Selasa, 19 April 2022

Hak Kaum Wanita dalam Perspektif Islam (1)

"Sang Syekh berkata, 'Umat Islam sepakat bahwa tujuan utama di balik penciptaan Jin dan Manusia, bahwa mereka hendaknya menyembah Allah, berjuang melawan kekuatan para Setan, dan menjalani hidup sesuai Perintah Allah, guna mencapai kebahagiaan abadi di Surga. Oleh karena itu, dalam perspektif spiritual ini, Islam tak membedakan antara kaum Lelaki dan kaum Wanita. Keduanya punya nyawa, keduanya dicipta dengan tujuan hidup yang sama, keduanya bertugas memenuhi kewajiban agamanya, keduanya akan bertanggungjawab dihadapan Yang Mahakuasa, dan keduanya akan beroleh pahala atau adzab, sesuai perbuatan masing-masing. Setiap kali Al-Qur'an menyebutkan makhluk-makhluk beruntung ini, yang akan memasuki Taman Kebahagiaan, yang oleh—atas rahmat Allah—ketakwaan dan amal-shalih mereka, ia akan merujuk secara bersama-sama, Laki-laki dan Perempuan.'" Rembulan memulai pembicaraannya, setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Lalu, sang Syekh melanjutkan, 'Allah berfirman,
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
'Dan orang-orang yang beriman, Laki-laki dan Perempuan, sebagian mereka menjadi Auliya' (penolong, pendukung, teman, pelindung) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) Al-Ma'rüf (yakni Tauhid dan segala yang diperintahkan Islam agar ditunaikan), dan mencegah dari Al-Munkar (yaitu segala bentuk kemusyrikan dan ketidakberimanan, dan segala larangan dalam Islam); melaksanakan Shalat dengan sempurna (Iqimatus-shalah), menunaikan Zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.' [QS. At-Taubah (9):71]
Dan Dia, Subhanahu wa Ta'ala, juga berfirman,
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا
'Dan barangsiapa mengerjakan Kebajikan, baik Laki-laki maupun Perempuan, sedang ia beriman, maka mereka itu, akan masuk ke dalam Surga, dan mereka tak dizhalimi sedikitpun, walau setitik Naqira (bintik dibelakang batu-kurma).' [QS. An-Nisa' (4):124]
Dengan demikian, tiada keraguan bahwa kelak di Akhirat, Laki-laki dan Perempuan akan menjalani peradilan, masing-masing menanggung beban perbuatannya, setiap jiwa akan dihukum karena pelanggarannya dan masing-masing akan diberi pahala karena ketaatannya kepada Allah.

