Jumat, 29 April 2022

Ratu Sejagad Semalam

"Malam itu, aku menyimak pertemuan para ahli tanaman dan semacamnya," berkata Sang Purnama usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Tepat saat kupancarkan sinarku di atas gedung pertemuan, waktu istirahat telah tiba, dan merekapun dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Musik-ringan dan suara merdu seorang biduan, mengalun.
Lalu, aku menyoroti seorang Botanis dan Hortikulturis sedang bercakap-cakap, sementara sang biduan melagukan,
Rasa deg-degan di hatiku
Saat kutatap paras wajahku di cermin
Pipi merah, bibirku merah
Merekah, menantang setiap pandangan
Sang Botanis berkata, 'Ketidakjelasan itu, alam Kekeliruan' Sang Hortikulturis menanggapi, 'Tapi, seringkali, Ketidakjelasan itu, membawa Keselamatan!' Sang Botanis mengernyitkan kening, 'Sangat mungkin, tapi kuingin tahu, apa latar belakangnya?'
'Perhatikan ini!' Sang Hortikulturis bercerita,

'Sepohon Oak, yang tegak-menggelantung di tepi sungai, diterpa angin-badai yang amat dahsyat; dan saat terbawa arus, beberapa cabangnya bergesekan dengan Gelagah, yang tumbuh di dekat pantai.
Keadaan ini menimbulkan decak-kagum pada sang Ek; dan ia tak dapat menahan diri, bertanya pada sang Gelagah, kok bisa, ia tegak-berdiri dengan aman dan tak terluka dalam badai, yang telah ganas membedol pohon Oak sampai ke akar-akarnya?
'Sebabnya,' jelas sang Gelagah, 'Aku mengamankan diriku dengan berperilaku yang sangat berbeda dengan apa yang engkau lakukan. Daripada keras-kepala dan kaku, dan mengandalkan kekuatanku, aku mengalah dan melenturkan-diri terhadap sang badai, dan membiarkannya berlalu, dengan asumsi, bila melawan, 'kan sia-sia dan tak membuahkan hasil.'

'Pasrah terhadap Kerusakan dimana masih ada Kemampuan kita, memperbaikinya,' sang Hortikulturalis menjelaskan, 'secara umum, dianggap sebagai hal yang mendasar dan sesuatu yang tak-berharga; namun, bila melawan, dimana tiada kemungkinan, atau bahkan harapan kita, menjadi lebih baik, dapat pula dilihat sebagai akibat dari kepahlawanan-buta yang berlebihan, dan boleh jadi, lemahnya pemahaman terhadap suatu permasalahan.
Hantaman Takdir, seringkali tak terelakkan dan tak tertahankan, dan ia yang merasa segan dan berjiwa tak-sabar, bila tarung melawannya, bukannya meringankan, malah menggandakan hantaman tersebut, pada dirinya sendiri.
Seseorang dengan temperamen yang tenang, baik itu, didapat secara Alami, maupun diperoleh melalui Keterampilan, dengan anteng, menenangkan dirinya di tengah badai, demi menghindari goncangan, atau menerimanya dengan kemudaratan yang kecil: ibarat seorang pelaut bijak yang berpengalaman, berenang ke pantai, dari kapal yang rusak dalam gelombang laut; ia tak melawan amukan ombak, melainkan merunduk dan memberi jalan, agar sang ombak bergulung di atas kepalanya, tanpa gangguan.
Doktrin kepasrahan-mutlak dalam segala urusan itu, ajaran dogmatis yang absurd, tiada apapun kecuali ketidaktahuan dan takhayul yang menopangnya: namun, pada situasi tertentu, dimana tak mungkin bagi kita, mengatasinya, maka, tunduk dengan sabar itu, salah satu maxim yang paling masuk akal, dalam hidup ini,' kata sang Hortikulturis menutup perbincangan mereka.

Lantunan lagu sang biduan, tetap mengalun,
Kupoles lagi, alis mataku
Hidung, telinga, jidat, tangan sampai betis
'Ouw betapa cantiknya, wajahku malam ini!'
Pasti, kuterpilih jadi Ratu
Kemudian, kuarahkan sorotanku ke sudut lain, di situ, ada dua orang, yang satu seorang Fitoligis, dan yang lain, seorang Naturalis. Mereka membicarakan sesuatu. Sang Naturalis berkata, 'Keberhati-hatian, sebagaimana Kebersyukuran, bakal terkait dengan Perlindungan seorang teman, yang akan menunjukan Persahabatannya, dalam Kesukaran.' Sang Fitologis bertanya, 'Dan ... apa alasannya?' Sang Naturalis menjawab, 'Secara tersirat, dengarkan baik-baik cerita ini,

Di perempatan semak-semak, dimana tanaman yang sering berganti daun dan tetumbuhan yang selalu menghijau, berbaur dengan suasana keterlalaian, senyampang, Puspa Mawar tumbuh, di dekat Kembang Laurustinus.
Sang Rosa, yang dimeriahkan oleh hembusan sang Juni—di belahan bumi Utara, biasanya dipandang sebagai bulan pertama musim panas, tentang musim panas atau hari-hari yang cerah. Ia berasal dari mitologi dewi Romawi kuno, Juno, yang merupakan seorang influencer yang kuat, dan dianggap sebagai pelindung wanita hamil—dengan attire Kuntumnya yang indah, memandang hina pada sang Laurustinus—viburnum yang mekar pada musim dingin, yang selalu menghijau dengan hijau-mentah mengkilap nan lebat, berasal dari daerah Mediterania dan dibudidayakan di tempat lain—yang tak punya apa-apa guna dipamerkan, kecuali hijau-daunnya yang pekat.
'Sungguh, habitat yang menyedihkan,' teriaknya, 'inikah; dan betapa tak pantasnya, disertakan dalam keberadaanku yang paling mulia ini! Lebih baik mekar dan mati di gurun, ketimbang di sini, membersamai sayuran yang nista dan kotor. Dan inilah puncak takdirku, yang dihargai oleh seluruh bangsa, dan disanjung oleh setiap penyair, sebagai penguasa ladang dan kebun, yang tak terduakan! Dan bila sungguh aku demikian adanya, biarkan kutersendirikan, dan dikitari oleh lingkaran pembatas, sesuai keadaan yang dibutuhkan derajatku. Hei, Tukang Kebun, bawa kapakmu; mohon, tebanglah Laurustinus ini, atau setidaknya, pindahkan ke tempat yang semestinya!' 
'Tenanglah, Bunga Rosku nan cantik,' jawab sang Tukang Kebun; 'Nikmati kedaulatanmu dengan tak berlebihan, dan engkau 'kan menerima segala Penghormatan yang bisa diminta oleh Keindahanmu. Namun, ingatlah bahwa di musim dingin, ketika, baik engkau maupun jenismu, tak menghasilkan satu kembang atau daunpun yang menghiburku, semak-belukar yang setia ini, yang engkau nistakan, 'kan menjadi kemuliaan tamanku. Karenanya, Keberhati-hatian, sebagaimana Kebersyukuran, bakal terkait dengan Perlindungan seorang teman, yang akan menunjukan Persahabatannya, dalam Kesukaran,' tutup sang Naturalis, sembari menghirup teh-hijau yang tersaji.

Sang biduan, lanjut bernyanyi,
Aku berbisik, dalam hati
Mungkinkah ini 'kan terjadi sesungguhnya
Kulangkahkan kaki, menyusuri
Panggung pemilihan Ratu Sejagad
Dan di pojok sana, kuperhatikan, seorang ahli Mikolog dan Folkloris, bertukar-pikiran. Sang Folkloris berkata, 'Semata Kepentingan pribadilah, yang menggerakkan sebagian umat manusia.' Sang Mikolog memiringkan kepalanya, 'Maksud lo?' Sang Folkloris tersenyum, 'Dengerin, di kebun seorang Petani, terdapat sebuah Pohon Apel, yang tak menghasilkan buah, namun hanya berfungsi sebagai pelabuhan bagi Burung Pipit dan Belalang. Ia memutuskan, menebangnya, dan mengambil kapak di tangannya, dengan keras menghunjamkannya ke akar sang Apel.
Sang Belalang dan sang Pipit, memohon padanya agar tak membabat pohon yang melindungi mereka, melainkan membiarkannya saja, dan mereka akan bernyanyi untuknya, dan meringankan pekerjaannya.
Sang Petani tak hirau, melainkan tetap menghunjamkan kapaknya dengan hantaman kedua dan ketiga. Saat mencapai lubang pohon, ia menemukan sarang yang penuh dengan madu. Setelah mencicipi madunya, ia mencampakkan kapaknya, dan menganggap keramat pohon Apel tersebut, dan dengan sangat tekun, merawatnya,' dan kembali, sang Folkloris, tersenyum seraya menyuapkan sesendok madu yang tersedia, ke dalam mulutnya.

Dan lagi, syair lagu sang biduan, terdengar,
Putar ke kiri, balik ke kanan
Senyum sana, senyum sini, ikut irama
Oh semua tepuk tangan, seiring kuberlalu
Sampai menghilang, dibalik layar
Di penjuru lain, terdapat Dendrolog dan Palaeontolog, sedang berbincang. Sang Paleontolog berkata, 'Kesumbaran dan Alam, dapat menjatuhkanmu!' Sang Dendrolog terkejut, 'Mungkinkah?' Sang Paleontologi berkata, 'Pohon Zaitun mengolok-olok pohon Ara, lantaran daunnya menghijau sepanjang tahun, sedang Pohon Ara, tergantung musim, daunnya berguguran.
Salju turun ke atas mereka, dan, melihat pohon Zaitun penuh dengan dedaunan, ia hinggap di cabang-cabangnya dan merontokkannya oleh tumpukan salju yang berat, sekaligus merusak keindahannya, dan membunuh pohon tersebut. Namun sebaliknya, melihat Pohon Ara yang plontos, sang Salju turun ke tanah, dan tak melukai pohon Ara, sama sekali.'

Sekali lagi, suara sang biduan, melantun,
Akupun bersorak, lompat kegirangan
Tapi, kuterjatuh dari kursi goyang
Kiranya kumimpi, uh! Sebel
Jadi Ratu Sejagad semalam *)
Tak lama kemudian, Panitia mengumumkan bahwa waktu istirahat telah habis, dan para peserta, diminta kembali ke tempat masing-masing. Aku hendak mengikuti mereka, namun waktuku telah habis."

Sebelum berangkat, sang Purnama berkata, "Akan tetapi, aku bertanya-tanya, boro-boro membicarakan mobil-listrik dan energi-bersih, tak secuilpun mereka membicarakan tentang, Pohon Kelapa Sawit, ataupun turun-naiknya harga Tandan Buah Sawit Segar (TBS), yang menjadi momok para petani Sawit. Bila harga TBS turun drastis, maka para Bankir bakalan bertopang-dagu, sebab Kredit Bermasalah, sedang meingintai. Oh atau mungkinkah itu lantaran aku cuman bermimpi, jadi Ratu Sejagad semalam? Allahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Ratu Sejagad Semalam" karya Dani Mamesah

Senin, 25 April 2022

Ya Ndak Tauk ...

