perasaan putus asa atau frustrasi saat menghadapi ketidakpastian hidup.
Praktik takwa mendorong terbentuknya karakter yang baik semisal cinta-kasih, kesabaran, dan pengertian, yang sangat penting bagi hubungan yang sehat. Individu yang memiliki sifat-sifat ini seringkali menemukan dirinya dalam interaksi yang lebih harmonis dengan orang lain, yang berkontribusi pada kesejahteraan emosionalnya. Hubungan sosial yang positif sangat penting bagi kesehatan mental, karena hubungan tersebut menyediakan sistem pendukung selama masa-masa sulit.
Takwa menumbuhkan rasa tujuan dan kepuasan melalui pengejaran tujuan-tujuan spiritual. Turut-serta dalam tindakan ibadah dan berusaha hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Islam akan tercipta kerangka hidup yang bermakna, yang meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan secara keseluruhan. Kepuasan spiritual ini merupakan bagian integral dari emotional well-being karena menyelaraskan nilai-nilai pribadi dengan tindakan.
Singkatnya, takwa berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan emosional dengan meningkatkan kecerdasan emosional, menghadirkan ketenangan, menumbuhkan ketahanan, melindungi dari emosi negatif, meningkatkan hubungan, dan menawarkan kepuasan spiritual. Dengan menumbuhkan takwa, individu dapat menghadapi tantangan hidup dengan lebih efektif sambil mempertahankan pandangan positif terhadap kesehatan emosionalnya.

"Bagaimana takwa mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengelola stres?" Anturium bertanya dengan penuh semangat.
"Takwa berpengaruh signifikan pada kemampuan seseorang dalam mengelola stres dengan menumbuhkan ketahanan, kecerdasan emosional, dan rasa tenang," jawab Asoka. "Orang-orang yang mempraktikkan takwa seringkali menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa takwa secara positif mempengaruhi kemampuan dalam menilai dan mengendalikan emosi, yang sangat penting dalam mengelola stres. Mereka yang memiliki takwa yang kuat, lebih siap dalam memahami respons emosional mereka sendiri dan orang lain, sehingga memungkinkan mereka menavigasi keadaan yang penuh tekanan dengan lebih efektif. Kesadaran yang lebih tinggi ini, memungkinkan mekanisme penanganan yang lebih sehat ketika menghadapi tantangan.
Takwa mendorong para individu mencari petunjuk dari Al-Qur'an dan ajaran Islam ketika menghadapi stresor. Ketergantungan pada petunjuk Ilahi ini membantu dalam membuat keputusan yang tepat, yang sejalan dengan nilai-nilai dan keyakinan seseorang, mengurangi perasaan tidak pasti dan cemas. Keyakinan bahwa Allah menuntun tindakan mereka dapat meredakan stres dan meningkatkan rasa tujuan di masa-masa yang penuh tantangan.
Mempraktikkan takwa menanamkan rasa damai dan ketenangan yang mendalam. Mengingat Allah memberikan kenyamanan selama masa-masa yang penuh tekanan, karena orang-orang beriman menemukan pelipur lara dalam iman mereka. Surah Ar-Rad 13:28 yang telah kusebutkan menyatakan bahwa ketenangan ini membantu para individu menjaga ketenangan dalam situasi yang penuh tekanan, memungkinkan mereka menanggapi dengan penuh pertimbangan ketimbang bereaksi secara impulsif.
Dalam situasi yang penuh tekanan, orang-orang yang bertakwa cenderung tetap tenang dan kalem. Iman mereka memberikan rasa aman yang membantu mereka menghadapi tantangan dengan pikiran jernih, sehingga takwa bertindak sebagai penghalang dan pelindung terhadap dorongan-dorongan berbahaya yang mungkin muncul di bawah tekanan. Dengan memprioritaskan tugas mereka kepada Allah, orang cenderung takkan menyerah pada jalan pintas yang tak beretika atau keputusan tergesa-gesa yang dapat menyebabkan penyesalan, sehingga tak dapat mengambil keputusan yang lebih baik walau di tengah tekanan.
Tatkala dihadapkan pada pilihan yang mendesak, mereka yang bertakwa lebih sering terbawa ke dalam pemikiran reflektif ketimbang perilaku reaktif. Mereka mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari tindakannya berdasarkan ajaran Islam, yang membantu mereka membuat pilihan yang lebih bijak. Di saat-saat tertekan, individu yang mempraktikkan takwa cenderung mencari pengampunan atas kesalahan masa lalu dan bimbingan bagi tindakan di masa depan melalui doa. Praktik spiritual ini tak hanya memberikan kenyamanan, tapi juga memperkuat komitmen mereka membuat keputusan yang selaras dengan iman mereka.
Selama masa-masa yang penuh tekanan, hubungan yang kuat yang dibangun di atas takwa dapat memberikan dukungan emosional dan nasihat yang baik dari anggota masyarakat atau keluarga yang tepercaya. Aspek komunal ini meningkatkan proses pengambilan keputusan kolektif di bawah tekanan.

"Apa saja contoh nyata tentang takwa yang mempengaruhi pengambilan keputusan?" Anturium bertanya lagi. Asoka berkata, "Kehidupan Umar bin Al-Khattab, Khalifah Islam kedua, menjadi contoh bagaimana takwa dapat menjadi panduan dalam pengambilan keputusan. Dikenal karena komitmennya terhadap keadilan dan integritas, Umar membuat keputusan yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat daripada kepentingan pribadi. Misalnya, ia diketahui menolak menerima hadiah dari kas negara, karena yakin bahwa jabatannya takkan menguntungkannya secara finansial. Rasa takutnya kepada Allah dan kepatuhannya pada takwa membuatnya mendapat gelar 'Al-Faruq,' yang berarti orang yang membedakan antara yang benar dan yang salah, menuntunnya dalam pemerintahan yang adil dan kepemimpinan beretika.
Dalam konteks bisnis kontemporer, seorang pengusaha Muslim yang dibimbing oleh takwa dapat memilih menjalankan bisnis halal yang mematuhi praktik etis. Misalnya, mereka akan memastikan perlakuan yang adil terhadap karyawan, menghindari praktik eksploitatif, dan menahan diri dari ikut terlibat dalam strategi pemasaran yang tak jujur. Komitmen terhadap perilaku etis ini mencerminkan kesadaran mereka akan kehadiran Allah dalam urusan bisnis mereka, yang mempengaruhi mereka membuat keputusan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Takwa mempengaruhi hubungan pribadi dengan menggalakkan kejujuran dan rasa hormat. Seseorang yang mempraktikkan takwa akan memilih menyelesaikan konflik melalui komunikasi terbuka daripada menggunakan tipu daya atau manipulasi. Misalnya, ketika menghadapi perselisihan dengan anggota keluarga, mereka akan memilih dialog yang saling menghormati, yang mencari saling-pengertian daripada meningkatkan ketegangan. Pendekatan ini menumbuhkan hubungan yang lebih sehat dan mencerminkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai Islam.
Orang-orang yang bertakwa sering berperan dalam pelayanan masyarakat dan kegiatan amal sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan mereka. Misalnya, ketika memutuskan bagaimana mengalokasikan waktu atau sumber daya mereka, mereka akan memprioritaskan menjadi sukarelawan di tempat penampungan lokal atau mendukung inisiatif pendidikan bagi anak-anak kurang mampu. Pilihan ini mencerminkan pemahaman mereka tentang tanggungjawab sosial sebagai manifestasi dari iman dan komitmennya terhadap perintah Allah.
Selama masa krisis pribadi atau komunal, orang-orang yang bertakwa cenderung tetap tenang dan kalem. Misalnya, dalam menghadapi bencana alam, seseorang yang dituntun oleh takwa akan memprioritaskan membantu orang lain daripada masalah mereka sendiri. Mereka akan mengorganisasikan upaya bantuan atau menyediakan tempat berlindung bagi mereka yang terkena dampak, didorong oleh rasa tanggungjawab melayani kemanusiaan dan menyenangkan Allah.