Seseorang mungkin bertanya, bahwa jika ada kesetaraan spiritual yang lengkap dan komprehensif antara kedua gender tersebut, mengapa perlakuan yang identik ini, tak ditemukan dalam hak, kewajiban, dan hak istimewa lainnya. Ada diantara Umat Islam, dan pula, khususnya non-Muslim, mempertanyakan mengapa kaum Lelaki boleh bekerja, sedangkan kaum Perempuan, dianjurkan tinggal di rumah, mengapa kaum Wanita diwajibkan berjilbab, mengapa saudara Lelaki menerima bagian warisan yang lebih besar dibanding saudari perempuannya, mengapa kaum Lelaki lebih diutamakan menjadi penguasa, namun kaum Wanita, tidak, dll, dan mereka kemudian menyimpulkan, bahwa Islam memperlakukan wanita sebagai makhluk inferior.
Hukum takkan pernah bisa didiskusikan tanpa dijelaskan terlebih dahulu, jadi pertama-tama, kita seyogyanya mempertimbangkan etos dasar Islam, bahwa Lelaki dan Perempuan itu, dua jenis-kelamin berbeda, namun saling melengkapi. Telah menjadi fakta medis bahwa Lelaki dan Perempuan, punya komposisi biologis dan temperamen, yang berbeda. Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan dan mengetahui perbedaan biologis ini, lebih baik dibanding kita, dan dengan demikian, telah menetapkan kepada kaum Lelaki dan Perempuan, peran yang, masing-masing unggul, berdasarkan Sifatnya. Tiada gender yang lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain; sebaliknya, mereka saling melengkapi, ibarat dua bagian yang tak terpisahkan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa masyarakat, terdiri dari berbagai jenis orang, yang semuanya memainkan peran istimewanya, agar menjaga keutuhan masyarakat itu sendiri. Petani dan dokter memberikan kontribusi yang berbeda kepada masyarakat, akan tetapi, keduanya, sama pentingnya. Masing-masing unggul di bidangnya, dan masing-masing memberikan layanan bagi yang lain. Demikian pula, Lelaki dan Perempuan, jenis-kelamin berbeda, dan memainkan peran penting dalam bidang keunggulan masing-masing.
Dalam perspektif Islam, Wanita memiliki maqam yang mulia, Kekasih kita (ﷺ), menunjukkan keteladanan saat berbicara dengan wanita, dengan pujian dan rasa-hormat. Beliau (ﷺ) juga bersabda, 'Maukah kalian aku beritahukan tentang harta terbaik yang bisa dimiliki seseorang? Wanita shalihah yang menyenangkannya ketika ia melihatnya, yang mematuhinya ketika ia memerintahkannya, dan yang menjaga dirinya, ketika ia tak ada disisinya.'
Dalam sebuah peristiwa yang masyhur, seorang lelaki menemui Rasulullah (ﷺ) dan bertanya, 'Siapakah orang yang paling berhak atasku, dalam hal kebaikan dan perhatian?' Beliau (ﷺ) menjawab, 'Ibumu!' tiga kali.
Al-Qur'an membahas pula, kehormatan dan rasa hormat yang sangat besar bagi kedua orangtua, dan terutama kepada ibu. Di zaman ketika ada kebiasaan lebih menghargai kelahiran anak laki-laki dan mengubur anak perempuan hidup-hidup oleh rasa-malu dan takut-miskin, Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Barangsiapa yang memelihara dua anak perempuan sampai mereka dewasa, ia dan aku, bakalan bersama-sama masuk surga bagai dua (jemari) ini.'
Di satu sisi, kaum Lelaki itu, jenis kelamin yang lebih kuat secara fisik, di sisi lain, riasan biologis kaum Wanita, telah menjadikannya unggul sebagai ibu rumah-tangga. Ia bisa hamil, menggendong, serta melahirkan anak, dan kemudian, menyusui bayinya. Temperamennya yang lembut, perhatian, dan rela berkorban, sangat sesuai untuk membesarkan anak-anak dan merawat rumah. Mengatakan bahwa ia kudu pula mencari nafkah, itu terlalu, ketidakadilan yang tak dapat diterima, dan menyiratkan bahwa semua yang ia lakukan demi rumah-tangga dan anak-anaknya, tak berharga, dan perlu dilengkapi dengan penutup luar. Seorang wanita, sepantasnya, telah berperan dalam masyarakat, peran besar dan mulia sebagai ibu dari para generasi baru, peran yang tak dapat digugat oleh Lelaki manapun. Oleh peran tertingginya sebagai ibu, ia berhak atas tiga kali lipat pengabdian yang diberikan kepada ayah, dari anak-anaknya. 
Peran Lelaki dan Perempuan dalam Al-Qur'an dibahas sebagai,
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ
'Laki-laki (suami) itu, pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih, ialah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tak ada, sebab Allah telah menjaga (mereka). ....' [QS. An-Nisa' (4):34]
Penjelasannya, begini, bahwa perintah Ilahi ini, menggambarkan kaum Lelaki sebagai Qawwam (pemelihara) dan perempuan sebagai Qanitah (taat) dan Hafizatun lil-Ghaib (penjaga rahasia). Ayat ini memberikan dua latarbelakang mengapa kaum Lelaki digambarkan sebagai Pemelihara. Pertama, karena 'Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),' yang maknanya, bahwa Dia, Subhanahu wa Ta'ala, telah melebihkan kaum Lelaki dalam hal kekuatan fisik dan lebih cenderung berkarir di luar rumah. Sejarah umat manusia, selalu menunjukkan bahwa kaum Lelaki, dari yang paling primitif hingga yang paling punya otak-teknologi-kekinian, telah mengambil peran dalam hal menyediakan makanan, memelihara hukum dan ketertiban dalam masyarakat, berperang melawan musuh, dan melakukan ekspedisi untuk mencari lahan yang baru, petualangan, makanan, dan bahkan harta karun. Kaum Wanita, lebih banyak tinggal di rumah guna menyediakan lingkungan yang stabil bagi anak-anak.
Latarbelakang kedua, bahwa 'mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.' Suatu kewajiban seorang Lelaki menafkahi keluarganya, dan laki-laki wajib pula memberikan mahar kepada istrinya, saat pernikahan mereka. Di istana rumahnya, suami itu, penguasa, dan istri itu, pilar-kuat yang mendukungnya. Seperti di tempat manapun, cuma ada satu penguasa; mobil dengan dua pengemudi, negeri dengan dua raja, atau tentara dengan dua jenderal, semuanya bakalan kacau dan kisruh. Dengan demikian, sang suami telah diberi tanggungjawab atas rumahnya, namun yang ini, bukan hak istimewa, melainkan sebuah tanggungjawab.
Perbedaan 'Peran' gender, bermakna bahwa takkan pernah ada satu jenis-kelamin, dibebankan segala pekerjaan, sementara yang lain, kongko-kongko menikmati segala hak-istimewanya. Sebaliknya, mereka berdua, masing-masing punya tugas dan hak istimewa. Dalam hal ini, Al-Qur'an menyebutkan,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ
' ... Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.' [QS. Al-Baqarah (2):228]
Sang Syekh, berhenti sejenak, lalu berkata, 'Sekarang, mari kita berbicara tentang beberapa masalah dimana Lelaki dan Perempuan diperlakukan sama, atau Wanita diperlakukan dengan lebih baik. Berikut ini, beberapa permasalahan, yang membawa sedikit, atau bahkan tiada kontroversi.