"'Bro!' sang Keledai menyapa sang Kuda, kala mereka bertemu di sebuah Sabana," Rembulan memulai pembicaraannya, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. 'Ketika engkau bersama komunitasmu, adakah sesuatu yang paling mengesankan, menurutmu, di antara mereka?' Sang Jaran tak langsung menjawab, ia diam sejenak, matanya melihat ke atas, seolah berpikir. 'Kurasa, selagi aku bersama mereka, rasanya, menakjubkan!'
'Dan ... mengapa?' sang Himar kepo. 'Aku tak begitu memahami, kenapa,' jawab sang Aswa, 'tapi, bila kami sedang merumput, para Senior, selalu mendidik dan membimbing kaum-muda. Pada suatu hari, ada seekor kuda-muda, menuturkan sebuah cerita yang pernah ia dengar, dan bertanya, apa pesan moralnya.
Di zaman Romawi kuno, ada seorang Lelaki yang Dengki, pernah memanjatkan doa kepada Jupiter, pada saat yang sama dan di tempat yang sama, bersama koleganya, yang Serakah, pake banget.
Jupiter mengutus Apollo, agar menelaah manfaat permohonan mereka, dan memberikan jalan-keluar, yang menurutnya, pantas.
Lantas, Apollo memulai tugasnya, dan menyampaikan kepada mereka, bahwa agar menyederhanakan masalah, apapun, yang, salah seorang minta terlebih dahulu, yang b'lakangan, 'kan digandakan perolehannya. Atas hal ini, sang Serakah, yang telah mempersiapkan ribuan permintaan, menahan-diri agar tak mengajukan permohonannya terlebih dahulu, berharap menerima hasil berlipat-ganda; sebab ia berasumsi, bahwa segala kehendak manusia, berpihak pada hasratnya sendiri.
Dalam keadaan seperti ini, di sisi lain, sang Dengki, punya kesempatan melampiaskan Kebenciannya, dan dengan menggunakan permohonannya, yang didahulukan, mencapai apa yang ditujunya; sehingga, tanpa ragu-ragu, ia bermohon, agar salah satu matanya, diambil, yang maknanya, bahwa, koleganya, bakalan jadi buta.
Salah satu Senior kami, menjelaskan, 'Fabel ini, ditujukan pada dua nafsu yang sangat memuakkan, yang merendahkan akal-budi manusia. Dalam pandangan ekstrem mereka yang antisosial, Kedengkian beroleh tempat Kebahagiaanya, dalam Kesengsaraan dan Kenestapaan orang lain, dan akan merasa Kesal dan Kecewa, bila orang lain Bahagia; sedangkan Keserakahan, bagai kabut yang menangkup musim-semi, tak pernah terpuaskan, kecuali ia bisa mendapatkan segalanya, demi dirinya sendiri, walau hasratnya, yang tak terpuaskan, sekaligus tak dapat dipertanggungjawabkan, menyengsarakan, dan absurd.
Oleh karena itu, duhai adik-adikku, marilah kita singkirkan kedua sifat-buruk ini, dari dalam diri kita, dan semoga dapat menjadi salah satu jalan kita, menuju Masyarakat Madani, yang Adil dan Beradab.'

'Dan bagaimana denganmu?' sang Kuda balik-nanya. 'Aku tak punya apapun!' jawab sang Himar. 'Dan ... mengapa?' tanya sang Jaran. 'Aku tak begitu memahami, kenapa, tapi, aku tahu ada sebuah cerita!' sang Keledai berupaya mengungkapkan pikirannya. 'T'rus, t'rus?' tanya sang Kuda p'nasaran, Sang Keledai berkata, ''B'gini c'ritanya,
Di sebuah negeri, kita sebut saja, Negeri Antah Berantah, memerintah seorang Raja, yang, menurut para pencari berita, punya sebuah kalimat, yang mereka sebut, kalimat Legendaris. Bermula ketika para Pewarta, mengajukan beberapa pertanyaaan, dan sang Raja, agar mengelabui mereka, berkata, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya? Eh sebentar, itu anunya!' seraya menjauh dari mereka. Sejak saat itu, mereka menyebut kata-kata tersebut, sebagai kalimat Legendarissebutan yang sopan, namun sebuah satire. 
Kata-kata ini, menjadi mantra sapu-jagat sang Raja.
Sewaktu ditanya mengapa lebih menyukai Mao Zedong daripada George Washington, ia berdalih, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Bila ditanya tentang Kelayakan Infrastruktur, ia menjawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Kala ditanya tentang tentang Tol Laut, yang memberi peluang bagi negeri tertentu, ia menjawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Bila ditanya tentang mengapa lebih memilih Oligarki dibanding Demokrasi, ia memberikan jawaban, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Andai ditanya tentang tingkat pertumbuhan ekonomi, jawabannya, sama, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Manakala ditanya tentang mengapa lebih banyak impor barang dan jasa, dijawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Tatkala ditanya mengapa hutang bertambah banyak, alasannya, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Bila ditanya mengapa Lapangan-kerja, terbuka bagi Warga Negara Asing, khususnya dari negeri Beruang Putih, tapi tidak bagi Tenaga Kerja Lokal, ia berkilah, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Ketika ditanya mengapa lebih memilih Kartel dibanding Anti-Monopoli, ia menjawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Ketika ditanya mengapa Kebijakan Pelarangan Ekspor Batubara, cuma seumur jagung, ia menjawab, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Saat ditanya mengapa Harga-harga melambung tinggi, ia berdalih, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Dan jika ditanya, sampai kapan Pelarangan Ekspor Minyak Goreng Kelapa Sawit, ia berseru, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
Akhirnya, bila ditanya, mengapa jawabannya 'kok gitu,' ia menyimpulkan dengan, 'Ya ndak tauk, kok tanya saya?'
'Giituu katanya!' sang Himar mengakhiri kisahnya, dan kedua satwa famili Equidae tersebut, ngakak. 'Senja 'kan berganti, yuk kita pulang,' ajak sang Aswa.
Kemudian, keduanya melangkah pulang, sambil bersenandung,
Tiba-tiba, kamu berubah
Tak ada ujan, tak ada angin
Sakit hati, sakit
Padahal udah setia, kok diginiin?

Abis minum apa, kok jadi begini?
Tiba-tiba, kau ingin pergi
Kesurupan apa, kok aneh begini?
Tak kusangka, ke lain hati *)
Sebelum pergi, Rembulan menutup dengan, "Yoo mmbooh, kok takon aqqoo? ... Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
*) "Abis Minum Apa" karya Yogi Rph

Kamis, 21 April 2022

Sang Ratu dan sang Guillotine

“'Pada pukul lima pagi, sang Ratu masih menulis surat perpisahannya,' Monsieur de France membuka ceritanya," berkata Rembulan saat ia tiba, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Sang Monsieur meneruskan, 'Di Paris, di seputaran delapan empat puluh, genderang ditabuh. Sebelumnya, pukul tujuh, seluruh angkatan bersenjata ibu kota, sedang beraksi; meriam diisi, menjaga jembatan; prajurit infanteri dengan bayonet, berbaris di jalan-jalan, dan ada skuadron kavaleri yang memperkuat mereka—pameran besar tentara melawan seorang wanita kesepian, yang dirinya sendiri, tak berharap apapun selain Kebersudahan. Cukup sering, para pengguna kekuasaan, lebih takut pada korbannya, ketimbang sang korban itu sendiri, terhadap para pengguna kekuasaan.

Pada pukul tujuh, pelayan dapur sipir penjara, diam-diam masuk ke dalam sel sang Ratu. Di atas meja, dua lilin parafin, masih menyala; di sudut, sebuah bayang berwaspada, duduk gendarme—perwira polisi bersenjata di Prancis—yang sedang bertugas. Pada awalnya, Rosalie tak melihat sang tahanan, lantas, saat ia melihat lebih dekat, ia memperhatikan bahwa sang Ratu, berpakaian lengkap dan mengenakan gaun janda hitamnya, sedang berbaring di tempat tidur. Tak terlelap, cuma penat, dan lelah lantaran pendarahan berulang.

Sang gadis dusun, sangat bersimpati pada Ratu yang ini, yang bakal dihukum mati, 'Madame,' katanya, mendekat ke tempat tidur, 'Engkau belum makan apapun, kemarin malam, dan hampir tak menelan apapun, di siang hari. Apa yang dapat kubawakan, pagi ini?'
'Nak, aku tak menginginkan apa-apa lagi, sebab bagiku, segalanya t'lah berakhir,' jawab sang Ratu, tanpa beringsut duduk.

Ketika sang gadis, sekali lagi mendesaknya, agar memakan sup yang telah disiapkan khusus baginya, ia menjawab, 'Baiklah, Rosalie, bawakanlah supnya untukku.' Ia menelan beberapa sendok, dan kemudian sang pelayan, mulai membantunya membuka pakaian. Sang Ratu, Marie Antoinette, tak diperbolehkan naik ke pengaram, dalam pakaian berkabung yang dikenakannya, saat diadili di hadapan Pengadilan Revolusi, sebab pihak berwenang, takut gaun sang janda, bisa dianggap provokatif oleh para khalayak. Duh, apa pentingnya sih, gaun tersebut sekarang? Ia tak keberatan, dan memutuskan mengenakan gaun-putih bersahaja.

Akan tetapi, bahkan kesempatan bontot inipun, penghinaan terakhir, telah ia telan. Selama berhari-hari, kini, ia kehabisan darah, dan baju ganti yang ia kenakan, kotor olehnya. Punya kehendak alami menjelang kematiannya, dalam keadaan bersih, ia ingin mengenakan pakaian dalam yang baru, dan memohon kepada sang gendarme, agar menarik-diri selama beberapa menit. Namun sang polisi, setelah diberi perintah keras agar tak membiarkan dirinya hilang dari pandangannya, walau sejenak, mengatakan, ia tak punya pilihan lain selain menolak. Sang Ratu, karenanya, berjongkok di ruang sempit antara tempat tidur dan dinding, dan, kala ia mengubah posisinyanya, sang pelayan dapur berdiri di antara dirinya dan sang prawira, agar menyembunyikan keterpolosannya. Lantas, pakaian dalam yang telah berlumuran darah ini, mau diapain coba? Ia malu memikirkan, meninggalkan linen kotornya, yang bakal diintai para khalayak, yang, dalam beberapa jam, kelak memasuki selnya, memeriksa segala yang ia tinggalkan di sana; maka, dengan cepat, ia menggulungnya menjadi buntelan kecil, memasukkannya ke dalam sebuah celah, bagian belakang perapian.

Kemudian, ia berpakaian dengan sangat cermat. Lebih dari setahun sejak ia menginjakkan kaki di jalanan, lebih dari setahun sejak ia memandang lepas ke langit. Kemajuan terakhir ini, harus menyaksikannya berpakaian sopan dan bersih. Hasrat yang menjiwai dirinya, bukan lagi kesombongan feminin, melainkan, rasa-bermartabat, selama satu jam bersejarah. Ia dengan jeli merapikan gaun putihnya, membalut lehernya dengan kain muslin, dan mengenakan sepatu terbaiknya. Rambut putihnya, ia tutupi dengan topi bersayap dua.