Dalam situasi yang penuh tekanan, individu yang bertakwa selalu tetap tenang karena kepercayaan mereka pada rencana Allah. Ketenangan ini memungkinkan mereka berpikir jernih dan membuat keputusan yang rasional daripada bereaksi secara impulsif.
Disaat menghadapi dilema yang mendesak—seperti tekanan finansial—mereka yang mempraktikkan takwa cenderung takkan menggunakan jalan pintas yang tidak etis (misalnya, fraud atau tipu-daya). Komitmen mereka terhadap kebenaran menuntun mereka menuju solusi yang sejalan dengan ajaran Islam.
Di saat-saat stres atau ketidakpastian, individu dapat berdoa guna mendapatkan petunjuk sebelum membuat keputusan penting. Ketergantungan kepada Allah ini memperkuat keyakinan mereka terhadap pilihan yang mereka buat.
Selama masa-masa sulit, mereka yang bertakwa sering meminta nasihat dari teman atau anggota keluarga tepercaya yang memiliki nilai-nilai yang sama. Sistem dukungan komunal ini meningkatkan pengambilan keputusan dengan memberikan perspektif yang beragam sekaligus memperkuat standar etika bersama.
Takwa mendorong individu mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari keputusan mereka daripada mencari kelegaan langsung dari tekanan. Perspektif ini membantu mereka tetap setia pada nilai-nilai mereka biarpun ketika menghadapi pilihan yang sulit."

"Apa saja cara praktis menumbuhkan takwa di zaman modern?" tanya Gaillardia.
"Menumbuhkan takwa sangat penting bagi umat Islam yang hendak memperdalam imannya dan menjaga hubungan dengan Allah di dunia yang serba cepat saat ini," jawab Asoka. "Menetapkan rutinitas yang konsisten melaksanakan shalat lima waktu merupakan hal yang mendasar. Setiap shalat berfungsi sebagai pengingat akan kehadiran Allah dan membantu menjaga hubungan spiritual sepanjang hari. Berusaha melaksanakan shalat tepat waktu dan menyertakan shalat sunah tambahan dapat meningkatkan hubungan ini.
Membaca Al-Qur'an secara teratur sangat penting untuk memahami petunjuk Allah. Sisihkan waktu setiap hari membaca, merenungkan, dan mempelajari maknanya. Latihan ini memperdalam pengetahuanmu dan memperkuat takwamu kepada Allah.
Menuntut ilmu tentang Islam melalui kelompok belajar, ceramah, dan membaca dapat meningkatkan pemahamanmu tentang takwa secara berarti. Mempelajari kehidupan para Nabi (عليهم السلام) dan para pendahulu yang shalih, memberi inspirasi dan contoh praktis untuk diteladani.
Renungkan tindakan, niat, dan karaktermu secara teratur. Evaluasi diri memungkinkanmu mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan dan memohon ampunan atas kekurangan. Latihan ini menumbuhkan kesadaran dan membantu menyelaraskan tindakanmu dengan prinsip-prinsip Islam.
Pergaulan yang engkau ikuti mempengaruhi perilaku dan pola pikirmu. Kelilingi dirimu dengan orang-orang yang taqwa dapat mendorongmu agar tetap berkomitmen pada perjalanan spiritualmu. Turutlah dalam diskusi yang mempromosikan perilaku etis dan kebenaran.
Menumbuhkan rasa syukur atas karunia Allah menumbuhkan sikap positif, sementara kesabaran membantu menghadapi tantangan dengan iman. Secara teratur mengakui apa yang engkau syukuri dapat memperkuat ikatanmu dengan Allah.
Mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial dan budaya populer dapat membantu membangun ruang kegiatan spiritual. Fokuslah pada keterlibatan dalam tindakan ibadah atau pengabdian masyarakat daripada konsumsi hiburan yang tak masuk akal.
Mengambil bagian dalam berbagai amal shalih, baik melalui sedekah atau tindakan sederhana semisal senyuman atau kata-kata yang baik, mencerminkan takwa dalam tindakan. Berusahalah agar lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang lain.
Menyadari apa yang engkau konsumsi—terutama selama bulan Ramadan—dapat membantu menjaga kesehatan fisik dan fokus spiritual. Memelihara tubuhmu akan mendukung kemampuanmu beribadah secara efektif.
Secara teratur, evaluasi niatmu di balik berbagai tindakan ibadah guna memastikan bahwa niat tersebut sejalan dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar melakukannya sebagai ritual atau kompetisi.
Menggabungkan berbagai strategi praktis ini ke dalam kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan takwa seseorang, menumbuhkan hubungan yang lebih dalam dengan Allah sambil menjalani kehidupan modern yang rumit. Dengan mempraktikkan metode-metode ini secara konsisten, para individu dapat mengembangkan gaya hidup yang mencerminkan komitmen mereka terhadap keimanan dan kebenaran."

"Bagaimana menggunakan refleksi diri untuk meningkatkan ketakwaanku?" tanya Anturium.

Senin, 28 Oktober 2024

Konsep Takwa (1)

