Jumat, 29 April 2022

Ratu Sejagad Semalam

"Malam itu, aku menyimak pertemuan para ahli tanaman dan semacamnya," berkata Sang Purnama usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Tepat saat kupancarkan sinarku di atas gedung pertemuan, waktu istirahat telah tiba, dan merekapun dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Musik-ringan dan suara merdu seorang biduan, mengalun.
Lalu, aku menyoroti seorang Botanis dan Hortikulturis sedang bercakap-cakap, sementara sang biduan melagukan,
Rasa deg-degan di hatiku
Saat kutatap paras wajahku di cermin
Pipi merah, bibirku merah
Merekah, menantang setiap pandangan
Sang Botanis berkata, 'Ketidakjelasan itu, alam Kekeliruan' Sang Hortikulturis menanggapi, 'Tapi, seringkali, Ketidakjelasan itu, membawa Keselamatan!' Sang Botanis mengernyitkan kening, 'Sangat mungkin, tapi kuingin tahu, apa latar belakangnya?'
'Perhatikan ini!' Sang Hortikulturis bercerita,

'Sepohon Oak, yang tegak-menggelantung di tepi sungai, diterpa angin-badai yang amat dahsyat; dan saat terbawa arus, beberapa cabangnya bergesekan dengan Gelagah, yang tumbuh di dekat pantai.
Keadaan ini menimbulkan decak-kagum pada sang Ek; dan ia tak dapat menahan diri, bertanya pada sang Gelagah, kok bisa, ia tegak-berdiri dengan aman dan tak terluka dalam badai, yang telah ganas membedol pohon Oak sampai ke akar-akarnya?
'Sebabnya,' jelas sang Gelagah, 'Aku mengamankan diriku dengan berperilaku yang sangat berbeda dengan apa yang engkau lakukan. Daripada keras-kepala dan kaku, dan mengandalkan kekuatanku, aku mengalah dan melenturkan-diri terhadap sang badai, dan membiarkannya berlalu, dengan asumsi, bila melawan, 'kan sia-sia dan tak membuahkan hasil.'

'Pasrah terhadap Kerusakan dimana masih ada Kemampuan kita, memperbaikinya,' sang Hortikulturalis menjelaskan, 'secara umum, dianggap sebagai hal yang mendasar dan sesuatu yang tak-berharga; namun, bila melawan, dimana tiada kemungkinan, atau bahkan harapan kita, menjadi lebih baik, dapat pula dilihat sebagai akibat dari kepahlawanan-buta yang berlebihan, dan boleh jadi, lemahnya pemahaman terhadap suatu permasalahan.
Hantaman Takdir, seringkali tak terelakkan dan tak tertahankan, dan ia yang merasa segan dan berjiwa tak-sabar, bila tarung melawannya, bukannya meringankan, malah menggandakan hantaman tersebut, pada dirinya sendiri.
Seseorang dengan temperamen yang tenang, baik itu, didapat secara Alami, maupun diperoleh melalui Keterampilan, dengan anteng, menenangkan dirinya di tengah badai, demi menghindari goncangan, atau menerimanya dengan kemudaratan yang kecil: ibarat seorang pelaut bijak yang berpengalaman, berenang ke pantai, dari kapal yang rusak dalam gelombang laut; ia tak melawan amukan ombak, melainkan merunduk dan memberi jalan, agar sang ombak bergulung di atas kepalanya, tanpa gangguan.
Doktrin kepasrahan-mutlak dalam segala urusan itu, ajaran dogmatis yang absurd, tiada apapun kecuali ketidaktahuan dan takhayul yang menopangnya: namun, pada situasi tertentu, dimana tak mungkin bagi kita, mengatasinya, maka, tunduk dengan sabar itu, salah satu maxim yang paling masuk akal, dalam hidup ini,' kata sang Hortikulturis menutup perbincangan mereka.

Lantunan lagu sang biduan, tetap mengalun,
Kupoles lagi, alis mataku
Hidung, telinga, jidat, tangan sampai betis
'Ouw betapa cantiknya, wajahku malam ini!'
Pasti, kuterpilih jadi Ratu
Kemudian, kuarahkan sorotanku ke sudut lain, di situ, ada dua orang, yang satu seorang Fitoligis, dan yang lain, seorang Naturalis. Mereka membicarakan sesuatu. Sang Naturalis berkata, 'Keberhati-hatian, sebagaimana Kebersyukuran, bakal terkait dengan Perlindungan seorang teman, yang akan menunjukan Persahabatannya, dalam Kesukaran.' Sang Fitologis bertanya, 'Dan ... apa alasannya?' Sang Naturalis menjawab, 'Secara tersirat, dengarkan baik-baik cerita ini,