Pada pukul delapan, terdengar ketukan di pintu. Bukan, itu bukan sang algojo, melainkan cuma pembawa berita sang algojo, seorang pendeta, salah seorang dari, mereka yang telah mengambil sumpah setia kepada Republik. Sang Ratu, tak mengakui pendeta selain non-juror, dan ia menafikan dengan sopan, mengakui dosa-dosanya dan memohon ampunan dari orang yang ia anggap murtad. Saat sang pendeta bertanya haruskah ia menyertainya, dalam perjalanan terakhirnya, sang Ratu menjawab, cuek, 'Sa' karebmu!'

Ketidakpedulian yang tampak ini, dinding pertahanan dimana Marie Antoinette, sedang mempersiapkan Ketegarannya demi perjalanan ke pengaram, tempat dimana sang Guillotine, bertitah. Ketika, pada pukul sepuluh, Sanson—yang sebenarnya Charles Henri, dikenal sebagai 'the Great Henri,' putra Chevalier Charles-Henri Sanson de Longval—sang algojo, seorang pemuda bertubuh bongsor, masuk untuk memotong rambutnya, ia tak keberatan dan tak memberikan perlawanan, tak pula dikala sang algojo mengikat kedua lengannya ke belakang punggungnya. Ia telah maklum, HIDUP, takkan dapat lagi diselamatkan, namun KEHORMATAN, masih bisa. Dan Kehormatannya menuntut, bahwa, tak boleh ada tanda-tanda kedaifan. Semata KEISTIQAMAHAN, yang dibutuhkan, demi menunjukkan kepada semua yang peduli, bagaimana cara putri Maria Theresa, hilang-hayat.

Seputaran pukul sebelas, gerbang Conciergerie dibuka. Di luar tegak-berdiri tumbril—nama yang diplesetkan, sejenis gerobak tradisional, dimana, ditarik oleh kuda yang kekar, para korban Pengadilan Revolusi diarak menuju eksekusi, Louis XVI, sungguh, telah membuat kemajuan kerajaannya menuju kematian pada waktunya, ditempatkan di kereta istananya yang tertutup, dilindungi oleh dinding kaca dari penghinaan terburuk, dari keingintahuan yang paling buruk, dari pameran kebencian rakyat yang paling kasar dan buruk. Sejak saat itu, Republik telah membuat kemajuan pesat. Harus ada Kesetaraan, bahkanpun dalam perjalanan menuju sang Guillotine. Tiada alasan mengapa seorang mantan Ratu, harus menerima ajal dengan lebih nyaman dibanding warga negara lain, dan kereta bancilah, yang cukup baik bagi sang Janda dari Dinasti Capetian ini! Tempat duduknya, papan telanjang, yang dipasang di bagian atas. Danton, Robespierre, Fouquier-Tinville, Hébert—semuanya yang sekarang mengantarkan Marie Antoinette menuju kematiannya—akan menempuh perjalanan terakhir mereka, dengan duduk di atas kayu-alot yang sama; dan yang terhukum hari ini, sekadar beberapa tahap di depan para hakimnya. Bulan depan, Madame Roland, bulan berikutnya, Madame Dubarry, bakalan menempuh arteri yang sama.

Yang pertama muncul dari pintu gelap Conciergerie itu, beberapa perwira, yang diikuti oleh kompi tentara dengan senapan terkokang. Setelah itu, dengan tenang, dan dengan langkah mantap, terlihat Marie Antoinette, Sanson, sang algojo, memeganginya dengan tali panjang, ujung tali yang ia gunakan mengikat lengannya, di balik punggungnya; mengekangnya, seolah ada bahaya bahwa korbannya, kendati dikelilingi ratusan lelaki bersenjata, masih mampu melepaskan diri darinya. Beberapa pengamat, terlepas dari diri mereka sendiri, terkejut dengan penghinaan yang tak terduga dan tak penting ini. Tak satupun dari teriakan sinis yang lazim ini, diangkat. Tiada kata yang terucap, saat sang Ratu berjalan menuju tumbril. Di sana, Sanson membantunya masuk, Girard, sang pendeta, yang tak mengenakan jubah, tapi mengenakan pakaian sipil, duduk di sampingnya. Sang algojo, dengan wajah kaku, tetap berdiri di sepanjang perjalanan, masih dengan dawai di tangannya. Dengan keprihatinan yang tak lebih dari apa yang dilakukan Charon, yang mengangkut jiwa-jiwa yang mati, melintasi Styx, yang setiap hari, mengantarkan kargo terkutuknya, ke pantai lain kehidupan. Akan tetapi, pada kesempatan ini, selama perjalanan, ia dan asistennya, memegang topi tiga sudut, diletakkan di bawah genggaman mereka, seolah-olah, dengan token kehormatan yang tak biasa ini, mereka memohon ampunan dari wanita tak berdaya, yang 'kan mereka pancung diatas aram-aram.

Tumbril berderak perlahan di atas trotoar batu. Banyak waktu telah diberikan bagi perjalanan, lantaran semua minta diberi kesempatan, memanjakan mata mereka dengan tontonan yang tak-biasa. Di kursi keras, sang Ratu, terhentak oleh setiap gerakan gerobak yang dibuat secara kasar, tapi, wajahnya yang pucat, tak terganggu, menatap hampa dengan mata berbingkai merahnya, Marie Antoinette tak menunjukkan tanda-tanda ketakutan, tiada gejala bahwa ia peduli pada kerumunan kepo, yang telah berkumpul demi melihat kepergiannya, menuju ke azabnya. Sia-sia musuh-musuhnya yang terganas, mencoba mendeteksi, sebuah tanda kelemahan. Tiada yang bisa menggoyahkan ketenangannya; bahkan ketika, saat ia melewati gereja Saint Roch, para wanita yang berkumpul di sana, menyerangnya dengan teriakan cemoohan; bahkan selagi Grammont sang aktor, yang ingin memeriahkan adegan suram, mengenakan seragam Garda Nasionalnya, naik beberapa langkah di samping kereta maut, mengayunkan pedangnya dan berseru, 'Inilah, Antoinette yang masyhur! Ia telah berakhir, guys!' Sang Ratu, seakan tak mendengar atau melihat. Teriakan keji di jalan, tak meninggalkan kesan pada gerbongnya, sorot-mata biadab, tiada kesan di matanya, lantaran pahitnya kematian, telah berlalu. Bahkan Hebert, harus mengakui, keesokan harinya, dalam 'Pére Duchesne,' 'Sang perempuan-jalang, selebihnya, berani dan lancang jelang titik-akhir.'

Di sudut Rue Saint-Honoré, dimana Café de la Régence kini berdiri, seorang lelaki berdiri menunggu, sebuah pukal seniman di satu tangan dan pensil di tangan lainnya. Ia, Louis David, salah seorang pengecut terbesar, tetapi juga salah seorang pelukis terhebat di zamannya. Di antara para penyembur paling keras saat Revolusi sedang diteriakkan, ia berbhakti pada orang-orang berkuasa sepanjang mereka perkasa, mengabaikan mereka di saat-saat bahaya. Ia melukis Marat di kandang kematian. Saat Thermidor Kedelapan tiba, ia secara emosional menuturkan pada Rabespierre 'minum secawan bersamanya, sampai ampas,' namun hari berikutnya, bahwa ampas yang fatal itu, rasa dahaga akan kepahlawanan, telah dipadamkan; ia memutuskan berdiam di rumah, dan dengan demikian menyelamatkan dirinya dari sang Guillotine. Tiada yang mampu lebih pahit mencela para tiran dibanding dirinya, selama Revolusi, namun ia bakal menjadi salah seorang, yang pertama kali menempelkan dirinya, pada bertambahnya harta-kekayaan Diktator baru; dan pada waktunya, saat ia membuat goresan penobatan Napoleon, dan untuk layanan ini, beroleh gelar Baron, ia menunjukkan betapa asli kebenciannya, terhadap para Aristokrat. Spesimen khas dari mereka yang menjilat sepatu bot para penguasa, selalu siap menyanjung yang sukses, tetapi keji terhadap yang kalah, ia siap melukis sang pemenang saat penobatan, dan yang kalah dalam perjalanan ke pengaram. Dari gejolak yang sama, yang sekarang membawa Marie Antoinette menuju takdirnya, Danton, yang tahu betapa hinanya jiwa lelaki itu, mendesiskan padanya seruan, 'Dirimu itu, seorang antek!' Namun meskipun ia makhluk yang tercela, kendatipun ia berjiwa seorang pelayan, ia memiliki mata dan tangan seorang seniman. Dalam sekejap, ia telah membuat sketsa sang Ratu saat ia lewat, rajahan keji yang menakjubkan, terbuat dari kehidupan dengan keterampilan yang jalang; lukisan seorang wanita, yang tua sebelum waktunya, tak lagi cantik, yang tersisa, cuma kebanggaan. Mulutnya terkatup angkuh; ekspresinya menunjukkan ketidakpedulian yang mendalam; dengan tangan terbelenggu di balik punggungnya, ia duduk tegak di kursi kayu tumbril, seolah ia duduk di atas Singgasana, Setiap garis wajahnya yang membatu, berbicara mengumbar kehinaan, dan posenya, sebuah resolusi yang tak terkalahkan. Penderitaan berubah menjadi pembangkangan, rasa-sakit bermetamorfosis menjadi energi, menyajikan wajahnya yang tersiksa, keagungan baru dan mengerikan. Bahkan kebencian, yang membuat gambar ini, tak dapat menyangkal martabat mengerikan, yang dengannya, Marie Antoinette menanggung rasa-malu, saat dihantarkan menuju tempat eksekusi.

Place de la Révolution yang luuwaas banget, sekarang dikenal sebagai Place de la Concorde, dipadati oleh kerumunan. Puluhan ribu kaki berdiri di sana, sejak pagi hari, agar mereka tak melewatkan tontonan unik seorang Ratu, sebagaimana omongan kecut Hébert, 'dicukur oleh pisau cukur nasional.' Mereka terus menunggu di sana, berjam-jam. Agar menghabiskan waktu, seseorang menyapa neng geulis di sampingnya, tertawa dan bergosip, beli koran atau karikatur dari Mas Paijo yang lewat, memborong seblak, cimol, cilok, kerak-telor, bakso, de-el-el, yang penjajanya mirip seorang Vlogger atau Youtuber atau yang berpakaian a la Spiderman. Namun, kagak ada bakul-sate, soalnya, asapnya kemana-mana, dan bakalan dikejar Satpol-PP, ambyar deh acara pemancungan!
Ada pula, yang mengibaskan halaman pamflet paling topikal, seperti 'Les adieux de la Reine à ses mignons et mignonnes' dan 'Grandes fureurs de la ci-devant Reine.' Di kompleks perumahan, ada bisik-bisik tetangga, kepala siapa yang kemungkinan akan lepas, esok atau lusa. Adegan akbar ini, layak membutuhkan sedikit kesabaran.