Di sebuah taman tersembunyi, di tengah pepohonan tinggi dan desiran angin, tumbuh subur sekolompok tanaman semarak. Lavender, Amarillis, Marigold, Aglonema, Gaillardia, Anthurium, Anggrek, Asoka, Melati, Mawar, dan Bugenvil—masing-masing dengan warna dan aroma yang unik—hidup dalam harmoni yang tenteram, akar-akarnya terjalin laksana benang-benang permadani yang rumit. Lavender, tanaman tua yang tenang dan bijak, telah melewati banyak musim dan menawarkan bimbingan lembut kepada tanaman yang lebih muda. Amarilis, tanaman yang berapi-api dan penuh gairah, Amarilis selalu bersemangat mencoba hal-hal baru dan menantang status quo. Marigold, tanaman yang ceria dan optimis, Marigold suka menyebarkan kegembiraan dan tawa kemana pun ia pergi. Aglonema, tanaman yang berhati-hati dan praktis, Aglonema selalu siap menghadapi situasi apa pun dan menawarkan nasihat yang baik. Gaillardia, tanaman yang berjiwa bebas dan suka berpetualang, Gaillardia suka menjelajahi dunia dan menemukan hal-hal baru. Anthurium, tanaman yang kreatif dan imajinatif, Anthurium suka memimpikan masa depan dan memunculkan ide-ide baru. Anggrek, tanaman yang lembut dan anggun, Anggrek dikenal karena kejelitaan dan kemolekannya. Asoka, tanaman yang kuat dan tangguh, Asoka telah menghadapi banyak tantangan dalam hidupnya dan telah muncul lebih kuat dari sebelumnya. Melati, tanaman yang lembut dan penuh perhatian, Melati selalu ada untuk mendengarkan dan menawarkan kenyamanan kepada rekan-rekannya. Mawar, tanaman yang megah dan mentereng, dikenal karena keelokan dan kerupawanannnya. Bugenvil, tanaman yang bersemangat dan energik, Bugenvil suka menjadi pusat perhatian dan selalu siap berpesta."
Suatu malam yang hangat, saat matahari terbenam di bawah cakrawala, meninggalkan bayangan panjang di atas kuntum bunga yang terkena embun, para tanaman berkumpul berrdiskusi setiap malam. Topik malam ini ialah 'Takwa', sebuah konsep utama dalam Islam, yang sering diterjemahkan sebagai "insaf atau sadar akan Allah", "takut kepada Allah" atau "keshalihan." Konsep ini mencakup berbagai perilaku moral dan etika yang dipandang diridhai Allah.
Lavender mengawali dengan berkata, "Takwa menandakan keinsafan mendalam akan Allah dan komitmen hidup di bawah petunjuk-Nya. Konsep ini berakar kuat dalam Al-Qur'an dan ajaran Rasulullah (ﷺ), yang menekankan pentingnya hal ini bagi segenap umat Islam. Terma takwa berasal dari akar kata bahasa Arab waqa, yang bermakna "melindungi" atau "membentengi." Dengan demikian, takwa dapat dipahami sebagai melindungi diri dari ketidakridhaan Allah dengan mematuhi perintah-perintah-Nya dan menghindari perbuatan dosa. Hal ini merangkum rasa takut kepada Allah dan pendekatan proaktif terhadap kebenaran, yang mencerminkan keadaan pikiran yang mempengaruhi tindakan dan niat seseorang.
Takwa sering disebutkan dalam Al-Qur'an, muncul lebih dari 250 kali dalam berbagai bentuk. Takwa berfungsi sebagai kriteria ketakwaan dan keunggulan di antara individu. Allah menyatakan dalam surah Al-Hujurat (49:13),
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Duhai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari lelaki dan perempuan. Lalu, Kami menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti."
Ayat ini menegaskan bahwa kehormatan sejati datang dari tingkat ketakwaan seseorang, bukan dari garis keturunan atau harta-benda. Takwa melibatkan kesadaran terus-menerus akan kehadiran dan sifat-sifat Allah, yang mengarah pada kehidupan yang ditandai dengan ketaatan pada perintah-perintah-Nya. Takwa mendorong umat Islam agar menahan diri dari berbuat dosa dan agar beramal shalih, walau dalam keadaan sesulit apa pun. Takwa terkait erat dengan karakter yang baik. Rasulullah (ﷺ) menekankan bahwa perilaku yang baik merupakan bagian integral dari menjadi seorang muttaqi (orang yang bertakwa). Beliau (ﷺ) bersabda: Orang yang paling beriman adalah orang yang berkarakter terbaik" [Tirmidzi; Hasan Sahih].
Orang yang bertakwa menyadari kekurangannya dan segera bertaubat atas dosa-dosanya, mengganti perbuatan buruk dengan perbuatan baik untuk memohon ampunan. Takwa bermakna melaksanakan kewajiban agama semisal shalat, puasa, dan bersedekah sambil menjauhi perbuatan terlarang. Banyak hadis yang menegaskan pentingnya ketakwaaan. Contohnya, Rasulullah (ﷺ) berpesan, "Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan yang akan menghapusnya, dan berbuat baiklah kepada manusia" [Tirmidzi; Hasan].
Hadis ini merangkum hakikat hidup dengan takwa—menjaga kesadaran akan Allah dalam segala aspek kehidupan. Praktik takwa mendatangkan banyak manfaat:
  • Bimbingan Ilahi: Mereka yang bertakwa menerima bimbingan dari Allah.
  • Kemudahan dalam Kesulitan: Takwa memberikan kelegaan selama kesulitan, karena Allah menjanjikan dukungan bagi mereka yang sadar akan-Nya.
  • Pengampunan: Takwa mengarah pada pengampunan atas dosa-dosa masa lalu.
  • Kesuksesan dalam Kehidupan ini dan kelak Akhirat: Pada akhirnya, takwa dikaitkan dengan kesuksesan baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Takwa bukan sekadar konsep abstrak, tetapi kerangka kerja praktis yang membimbing umat Islam menuju kebenaran melalui kesadaran penuh akan kehadiran Allah. Takwa menekankan pengendalian diri, karakter yang baik, dan kepatuhan terhadap perintah-perintah Ilahi sebagai komponen penting untuk mencapai kesuksesan spiritual."

"Bagaimana takwa mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan pengambilan keputusan?” tanya Amarilis.
"Takwa memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan sehari-hari dan proses pengambilan keputusan umat Islam," jawab Lavender. "Takwa berfungsi sebagai kompas moral, yang menuntun para individu menyelaraskan tindakan mereka dengan prinsip dan nilai Islam. Berikut ini beberapa cara dimana takwa mempengaruhi kehidupan sehari-hari:
1. Pengambilan Keputusan yang Bermoral dan Beretika. Takwa bertindak sebagai prinsip panduan bagi perilaku yang beretika. Ketika dihadapkan pada keputusan, individu yang bertakwa cenderung mempertimbangkan apa yang diridhai Allah. Ini termasuk:
  • Kejujuran dan Integritas: Dalam urusan bisnis, seseorang yang bertakwa akan mengutamakan keadilan dan transparansi, serta menghindari praktik penipuan.
  • Kasih-sayang dalam berinteraksi: Takwa mendorong kebaikan dan karakter yang baik dalam hubungan, yang mencerminkan ajaran Rasulullah (ﷺ), yang menekankan bahwa karakter yang baik merupakan bagian integral dari iman.
  • Menghindari yang Haram: Mereka yang mewujudkan takwa, senantiasa waspada untuk menghindari tindakan yang dilarang (haram) dan melakukan kegiatan yang halal, memastikan pilihan mereka mencerminkan komitmennya terhadap Islam.
2. Disiplin Diri dan Pengendalian Diri. Takwa menumbuhkan disiplin diri, yang memungkinkan individu menahan godaan dan mematuhi pedoman Islam. Ini termasuk:
  • Ibadah Rutin: Mengerjakan shalat, puasa, dan ibadah lainnya, memperkuat hubungan seorang Muslim dengan Allah dan meningkatkan kesadaran mereka akan keberadaan-Nya dalam segala aspek kehidupan.
  • Kewaspadaan dalam Tindakan: Konsep kehati-hatian—disamakan dengan menavigasi jalan berduri—mengilustrasikan bagaimana mereka yang bertakwa dengan hati-hati mempertimbangkan tindakan mereka untuk menghindari dosa. Kewaspadaan ini meluas ke semua bidang kehidupan, termasuk perilaku pribadi dan interaksi sosial.
3. Menghadapi Tantangan. Takwa memberi individu ketahanan saat menghadapi kesulitan. Al-Qur'an menyatakan bahwa mereka yang bertakwa kepada Allah akan menemukan kelegaan dari kesulitan: "Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya" (QS. At-Talaq, 65:2). Janji ini mendorong orang beriman mempertahankan iman mereka dan mencari petunjuk melalui shalat dan perenungan saat menghadapi tantangan.
4. Pertumbuhan Pribadi dan Pengembangan Spiritual. Memupuk takwa mengarah pada pertumbuhan pribadi dengan meningkatkan kualitas-kualitas seperti:
  • Refleksi Diri: Penilaian diri secara teratur memungkinkan individu mengidentifikasi area-area yang perlu ditingkatkan, yang mendorong pertumbuhan spiritual dan akuntabilitas.
  • Menuntut Ilmu: Seorang muttaqi (orang yang bertakwa) mencari ilmu yang bermanfaat, yang sejalan dengan ajaran Islam, membantunya dalam membuat keputusan yang tepat, yang mencerminkan imannya.
5. Keterlibatan Komunitas. Takwa juga mempengaruhi cara individu berinteraksi dalam komunitasnya:
  • Menggalakkan Keadilan: Terinspirasi oleh teladan Umar bin Al-Khattab, yang mencontohkan keadilan yang berakar pada takwa, umat Islam didorong mengadvokasi keadilan dan kesetaraan dalam masalah-masalah sosial.
  • Mendukung Orang Lain: Mereka yang bertakwa sering terlibat dalam tindakan amal dan layanan masyarakat sebagai ungkapan kasih-sayang dan tanggungjawab terhadap orang lain.
Singkatnya, takwa berdampak besar pada kehidupan sehari-hari umat Islam dengan membimbing pilihan moral mereka, meningkatkan disiplin diri, memberikan ketahanan selama tantangan, menumbuhkan pertumbuhan pribadi, dan mendorong keterlibatan masyarakat. Dengan menumbuhkan ketakwaan ini, individu berusaha menjalani kehidupan yang diridhai Allah seraya mempengaruhi orang-orang di sekitar mereka secara positif.