Di bidang Pendidikan, Kekasih kita (ﷺ) pernah bersabda, 'Menuntut ilmu itu, wajib bagi setiap Muslim.'
Riwayat ini, berlaku sama bagi Pria dan Wanita. 'Ilmu' dalam konteks ini, selain mengacu pada pengetahuan tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena tak seorang Muslim pun boleh mengabaikan Imannya, melainkan juga, mencakup bidang pendidikan umum lainnya, yang dapat berkontribusi pada kesejahteraan peradaban. Justru ketidaktahuan tentang agama di kalangan Umat Islamlah, yang telah menyebabkan kaum Pria menindas kaum Wanita, lantaran mereka meyakini, bahwa itu diperbolehkan, dan pula, kaum Wanita, tak menuntut hak-hak yang diberikan Allah, sebab mereka tak mengetahuinya, lantas, anak-anak, tumbuh mengabadikan kebodohan orangtua mereka. Sepanjang sejarah Islam, Pria dan Wanita mendapatkan penghormatan setara sebagai Ulama dan Guru. Kitab-kitab Rijal (Pewarta Hadits) memuat nama-nama banyak wanita terkemuka, dimulai dengan 'Aisyah dan Hafsah.  
Dalam hal beribadah, baik kaum Lelaki maupun Perempuan, merupakan hamba Allah, dan wajib beribadah dan menaati-Nya. Kaum Lelaki dan Perempuan, wajib shalat, puasa, bersedekah, berhaji, menahan-diri dari zina, menjauhi segala larangan, amar ma'ruf nahi munkar, dan sebagainya. Oleh peran perempuan sebagai ibu, peran yang tak berakhir pada waktu tertentu, melainkan karir sepanjang masa, mereka dikecualikan dari masjid untuk shalat lima waktu atau shalat Jum'at. Namun, jika mereka ingin menghadiri Masjid, tiada yang berhak melarang mereka.