Menjulang di atas kepala orang banyak, yang kepo dan bersemangat ini, terlihat satu-satunya benda tak bergerak di alun-alun luas, pertama-tama, the one and only, sang Guillotine. Bukanlah Joseph-Ignace Guillotin yang menemukan sang Guillotine, namanya cuma jadi eponim. Penemu sebenarnya, orang yang bernama Tobias Schmidt, bekerja pada seorang dokter raja, Antoine Louis. Dr. Guilotin itu, seorang dokter, politikus, dan freemason Prancis, yang mengusulkan pada tanggal 10 Oktober 1789, penggunaan alat bagi pelaksanakan hukuman mati di Prancis, sebagai metode eksekusi, yang tak terlalu menyakitkan dibanding metode yang ada.
Pada tanggal 9 Oktober 1789, Majelis Nasional, sebagai akibat dari eksodus tragis Pengadilan Versailles, memutuskan, memindahkan diri ke Paris, dan Dr. Guillotin, sebagai salah satu perwakilan dari kota tersebut, berpikir perlu mempersiapkan bagi dirinya sendiri, penerimaan yang baik dari konstituennya, dan pada hari itu pula, ia menyampaikan usulan, dan pada tanggal 10 berikutnya, menghasilkan serangkaian proposisi berikut:
— Kejahatan-kejahatan yang sejenis, harus dihukum dengan jenis hukuman yang sama, seberapapun pangkat penjahatnya.
— Dalam semua kasus (apapun kejahatannya) hukuman mati, harus dari jenis yang sama—yaitu, pemenggalan kepala—dan harus dieksekusi dengan mesin [Teffet d'un simple mecanisme]
— dst ... dst ...
Sang Guillotine yang tegak berkacak-pinggang, bagian atasnya dihubungkan oleh dua palang—jembatan kayu yang menghubungkan alam ini ke sarangnya. Di dekat puncak sana, berkilau di bawah sinar Mentari, Oktober yang dingin, palang yang siap dilepaskan, sebuah pisau yang baru diasah. Instrumen mengerikan ini, berdiri tajam dan jelas menjulang, dan para unggas, yang tak tahu apa-apa tentang makna jahatnya, melayang-layang di atasnya, berucap, 'Emang gue pikirin!'

Di dekatnya, jauh lebih tinggi dari pintu gerbang kematian, berdiri patung Liberty yang besar, di atas fondasi yang pernah menjadi tugu Louis XV. Sosok yang duduk, dewi yang tak dapat didekati, kepalanya bermahkotakan topi Frigia, dan pedang keadilan di tangannya; ia duduk di sana, panik, Goddess of Liberty, bermimpi, bermimpi. Mata putihnya menatap kerumunan yang gelisah dan melintasi 'sang pembunuh manusiawi' ke jarak yang tak terlihat mata manusia. Ia tak melihat manusia sama sekali, baik hidup maupun mati mereka—dewi yang tak dapat dipahami dan dicintai selamanya, dengan mata batu yang bermimpi. Ia tak mendengar suara orang-orang yang memohon padanya; ia tak memperhatikan karangan bunga yang diletakkan di atas lututnya yang berbatu; ia tak menyaksikan darah yang membasahi bumi di bawah tubuhnya. Cita-cita abadi, alien di antara manusia, ia duduk diam menatap kehampaan yang jauh, merenungkan tujuannya yang tak tampak. Ia tak bertanya atau ingin tahu, perbuatan apa yang telah dilakukan, atas namanya.

Lalu, terjadilah kegemparan di antara kerumunan, dan hening tiba-tiba. Keheningan ini, dipecahkan oleh pekikan biadab Rue Saint-Honoré. Satu skuadron kavaleri masuk Place, diikuti oleh tumbril, tempat duduk seorang wanita terikat, yang pernah menjadi Ratu Prancis; di belakangnya, berdiri Sanson, sang algojo. Maka, masih di alun-alun besar itu, derap kuda dan kisi-kisi roda, terdengar jelas. Ribuan penonton, dengan sedemikian ngeri, memandang korban yang pucat, yang nampak mengabaikan kehadiran mereka. Ia semata menunggu ujian terakhir. Dalam beberapa menit, kematian 'kan menjelang, diikuti oleh keabadian.

Sang tumbril berhenti di samping aram-aram. Tanpa bantuan, 'dengan suasana yang lebih tenang dibanding saat meninggalkan penjara,' sang Ratu menaiki tangga kayu, menapakinya dengan ringan dengan sepatu satin hitam bertumit tinggi, seolah itulah tangga marmer di Versailles. Satu tatapan terakhir, ke atas, di atas kepala para penonton! Adakah ia, melalui kabut musim gugur, melihat Tuileries, dimana ia telah bermukim hampir tiga tahun dan telah mengalami penderitaan yang sangat menakutkan? Adakah ia, selama menit terakhir hidupnya, mengingat hari ketika kerumunan yang mirip dengan yang sekarang berkumpul, hanya berbeda dalam sikap dan pikiran, telah, di taman-taman Tuileries, menyatakan dirinya sebagai penerus takhta? Siapa yang tahu? Tiada yang pernah mempelajari pikiran akhir kematian. Puncak telah tiba, sang algojo dan asistennya, menangkap punggungnya, mendorongnya ke posisinya, berlutut, dengan tenggorokan di bagian bawah ronde; papan atas disesuaikan dengan bagian belakang lehernya; mereka menarik talinya; kilasan pisau yang jatuh; bunyi tumpul; dan, di dekat rambutnya, Sanson memungut kepala yang berdarah dan mengangkatnya tinggi-tinggi guna disoraki orang banyak. Mereka yang telah menahan napas selama setengah menit terakhir, sekarang berteriak 'Hidup Republik!' Kemudian para penonton buru-buru berhamburan. 'Parbleu, ini sudah pukul dua belas lewat seperempat, lebih dari waktu bagi déjeuner; kita harus cepat pulang.' Tak perlu kemana-mana! Esok, hari demi hari, selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan, mereka yang menyukai panorama dan aroma darah, 'kan dapat berkumpul di Place de la Révolution, dan menyaksikan tragedi yang sama, berulang, ribuan kali lipat.'

Monsieur de France terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca, dan setelah menyeka matanya, ia berkata, 'Sang algojo mendorong jasad itu, dengan kereta kecil, kepala sang Ratu disorongkan di antara kaki. Beberapa polisi tersisa menjaga pengaram. Tiada yang mempersoalkan, darah yang perlahan meresap ke tanah.
Selain sang gendarmes, satu-satunya penonton yang tersisa di Place de la Révolution itu, Dewi Liberty, diam terpaku, galau, menatap seperti sebelumnya, ke cakrawala, menuju tujuannya yang tak menampak. Tentang kejadian pagi itu di alun-alun, ia tak menyimak dan tak mendengar apapun. Roman tak berias, mengabaikan kebiadaban dan kebodohan umat manusia, ia merenungkan cakrawala abadi. Ia tak tahu, atau tak ingin tahu, perbuatan yang dilakukan atas namanya. Pemakaman Madeleine, menjadi saksi bisu jasad Marie Antoinette, yang pernah menjadi Ratu Prancis.'"

Rembulan menghela nafas, berkata, "Sungguh, setelah Revolusi pecah, sang Tiran tak bisa lepas dari sang Guillotine. Namun di balik Revolusi itu, banyak para pengecut, alias antek-antek sang Tiran, bersembunyi, dan kemudian, saat keadaan aman, mereka menciptakan makhluk saingan bagi sang Guillotine, Oligarki, sebuah keniscayaan, yang tak dapat disangkal oleh Demokrasi. Kelak, bila ada Revolusi berikutnya, saat dibawa ke hadapan pengadilan, akankah mereka berkilah, dengan mengutip kata-kata terakhir Marie Antoinette, yang dicatat sebagai, 'Pardonnez-moi, monsieur. Je ne l'ai pas fait exprès' atau 'Maafkan Tuan. Aku tak sengaja melakukannya,' setelah tanpa terencana, menginjak sepatu algojonya? Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Stefan Zweig, Marie Antoinette—The Portrait of an Average Woman, Cassel nd Company, Ltd.
- John Wilson Croker, The History of the Guillotine, John Murray

Rabu, 20 April 2022

Hak Kaum Wanita dalam Perspektif Islam (2)

"'Pemenang hadiah Nobel, Dr. Alexis Carrel, telah menggambarkan perbedaan biologis antara kaum pria dan wanita dalam bukunya "Man, the Unknown." Sang Syekh melanjutkan, 'Ia menyimpulkan dengan analisis berikut,
'Perbedaan yang ada di antara pria dan wanita, tak berasal dari bentuk khusus organ seksual, keberadaan rahim, dari kehamilan, atau dari cara pendidikan. Semuanya semata impregnasi yang lebih mendasar dari seluruh organisme dengan zat kimia tertentu, yang disekresikan ovarium. Ketidaktahuan akan fakta-fakta mendasar ini, telah membuat para penganjur Feminisme, meyakini bahwa kedua jenis kelamin, harus punya pendidikan yang sama, kekuatan yang sama, dan tanggungjawab yang sama. Pada kenyataannya, wanita sangat berbeda dengan pria. Setiap sel tubuhnya, memiliki tanda jenis kelaminnya. Hal yang sama, berlaku bagi organ-organnya dan, di atas segalanya, sistem sarafnya. Hukum fisiologis sama tak terelakkannya dengan hukum dunia sampingan. Semua itu, tak dapat digantikan oleh keinginan manusia. Kita wajib menerima mereka apa adanya. Kaum Wanita harus mengembangkan bakatnya sesuai dengan kodratnya sendiri, tanpa berusaha meniru kaum Lelaki. Peran mereka dalam kemajuan peradaban, lebih tinggi dibanding kaum Lelaki. Mereka tak boleh meninggalkan fungsi spesifik mereka.'
Perbedaan biologis utama antara kaum Pria dan Wanita, bermakna bahwa kedua jenis kelamin, tak saling menduplikasi, dimana masing-masing berjuang memenuhi peran yang sama dan berperilaku dengan cara yang sama. Sebaliknya, mereka saling melengkapi, masing-masing melatih kekuatan spesifiknya, dan menutupi kelemahan pasangan mereka. Kaum Feminis di berbagai negara Islam, telah menuntut agar kaum Perempuan terwakili secara penuh, sesuai dengan persentase penduduknya di segala bidang, seperti bidang Politik dan Peradilan. Kelompok-kelompok lain, juga menuntut, bukan cuma kesetaraan, namun seringkali superioritas berdasarkan Ras, Bahasa atau Prasangka-kedaerahan. Seruan demi 'diskriminasi positif' seperti ini, telah menjadi tempat berkembang-biaknya Kebencian dan Perpecahan di dalam umat Islam, dan tak memiliki tujuan yang nyata. Al-Qur'an berbicara tentang kaum Lelekai dan Perempuan, yang datang bersama, menjadi pakaian bersama, dan diikat bersama, oleh cinta dan kasih-sayang.
Kebencian terhadap kaum Lelaki yang diwartakan oleh banyak kaum Feminis, sama sekali asing dengan ajaran Islam. Bukannya saling bersaing, Islam mengajarkan gotong royong demi membentuk masyarakat yang harmonis dan adil, yang landasannya, kehidupan keluarga yang stabil.
Sekarang, mari kita perbincang tentang beberapa masalah dimana kaum Pria dan kaum Wanita, dipandang, diperlakukan tak setara, yang menuai banyak tanya dan kritikan.