Marigold bertanya, "Bagaimana takwa mempengaruhi persepsi seseorang tentang kesuksesan dan kemakmuran?"
Lavender menjawab, "Takwa secara signifikan mempengaruhi persepsi seseorang tentang kesuksesan dan kemakmuran dengan mendefinisikan ulang konsep-konsep ini berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Berikut poin-poin utama yang menggambarkan bagaimana takwa membentuk pemahaman dan pengejaran kesuksesan dan kemakmuran:
Mendefinisikan Ulang Kesuksesan
Dari sudut pandang Islam, kesuksesan tak semata diukur dari keuntungan materi atau prestasi eksternal. Sebaliknya, kesuksesan mencakup pencapaian duniawi dan pemenuhan spiritual. Takwa membimbing individu agar fokus pada kebenaran dan ketaatan kepada Allah, dengan demikian memastikan bahwa usaha mereka berkontribusi pada kesehatan spiritual secara keseluruhan dan keselarasan dengan kehendak Ilahi. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran, "Bertakwalah kepada Allah, agar kamu beruntung" (QS. Al-'Imran 3:200)
Dan juga: "Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga menceraiberaikanmu dari jalan-Nya. Demikian itu, Dia perintahkan kepadamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-'An'am 6:153)
Penekanan pada Keridhaan Illahi
Orang-orang yang bertakwa memahami bahwa kesuksesan sejati terletak pada keridhaan Allah. Pola pikir ini mengalihkan fokus dari sekadar kesuksesan duniawi ke pahala abadi di kedua dunia—kehidupan sekarang dan akhirat. Al-Quran menggarisbawahi hal ini,
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah,” kemudian tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu." [Surah Fussilat (41):30]
Ayat ini menegaskan bahwa orang yang meneguhkan iman kepada Allah dan menjaga keteguhan (istiqamah) akan menerima dukungan dan kepastian ilahi, khususnya dari para malaikat. Hal ini mencerminkan gagasan bahwa takwa—menyadari dan menaati Allah—mengarah pada bimbingan dan perlindungan selama tantangan hidup. Poin-poin utamanya adalah pertama, penegasan keimanan. Ayat ini dimulai dengan pernyataan keimanan kepada Allah sebagai Rabb, yang merupakan dasar bagi takwa. Kedua, istiqamah. Ayat ini menyoroti pentingnya tetap teguh dalam keimanan dan amal shalih, yang merupakan prinsip utama takwa. Ketiga, kepastian dari Allah. Janji tentang turunnya malaikat dengan membawa pesan-pesan penghiburan menunjukkan dukungan spiritual yang diberikan kepada mereka yang bertakwa. Keempat, janji surga. Disebutkannya kabar gembira tentang surga menegaskan kembali pahala utama bagi mereka yang bertakwa.
Dengan demikian, surah ini merangkum hubungan antara takwa dan petunjuk Allah, yang menekankan bahwa kesuksesan dan kepastian sejati datang dari komitmen teguh terhadap keimanan kepada Allah.

"Bagaimana takwa berbeda dari konsep-konsep seperti takut dan ketaatan dalam Islam?" tanya Gaillardia. "Takwa dalam Islam berbeda dari konsep-konsep seperti takut dan ketaatan dalam beberapa hal yang berbeda, yang menonjolkan karakteristik unik dan sifatnya yang beraneka ragam," jawab Lavender. "Walaupun takut kepada Allah merupakan salah satu aspek takwa, namun hal itu sendiri tak mencakup keseluruhan konsep ini. Rasa takut biasanya menyiratkan emosi negatif yang bertujuan menghindari hukuman, sedangkan takwa melibatkan berbagai tindakan dan sikap yang lebih luas, yang dirancang untuk menyenangkan Allah atau memperoleh ridha Allah.

Takwa melampaui sekadar rasa takut dengan menggabungkan kepatuhan terhadap perintah-perintah Allah, rasa cukup dengan apa yang Dia berikan, dan persiapan untuk hari penghakiman. Pendekatan holistik ini menjadikannya konsep yang lebih komprehensif dibanding dengan rasa takut yang terisolasi.

Kepatuhan berfokus terutama pada kepatuhan terhadap aturan dan ketentuan. Sebaliknya, takwa melibatkan partisipasi aktif dalam perbuatan baik dan menghindari keburukan. Hal ini memerlukan interaksi dinamis dengan petunjuk Allah, yang bertujuan mengembangkan keadaan kesadaran yang meresapi segala aspek kehidupan.

Kepatuhan cenderung berkonsentrasi pada tindakan lahiriah, sedangkan takwa bertujuan untuk transformasi internal. Ia berupaya membentuk karakter dan motivasi seseorang sehingga selaras dengan nilai-nilai Islam, yang menghasilkan perubahan yang lebih mendalam dalam diri individu.

Ada tiga dimensi atau komponen integral dari Takwa: iman kepada Allah, takut kepada Allah, dan cinta kepada Allah. Iman merupakan dasar bagi takwa. Iman melibatkan keyakinan terhadap keberadaan Allah, keesaan-Nya, kenabian, wahyu, kitab-kitab suci, para rasul, hari kebangkitan, hari perhitungan, surga, api neraka, qadar, ketetapan (qada'), dan kehendak Allah. Takut merupakan komponen intrinsik tapi tak menyeluruh. Takut secara khusus berkaitan dengan menghindari murka dan ketidaktaatan Allah. Cinta merupakan dimensi yang lebih dalam dimana seseorang benar-benar menghargai kebaikan dan kasih karunia Allah. Cinta ini mengilhami tindakan-tindakan yang menyenangkan-Nya tanpa mengharapkan imbalan atau takut akan konsekuensinya."

"Bagaimana takwa berkontribusi pada emotional well-being?" Amarilis kepo."
[Bagian 2]

Kamis, 24 Oktober 2024

Siapakah Orang yang Kuat? (6)

Bhimasena melanjutkan, "Dari perspektif Islam, tujuan hidup itu ialah untuk menyembah Allah dan hidup di bawah tuntunan-Nya agar meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, tujuan hidup itu untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah, serta mencari keridhaan-Nya melalui amal-shalih, sikap dan perilaku yang baik, dan ketertundukan kepada kehendak-Nya. Tema sentral ini ditemukan dalam Al-Quran, Hadits, dan ajaran para ulama Sunni. Mari kita uraikan perspektif ini dengan rujukan utama dari Al-Quran, Hadits, dan pendapat para ulama Sunni terkemuka.

Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa tujuan keberadaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” [QS Adz-Dzariyat (51):56]
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan kita adalah untuk menyembah Allah (ibadah), yang mencakup segala bentuk pengabdian, ketaatan, dan penghambaan kepada Allah.

Hidup itu ujian karakter dan perbuatan/amal, dimana orang-orang beriman berusaha bertindak di bawah tuntunan Ilahi. Allah berfirman,
ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
"[Dialah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." [QS. Al-Mulk (67):2]
Oleh karenanya, agar senantiasa istiqomah dalam berbuat baik sesuai dengan tujuan hidup dan menunjukkan ketaatan kepada Allah, umat Islam seyogyanya meneladani Rasulullah (ﷺ). Rasulullah (ﷺ) sering digambarkan dalam Al-Quran dan Hadits sebagai orang yang berakhlak terbaik. Allah berfirman,
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
"Dan sesungguhnya, engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung." [QS. Al-Qalam (68):4]
Dalam ayat ini, Allah secara langsung memuji Rasulullah (ﷺ) atas akhlak beliau yang luhur, menonjolkan bahwa akhlak dan perilakunya patut dicontoh dan tak tertandingi.
Allah juga berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
"Sesungguhnya, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah." [QS. Al-Ahzab (33):21]
Ayat ini menganjurkan umat beriman agar meneladani Rasulullah (ﷺ) meliputi akhlak, perbuatan, dan tindakan beliau (ﷺ), sebagai teladan dalam setiap aspek kehidupan. Rasulullah (ﷺ) merupakan sosok terbaik yang menjadi teladan bagi umat manusia.

