Korupsi tuh dasarnya melanggar hak asasi manusia dalam beberapa cara yang amat penting. Pertama-tama, korupsi bikin hukum jadi enggak jalan dengan baik, padahal hukum itu pondasi utama buat lindungin dan jamin hak asasi manusia. Pas pejabat publik disuap, nyolong uang negara, atau pilih kasih, dana yang mestinya buat layanan publik kaya kesehatan, pendidikan, sama jaminan sosial malah dibawa kabur. Ini langsung ngeganggu hak ekonomi, sosial, sama budaya warganya, apalagi yang paling rentan yang bener-bener butuh layanan itu buat hidup dan martabat mereka. Kedua, korupsi bikin orang jadi gak percaya sama institusi pemerintah, kayak pengadilan sama polisi, bikin sistem buat jaga hak asasi jadi lemah. Contohnya, hakim yang korup atau polisi yang disogok bisa ngelanggar hak proses yang adil atau kebebasan orang, langsung ngelanggar hak sipil dan politik. Trus, korupsi sistemik malah bikin kondisi yang bikin pelanggaran hak asasi jadi makin parah, karena bisa bikin diskriminasi, pembatasan sewenang-wenang, sama gak ada pertanggungjawaban. Korupsi juga bikin kebebasan penting buat lawan korupsi, kayak kebebasan pers, akses informasi, dan hak berkumpul dengan damai jadi terkungkung. Akhirnya, badan hak asasi internasional sama regional juga ngakuin kalo korupsi itu penyebab dan bentuk pelanggaran hak asasi, makanya banyak nyaranin pendekatan berbasis hak asasi buat melawan korupsi. Korupsi bukan cuma masalah administrasi atau ekonomi aja, tapi pelanggaran hak asasi yang dalam banget ngeganggu martabat, kesetaraan, sama keadilan.Korupsi sangat berdampak negatif pada hak atas kesehatan dan pendidikan dengan mengurangi aksesibilitas, kualitas, dan keadilan layanan yang sangat penting ini. Di sektor kesehatan, korupsi sering muncul dalam bentuk suap, penggelapan, dan salah alokasi sumber daya, yang menyebabkan kekurangan obat-obatan, perlengkapan medis, dan gaji nakes. Kondisi ini langsung menyebabkan berkurangnya akses pengobatan, meningkatnya angka kematian anak, dan menurunnya harapan hidup. Sebagai contoh, rakyat mungkin harus bayar suap agar mendapat perawatan yang layak, atau fasilitas kesehatan kekurangan pasokan yang memadai, sehingga kelompok rentan seperti anak-anak dan orang miskin sulit memperoleh layanan penting. Begitu juga, korupsi di bidang pendidikan tampak melalui praktik "ghost teacher" yang digaji tapi tak mengajar [istilah "ghost teacher" atau "guru hantu" ini populer di Afrika dan Asia Selatan, yakni guru yang namanya tercantum sebagai guru tapi tak melaksanakan tugasnya sebagai guru], pengalihan dana sekolah, dan eksploitasi seksual, yang merendahkan kualitas pendidikan dan menaikkan angka putus sekolah. Praktik korup ini memunculkan hambatan akses yang setara dan mengurangi kemampuan negara dalam memenuhi kewajibannya menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas. Dampaknya paling berat dirasakan oleh kelompok marjinal, termasuk perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin, yang memperdalam ketimpangan dan melanggar hak asasi mereka atas kesehatan dan pendidikan.Korupsi, yang berdampak negatif pada hak atas kesehatan dan pendidikan, juga secara mendalam melanggar prinsip keadilan sosial. Keadilan sosial menuntut perlakuan yang adil dan setara bagi seluruh anggota masyarakat, memastikan sumber daya dan peluang, terutama di sektor penting semisal kesehatan dan pendidikan, didistribusikan berdasarkan kebutuhan dan tanpa diskriminasi. Saat korupsi masuk ke layanan ini, akses menjadi tidak setara, menguntungkan orang kaya atau yang berkuasa yang bisa bayar suap, sementara orang miskin dan yang terpinggirkan malah tersisih. Ketimpangan yang disebabkan korupsi ini tidak hanya memperlebar jurang antar kelompok sosial, tapi juga memperpetuasi kemiskinan dan eksklusi sosial. Misalnya, dalam sistem kesehatan yang korup, dana yang dialokasikan tidak tepat buat obat-obatan dan tenaga medis, yang paling dirugikan adalah kelompok kurang mampu yang sangat bergantung pada layanan kesehatan publik. Begitu pula dalam pendidikan, korupsi bisa muncul lewat guru hantu (dimana guru yang tidak