Pertama, tentang Hijab. Muslim dan Muslimah, seyogyanya memenuhi persyaratan yang sangat berbeda tentang 'Satr' (Bahasa Arab: ستر, bagian tubuh yang intim, yang hendaknya ditutupi). Ayat berikut berkaitan dengan pelaksanaan 'Satr' bagi wanita di dalam rumah, dimana semata anggota keluarga dekat pria dan wanita, dapat berbaur dengan bebas,
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
'Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke seluruh Juyubihinna (yaitu, tubuh, wajah, leher, dan dadanya) dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang beriman, agar kamu beruntung.' [QS. An-Nur (24):312]
Dengan demikian, kaum Wanita dapat memperlihatkan objek kecantikan mereka, seperti make-up dan perhiasan kepada wanita suci lainnya dan para pria yang tercantum dalam Ayat tersebut saja. Di depan orang lain, para istri Nabi dan seluruh wanita Muslim, diperintahkan agar memenuhi persyaratan Hijab dengan mengenakan Jilbab, yaitu pakaian luar yang panjang, yang menutupi seluruh tubuh,
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
'Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' (yaitu, menyekat-diri mereka sepenuhnya kecuali mata, atau satu mata, guna melihat jalan). Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.' [QS. Al-Ahzab (33):59]
Islam tak memperkenankan percampuran bebas antara pria dan wanita, selain keluarga dekat, dan pencampuran gaya Barat, walaupun dengan mengenakan hijab, tak diperbolehkan, seperti yang terlihat di tempat-tempat pendidikan dan pekerjaan. Al-Qur'an menyampaikan kepada orang-orang yang beriman pada zaman Rasulullah (ﷺ),
وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ
'... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi qalbumu dan qalbu mereka. ....' [QS. Al-Ahzab (33):53]
Istri-istri Nabi itu, model bagi semua wanita dan dianggap sebagai Ibu dari seluruh orang beriman. Jika mereka hanya bisa disapa dari balik tirai guna menghindari godaan atau ketidakwajaran, tirai seperti apakah yang diperlukan bagi wanita biasa, yang bisa menjadi sumber godaan, yang jauh lebih besar? Jelas pula, sejak zaman Rasulullah (ﷺ), bahwa para sahabat tak memperlakukan Ayat ini cuma merujuk pada, para istri Nabi, melainkan juga, diterapkan pada wanita-wanita mereka, dengan persetujuan penuh dari Rasulullah (ﷺ). Dalil yang diberikan dalam ayat tersebut, terhadap tirai semacam itu, ialah "lebih suci bagi qalbumu dan qalbu mereka,' dan dalam ayat lain,
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
'Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya (dari melihat hal-hal terlarang), memelihara kemaluannya (dari tindakan seksual ilegal). yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' [QS. An-Nur (24):30]
Islam berkeinginan membangun masyarakat yang bersih, dimana tiada ruang, sekalipun itu, cuma perzinahan-mata. Campur-baur, laki-laki dan perempuan, tak diperbolehkan, dianjurkan menikah di usia muda agar dapat memenuhi keinginannya secara halal, dan semua diperintahkan "menurunkan pandangan" di depan umum, agar mata tak digunakan sebagai alat setan. Dengan berhijab, harkat dan martabat wanita terjaga. Pakaiannya memperjelas bahwa ia bukan objek obralan, mengiklankan kecantikan dan keberadaannya bagi mata Pria Hidung-belang dan Siutan-s'rigala. Kita perlu mencermati masyarakat amoral di sekitar kita saat ini, dimana jenis-kelamin berbaur dengan mengenakan pakaian tak pantas, dan perzinahan disukai bila dilakukan setelah menikah. Sebelum menikah, individu didorong agar menjajal pasangan yang berbeda, dan terjadilah ketidaksetiaan, kesengsaraan, kecemburuan dan ketidakamanan, sebagai hasil dari gaya hidup seperti itu. Kaum Muslimin mungkin merasa aman dan tenteram dalam moral dan aturan berpakaian Islami, namun mereka seringkali, banyak menjiplak orang-orang tak beriman, demi kepuasan diri sendiri.

Selanjutnya, tentang Poligini. Seorang Lelaki, diperbolehkan memiliki, maksimal, empat istri, dengan syarat, ia memperlakukan mereka dengan Setara dan Adil. Jika ia tak mampu menopang lebih dari satu istri atau takut bahwa ia tak bisa berbuat Adil di antara mereka, ia seyogyanya, tetap ber-Monogini. Tujuan utama di balik Poligini ini, agar menyediakan kebutuhan bagi para Janda-perang dan Anak-yatim. Jumlah kaum Lelaki, usai masa perang, dalam masyarakat manapun, pasti berkurang, maka Poligami, menyediakan satu-satunya solusi, yang layak bagi para Janda dan anak-yatim, yang sudah tak punya siapa-siapa. Dalam keadaan seperti ini, kaum Wanita, akan menempuh, salah satu dari dua kemungkinan, kehidupan gaya-monastik—cara hidup yang religius, terisolasi dari orang lain, dan disiplin diri—yang tak wajar, atau, bisa jadi, kehidupan yang tak bermoral dan bergelimang-dosa.
Islam secara tegas, melarang pula hubungan seksual di luar-nikah, dan, dalam kasus dimana seorang Lelaki menginginkan lebih dari satu partner, sekali lagi, Poligini, merupakan satu-satunya solusi yang memadai, dan masih dapat dibenarkan.
Praktek yang menyebar luas di masa-kini, kaum Lelaki, yang punya istri-istri dan sekaligus punya—maaf—gundik-gundik, merendahkan seluruh wanita yang tersangkut didalamnya, dan merupakan ketidakjujuran, serta menyebabkan kesengsaraan yang tak kunjung usai. Dengan menikah lebih dari sekali, maka, di satu sisi, wanita-wanita dan anak-anak yang terlibat, terlegitimasi, di sisi lain, sang Lelaki, diharuskan bertanggungjawab penuh atas seluruh jalinan, yang ia jalani.

Mengenai persaksian dari kaum Wanita, Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa kesaksian dua orang wanita, sejajar dengan kesaksian seorang pria, memberikan dalil bahwa, jika yang satu lupa, yang lain dapat mengingatkannya,
وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ
'... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tiada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. ....' [QS. Al-Baqarah (2):282]
Bersaksi di pengadilan, dapat menjadi pengalaman yang menakutkan, terutama karena sistem peradilan sebagian besar terdiri dari kaum Lelaki, sehingga kaum Perempuan dapat saling memberikan dukungan moral, dan juga, pengingat. Tanggungjawab ini, sangat kritis dan memberatkan, yang telah diringankan bagi kaum Perempuan.
Ada empat situasi dimana kesaksian diperlukan, pertama, Kejahatan yang berkaitan dengan ordonansi pidana dan qisas. Jika Lelaki dan Perempuan, keduanya ada, Lelakilah yang akan dipanggil bersaksi dan perempuan takkan dipanggil. Kedua, dalam urusan ekonomi, yang berkaitan dengan kekayaan dan harta-benda, yang umumnya menjadi domain laki-laki, diterima bukti dua orang lelaki. Andai kedua lelaki tersebut, tak ada, maka satu lelaki dan dua wanita, akan diterima. Ketiga, dalam urusan yang menyangkut, hanya wanita, semisal kehamilan, kelahiran, cacat seksual, maka cukup dengan kesaksian seorang wanita, sudah dapat diterima. Keempat, dalam kasus pidana, dimana hanya wanita yang menjadi saksi, Empat Imam Mazhab sepakat tak menerima kesaksian perempuan. Mereka beralasan bahwa dalam kasus-kasus seperti pembunuhan dan pemerkosaan, para wanita akan emosional dan mungkin, bimbang. Bukti-buktinya bakal menimbulkan syak-wasangka, dan prinsip Syariah menyebutkan bahwa kecurigaan apapun terhadap sebuah bukti, menjadikan bukti tersebut, batal demi hukum. Dalam konteks ini, mazhab Zahiri lebih kredibel.
Dinyatakan bahwa jika, hanya perempuan yang menjadi saksi dalam perkara pidana, kesaksian mereka dapat diterima, menurut prinsip pembuktian dua perempuan sama dengan satu laki-laki. Maka, dalam kasus perzinahan, kesaksian empat lelaki atau delapan perempuan, akan diterima. Mereka berpendapat bahwa menolak kesaksian kaum perempuan sepenuhnya dalam kasus-kasus seperti itu, akan memungkinkan banyak kejahatan tak terhukumkan.
Terdapat fakta ilmiah yang mapan, bahwa kaum wanita, tak dapat menjelaskan detail yang erat kaitannya dengan sebuah peristiwa, dibanding akurasi yang mampu dilakukan kaum pria. Fakta ini, telah dikonfirmasi oleh banyak penelitian, seperti penelitian Dr. Harding dalam bukunya 'The Way of All Women'.

Menurut sebuah hadits, Rasulullah (ﷺ) menggambarkan kaum wanita sebagai 'nuqsan' dalam hal berakal dan praktik keagamaan—ini cuma kekuranglengkapan di satu sisi dan bukan bermaksud merendahkan, sebab masih ada sisi lain dimana kaum wanita lebih baik dari kaum pria—perlu diperjelas, bahwa Abu Sa'id al-Khudri meriwayatkan:
 