Sabda shahih Rasulullah (ﷺ) melengkapi ajaran Al-Quran tentang tujuan hidup. Beliau (ﷺ) bersabda,
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjaranya orang beriman dan surganya orang kafir..” [Jami` at-Tirmidzi 2324; Shahih menurut Al-Albani]
Hadits ini menunjukkan bahwa bagi orang beriman, kehidupan di dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan tempat sementara di mana ujian terjadi. Pahala dan kebebasan yang sesungguhnya terletak di akhirat.
Umat ​​Islam hendaknya memperlakukan kehidupan duniawi sebagai sesuatu yang sementara dan cepat berlalu, dan lebih berfokus pada persiapan bagi kehidupan akhirat yang kekal. Islam mengajarkan bahwa kehidupan duniawi ini bersifat sementara, dan kehidupan yang sejati dan kekal terletak di akhirat. Persiapan akhirat mengharuskan kita hidup sesuai dengan petunjuk Allah dan berjuang untuk kebenaran. Allah berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ
"Siapa yang menghendaki balasan di akhirat, akan Kami tambahkan balasan itu baginya. Siapa yang menghendaki balasan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian darinya (balasan dunia), tetapi ia takkan beroleh bagian sedikit pun di akhirat." [QS. Asy-Syuraa (42):20]
Ayat ini menegaskan bahwa dengan berfokus kepada amal shalih dan menjalani kehidupan yang taat kepada Allah akan mengantarkan kepada kesuksesan yang kekal.

Orang-orang beriman hendaknya menyadari bahwa segala perbuatan akan diperhitungkan pada hari kiamat. Allah berfirman,
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ
"Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah (seberat atom atau seberat semut kecil), ia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, ia akan melihat (balasan)-nya." [QS. Az-Zalzalah (99):7-8]
Taubat menyucikan jiwa, sehingga orang-orang beriman dapat memasuki akhirat dengan rahmat Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermnfaat, atau anak shalih yang mendoakannya (bagi yang telah meninggal)." [Sahih Muslim 1631]
Hal ini menunjukkan bahwa amal-shalih yang berlanjut akan terus memberikan manfaat bagi jiwa setelah kematian. Islam menekankan pentingnya berbagi dan menolong sesama sebagai nilai-nilai inti. Ajaran-ajaran utamanya meliputi:
Membantu orang miskin dan yang membutuhkan (berderma sebagai kewajiban). Zakat, derma wajib, memastikan kekayaan dibagikan kepada yang membutuhkan. Allah berfirman,
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
"Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu akan kamu dapatkan (pahalanya) di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." [QS. Al-Baqarah (2):110)
Mendorong kemurahan-hati dan kerjasama. Allah berfirman,
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
"... Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya." [QS. Al-Ma'idah (5):2]
Islam mengajarkan bahwa kehidupan duniawi ini bersifat sementara, dan kehidupan sejati dan kekal ada di akhirat. Persiapan untuk akhirat memerlukan hidup sesuai dengan petunjuk Allah dan berjuang untuk kebenaran. Mempersiapkan diri menghadapi akhirat meliputi ketaatan kepada Allah, memohon ampunan, beramal shalih, dan percaya pada rahmat-Nya. Ulama Sunni seperti Ibnu al-Qayyim menekankan bahwa kesadaran akan akhirat memotivasi disiplin diri, pertumbuhan rohani, dan fokus pada pahala abadi daripada kesenangan sementara. Allah berfirman,
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
"Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." [QS. Al-Qasas (28):77]
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
"Barangsiapa yang hanya berfokus pada dunia, maka Allah akan mengacaukan urusannya dan membuatnya takut akan kemiskinan terus-menerus, dan ia takkan beroleh apa pun dari dunia ini kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Barangsiapa yang berfokus pada akhirat, maka Allah akan membereskan urusannya dan membuatnya merasa cukup dengan apa yang telah diterimanya, dan niscaya rezeki dan keuntungan dunia akan menghampirinya." [Sunan Ibn Majah, No. 4105, Hasan oleh Al-Albani]
Hadits ini mengajarkan bahwa berfokus pada akhirat akan mendatangkan kedamaian batin, kestabilan, dan kesuksesan duniawi sebagai hasil sampingannya.

Para ulama Sunni telah menguraikan tema-tema ini dalam karya-karya mereka, memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang tujuan hidup dari perspektif Islam. Imam al-Ghazali (w. 1111 M), dalam karyanya yang ternama Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), menjelaskan bahwa tujuan hidup adalah untuk berjuang demi penyucian spiritual, pengetahuan tentang Allah, dan ibadah yang tulus. Ia menekankan bahwa kesempurnaan jiwa dicapai melalui ibadah dan kepatuhan terhadap ajaran-ajaran Islam.
Ibnu Taimiyyah (w. 1328 M), seorang ulama Sunni terkemuka, dalam Majmu' al-Fatawa-nya, menulis secara ekstensif tentang tujuan hidup. Ia berpendapat bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah untuk mencapai kedekatan dengan Allah melalui ibadah, ilmu, dan memenuhi tanggungjawab seseorang. Ibnu Taimiyyah menekankan bahwa segala sesuatu dalam hidup, bahkan kesenangan duniawi yang diperbolehkan, harus menjadi sarana mendapatkan keridhaan Allah. Imam an-Nawawi (w. 1277 M), seorang ulama Syafi'i yang masyhur, dalam karyanya Riyadhus Salihin, menggarisbawahi pentingnya memurnikan niat dan melakukan amal karena Allah semata. Ia menekankan bahwa orang beriman hendaknya berusaha mencapai kesempurnaan dalam ibadah dan kebaikan terhadap makhluk, karena keduanya merupakan jalan untuk memenuhi tujuan hidup yang ilahi.

Dalam Islam, ibadah tak terbatas pada tindakan ritual, semisal shalat atau puasa. Ibadah mencakup segala aspek kehidupan, termasuk perilaku pribadi, hubungan sosial, dan bahkan kenikmatan hidup yang halal. Dengan demikian, tujuan hidup dalam Islam melibatkan kehidupan yang seimbang, dimana seseorang terlibat dalam tindakan ibadah dan tanggungjawab sosial. Memenuhi hak-hak terhadap Allah (melalui ibadah) dan sesama manusia (melalui keadilan, kebaikan, dan perbuatan baik) merupakan bagian integral dari tujuan ini.

Singkatnya, tujuan hidup dari perspektif Islam adalah: Beribadah kepada Allah dalam segala aspek kehidupan (Quran 51:56); Lulus ujian hidup melalui amal shalih dan perilaku yang baik (Quran 67:2); Mencari keridhaan Allah dan mencapai kesuksesan abadi di akhirat; Menjaga keseimbangan, memenuhi hak-hak Allah dan sesama manusia dalam semua tindakan sehari-hari (pendapat ulama). Dengan memadukan unsur-unsur tersebut, Islam mengajarkan bahwa tujuan hidup yang hakiki adalah mempersiapkan diri menghadapi kehidupan setelah mati dengan cara menjalani hidup sesuai dengan petunjuk Allah, memenuhi kewajiban kepada Sang Pencipta dan kepada ciptaan-Nya," pungkas Bhima.

Rabu, 23 Oktober 2024

Siapakah Orang yang Kuat? (5)

"Dalam Islam, berpikir positif berakar pada tawakkal (berharap sepenuhnya kepada Allah, atau bersandar kepada-Nya), bersyukur, dan berharap. Hal ini bermakna berpandangan yang penuh asa, mengharapkan kebaikan dari Allah, dan tangguh dalam menghadapi tantangan," lanjut Bhimasena. "
"Allah berfirman,
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
"... siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya [yakni, keringanan dari kesusahan].  Dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tak ia duga. 
Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu." [QS. At-Talaq (65):2-3]
Berpikir positif dimulai dengan keyakinan bahwa Allah memegang kendali dan bahwa rencana-Nya selalu yang terbaik. Kepercayaan ini menanamkan keyakinan dan kedamaian dalam diri seorang mukmin, walau selama masa-masa sulit. Ulama semisal Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ketergantungan sejati kepada Allah mendatangkan ketenangan emosional, sebab orang mukmin menyerahkan kekhawatirannya ke tangan Allah, berfokus pada perbuatan baik dan berharap pada rahmat-Nya.
Allah berfirman, "Aku tergantung persangkaan hamba kepada-Ku. Aku bersamanya bila ia mengingat-Ku...." Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang beriman didorong agar selalu mengharapkan yang terbaik dari Allah (husnudzhon billah). Pola pikir ini menumbuhkan optimisme dan membuat seseorang tetap fokus mencapai hasil yang positif, mengandalkan rahmat dan kasih karunia Allah di saat-saat sulit.
Islam mengajarkan bahwa kesulitan bersifat sementara dan seringkali merupakan ujian keimanan. Allah berfirman,
اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ
"Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan." [QS. Asy-Syarh (94):6]
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa janji Allah tentang kemudahan dikaitkan dengan keyakinan kuat bahwa setiap tantangan dibarengi dengan dukungan ilahi, yang memperkuat harapan dan ketahanan.
Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin, menekankan bahwa bersyukur menumbuhkan kepuasan batin dan pikiran positif, menyelaraskan qalbu dengan kehendak Allah dan melihat kebaikan dalam setiap situasi.
Allah berfirman,
لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ
"...  'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, ...." [QS. Ibrahim (14):7] 
Bersyukur menuntun pada kepuasan dan menambah berkah. Dengan berfokus pada apa yang dimiliki, daripada apa yang kurang, pikiran positif akan berkembang, membuat orang beriman lebih optimis tentang kehidupan dan masa depan mereka.