Di perempatan semak-semak, dimana tanaman yang sering berganti daun dan tetumbuhan yang selalu menghijau, berbaur dengan suasana keterlalaian, senyampang, Puspa Mawar tumbuh, di dekat Kembang Laurustinus.
Sang Rosa, yang dimeriahkan oleh hembusan sang Juni—di belahan bumi Utara, biasanya dipandang sebagai bulan pertama musim panas, tentang musim panas atau hari-hari yang cerah. Ia berasal dari mitologi dewi Romawi kuno, Juno, yang merupakan seorang influencer yang kuat, dan dianggap sebagai pelindung wanita hamil—dengan attire Kuntumnya yang indah, memandang hina pada sang Laurustinus—viburnum yang mekar pada musim dingin, yang selalu menghijau dengan hijau-mentah mengkilap nan lebat, berasal dari daerah Mediterania dan dibudidayakan di tempat lain—yang tak punya apa-apa guna dipamerkan, kecuali hijau-daunnya yang pekat.
'Sungguh, habitat yang menyedihkan,' teriaknya, 'inikah; dan betapa tak pantasnya, disertakan dalam keberadaanku yang paling mulia ini! Lebih baik mekar dan mati di gurun, ketimbang di sini, membersamai sayuran yang nista dan kotor. Dan inilah puncak takdirku, yang dihargai oleh seluruh bangsa, dan disanjung oleh setiap penyair, sebagai penguasa ladang dan kebun, yang tak terduakan! Dan bila sungguh aku demikian adanya, biarkan kutersendirikan, dan dikitari oleh lingkaran pembatas, sesuai keadaan yang dibutuhkan derajatku. Hei, Tukang Kebun, bawa kapakmu; mohon, tebanglah Laurustinus ini, atau setidaknya, pindahkan ke tempat yang semestinya!' 
'Tenanglah, Bunga Rosku nan cantik,' jawab sang Tukang Kebun; 'Nikmati kedaulatanmu dengan tak berlebihan, dan engkau 'kan menerima segala Penghormatan yang bisa diminta oleh Keindahanmu. Namun, ingatlah bahwa di musim dingin, ketika, baik engkau maupun jenismu, tak menghasilkan satu kembang atau daunpun yang menghiburku, semak-belukar yang setia ini, yang engkau nistakan, 'kan menjadi kemuliaan tamanku. Karenanya, Keberhati-hatian, sebagaimana Kebersyukuran, bakal terkait dengan Perlindungan seorang teman, yang akan menunjukan Persahabatannya, dalam Kesukaran,' tutup sang Naturalis, sembari menghirup teh-hijau yang tersaji.

Sang biduan, lanjut bernyanyi,
Aku berbisik, dalam hati
Mungkinkah ini 'kan terjadi sesungguhnya
Kulangkahkan kaki, menyusuri
Panggung pemilihan Ratu Sejagad
Dan di pojok sana, kuperhatikan, seorang ahli Mikolog dan Folkloris, bertukar-pikiran. Sang Folkloris berkata, 'Semata Kepentingan pribadilah, yang menggerakkan sebagian umat manusia.' Sang Mikolog memiringkan kepalanya, 'Maksud lo?' Sang Folkloris tersenyum, 'Dengerin, di kebun seorang Petani, terdapat sebuah Pohon Apel, yang tak menghasilkan buah, namun hanya berfungsi sebagai pelabuhan bagi Burung Pipit dan Belalang. Ia memutuskan, menebangnya, dan mengambil kapak di tangannya, dengan keras menghunjamkannya ke akar sang Apel.
Sang Belalang dan sang Pipit, memohon padanya agar tak membabat pohon yang melindungi mereka, melainkan membiarkannya saja, dan mereka akan bernyanyi untuknya, dan meringankan pekerjaannya.
Sang Petani tak hirau, melainkan tetap menghunjamkan kapaknya dengan hantaman kedua dan ketiga. Saat mencapai lubang pohon, ia menemukan sarang yang penuh dengan madu. Setelah mencicipi madunya, ia mencampakkan kapaknya, dan menganggap keramat pohon Apel tersebut, dan dengan sangat tekun, merawatnya,' dan kembali, sang Folkloris, tersenyum seraya menyuapkan sesendok madu yang tersedia, ke dalam mulutnya.

Dan lagi, syair lagu sang biduan, terdengar,
Putar ke kiri, balik ke kanan
Senyum sana, senyum sini, ikut irama
Oh semua tepuk tangan, seiring kuberlalu
Sampai menghilang, dibalik layar
Di penjuru lain, terdapat Dendrolog dan Palaeontolog, sedang berbincang. Sang Paleontolog berkata, 'Kesumbaran dan Alam, dapat menjatuhkanmu!' Sang Dendrolog terkejut, 'Mungkinkah?' Sang Paleontologi berkata, 'Pohon Zaitun mengolok-olok pohon Ara, lantaran daunnya menghijau sepanjang tahun, sedang Pohon Ara, tergantung musim, daunnya berguguran.
Salju turun ke atas mereka, dan, melihat pohon Zaitun penuh dengan dedaunan, ia hinggap di cabang-cabangnya dan merontokkannya oleh tumpukan salju yang berat, sekaligus merusak keindahannya, dan membunuh pohon tersebut. Namun sebaliknya, melihat Pohon Ara yang plontos, sang Salju turun ke tanah, dan tak melukai pohon Ara, sama sekali.'

Sekali lagi, suara sang biduan, melantun,
Akupun bersorak, lompat kegirangan
Tapi, kuterjatuh dari kursi goyang
Kiranya kumimpi, uh! Sebel
Jadi Ratu Sejagad semalam *)
Tak lama kemudian, Panitia mengumumkan bahwa waktu istirahat telah habis, dan para peserta, diminta kembali ke tempat masing-masing. Aku hendak mengikuti mereka, namun waktuku telah habis."

Sebelum berangkat, sang Purnama berkata, "Akan tetapi, aku bertanya-tanya, boro-boro membicarakan mobil-listrik dan energi-bersih, tak secuilpun mereka membicarakan tentang, Pohon Kelapa Sawit, ataupun turun-naiknya harga Tandan Buah Sawit Segar (TBS), yang menjadi momok para petani Sawit. Bila harga TBS turun drastis, maka para Bankir bakalan bertopang-dagu, sebab Kredit Bermasalah, sedang meingintai. Oh atau mungkinkah itu lantaran aku cuman bermimpi, jadi Ratu Sejagad semalam? Allahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Ratu Sejagad Semalam" karya Dani Mamesah