Rasulullah (ﷺ), bersabda, 'Duhai para wanita! Bersedekahlah, sebab aku telah melihatmu sebagai mayoritas manusia di Neraka.' Mereka berkata, 'Mengapa demikian, ya Rasulullah?' Rasulullah (ﷺ) bersabda,
تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
'Engkau sering melaknat orang lain dan engkau tak mensyukuri penghidupanmu. Belum pernah aku melihat, manusia yang merosot akal dan agamanya, namun mampu menghilangkan keteguhan lelaki yang teguh, melebihi kalian, duhai para wanita.'
Mereka berkata, 'Apa maksud 'naqisat aql' kami itu?' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Bukankah kesaksian seorang wanita, semisal setengah dari seorang lelaki?' Mereka berkata, 'Tentu saja.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Itulah kemerosotan akalmu. Bukankah saat engkau haid, engkau tak shalat dan tak berpuasa?' Mereka berkata, 'Tentu saja.' Rasulullah (ﷺ) bersabda,
فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
'Maka, inilah dari 'nuqsan dien'-mu.' [Shahih al-Bukhari]
Kemerosotan (nuqsan) dalam hal berakal dan  beragama, berkaitan dengan kewajiban hukum seorang perempuan. Bukan pernyataan ontologis bahwa kaum perempuan selalu kurang cerdas atau religius dibandingkan kaum lelaki. Sebagai terapan dalam agama, kaum wanita tak diwajibkan shalat atau berpuasa, semasa menstruasi atau mengalami pendarahan pasca-melahirkan. Bila diterapkan sebagai akal-sehat, perempuan tak diwajibkan melakukan beberapa fungsi, seperti bersaksi di depan hakim dalam kasus pidana. Beberapa penulis telah keliru menerjemahkan nuqsan dengan menggunakan istilah-istilah yang memburukkan, seperti 'kurang cerdas', atau 'kurang akal'. Terjemahan ini, kurang pantas.
Nuqsan bagi kaum perempuan, merupakan manifestasi dari kelonggaran Islam terhadap kaum perempuan, dengan tak membebani mereka dengan kewajiban yang sama dengan kaum lelaki, sementara mereka, punya tugas dan perhatian khusus sendiri.
Dalam hal kesaksian, kaum Wanita di masa awal Islam, tak biasa melibatkan diri dalam kontrak bisnis, hutang, dan hal-hal lain. Mereka biasanya melakukan pekerjaan penting lainnya, merawat anak-anak dan orangtua mereka, yang telah lanjut usia, dan sebagainya. Akibatnya, ayat tersebut diturunkan guna mengurangi kewajiban seorang wanita, bersaksi dalam hal-hal seperti itu.
Ibn al-Qayyim menulis, 'Wanita itu, setara dengan pria dalam kebenaran, kejujuran, dan ketakwaan; jika tidak, bila ditakutkan akan lupa atau salah ingat, ia dikuatkan dengan orang lain seperti dirinya. Hal itu membuatnya, lebih kuat dibanding seorang pria lajang atau orang-orang sepertinya. Tiada keraguan bahwa manfaat keraguan yang diberikan pada kesaksian Ummu Darda dan Ummu Atiyyah, lebih kuat daripada manfaat keraguan yang diberikan kepada seorang pria, tanpa mereka atau orang-orang seperti mereka.'
Ibn Hajar menulis, 'Dibolehkan berkonsultasi dengan wanita yang berjasa, dan keutamaan Ummu Salamah dan kecerdasannya yang melimpah, sedemikian rupa sehingga Imam al-Haramayn berkata, 'Kami tak mengetahui seorang wanita yang mengungkapkan pendapat dan kebenarannya, sebanyak Ummu Salamah.'
Singkatnya, 'nuqsan' akal wanita itu, oleh pengurangan tanggung jawab hukumnya terkait dengan hal tersebut, bukan pada kecerdasan bawaannya. Banyak bukti lain yang menunjukkan bahwa perempuan mampu, sepadan cerdasnya dengan laki-laki dan, oleh karena itu, mereka hendaknya diajak berkonsultasi, dan perspektif mereka, dihormati.

Tentang Warisan, seorang anak perempuan menerima setengah bagian dari warisan dibandingkan dengan anak laki-laki, sesuai dengan perintah Al-Qur'an berikut,
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ
'Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. ....' [QS. An-Nisa' (4):11]
Jika sang anak perempuan tak memiliki saudara lelaki dan hanya perempuan yang menjadi ahli waris, maka prinsip ini, tak berlaku. Hukum memberi seorang wanita setengah bagian dari seorang pria, kesan awalnya, tampak tak berimbang, namun sebenarnya, kedermawanan bagi kaum wanita. Hal ini didasarkan pada prinsip Syariah 'Manfaat disesuaikan dengan skala tanggung jawab.'
Sebagai ilustrasi, seorang saudara laki-laki akan mewarisi dua kali lipat jumlah yang diwarisi saudara perempuannya. Apa yang saudara perempuan tersebut, terima sebagai warisan, akan disimpan sebagai miliknya, dan ia tak wajib membelanjakannya bagi siapapun, bahkan suaminya, kendatipun, mungkin, ia hidup dalam kemiskinan. Sedangkan saudara laki-lakinya, bertanggung jawab memelihara keluarganya, termasuk saudara perempuannya yang belum menikah, orangtua yang masih hidup, istri dan anak-anak. Pada saat pernikahannya, ia diharuskan membayar biaya pengantin kepada istrinya, serta menafkahinya, sepanjang masa pernikahan mereka. Maka, bila pada awalnya, ia menerima warisan lebih banyak di banding saudara perempuannya, saat kalkulasi akhir, sangat mungkin, ia nombok.
Sebaliknya, bagi saudara perempuannya, akan menerima uang pengantin dan akan dirawat oleh suaminya. Setiap penghasilan yang ia punyai, dan bagian warisannya, miliknya, secara eksklusif, yang tak dapat diganggu-gugat oleh keluarganya, atau siapapun.
Tampaknya, hikmah yang sama, ada di balik upacara 'Aqiqah, ketika dua ekor domba diqurbankan saat kelahiran anak laki-laki, dan satu ekor domba saat kelahiran anak perempuan. Asas manfaat menurut tanggung jawab ini, diterapkan luas dalam Islam. Misalnya, setelah peperangan, Rasulullah (ﷺ) akan membagikan rampasan-perang, dengan prinsip yang sama, dengan memberikan dua bagian untuk kavaleri dan satu bagian untuk infanteri.

Menurut prinsip 'Manfaat disesuaikan dengan skala tanggung jawab', Diyat atau uang-darah—kompensasi finansial yang dibayarkan kepada korban atau ahli-waris korban dalam kasus pembunuhan, kerusakan tubuh atau kerusakan harta benda. Hanya berlaku jika keluarga korban ingin berkompromi dengan pihak yang bersalah; bila tidak, qisas (pembalasan yang sama) berlaku—bagi perempuan, setengah dari laki-laki. Perlu diingat bahwa, Diyat bukanlah harga bagi nyawa orang yang terbunuh, sebab nyawa tak ternilai harganya. Ini bukan kompensasi kecil demi penderitaan keuangan keluarga almarhum. Laki-laki biasanya, pencari nafkah dan pemelihara keluarga mereka, sehingga penderitaan finansial lebih besar kala seorang lelaki dibunuh, namun bila korban pembunuhan tersebut, seorang wanita yang merupakan satu-satunya tulang-punggung keluarga, maka Qadi (hakim), berwenang memperbesar jumlah Diyatnya.
Sebuah preseden penambahan tersebut ditemukan dalam Al-Qur'an, dimana memungkinkan Qadi, menggandakan Diyat dari orang yang dibunuh di daerah al-Haram, Mekah dan Al-Madinah. Latarbelakang Kearifannya, bahwa sama seperti amal-shalih, akan lebih dihargai jika dilakukan di dalam al-Haram, demikian pula hukuman atas kejahatan atau dosa, di dalam Al-Haram, bertambah pula.

Tentang Perceraian. Kaum Lelaki, berhak menjatuhkan Talaq. Allah berfirman,
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
'Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.' [QS. Al-Baqarah (2):237]
Bila disimak sepintas, kesan awalnya, tampak tak adil, namun Allah telah memberikan perintah berdasarkan temperamen Pria dan Wanita, yang berbeda. Wanita lebih dikendalikan oleh emosinya dibanding nalar, dan ini jelas, merupakan aset dalam rumah-tangga. Sifatnya yang lembut dan kemampuannya, mengorbankan kenyamanannya sendiri demi anaknya, membuatnya menjadi orangtua yang lebih baik dibanding pria. Dalam situasi konflik perkawinan, sifat emosionalnya, akan lebih cenderung membesar-besarkan keseriusan konflik, dan dengan demikian, memicu perceraian. Lelaki akan lebih cenderung memikirkan situasiberpikir dengan tenang, sebelum melontarkan penilaiannya.
Tak satu pun dari karakteristik ini, lebih rendah atau lebih unggul dari yang lain; keduanya saling melengkapi dan sangat sesuai dengan peran yang harus dimainkan oleh keduanya. Agar mengurangi tindakan gegabah suami, Al-Qur'an dan Sunnah, telah membuat ketentuan terhadap kasus-kasus ketika kaum Lelaki, mengucapkan talak, tetapi kemudian, menyesalinya. Perceraian tak pernah mengikat dengan seketika, melainkan ada periode tiga bulan lunar ('Iddah atau masa tunggu wanita), dimana sang suami dapat mengendors perceraian, atau mencabutnya dan berdamai.
Perlu dicamkan, seperti yang diyakini secara luas, bahwa seorang wanita tak berdaya dalam masalah perceraian, kendatipun ia tak boleh mengucapkan talak seperti kaum lelaki, karena latarbelakang temperamennya, ia bisa memperolehnya, melalui Qadi atau arbiter. Proses ini disebut khul', dan sang wanita menggugat cerai sebagai pengganti kembalian uang pengantinnya atau hadiah lainnya kepada suami.
Di dunia Barat saat ini, tingginya angka perceraian, secara luas dikaitkan, antara lain, dengan kemandirian finansial kaum wanita dan kemudahannya memperoleh perceraian karena alasan yang bukan-bukan. Etos Islam mendorong pria dan wanita, agar menyelamatkan pernikahan mereka, demi anak-anak, dan demi menegakkan institusi keluarga.

Dan terakhir, tentang kaum Wanita dalam posisi otoritas, seperti para Pemimpin, Menteri, Duta Besar dan Anggota Legislatif. Perempuan boleh menjadi penguasa dan pemimpin dalam posisi apapun, yang sesuai dengan kualifikasinya, meskipun beberapa posisi khusus diperuntukkan bagi kaum Lelaki, seperti posisi Imam Shalat dan Panglima Tinggi angkatan bersenjata. Ada anggapan yang keliru oleh sebagian orang bahwa perempuan tak punya kewenangan dalam Islam, sebab laki-laki telah diberi tanggung jawab memimpin, membela, dan memelihara kehidupan perempuan, istri dan anak-anaknya.
'Kelebihan' laki-laki atas perempuan mengacu pada kekuatan fisik laki-laki, yang rata-rata, jauh lebih besar daripada perempuan, dan yang memungkinkan laki-laki melakukan pekerjaan fisik yang berat dan tugas-tugas militer dengan lebih baik. Sebagai imbalannya, wanita harus mematuhi suami mereka jika mereka memenuhi tugas mereka, yang menafkahi dan melindungi mereka. Perbedaan fisiologis antara pria dan wanita, dalam hal ini, tak dapat diabaikan, karena bahkan saat ini, liga olahraga profesional, memisahkan antara pria dan wanita, dan pekerjaan seperti pekerjaan konstruksi dan tugas tempur garis depan, hampir seluruhnya dilakukan oleh kaum pria.
Meskipun ada banyak pengecualian untuk pengamatan umum ini, karena beberapa wanita bisa jauh lebih kuat secara fisik dibanding pria, akan benar secara keseluruhan dan aturan dirumuskan berdasarkan sebagian besar kasus, dan bukan pengecualian.
Dalam masyarakat dahulu, sebagaian besar wanita, tak memenuhi syarat untuk memimpin militer, karena mereka umumnya tak punya kekuatan fisik yang dibutuhkan agar berhasil. Dalam konteks inilah, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
'Takkan berhasil suatu kaum, yang diperintah oleh seorang wanita.' [Shahih Al-Bukhari]
Pastilah ada pemimpin militer wanita yang sukses, tetapi sekali lagi, mereka itu, pengecualian. Bahwa kaum lelaki punya tingkat otoritas dan tanggung jawab, bukan berarti, dalam hal ini, kaum perempuan tak boleh bersuara. Bagian dari tatakrama Islam itu, bagi seorang suami, berkonsultasi dengan istrinya, atau bagi kaum Lelaki, berkonsultasi dengan kaum Wanita tentang masalah-masalah terkait, guna memperoleh manfaat dari perspektif unik mereka. Seorang wanita, boleh berselisih paham dengan suaminya atau pemimpin lelaki, selama kedua belah pihak, saling menghormati dalam tatakrama yang baik. Kaum Lelaki, sebaliknya, hendaknya berbesar-hati menerima bahwa mereka keliru, bila seorang wanita, menunjukkannya.
Tujuan dari aturan klasik, karenanya, agar memfasilitasi kaum lelaki dan perempuan, melakukan peran gender yang saling melengkapi, dan fleksibel sampai batas tertentu. Karena laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan fisiologis alami, peran gender yang lazim dan kondusif bagi masyarakat yang berfungsi. Namun, lantaran selalu ada pengecualian bagi pengamatan umum, maka diperlukan ukuran kemampuan beradaptasi terhadap perubahan kebiasaan dan keadaan; ada beberapa kasus potensial ketika seorang wanita, sangat memenuhi syarat melakukan apa yang biasanya dilakukan pria, di ruang dan waktu yang berbeda.