Membantu orang lain menumbuhkan rasa puas dan positif. Beramal baik mencerminkan prinsip bahwa berpikir positif bukan hanya tentang keuntungan pribadi tetapi tentang menyebarkan kebajikan dalam masyarakat.
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." [Sahih al-Bukhari, No. 13]
Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa membantu orang lain mengarah pada siklus positif, dimana keramahan membawa lebih banyak kebaikan dan keberkahan Allah mengikuti mereka yang berkontribusi positif kepada masyarakat.

Dari perspektif Islam, berpikir positif sangat erat kaitannya dengan keimanan terhadap rencana Allah, kesabaran dalam menghadapi kesulitan, dan rasa syukur atas berkah. Hal ini mendorong orang beriman berfokus pada kebaikan, memelihara harapan, dan percaya pada hikmah Allah, sehingga menciptakan kehidupan yang penuh dengan optimisme, kedamaian, dan kekuatan spiritual.

Shalat lebih dari sekadar kewajiban agama; shalat dipandang sebagai momen kedamaian dan refleksi, sarana berlindung dari cobaan hidup. Surah Al-Ankabut ayat 45 merupakan ayat kunci dalam Al-Qur'an yang membahas pentingnya shalat dan bagaimana ia mempengaruhi perilaku orang beriman. Allah berfirman,
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
"Bacalah (duhai Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." [QS. Al-Ankabut (29):45] 
Ayat ini menekankan poin-poin utama:
  • Membaca Al-Qur'an dan Pentingnya Shalat. Ayat ini dimulai dengan perintah membaca apa yang telah diwahyukan dalam Al-Qur'an. Ulama Sunni seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai instruksi umum agar tetap terhubung dengan Al-Qur'an. Dengan membaca ayat-ayatnya secara teratur, seorang mukmin memperkuat pemahamannya tentang iman dan membangun hubungan yang dekat dengan Allah. Tepat setelah menyebutkan bacaannya, perintah mendirikan shalat diberikan. Bagi ulama Sunni, pasangan ini menandakan peran penting Shalat (shalat lima waktu). Shalat adalah rukun Islam kedua, dan pentingnya hal ini secara konsisten ditekankan di seluruh Al-Qur'an dan Sunnah. Shalat dianggap sebagai bentuk ibadah yang paling teratur dan langsung, yang membuat seorang Muslim terhubung secara spiritual dengan Allah.
  • Shalat sebagai sarana mencegah ketidakbermoralan dan perbuatan buruk. Shalat bukan hanya tindakan ritualistik tetapi berkekuatan transformatif dalam kehidupan seseorang. Ayat tersebut menyatakan, "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." Bagian ayat ini menekankan impak moral shalat terhadap kehidupan seorang mukmin. Jika dilakukan dengan ikhlas dan khusyu', shalat menjadi perisai terhadap dosa, perbuatan buruk, dan kemungkaran. Shalat yang konsisten melembutkan hati, memperkuat tekad untuk menghindari dosa, dan menanamkan kedisiplinan. Ketidakbermoralan dan kesalahan mencakup berbagai macam perilaku negatif, mulai dari ketidakjujuran dan ketidakadilan hingga dosa yang lebih berat seperti pencurian atau perzinahan. Shalat yang teratur membantu mengekang kecenderungan tersebut dengan mengingatkan penyembah akan kehadiran Allah dan menumbuhkan rasa tanggung jawab.
  • Mengingat Allah sebagai Yang Maha Kuasa. Frasa "Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain)." menunjukkan bahwa dzikir (mengingat Allah) memegang posisi yang sangat besar dalam kehidupan seorang mukmin. Banyak ulama Sunni menafsirkannya sebagai penegasan betapa pentingnya terus-menerus mengingat Allah. Meskipun shalat itu sendiri merupakan bentuk mengingat, pernyataan ini menyiratkan bahwa mengingat Allah—baik di dalam maupun di luar shalat—melampaui bentuk ibadah tertentu karena mencakup seluruh tindakan ketaatan kepada-Nya. Hal itu mencerminkan keadaan kesadaran dan pengabdian dalam semua perbuatan seseorang. Hal ini menggemakan ajaran ulama Sunni ternama semisal Imam Ghazali, yang menekankan gagasan bahwa tujuan sebenarnya dari Shalat dan semua bentuk ibadah adalah agar orang beriman sadar akan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Tujuan utamanya menjadikan Allah sebagai pusat pikiran, tindakan, dan niat seseorang.
  • Pengetahuan Allah tentang segala perbuatan. Bagian akhir ayat, "Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan," mengingatkan orang beriman bahwa tiada yang luput dari pengetahuan Allah. Para komentator Sunni seperti Al-Qurtubi menekankan bahwa inilah peringatan sekaligus kepastian. Inilah peringatan bagi mereka yang mengabaikan shalatnya atau melakukannya tanpa ketulusan, mengingatkan mereka bahwa Allah sepenuhnya mengetahui niat mereka. Ini juga merupakan kepastian bagi orang beriman yang tulus bahwa upaya mereka dalam beribadah dan menghindari dosa diakui oleh Allah.
Menurut teori psikologi modern, berpikir positif berasal dari rasa damai dan tenang di dalam diri. Ulama Sunni semisal Al-Ghazali telah lama berpendapat bahwa praktik shalat yang teratur melatih orang beriman tetap tenang dan kalem walau disaat menghadapi kesulitan. Shalat, khususnya bila dilakukan dengan ikhlas dan penuh perhatian (khusyu'), membantu seseorang memandang tantangan hidup dengan rasa penuh harapan. Pandangan optimis ini tumbuh dari keyakinan mendalam bahwa, melalui shalat, seseorang selalu terhubung dengan Allah, yang memegang kendali atas segala urusan. Dengan terus-menerus kembali shalat, orang beriman memupuk pikiran positif karena mereka diingatkan bahwa kekhawatirannya bukan hanya tanggungannya; kekhawatiran itu ada dalam genggaman Allah.
Ketika ayat tersebut menyatakan, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar,” ayat tersebut menunjuk pada pembersihan rohani yang terjadi selama shalat. Ulama Sunni meyakini bahwa melalui shalat yang teratur, seseorang menjadi lebih sadar akan pikiran dan tindakannya, sehingga menumbuhkan kemurnian batin. Pembersihan ini melampaui perilaku moral dan masuk ke ranah pikiran. Perbuatan tak bermoral kerapkali berawal dari pikiran yang merugikan, semisal kecemburuan, kemarahan, atau keputusasaan.