ada atau sering absen tetap menerima gaji, yang artinya dana pendidikan disalahgunakan) atau pengalihan dana, yang menyebabkan kualitas dan kesempatan pendidikan jadi buruk dan paling berdampak ke anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Ketidakadilan sistemik seperti ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan melemahkan kewajiban negara untuk menjamin hak sosial yang setara. Pada akhirnya, korupsi memperdalam disparitas sosial, melemahkan kohesi sosial dan tujuan keadilan serta kesetaraan yang lebih luas dalam masyarakat.Hak asasi manusia dan keadilan sosial merupakan konsep yang saling terkait erat dan bersama-sama membentuk fondasi masyarakat yang adil dan setara. Hak asasi manusia merupakan hak dan kebebasan dasar yang dimiliki setiap individu karena kemanusiaannya. Hak-hak ini mencakup hak sipil dan politik, semisal kebebasan berekspresi dan hak untuk memilih, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan standar hidup yang layak. Keadilan sosial, di sisi lain, berfokus pada distribusi sumber daya, peluang, dan hak istimewa yang adil dalam suatu masyarakat. Keadilan sosial berupaya mengatasi ketimpangan sistemik dan memastikan bahwa semua individu, terutama mereka yang terpinggirkan dan rentan, memiliki akses yang setara terhadap hak dan sumber daya ini.Hubungan antara hak asasi manusia dan keadilan sosial terletak pada tujuan bersama mereka untuk memajukan martabat, kesetaraan, dan keadilan. Hak asasi manusia menyediakan kerangka hukum dan moral yang menjamin kebebasan dan perlindungan individu. Keadilan sosial mengoperasionalkan hak-hak ini dengan berupaya menghilangkan hambatan seperti diskriminasi, kemiskinan, dan pengucilan yang menghalangi orang untuk sepenuhnya menikmati hak asasi manusia mereka. Tanpa keadilan sosial, hak asasi manusia tetap menjadi cita-cita teoretis yang tidak dapat diakses oleh banyak orang dalam praktiknya akibat ketimpangan sosial dan ekonomi. Sebaliknya, prinsip-prinsip hak asasi manusia memperkuat gerakan keadilan sosial dengan menyediakan standar-standar yang diakui dan harus dijunjung tinggi oleh masyarakat. Bersama-sama, prinsip-prinsip ini berupaya menciptakan masyarakat inklusif di mana setiap orang dapat berpartisipasi, berkembang, dan hak-haknya dihormati."The Idea of Human Rights" karya Charles R. Beitz (2009, Oxford University Press) menawarkan kajian teoretis yang menarik tentang konsep sentral hak asasi manusia, beralih dari kajian filosofi konvensional ke pendekatan praktis. Beitz dengan cermat mengeksplorasi sejarah dan praktik politik hak asasi manusia agar benar-benar memahami inti gagasannya.Beitz berargumen bahwa praktik formal dan kelembagaan, sebagaimana yang kita kenal hari ini, merupakan hasil langsung dari penyelesaian politik dan hukum yang mengikuti Perang Dunia II. Konsensus pasca-perang ini secara formal mengadopsi gagasan bahwa perlakuan suatu negara terhadap warganya sendiri tak lagi menjadi masalah yurisdiksi domestik yang eksklusif, melainkan menjadi isu kepentingan internasional yang sah, sebuah gagasan yang secara eksplisit dimasukkan ke dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.Hal yang sangat penting, praktik baru ini diperjelas dan dikristalisasi dengan ditetapkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) pada tahun 1948.Namun, Beitz sangat ingin menetapkan suatu perbedaan: meskipun praktik tersebut bersifat pasca-perang, ide sentral hak asasi manusia memiliki sejarah awal yang panjang dan signifikan. Ia mencatat bahwa sebelum UDHR, sudah ada langkah-langkah historis di mana negara-negara telah membatasi otoritas kedaulatan mereka sendiri demi melindungi kepentingan individu, yang secara efektif menempatkan masalah domestik tertentu di bawah suatu bentuk pengawasan internasional. Lebih lanjut, gerakan hak asasi manusia transnasional (seperti proliferasi "Liga untuk Hak Asasi Manusia" dan pembentukan Fédération Internationale des Droits de l'Homme) telah berkembang secara aktif sejak periode antar-perang, didorong sebagian oleh kegagalan Kovenan Liga Bangsa-Bangsa untuk mencakup