Dalam peran Berderma, Laki-laki dan Perempuan sama-sama dianjurkan bersedekah, dan tiada yang dapat menghentikan seorang wanita, berderma dari penghasilan suaminya. 'Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Seorang wanita akan menerima pahala (dari Allah) kendatipun saat ia bersedekah, dari penghasilan suaminya. Suami dan bendahara (yang menyimpan uang atas nama suami) juga akan dapat pahala, tanpa mengurangi salah satu darinya."
Asma' pernah berkata kepada Nabiyullah (ﷺ), 'Ya Rasulullah, aku tak punya apa-apa kecuali apa yang dibawa pulang oleh Zubair (suaminya).' Rasulullah (ﷺ) menyampaikan padanya, 'Duhai Asma', bersedekahlah. Jangan menguncinya, agar mata-pencaharianmu, tak terkunci.'

Dan bagaimana dengan hak memiliki Harta-benda dan Kekayaan? Seorang Wanita berhak menyimpan harta atau kekayaannya, baik dari hasil jerih-payahnya maupun dari harta-warisan, dan membelanjakannya sesuka-hati. Hak ini, baru belakangan diberikan kepada kaum Perempuan di Barat, dan kaum Wanita India, harus menunggu sampai tahun 1956 agar mendapatkan hak yang sejak lama telah diperoleh oleh seorang Muslimah. Mengenai hak atas penghasilan seseorang, Al-Qur'an menyebutkan,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
'Dan janganlah kamu iri-hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki, ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun), ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Bermohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.' [QS. An-Nisa' (4):32]
Lalu, bagaimana pula dengan Kemerdekaan menyatakan Pendapat? Sangat jarang ada dalam masyarakat, dimana warga negara biasa, yang boleh langsung menghadapi seorang Penguasa dan menentang kebijakannya. Bahkan lebih sedikit masyarakat yang memperbolehkan kaum Perempuan bersikap sangat berani, namun, dalam aspirasi Islam, hal-hal tersebut, selalu terbuka dan mudah diakses. Kebebasan berekspresi ini, dengan tepat ditunjukkan oleh sebuah insiden yang melibatkan Amirul Mukminin, Khalifah 'Umar bin Khatab.
Khalifah 'Umar, pernah berdiri di Mimbar, menegur umat dengan keras dan memerintahkan mereka agar tak menetapkan Mahar yang berlebihan, jelang pernikahan. Seorang wanita, tegak berdiri dan berseru, "Umar! Engkau tak berhak turut-campur dalam urusan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an,
وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا
'Dan apabila kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, kendatipun kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka se-Qintar (mengacu pada sejumlah besar emas dan perak, yakni, Mahar yang sangat banyak bagi pengantin wanita), maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Akankah kamu mengambilnya kembali dengan cara tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?' [QS. An-Nisa' (4):20]
Setelah diingatkan tentang ayat ini, Sayyidina 'Umar menganulir perintahnya, seraya berkata, 'Aku keliru dan ia betul.'
Kemudian, bagaimana dengan kaum Perempuan yang berpartisipasi dalam Medan-perang, sebagai salah satu dari beberapa pengertian Jihad? Dikala kita berbicara tentang Medan-laga, ia menakutkan bagi banyak makhluk Maskulin yang berasal dari Mars, apalagi, bagi makhluk Feminin yang konon, berasal dari Venus. Oleh sebab sifat perang yang agresif dan penuh kekerasan, kaum Lelakilah yang lebih diutamakan wajib turut-serta dalam Jihad (ingat, ini dijalankan hanya karena Allah), sedangkan kaum Perempuan, dikecualikan. Seorang wanita pernah meminta Rasulullah (ﷺ) agar memperkenankan kaum Wanita berjihad bersama kaum Pria, karena keutamaan dan pahala Jihad, tak terbatas, yang dijanjikan kepada para Mujahidin kelak di Akhirat. Rasulullah (ﷺ) menjawab, 'Bagi mereka, Jihad tanpa Peperangan.'—yang mengacu pada Haji dan 'Umrah.
Namun demikian, Rasulullah (ﷺ) memperbolehkan kaum Wanita merawat yang terluka dan menyediakan perbekalan kepada Mujahidin di beberapa pertempuran. Seorang wanita dari suku Ghifar datang dengan sekelompok besar wanita menemui Rasulullah (ﷺ), saat beliau (ﷺ) bersiap-siap berangkat menuju penaklukan Khaibar. Ia berkata, 'Ya Rasulullah, kami ingin menyertaimu dalam perjalanan ini, sehingga kami dapat merawat yang terluka dan membantu kaum Muslimin.' Nabiyullah (ﷺ) menjawab, 'Mari, semoga Allah melimpahkan berkah-Nya atasmu!'
Ummu 'Atiyyah, seorang wanita Anshar, pernah berkata, 'Aku telah turut-serta dalam tujuh pertempuran dengan Rasulullah (ﷺ). Aku sering menjaga unta para Mujahidin saat mereka tak ada, memasak makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.'
Mu'adz bin Jabal melaporkan bahwa sepupunya, Asma' binti Yazid, membunuh sembilan tentara Romawi, dengan tiang tenda, semasa Perang Yarmuk.