Dengan memelihara Shalat, orang-orang beriman melatih diri mengendalikan dorongan-dorongan negatif, sebab shalat menumbuhkan kesadaran akan kehadiran Allah dan kebutuhan menjaga kesucian pikiran dan tindakan. Sebagaimana yang dicatat oleh para cendekiawan seperti Ibnu Katsir, shalat berfungsi sebagai kajian harian terhadap dunia batin seseorang, yang memperkuat disiplin diri. Ketika pikiran-pikiran yang merugikan disingkirkan, ruang tercipta bagi kepositifan, rasa syukur, dan harapan agar berkembang. Sama seperti shalat menghentikan seseorang dari perbuatan mungkar secara fisik, shalat juga menghentikan siklus pikiran-pikiran negatif yang merugikan, yang dapat menyebabkan keputusasaan atau kecemasan.
Frasa, “Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain),” memainkan peran utama dalam memahami hubungan antara ayat tersebut dan berpikir positif. Ulama Sunni secara konsisten menekankan bahwa mengingat Allah—baik melalui doa, pembacaan Al-Qur'an, atau merenungkan sifat-sifat-Nya—membangun rasa percaya dan harapan pada rencana-Nya. Di saat-saat sulit, orang beriman diingatkan tentang rahmat dan hikmah Allah, yang mengarah pada pandangan yang lebih positif terhadap peristiwa-peristiwa dalam hidup.
Konsep tawakal (bergantung kepada Allah), yang sering dibahas oleh para ulama Sunni, sangat terkait dengan ayat ini. Ketika seseorang menaruh kepercayaannya kepada Allah, meyakini bahwa Dialah Perencana terbaik, kecil kemungkinannya mereka akan jatuh ke dalam pola pikir negatif. Sebaliknya, mereka mengadopsi pola pikir positif, yang didasarkan pada keyakinan bahwa hikmat Allah menuntun hidup mereka. Kepercayaan ini mengarah pada ketahanan, karena orang beriman belajar melihat tantangan sebagai cobaan sementara yang mengandung hikmat ilahi, menumbuhkan pandangan positif walaupun dalam keadaan sulit.

Ayat tersebut diakhiri dengan, “Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” yang berfungsi sebagai jaminan dan pengingat. Ulama Sunni, seperti Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa frasa ini menyoroti kemahatahuan Allah. Bagi orang beriman, pengetahuan ini menanamkan rasa nyaman dan positif. Tiada usaha, perjuangan, atau kesulitan yang tak diperhatikan oleh Allah. Ketika seseorang memahami bahwa Allah mengetahui setiap tindakan, pikiran, dan niat, mereka didorong agar tetap bersikap positif dalam menghadapi kesulitan, mengetahui bahwa upaya mereka memperbaiki kehidupan, menghindari dosa, dan tetap berharap semuanya diperhitungkan.
Kesadaran akan pengetahuan Allah ini semakin memperkuat pemikiran positif dengan mengurangi perasaan kesepian atau ketidakberdayaan. Orang-orang beriman menyadari bahwa mereka tak pernah sendirian, karena perjuangan mereka selalu berada dalam kesadaran ilahi Allah. Kesadaran ini memperkuat tekad mereka dan memunculkan pola pikir yang penuh harapan dan positif, apa pun keadaannya.
Terakhir, shalat itu sendiri menumbuhkan sikap bersyukur, landasan berpikir positif. Setiap shalat merupakan kesempatan bersyukur kepada Allah atas berkah-berkah-Nya, walaupun di saat-saat sulit. Melalui rasa syukur, hati tetap merasa puas, dan rasa puas merupakan unsur utama berpikir positif. Ketika seseorang berfokus pada apa yang dimilikinya ketimbang dengan apa yang tak dimilikinya, ia cenderung mempertahankan sikap positif dan penuh harapan terhadap kehidupan. Shalat, pada dasarnya, mendorong pola pikir bersyukur ini.
Ayat ini menyajikan tuntunan yang menumbuhkan pola pikir yang selaras dengan pemikiran positif. Dengan menekankan pentingnya Shalat, mengingat Allah, dan kesadaran akan ilmu-Nya, ayat ini menyediakan sarana spiritual yang mendorong pandangan hidup optimis. Melalui shalat yang teratur, orang beriman tak hanya terlindungi dari tindakan tak bermoral, tapi juga dibekali dengan kedamaian batin, disiplin, dan rasa syukur—unsur-unsur utama yang menumbuhkan kehidupan yang positif dan tangguh.
Shalat membentuk pikiran positif dengan menumbuhkan rasa syukur dan optimisme, menanamkan harapan dan ampunan, kesabaran dan ketahanan melalui cobaan, serta membangun kedamaian batin dan perhatian.

Shalat sesungguhnya merupakan salah satu tujuan utama kehidupan dan memegang peranan penting dalam rutinitas harian dan pengembangan spiritual seorang Muslim. Shalat dipandang sebagai sarana ibadah langsung dan cara menjaga hubungan dengan Allah.
Bagaimana Shalat bersesuaian dengan pemahaman Islam yang lebih luas tentang tujuan hidup, akan kita perbincangkan di segmen berikutnya. Bi' idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- As-Sayyid Sabiq, Fiqh us-Sunnah Vol. 1-4, translated by Muhammad Sa'eed Dabas & Jamal al-Din M. Zarabozo, 1991, International Islamic Publishing House

Selasa, 22 Oktober 2024

Siapakah Orang yang Kuat? (4)

“Dalam Islam, kekuatan didefinisikan secara holistik, meliputi kekuatan fisik, pengendalian diri, kesabaran, dan ketahanan spiritual,” jelas Bhimasena. "Rasulullah tercinta (ﷺ) bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah orang yang ahli dalam bergulat, melainkan orang kuat itu orang yang mampu mengendalikan diri dikala sedang marah.” [Sahih Muslim No. 2609 juga dalam Shahih al-Bukhari No. 6114]
Hadits ini menegaskan bahwa kekuatan sejati terletak pada disiplin batin, khususnya kemampuan mengendalikan amarah dan emosi. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kekuatan batin terletak pada kemampuan seseorang mengendalikan amarah dan hawa nafsu, bukan pada kekuatan fisik. Amarah dipandang sebagai kekuatan yang merusak jika tak dikendalikan. Etika Islam menekankan kesabaran, kerendahan hati, dan pengendalian diri sebagai kualitas penting dari orang yang kuat. Berikut ini adalah salah satu petunjuk Al-Quran tentang pengendalian diri,
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
"(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS Ali 'Imran 3:134]
Para ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Al-Ghazali menyatakan bahwa amarah merupakan emosi yang wajar, tetapi harus dikendalikan oleh akal-sehat dan iman. Mereka berpendapat bahwa kekuatan spiritual dicapai melalui pengendalian ego dan hawa nafsu, dan ini dipandang sebagai bentuk Jihad an-Nafs (berjuang melawan jiwa). Jihad an-Nafs melibatkan perlawanan terhadap kemalasan, hawa nafsu, dan gangguan. Jihad an-Nafs membutuhkan disiplin batin dan usaha fisik, yang jika dipadukan akan mencerminkan kekuatan sejati dalam Islam.

Dalam ajaran Islam, kesabaran merupakan ciri utama orang yang kuat. Kesabaran bukan hanya ketahanan pasif, tetapi ketahanan aktif dalam menghadapi cobaan.
Allah berfirman,
قُلْ يٰعِبَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوْا رَبَّكُمْ ۗلِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗوَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌ ۗاِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Katakanlah [Rasulullah (ﷺ) diperintahkan agar mengatakan atas nama Allah Subḥanahu wa Taʿala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman], 'Duhai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah, yang disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.
[QS Az-Zumar 39:10]
Kesabaran merupakan salah satu bentuk kekuatan dalam Islam, karena mencerminkan kepercayaan seseorang terhadap rencana Allah, terutama saat menghadapi kesulitan. Ulama semisal Ibnu Qayyim al-Jawziyya menyoroti hal ini dalam karyanya (yakni, Madarij al-Salikin) bahwa kesabaran merupakan tanda kedewasaan rohani dan kekuatan iman. Ada tiga macam Sabar: Kesabaran dalam beribadah (tetap tekun dalam menjalankan ibadah meski dalam kesulitan); Kesabaran dalam menghadapi cobaan (tetap beriman di kala tertimpa kesulitan); dan Kesabaran dalam menjauhi dosa (menahan diri dari godaan dan perbuatan dosa).
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang diperbuatnya hingga ditunaikan kelak pada hari kiamat." [Sunan at-Tirmidzi, Hadith No. 2396; Hasan Sahih menurut Syekh al-Albani]
Ibnu Qayyim al-Jawziyya menjelaskan bahwa kesabaran merupakan ungkapan kepasrahan kepada Allah. Kesabaran mencerminkan kekuatan batin karena menunjukkan kepercayaan seseorang pada hikmah ilahi, walaupun di saat keadaan sulit.