perlindungan hak asasi manusia yang memadai.Karenanya, Beitz memandang praktik modern ini sebagai pergeseran mendalam: yaitu pelembagaan dari cita-cita moral dan politik yang sudah ada sebelumnya menjadi proyek publik global yang komprehensif.Ketika menelaah aspek-aspek krusial dari hak asasi manusia yang memerlukan perhatian serius, Beitz menyoroti beberapa isu kritis, terutama yang berkaitan dengan tantangan yang melekat dalam implementasi praktis dan legitimasi jangka panjang rezim hak asasi manusia.Pertama, Beitz menggarisbawahi masalah penting Skeptisisme yang mengelilingi seluruh upaya hak asasi manusia, dimana komponen utamanya adalah kekhawatiran bahwa wacana hak asasi manusia dapat dimanfaatkan oleh negara-negara kuat untuk memajukan kepentingan nasional mereka sendiri alih-alih benar-benar melindungi individu. Kekhawatiran ini menimbulkan keraguan terhadap integritas moral intervensi dan tindakan kemanusiaan internasional. Kedua, ia menarik perhatian pada masalah sistemik Standar Ganda dalam praktik, dimana negara-negara tertentu dapat dengan keras menentang catatan hak asasi manusia negara lain, sementara pada saat yang sama mereka sendiri menunjukkan kegagalan mendalam atau kemunafikan terkait kebijakan domestik atau luar negeri mereka, sehingga secara serius merusak otoritas moral gerakan hak asasi manusia global. Lebih lanjut, Beitz mengidentifikasi kekurangan kritis di bidang Akuntabilitas dan Implementasi yang Efektif, mencatat adanya kesenjangan yang berulang dan mengkhawatirkan antara janji normatif yang kuat yang termaktub dalam perjanjian internasional dan mekanisme penegakan yang tidak konsisten, serta seringkali tidak memadai di lapangan, yang memungkinkan banyak pelanggaran berat luput dari hukuman. Ia menyimpulkan bahwa penyelesaian kerentanan-kerentanan yang melekat ini, yang ia sebut 'patologi', pada akhirnya membutuhkan tindakan internasional yang lebih kuat dan lebih kolaboratif untuk memastikan bahwa praktik hak asasi manusia dapat memenuhi tujuan yang dinyatakan, yaitu melindungi semua individu di seluruh dunia.Beitz menyampaikan pesan utamanya tentang kebutuhan mendesak untuk menggeser landasan filosofis hak asasi manusia dari pandangan "naturalistik" atau "moral" tradisional menjadi Konsepsi Politik (Political Conception). Pandangan politik ini menegaskan bahwa hak asasi manusia paling baik dipahami bukan sebagai klaim moral yang melekat yang dimiliki individu hanya karena mereka adalah manusia, melainkan sebagai norma-norma, yang fungsi intinya adalah menetapkan kondisi dasar bagi kehidupan politik, menjadikan perlakuan suatu negara terhadap warganya sebagai masalah kepentingan internasional yang sah.Tesis sentral Beitz adalah bahwa hak asasi manusia berfungsi sebagai pembenaran untuk tindakan perlindungan atau perbaikan internasional—mulai dari pengawasan dan kritik hingga intervensi—ketika pemerintah secara serius gagal menjamin kepentingan dasar ini bagi rakyatnya. Dengan mendasarkan hak asasi manusia pada peran praktisnya dalam sistem internasional kontemporer, Beitz menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk mengatasi bentuk-bentuk skeptisisme umum dan untuk membenarkan penerapan hak asasi manusia pada area-area kontroversial dan diperselisihkan, seperti hak anti-kemiskinan dan hak atas demokrasi. Pada akhirnya, pesan utama buku ini adalah seruan untuk memandang hak asasi manusia sebagai proyek politik publik yang dinamis yang membutuhkan kolaborasi internasional berkelanjutan untuk memperbaiki patologi yang melekat padanya dan menjaga tatanan normatif global."Human Rights: A Very Short Introduction" karya Andrew Clapham (2007, Oxford University Press) mendefinisikan hak asasi manusia sebagai, pada dasarnya, adalah hak moral yang melekat, yang dimiliki oleh setiap individu semata-mata karena menjadi manusia, berlaku secara universal tanpa memandang kebangsaan, jenis kelamin, asal etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Hak-hak ini umumnya didasarkan pada prinsip martabat manusia yang setara dan mencakup spektrum perlindungan yang luas, semisal hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan dan perbudakan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak untuk bekerja dan memperoleh pendidikan.Permasalahan kontemporer seringkali diekspresikan sebagai isu hak asasi manusia karena membingkai ketidakadilan dengan cara ini memberikan tuntutan akan pemulihan dengan otoritas moral dan hukum yang spesifik. Ketika suatu isu—baik itu perubahan iklim, kemiskinan, diskriminasi, atau penahanan sewenang-wenang—diartikulasikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, hal itu secara efektif mengubah keluhan sosial atau politik menjadi kewajiban hukum yang mengikat bagi negara. Pembingkaian ini menyediakan kosakata universal untuk mengatasi ketidakadilan dan memberikan standar yang konkret dan diakui secara internasional kepada individu serta kelompok advokasi untuk mengukur perilaku pemerintah dan memobilisasi dukungan serta tindakan publik. Bahasa hak asasi manusia sangat transformatif, mengalihkan permohonan dari belas kasihan atau preferensi politik menjadi tuntutan yang tidak dapat dinegosiasikan untuk martabat dan keadilan.Cara akademis yang umum untuk menjelaskan kemunculan historis hak ini adalah melalui teori "Tiga Generasi", yang menghubungkan hak tersebut dengan cita-cita inti Revolusi Prancis: Kemerdekaan (Liberté), Kesetaraan (Égalité), dan Persaudaraan (Fraternité).Generasi Pertama: Hak Sipil dan Politik (Kemerdekaan). Hak-hak ini sering disebut "hak negatif" karena terutama menuntut negara agar menahan diri dari campur tangan terhadap kebebasan individu. Hak-hak ini muncul dari revolusi liberal abad ke-18 (Amerika dan Prancis) dan berfokus pada otonomi individu dan perlindungan dari kekuasaan berlebihan pemerintah.Generasi Kedua: Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kesetaraan). Hak-hak ini dianggap "hak positif" karena membebankan kewajiban kepada negara agar secara aktif menyediakan atau memastikan akses pada barang, layanan, dan kondisi tertentu untuk mencapai kesetaraan. Hak-hak ini muncul pada abad ke-19 dan ke-20, seringkali seiring dengan gerakan sosialis, menuntut perlindungan terhadap ekses kapitalisme yang tidak diatur.Generasi Ketiga: Hak Solidaritas atau Kolektif (Persaudaraan). Hak-hak ini, yang paling baru diartikulasikan dan berfokus pada klaim kolektif atau kelompok yang memerlukan kerja sama internasional. Hak-hak ini berkaitan dengan isu-isu global dan mencakup hak atas pembangunan, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perdamaian. Hak-hak ini mewakili aspirasi global yang melampaui kerangka individu-versus-negara.Spektrum luas hak asasi manusia yang diakui secara universal, dikategorikan secara tradisional menjadi lima kelompok yang berbeda namun saling bergantung: Hak Sipil dan Hak Politik biasanya berfokus pada penjaminan kebebasan mendasar dan integritas individu dari campur tangan negara yang tidak semestinya. Sebagai contoh, Hak Sipil berpusat pada perlindungan keberadaan dan martabat seseorang, dengan contoh inti adalah hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan; kewajiban utama Negara di sini adalah negatif, yang berarti harus menahan diri dari melakukan tindakan tersebut terhadap warganya. Demikian pula, Hak Politik berkaitan dengan penjaminan partisipasi individu dalam kehidupan publik komunitas dan negara, dicontohkan oleh hak untuk memilih dan dipilih serta kebebasan berkumpul; di sini, Negara memiliki kewajiban ganda untuk menghormati hak-hak ini dengan tidak menekannya dan untuk melindunginya dengan menetapkan kerangka hukum yang diperlukan untuk pelaksanaannya yang bebas.Sebaliknya, Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya sering disebut hak Generasi Kedua, yang terutama menuntut tindakan positif dan alokasi sumber daya dari Negara. Hak Ekonomi berfokus pada kondisi yang diperlukan untuk mata pencaharian yang bermartabat, dengan contoh utama adalah hak untuk bekerja dan untuk kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, mewajibkan Negara untuk secara progresif berupaya mewujudkan hak-hak ini semaksimal mungkin dari sumber