Rembulan menutup dengan menambahkan, "Tujuan akhir dari kaum Adam dan kaum Hawa itu, agar memenangkan keridhaan Allah dan nikmat-Nya yang tak terhitung jumlahnya kelak di Akhirat. Jika seorang Lelaki dapat mencapainya melalui Jihad, mematuhi perintah-perintah Ilahi dan terus-menerus berjuang melawan kekuatan Setan, maka bagi seorang Wanita, akan ada jalan yang lebih singkat, terbentang baginya, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah (ﷺ), 'Apabila seorang wanita, sholat secara teratur lima kali sehari, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, akan dikatakan padanya, 'Masuklah ke surga dari pintu mana saja, yang engkau inginkan.' Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Abdul Ghaffar Hasan, The Rights and Duties of Women in Islam, Darussalam.
- Abu Amina Elias, Can Women be Leaders in Islam?, abueminaelias.com

Selasa, 19 April 2022

Hak Kaum Wanita dalam Perspektif Islam (1)

"Sang Syekh berkata, 'Umat Islam sepakat bahwa tujuan utama di balik penciptaan Jin dan Manusia, bahwa mereka hendaknya menyembah Allah, berjuang melawan kekuatan para Setan, dan menjalani hidup sesuai Perintah Allah, guna mencapai kebahagiaan abadi di Surga. Oleh karena itu, dalam perspektif spiritual ini, Islam tak membedakan antara kaum Lelaki dan kaum Wanita. Keduanya punya nyawa, keduanya dicipta dengan tujuan hidup yang sama, keduanya bertugas memenuhi kewajiban agamanya, keduanya akan bertanggungjawab dihadapan Yang Mahakuasa, dan keduanya akan beroleh pahala atau adzab, sesuai perbuatan masing-masing. Setiap kali Al-Qur'an menyebutkan makhluk-makhluk beruntung ini, yang akan memasuki Taman Kebahagiaan, yang oleh—atas rahmat Allah—ketakwaan dan amal-shalih mereka, ia akan merujuk secara bersama-sama, Laki-laki dan Perempuan.'" Rembulan memulai pembicaraannya, setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Lalu, sang Syekh melanjutkan, 'Allah berfirman,
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
'Dan orang-orang yang beriman, Laki-laki dan Perempuan, sebagian mereka menjadi Auliya' (penolong, pendukung, teman, pelindung) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) Al-Ma'rüf (yakni Tauhid dan segala yang diperintahkan Islam agar ditunaikan), dan mencegah dari Al-Munkar (yaitu segala bentuk kemusyrikan dan ketidakberimanan, dan segala larangan dalam Islam); melaksanakan Shalat dengan sempurna (Iqimatus-shalah), menunaikan Zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.' [QS. At-Taubah (9):71]
Dan Dia, Subhanahu wa Ta'ala, juga berfirman,
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا
'Dan barangsiapa mengerjakan Kebajikan, baik Laki-laki maupun Perempuan, sedang ia beriman, maka mereka itu, akan masuk ke dalam Surga, dan mereka tak dizhalimi sedikitpun, walau setitik Naqira (bintik dibelakang batu-kurma).' [QS. An-Nisa' (4):124]
Dengan demikian, tiada keraguan bahwa kelak di Akhirat, Laki-laki dan Perempuan akan menjalani peradilan, masing-masing menanggung beban perbuatannya, setiap jiwa akan dihukum karena pelanggarannya dan masing-masing akan diberi pahala karena ketaatannya kepada Allah.

Seseorang mungkin bertanya, bahwa jika ada kesetaraan spiritual yang lengkap dan komprehensif antara kedua gender tersebut, mengapa perlakuan yang identik ini, tak ditemukan dalam hak, kewajiban, dan hak istimewa lainnya. Ada diantara Umat Islam, dan pula, khususnya non-Muslim, mempertanyakan mengapa kaum Lelaki boleh bekerja, sedangkan kaum Perempuan, dianjurkan tinggal di rumah, mengapa kaum Wanita diwajibkan berjilbab, mengapa saudara Lelaki menerima bagian warisan yang lebih besar dibanding saudari perempuannya, mengapa kaum Lelaki lebih diutamakan menjadi penguasa, namun kaum Wanita, tidak, dll, dan mereka kemudian menyimpulkan, bahwa Islam memperlakukan wanita sebagai makhluk inferior.
Hukum takkan pernah bisa didiskusikan tanpa dijelaskan terlebih dahulu, jadi pertama-tama, kita seyogyanya mempertimbangkan etos dasar Islam, bahwa Lelaki dan Perempuan itu, dua jenis-kelamin berbeda, namun saling melengkapi. Telah menjadi fakta medis bahwa Lelaki dan Perempuan, punya komposisi biologis dan temperamen, yang berbeda. Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan dan mengetahui perbedaan biologis ini, lebih baik dibanding kita, dan dengan demikian, telah menetapkan kepada kaum Lelaki dan Perempuan, peran yang, masing-masing unggul, berdasarkan Sifatnya. Tiada gender yang lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain; sebaliknya, mereka saling melengkapi, ibarat dua bagian yang tak terpisahkan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa masyarakat, terdiri dari berbagai jenis orang, yang semuanya memainkan peran istimewanya, agar menjaga keutuhan masyarakat itu sendiri. Petani dan dokter memberikan kontribusi yang berbeda kepada masyarakat, akan tetapi, keduanya, sama pentingnya. Masing-masing unggul di bidangnya, dan masing-masing memberikan layanan bagi yang lain. Demikian pula, Lelaki dan Perempuan, jenis-kelamin berbeda, dan memainkan peran penting dalam bidang keunggulan masing-masing.
Dalam perspektif Islam, Wanita memiliki maqam yang mulia, Kekasih kita (ﷺ), menunjukkan keteladanan saat berbicara dengan wanita, dengan pujian dan rasa-hormat. Beliau (ﷺ) juga bersabda, 'Maukah kalian aku beritahukan tentang harta terbaik yang bisa dimiliki seseorang? Wanita shalihah yang menyenangkannya ketika ia melihatnya, yang mematuhinya ketika ia memerintahkannya, dan yang menjaga dirinya, ketika ia tak ada disisinya.'
Dalam sebuah peristiwa yang masyhur, seorang lelaki menemui Rasulullah (ﷺ) dan bertanya, 'Siapakah orang yang paling berhak atasku, dalam hal kebaikan dan perhatian?' Beliau (ﷺ) menjawab, 'Ibumu!' tiga kali.
Al-Qur'an membahas pula, kehormatan dan rasa hormat yang sangat besar bagi kedua orangtua, dan terutama kepada ibu. Di zaman ketika ada kebiasaan lebih menghargai kelahiran anak laki-laki dan mengubur anak perempuan hidup-hidup oleh rasa-malu dan takut-miskin, Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Barangsiapa yang memelihara dua anak perempuan sampai mereka dewasa, ia dan aku, bakalan bersama-sama masuk surga bagai dua (jemari) ini.'
Di satu sisi, kaum Lelaki itu, jenis kelamin yang lebih kuat secara fisik, di sisi lain, riasan biologis kaum Wanita, telah menjadikannya unggul sebagai ibu rumah-tangga. Ia bisa hamil, menggendong, serta melahirkan anak, dan kemudian, menyusui bayinya. Temperamennya yang lembut, perhatian, dan rela berkorban, sangat sesuai untuk membesarkan anak-anak dan merawat rumah. Mengatakan bahwa ia kudu pula mencari nafkah, itu terlalu, ketidakadilan yang tak dapat diterima, dan menyiratkan bahwa semua yang ia lakukan demi rumah-tangga dan anak-anaknya, tak berharga, dan perlu dilengkapi dengan penutup luar. Seorang wanita, sepantasnya, telah berperan dalam masyarakat, peran besar dan mulia sebagai ibu dari para generasi baru, peran yang tak dapat digugat oleh Lelaki manapun. Oleh peran tertingginya sebagai ibu, ia berhak atas tiga kali lipat pengabdian yang diberikan kepada ayah, dari anak-anaknya. 
Peran Lelaki dan Perempuan dalam Al-Qur'an dibahas sebagai,
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ
'Laki-laki (suami) itu, pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih, ialah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tak ada, sebab Allah telah menjaga (mereka). ....' [QS. An-Nisa' (4):34]
Penjelasannya, begini, bahwa perintah Ilahi ini, menggambarkan kaum Lelaki sebagai Qawwam (pemelihara) dan perempuan sebagai Qanitah (taat) dan Hafizatun lil-Ghaib (penjaga rahasia). Ayat ini memberikan dua latarbelakang mengapa kaum Lelaki digambarkan sebagai Pemelihara. Pertama, karena 'Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),' yang maknanya, bahwa Dia, Subhanahu wa Ta'ala, telah melebihkan kaum Lelaki dalam hal kekuatan fisik dan lebih cenderung berkarir di luar rumah. Sejarah umat manusia, selalu menunjukkan bahwa kaum Lelaki, dari yang paling primitif hingga yang paling punya otak-teknologi-kekinian, telah mengambil peran dalam hal menyediakan makanan, memelihara hukum dan ketertiban dalam masyarakat, berperang melawan musuh, dan melakukan ekspedisi untuk mencari lahan yang baru, petualangan, makanan, dan bahkan harta karun. Kaum Wanita, lebih banyak tinggal di rumah guna menyediakan lingkungan yang stabil bagi anak-anak.
Latarbelakang kedua, bahwa 'mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.' Suatu kewajiban seorang Lelaki menafkahi keluarganya, dan laki-laki wajib pula memberikan mahar kepada istrinya, saat pernikahan mereka. Di istana rumahnya, suami itu, penguasa, dan istri itu, pilar-kuat yang mendukungnya. Seperti di tempat manapun, cuma ada satu penguasa; mobil dengan dua pengemudi, negeri dengan dua raja, atau tentara dengan dua jenderal, semuanya bakalan kacau dan kisruh. Dengan demikian, sang suami telah diberi tanggungjawab atas rumahnya, namun yang ini, bukan hak istimewa, melainkan sebuah tanggungjawab.
Perbedaan 'Peran' gender, bermakna bahwa takkan pernah ada satu jenis-kelamin, dibebankan segala pekerjaan, sementara yang lain, kongko-kongko menikmati segala hak-istimewanya. Sebaliknya, mereka berdua, masing-masing punya tugas dan hak istimewa. Dalam hal ini, Al-Qur'an menyebutkan,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ
' ... Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.' [QS. Al-Baqarah (2):228]
Sang Syekh, berhenti sejenak, lalu berkata, 'Sekarang, mari kita berbicara tentang beberapa masalah dimana Lelaki dan Perempuan diperlakukan sama, atau Wanita diperlakukan dengan lebih baik. Berikut ini, beberapa permasalahan, yang membawa sedikit, atau bahkan tiada kontroversi.