Mukmin yang kuat lebih mengandalkan Allah ketimbang mengandalkan diri-sendiri atau orang lain, yang menunjukkan bentuk kekuatan spiritual. Allah berfirman,
اِنْ يَّنْصُرْكُمُ اللّٰهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۚ وَاِنْ يَّخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِيْ يَنْصُرُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِهٖ ۗ وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ
الْمُؤْمِنُوْنَ
"Jika Allah menolongmu, tiada yang (dapat) mengalahkanmu dan jika Dia membiarkanmu (tak memberimu pertolongan), siapa yang (dapat) menolongmu setelah itu? Oleh karenanya, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal." [QS Al-Imran 3:160]
Islam menghargai kekuatan fisik bila digunakan untuk tujuan yang baik, semisal melayani masyarakat, melindungi orang lain, atau berjuang di jalan Allah. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا ‏.‏ وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, pada masing-masingnya ada kebaikan. Bersemangatlah kepada apa saja yang bermanfaat untukmu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah lemah. Apabila ada suatu hal yang menimpamu, janganlah engkau ucapkan: Andai saja aku melakukan ini, niscaya akan begini dan begini. Akan tetapi ucapkanlah: Qadarullah (Ini takdir Allah). Dan apa saja yang Allah kehendaki, Dia pasti melakukannya. Karena sesungguhnya ungkapan pengandaian [berandai--andai dengan mengucapkan: andai saja, jika saja] membuka amalan setan." [Sahih Muslim, Hadith No. 2664]
Para ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menekankan bahwa kekuatan sejati adalah keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Seseorang hendaknya berusaha punya qalbu yang sehat (Qalbun Salim), menghindari amarah yang berlebihan, dan turut-serta dalam kegiatan yang meningkatkan pengembangan pribadi dan pengabdian kepada masyarakat.

Kekuatan dalam Islam punya multi dimensi: Kekuatan batin (misalnya, kesabaran, disiplin diri); Kekuatan yang berlandaskan iman (yakin pada rencana Allah); dan Kekuatan fisik (berbuat yang bermanfaat).
Meskipun kekuatan batin ditekankan, kekuatan fisik juga dihargai dalam Islam ketika digunakan untuk tujuan yang bermanfaat senisal: membela keluarga, masyarakat, atau negara; berpartisipasi dalam kegiatan amal atau komunal; berusaha meningkatkan kesehatan dan tubuh seseorang demi ibadah dan pelayanan kepada orang lain.
Dunia fisik, termasuk tubuh kita, dianggap sebagai amanah dari Allah. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa kesehatan fisik mendukung perkembangan spiritual dengan memungkinkan tindakan ibadah yang konsisten seperti shalat dan puasa.
Rasulullah (ﷺ) sendiri mendorong kegiatan yang mengembangkan kebugaran fisik, semisal memanah, berenang, dan menunggang kuda. Ia juga berpartisipasi dalam olahraga seperti gulat untuk meningkatkan kekuatan fisik.
Bentuk kekuatan yang hakiki adalah kekuatan yang mendekatkan seseorang kepada Allah seraya memberi manfaat bagi diri-sendiri dan orang lain.

Dalam Islam, keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa sangat penting untuk kekuatan holistik. Allah berfirman,
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
"Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [QS. Al-Qasas 28:77]
Imam Al-Ghazali menekankan bahwa kekuatan rohani dan jasmani hendaknya dipupuk bersama-sama. Terlalu memanjakan diri dengan kesenangan duniawi melemahkan jiwa, sementara zuhud yang berlebihan melemahkan tubuh, keduanya menghambat perkembangan pribadi. Kebersahajaan adalah kuncinya.

Dari perspektif Islam, kekuatan tak semata tentang kekuatan fisik, melainkan pula mencakup penguasaan emosi, kesabaran, mengandalkan Allah, dan penggunaan kekuatan fisik untuk tujuan yang benar. Kekuatan holistik—integrasi tubuh, pikiran, dan jiwa—adalah hal yang membuat seseorang benar-benar kuat di hadapan Allah.
Oleh karena nya, Muslim ideal adalah seseorang yang: mengendalikan amarah dan keinginannya; Sabar dan tabah saat menghadapi kesulitan; Percaya dan mengandalkan Allah dalam segala hal; Menggunakan kekuatan fisik untuk tujuan yang bermanfaat dan benar; dan berusaha mencapai keseimbangan antara kesejahteraan materi dan spiritual.
Pendekatan ini memastikan bahwa kekuatan tak semata berguna bagi kesuksesan pribadi, tapi juga memberi manfaat bagi orang lain, sejalan dengan tujuan utama hidup dalam Islam: beroleh ridho Allah dan melayani ciptaan-Nya.

Shalat berfungsi sebagai sumber kekuatan yang mendalam bagi seorang Muslim dalam berbagai cara. Shalat menumbuhkan hubungan langsung dengan Allah, memberikan dukungan dan bimbingan spiritual kepada orang beriman. Shalat menawarkan saat-saat refleksi dan perhatian, membantu mengurangi stres dan kecemasan. Shalat berjamaah meningkatkan ikatan dan dukungan komunitas, memberikan kekuatan emosional. Shalat yang teratur memperkuat disiplin dan mendorong kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam, memberikan rasa tujuan. Shalat bertindak sebagai tempat berlindung selama kesulitan, mengingatkan orang beriman akan belas kasihan dan kehadiran Allah. Aspek-aspek ini berkontribusi pada ketahanan dan emotional well-being secara keseluruhan, membantu umat Islam menavigasi tantangan hidup secara efektif.
Meskipun shalat punya kemiripan dengan meditasi, namun tujuan dan metodenya berbeda dari meditasi sekuler atau tradisional. Ketenangan yang diperoleh dari shalat sebanding dengan efek menenangkan dari meditasi, tetapi berakar pada mengingat Allah. Al-Ghazali menekankan bahwa shalat menyelaraskan jiwa, hati, dan tubuh dengan Allah. Meskipun shalat berunsur reflektif yang sama dengan meditasi, shalat adalah ibadah, bukan sekadar praktik relaksasi atau kesadaran diri. Shalat menawarkan manfaat seperti kejernihan dan ketenangan mental, tetapi berbeda dari meditasi karena berfokus pada penyerahan diri kepada Allah, bukan pencerahan pribadi.

Islam menganjurkan berpikir positif dengan mendorong harapan akan rahmat Allah, kesabaran dalam menghadapi cobaan, dan rasa syukur atas berkah. Ibnu al-Qayyim menekankan pentingnya tawakkal (bersandar dan yakin kepada Allah), meyakini bahwa tantangan akan menuntun pada pertumbuhan dan rahmat ilahi. Dengan demikian, Islam menumbuhkan pola pikir yang penuh harapan, keyakinan, dan ketekunan. Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Allah berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً  
Aku tergantung persangkaan hamba kepada-Ku. Aku bersamanya bila ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik darinya. Jika ia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat padanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” [Sahih al-Bukhari, no. 7405 dan Sahih Muslim, no. 2675]
“Adakah hubungan antara shalat dengan berpikir positif, Ramanda?” tanya Gatotkaca dengan kekepoannya.
Kutipan & Rujukan:
- Imam Ghazali, Revival of Religious Learnings Vol. 1-4, translated by Fazl-Ul-Karim, 1993, Darul-Ishaat
- Ibn Qayyim Al-Jawziyya, Ranks of Divine Seekers Vol. 1-2, translated, annotated and introduced by Ovamir Anjum, 2020, Brill