Pemberian Jaminan seorang Wanita dalam Perang, dapat diterima. Jika seorang wanita memberikan jaminan kepada tawanan perang atau memberinya perlindungan, jaminannya akan diterima. Ummu Hani, sepupu Rasulullah (ﷺ), berkata kepada beliau (ﷺ) setelah Fathul Makkah, 'Aku telah memberi perlindungan kepada dua mertuaku.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Duhai Ummu Hani, kami telah memberikan perlindungan, kepada siapa engkau telah berikan perlindungan.'
Menurut riwayat lain, Ummu Hani memberi perlindungan kepada seseorang, namun sepupunya, 'Ali, berusaha membunuh orang tersebut. Ia mengadu kepada Rasulullah (ﷺ), yang kemudian mendukung tindakannya, memberikan perlindungan kepada orang tersebut.

Sebagai tambahan, masih ada bidang Jihad lain, dimana kaum Perempuan punya peran dan pahala yang setara dengan kaum Lelaki, yaitu dalam konsepsi 'Amar ma'ruf dan nahi munkar.'

Dalam hal memilih suami, wali sang anak-gadis, baik itu ayah, saudara laki-laki atau pamannya, memainkan peran penting dalam pernikahannya, semisal menemukan pasangan yang sesuai baginya. Namun, dalam keadaan apapun, bolehkah ia memaksanakan kehendaknya pada sang gadis, bila bertentangan dengan keinginannya? Tidak, sang gadis bebas menerima atau menolak pilihan tersebut, atau menentukan pilihannya sendiri. Seorang wanita bernama Khansa binti Khidam, pernah menemui Rasulullah (ﷺ) dan mengeluh, 'Ayahku, telah memaksaku menikahi sepupuku, agar statusnya terangkat (di mata orang lain).' Rasulullah (ﷺ) mengatakan padanya, bahwa ia bebas membatalkan pernikahannya, dan memilih siapapun yang ia inginkan untuk dinikahi. Ia menjawab, 'Aku menerima pilihan ayahku, namun tujuanku ini, untuk menyampaikan kepada kaum Wanita, bahwa para ayah tak berhak turut-campur dalam pernikahan.'

Ketika kita berbicara tentang Perceraian, itu sangat menyakitkan dan sulit, terlebih lagi bila pasangan itu, punya anak, dan memberikan hak asuh kepada salah satu pihak, terkadang, mengalami kesulitan. Menurut Hukum Barat, baik Ayah maupun Ibu, harus membuktikan kepada Pengadilan, bahwa mereka lebih mampu menjaga anak-anak, dan ini seringkali memunculkan saling-fitnah, agar memperkuat gugatan mereka, atas hak-asuh.
Hukum Islam punya keputusan yang jelas tentang masalah ini. Hak asuh anak laki-laki dan perempuan, jatuh ke tangan Ibu. Anak laki-laki menetap bersama ibunya, sampai ia berusia, sekitar tujuh atau sembilan tahun, setelah itu, ia dirawat oleh ayahnya. Anak perempuan, tinggal bersama ibunya sampai ia menikah. Pengecualian berlaku, bila sang Ibu, menikah lagi, dalam hal ini, hak asuh dapat diberikan kepada orang lain, seperti Nenek atau Bibi sang gadis. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah (ﷺ) kepada seseorang yang diceraikan, 'Hakmu atas hak-asuh anak, lebih besar, sepanjang engkau tak menikah lagi.'