Di bidang Pendidikan, Kekasih kita (ﷺ) pernah bersabda, 'Menuntut ilmu itu, wajib bagi setiap Muslim.'
Riwayat ini, berlaku sama bagi Pria dan Wanita. 'Ilmu' dalam konteks ini, selain mengacu pada pengetahuan tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena tak seorang Muslim pun boleh mengabaikan Imannya, melainkan juga, mencakup bidang pendidikan umum lainnya, yang dapat berkontribusi pada kesejahteraan peradaban. Justru ketidaktahuan tentang agama di kalangan Umat Islamlah, yang telah menyebabkan kaum Pria menindas kaum Wanita, lantaran mereka meyakini, bahwa itu diperbolehkan, dan pula, kaum Wanita, tak menuntut hak-hak yang diberikan Allah, sebab mereka tak mengetahuinya, lantas, anak-anak, tumbuh mengabadikan kebodohan orangtua mereka. Sepanjang sejarah Islam, Pria dan Wanita mendapatkan penghormatan setara sebagai Ulama dan Guru. Kitab-kitab Rijal (Pewarta Hadits) memuat nama-nama banyak wanita terkemuka, dimulai dengan 'Aisyah dan Hafsah.  
Dalam hal beribadah, baik kaum Lelaki maupun Perempuan, merupakan hamba Allah, dan wajib beribadah dan menaati-Nya. Kaum Lelaki dan Perempuan, wajib shalat, puasa, bersedekah, berhaji, menahan-diri dari zina, menjauhi segala larangan, amar ma'ruf nahi munkar, dan sebagainya. Oleh peran perempuan sebagai ibu, peran yang tak berakhir pada waktu tertentu, melainkan karir sepanjang masa, mereka dikecualikan dari masjid untuk shalat lima waktu atau shalat Jum'at. Namun, jika mereka ingin menghadiri Masjid, tiada yang berhak melarang mereka.

Dalam peran Berderma, Laki-laki dan Perempuan sama-sama dianjurkan bersedekah, dan tiada yang dapat menghentikan seorang wanita, berderma dari penghasilan suaminya. 'Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Seorang wanita akan menerima pahala (dari Allah) kendatipun saat ia bersedekah, dari penghasilan suaminya. Suami dan bendahara (yang menyimpan uang atas nama suami) juga akan dapat pahala, tanpa mengurangi salah satu darinya."
Asma' pernah berkata kepada Nabiyullah (ﷺ), 'Ya Rasulullah, aku tak punya apa-apa kecuali apa yang dibawa pulang oleh Zubair (suaminya).' Rasulullah (ﷺ) menyampaikan padanya, 'Duhai Asma', bersedekahlah. Jangan menguncinya, agar mata-pencaharianmu, tak terkunci.'

Dan bagaimana dengan hak memiliki Harta-benda dan Kekayaan? Seorang Wanita berhak menyimpan harta atau kekayaannya, baik dari hasil jerih-payahnya maupun dari harta-warisan, dan membelanjakannya sesuka-hati. Hak ini, baru belakangan diberikan kepada kaum Perempuan di Barat, dan kaum Wanita India, harus menunggu sampai tahun 1956 agar mendapatkan hak yang sejak lama telah diperoleh oleh seorang Muslimah. Mengenai hak atas penghasilan seseorang, Al-Qur'an menyebutkan,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
'Dan janganlah kamu iri-hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki, ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun), ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Bermohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.' [QS. An-Nisa' (4):32]
Lalu, bagaimana pula dengan Kemerdekaan menyatakan Pendapat? Sangat jarang ada dalam masyarakat, dimana warga negara biasa, yang boleh langsung menghadapi seorang Penguasa dan menentang kebijakannya. Bahkan lebih sedikit masyarakat yang memperbolehkan kaum Perempuan bersikap sangat berani, namun, dalam aspirasi Islam, hal-hal tersebut, selalu terbuka dan mudah diakses. Kebebasan berekspresi ini, dengan tepat ditunjukkan oleh sebuah insiden yang melibatkan Amirul Mukminin, Khalifah 'Umar bin Khatab.
Khalifah 'Umar, pernah berdiri di Mimbar, menegur umat dengan keras dan memerintahkan mereka agar tak menetapkan Mahar yang berlebihan, jelang pernikahan. Seorang wanita, tegak berdiri dan berseru, "Umar! Engkau tak berhak turut-campur dalam urusan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an,
وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا
'Dan apabila kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, kendatipun kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka se-Qintar (mengacu pada sejumlah besar emas dan perak, yakni, Mahar yang sangat banyak bagi pengantin wanita), maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Akankah kamu mengambilnya kembali dengan cara tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?' [QS. An-Nisa' (4):20]
Setelah diingatkan tentang ayat ini, Sayyidina 'Umar menganulir perintahnya, seraya berkata, 'Aku keliru dan ia betul.'
Kemudian, bagaimana dengan kaum Perempuan yang berpartisipasi dalam Medan-perang, sebagai salah satu dari beberapa pengertian Jihad? Dikala kita berbicara tentang Medan-laga, ia menakutkan bagi banyak makhluk Maskulin yang berasal dari Mars, apalagi, bagi makhluk Feminin yang konon, berasal dari Venus. Oleh sebab sifat perang yang agresif dan penuh kekerasan, kaum Lelakilah yang lebih diutamakan wajib turut-serta dalam Jihad (ingat, ini dijalankan hanya karena Allah), sedangkan kaum Perempuan, dikecualikan. Seorang wanita pernah meminta Rasulullah (ﷺ) agar memperkenankan kaum Wanita berjihad bersama kaum Pria, karena keutamaan dan pahala Jihad, tak terbatas, yang dijanjikan kepada para Mujahidin kelak di Akhirat. Rasulullah (ﷺ) menjawab, 'Bagi mereka, Jihad tanpa Peperangan.'—yang mengacu pada Haji dan 'Umrah.
Namun demikian, Rasulullah (ﷺ) memperbolehkan kaum Wanita merawat yang terluka dan menyediakan perbekalan kepada Mujahidin di beberapa pertempuran. Seorang wanita dari suku Ghifar datang dengan sekelompok besar wanita menemui Rasulullah (ﷺ), saat beliau (ﷺ) bersiap-siap berangkat menuju penaklukan Khaibar. Ia berkata, 'Ya Rasulullah, kami ingin menyertaimu dalam perjalanan ini, sehingga kami dapat merawat yang terluka dan membantu kaum Muslimin.' Nabiyullah (ﷺ) menjawab, 'Mari, semoga Allah melimpahkan berkah-Nya atasmu!'
Ummu 'Atiyyah, seorang wanita Anshar, pernah berkata, 'Aku telah turut-serta dalam tujuh pertempuran dengan Rasulullah (ﷺ). Aku sering menjaga unta para Mujahidin saat mereka tak ada, memasak makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.'
Mu'adz bin Jabal melaporkan bahwa sepupunya, Asma' binti Yazid, membunuh sembilan tentara Romawi, dengan tiang tenda, semasa Perang Yarmuk.

Pemberian Jaminan seorang Wanita dalam Perang, dapat diterima. Jika seorang wanita memberikan jaminan kepada tawanan perang atau memberinya perlindungan, jaminannya akan diterima. Ummu Hani, sepupu Rasulullah (ﷺ), berkata kepada beliau (ﷺ) setelah Fathul Makkah, 'Aku telah memberi perlindungan kepada dua mertuaku.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Duhai Ummu Hani, kami telah memberikan perlindungan, kepada siapa engkau telah berikan perlindungan.'
Menurut riwayat lain, Ummu Hani memberi perlindungan kepada seseorang, namun sepupunya, 'Ali, berusaha membunuh orang tersebut. Ia mengadu kepada Rasulullah (ﷺ), yang kemudian mendukung tindakannya, memberikan perlindungan kepada orang tersebut.

Sebagai tambahan, masih ada bidang Jihad lain, dimana kaum Perempuan punya peran dan pahala yang setara dengan kaum Lelaki, yaitu dalam konsepsi 'Amar ma'ruf dan nahi munkar.'

Dalam hal memilih suami, wali sang anak-gadis, baik itu ayah, saudara laki-laki atau pamannya, memainkan peran penting dalam pernikahannya, semisal menemukan pasangan yang sesuai baginya. Namun, dalam keadaan apapun, bolehkah ia memaksanakan kehendaknya pada sang gadis, bila bertentangan dengan keinginannya? Tidak, sang gadis bebas menerima atau menolak pilihan tersebut, atau menentukan pilihannya sendiri. Seorang wanita bernama Khansa binti Khidam, pernah menemui Rasulullah (ﷺ) dan mengeluh, 'Ayahku, telah memaksaku menikahi sepupuku, agar statusnya terangkat (di mata orang lain).' Rasulullah (ﷺ) mengatakan padanya, bahwa ia bebas membatalkan pernikahannya, dan memilih siapapun yang ia inginkan untuk dinikahi. Ia menjawab, 'Aku menerima pilihan ayahku, namun tujuanku ini, untuk menyampaikan kepada kaum Wanita, bahwa para ayah tak berhak turut-campur dalam pernikahan.'

Ketika kita berbicara tentang Perceraian, itu sangat menyakitkan dan sulit, terlebih lagi bila pasangan itu, punya anak, dan memberikan hak asuh kepada salah satu pihak, terkadang, mengalami kesulitan. Menurut Hukum Barat, baik Ayah maupun Ibu, harus membuktikan kepada Pengadilan, bahwa mereka lebih mampu menjaga anak-anak, dan ini seringkali memunculkan saling-fitnah, agar memperkuat gugatan mereka, atas hak-asuh.
Hukum Islam punya keputusan yang jelas tentang masalah ini. Hak asuh anak laki-laki dan perempuan, jatuh ke tangan Ibu. Anak laki-laki menetap bersama ibunya, sampai ia berusia, sekitar tujuh atau sembilan tahun, setelah itu, ia dirawat oleh ayahnya. Anak perempuan, tinggal bersama ibunya sampai ia menikah. Pengecualian berlaku, bila sang Ibu, menikah lagi, dalam hal ini, hak asuh dapat diberikan kepada orang lain, seperti Nenek atau Bibi sang gadis. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah (ﷺ) kepada seseorang yang diceraikan, 'Hakmu atas hak-asuh anak, lebih besar, sepanjang engkau tak menikah lagi.'