daya yang tersedia. Hak Sosial menjamin kebutuhan untuk kesejahteraan sosial, seperti hak atas jaminan sosial dan hak atas perumahan yang layak, memaksakan kewajiban Negara untuk mengambil langkah-langkah konkret dan terarah untuk membangun sistem perlindungan. Akhirnya, Hak Budaya melindungi kemampuan individu dan komunitas untuk melestarikan dan mengembangkan identitas mereka, diwujudkan dalam contoh seperti hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmiah, yang mensyaratkan Negara untuk menghormati dan memfasilitasi partisipasi tanpa diskriminasi. Meskipun berbeda dalam fokus langsung dan kewajiban negara, kelima kategori ini dianggap tidak terpisahkan dan saling bergantung, yang berarti realisasi salah satunya, seperti hak atas pendidikan (Sosial), sangat penting untuk kenikmatan hak lainnya, seperti kebebasan berekspresi (Sipil).Semua hak asasi manusia, terlepas dari kategorinya, membebankan tiga tingkat kewajiban yang berbeda kepada Negara: Menghormati (Respect), Melindungi (Protect), dan Memenuhi (Fulfil). Kewajiban untuk Menghormati pada dasarnya adalah tugas negatif dan merupakan fokus utama Hak Sipil dan Politik; ini mensyaratkan Negara agar menahan diri dari mencampuri kenikmatan sebuah hak, semisal memastikan bahwa polisi tidak menahan warga negara secara sewenang-wenang atau bahwa pemerintah tidak menyensor kebebasan berbicara. Kewajiban untuk Melindungi adalah tugas positif, yang mensyaratkan Negara untuk mencegah pihak ketiga, seperti perusahaan atau individu swasta, melanggar hak-hak orang lain; ini berarti pemerintah harus mengesahkan dan menegakkan undang-undang untuk mencegah perbudakan atau menghentikan tokoh media yang kuat dari melanggar privasi secara tidak sah.Yang paling menantang dan membutuhkan banyak sumber daya adalah Kewajiban untuk Memenuhi, yang merupakan fokus utama Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kewajiban ini mensyaratkan Negara agar mengambil langkah-langkah aktif dan positif—termasuk tindakan legislatif, administratif, dan anggaran—guna sepenuhnya mewujudkan hak-hak tersebut bagi seluruh warganya. Misalnya, untuk memenuhi hak atas pendidikan, Negara harus membangun sekolah, melatih guru, dan memastikan pendidikan dasar wajib dan gratis; demikian pula, pemenuhan hak atas kesehatan memerlukan penetapan sistem dan infrastruktur layanan kesehatan yang komprehensif. Sementara Hak Sipil dan Politik menuntut kepatuhan segera (seperti larangan segera terhadap penyiksaan), Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya tunduk pada realisasi progresif, yang berarti Negara harus menunjukkan bahwa ia bergerak secepat dan seefektif mungkin menuju pencapaian penuhnya, menggunakan sumber daya maksimum yang tersedia tanpa bentuk diskriminasi apa pun.Perdebatan tentang menyeimbangkan hak—terutama hak kebebasan berekspresi versus hak privasi—menggambarkan kalau HAM itu nggak saklek dan seyogyanya di-adu agar tahu mana yang harus menang di situasi tertentu. Clapham menyoroti ketegangan ini paling sering terjadi di ranah media, dimana hak publik untuk tahu (alias nge-spill berita) tabrakan sama hak seseorang untuk hidup tenang tanpa di-kepo-in.Saat menilai konflik begini, pengadilan biasanya pakai tes proporsionalitas, yang intinya menuntut intervensi terhadap salah satu hak itu harus diatur undang-undang, punya tujuan yang jelas (misalnya buat ngelindungin hak yang lain), dan beneran diperlukan di negara demokratis. Poin pentingnya, proses balancing ini sering membedakan antara isu kepentingan publik yang benar-benar esensial—misalnya kayak bongkar skandal pejabat—dan sekadar rasa penasaran publik yang receh, di mana yang terakhir ini punya alasan yang jauh lebih lemah buat melanggar privasi orang. Komplikasi ini makin parah gara-gara teknologi baru, yang bikin pengawasan konstan dan pengumpulan data masif jadi daily struggle, memaksa kita semua untuk mengukur ulang batas-batas privasi di dunia digital yang 'serba terekspos' ini.Corruption: A Very Short Introduction" karya Leslie Holmes (2015, Oxford University Press) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang tak semestinya atau tak pantas, yang terkait dengan posisi resmi atau jabatan seseorang. Holmes berargumen bahwa, meskipun definisi ini terdengar lugas, penerapannya menjadi sangat rumit karena esensi korupsi adalah adanya penyimpangan dari norma-norma yang seharusnya dianut oleh pemegang jabatan publik, dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi. Tantangan terbesarnya adalah bahwa pemahaman tentang apa yang dianggap 'tak semestinya' atau 'tak pantas' sangat bergantung pada budaya dan konteks spesifik suatu masyarakat; apa yang di satu tempat dianggap sebagai hadiah atau bentuk rasa hormat yang dapat diterima, di tempat lain dapat langsung dicap sebagai suap atau tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, menurut Holmes, korupsi secara universal dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi, tetapi detail dan penerimaannya di masyarakat adalah hal yang sangat cair dan bervariasi.Holmes menjawab pertanyaan "Mengapa korupsi menjadi masalah" dengan menempatkannya di antara tantangan global yang paling merugikan, berargumen bahwa signifikansinya seringkali melampaui krisis lain seperti kemiskinan ekstrem dan perubahan iklim. Ia menegaskan bahwa korupsi bermasalah secara mendasar karena secara konsisten diidentifikasi sebagai penyebab utama kemiskinan di seluruh dunia, secara sistematis mengalihkan sumber daya dari layanan publik vital—seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan proyek infrastruktur—yang secara langsung mengganggu kapasitas Negara untuk berkembang dan berfungsi secara efisien. Selain itu, korupsi secara inheren merusak supremasi hukum dan kepercayaan publik, menyebabkan lingkungan sinis di mana warga negara kehilangan keyakinan pada institusi mereka dan keadilan sistem, akibatnya menghambat partisipasi politik dan proses demokrasi. Yang terpenting, ia menciptakan dan memperkuat ketidaksetaraan sosial yang mendalam dengan memastikan bahwa akses terhadap barang publik dan peluang didikte oleh penyuapan dan koneksi politik, bukannya berdasarkan prestasi atau kebutuhan, sehingga menjadikannya ancaman eksistensial terhadap stabilitas sosial dan pembangunan ekonomi.Dengan menggunakan lensa Andrew Clapham (tentang Hak Asasi Manusia) dan Leslie Holmes (tentang Korupsi), muncul hubungan yang jelas dan destruktif antara korupsi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Holmes menetapkan bahwa korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, melainkan fenomena sistemik dimana penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi mengikis efisiensi dan legitimasi Negara. Pengikisan sistemik ini secara langsung melanggar prinsip inti Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dirinci oleh Clapham, dengan merusak tiga kewajiban Negara untuk Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi hak-hak ini. Ketika dana publik disalurkan secara ilegal, Negara gagal dalam kewajibannya untuk Memenuhi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; misalnya, uang yang seharusnya untuk membangun rumah sakit atau sekolah dicuri, yang secara langsung menyebabkan penolakan terhadap hak atas kesehatan dan pendidikan, dan secara tidak proporsional merugikan populasi yang paling rentan. Selain itu, korupsi seringkali melibatkan subversi aturan hukum dan peradilan, yang merupakan pelanggaran langsung terhadap Hak Sipil dan Politik, khususnya hak atas pengadilan yang adil dan proses hukum yang semestinya (due process), sehingga menolak ganti rugi yang efektif bagi korban atas ketidakadilan yang dilakukan terhadap mereka. Akibatnya, korupsi bertindak sebagai penghalang besar bagi Keadilan Sosial karena secara sistematis mengalirkan sumber daya dan kekuasaan menjauh dari masyarakat umum dan menuju segelintir orang yang berkuasa. Hal ini menciptakan dan memperkuat ketidaksetaraan dan diskriminasi yang mendalam, secara efektif menjadikan kenikmatan hak asasi manusia dasar sebagai fungsi kekayaan atau koneksi politik, bukan sebagai hak universal, sehingga mengubah janji keadilan sosial menjadi sekadar ilusi.
[Bagian 5]

