Rabu, 20 April 2022

Hak Kaum Wanita dalam Perspektif Islam (2)

"'Pemenang hadiah Nobel, Dr. Alexis Carrel, telah menggambarkan perbedaan biologis antara kaum pria dan wanita dalam bukunya "Man, the Unknown." Sang Syekh melanjutkan, 'Ia menyimpulkan dengan analisis berikut,
'Perbedaan yang ada di antara pria dan wanita, tak berasal dari bentuk khusus organ seksual, keberadaan rahim, dari kehamilan, atau dari cara pendidikan. Semuanya semata impregnasi yang lebih mendasar dari seluruh organisme dengan zat kimia tertentu, yang disekresikan ovarium. Ketidaktahuan akan fakta-fakta mendasar ini, telah membuat para penganjur Feminisme, meyakini bahwa kedua jenis kelamin, harus punya pendidikan yang sama, kekuatan yang sama, dan tanggungjawab yang sama. Pada kenyataannya, wanita sangat berbeda dengan pria. Setiap sel tubuhnya, memiliki tanda jenis kelaminnya. Hal yang sama, berlaku bagi organ-organnya dan, di atas segalanya, sistem sarafnya. Hukum fisiologis sama tak terelakkannya dengan hukum dunia sampingan. Semua itu, tak dapat digantikan oleh keinginan manusia. Kita wajib menerima mereka apa adanya. Kaum Wanita harus mengembangkan bakatnya sesuai dengan kodratnya sendiri, tanpa berusaha meniru kaum Lelaki. Peran mereka dalam kemajuan peradaban, lebih tinggi dibanding kaum Lelaki. Mereka tak boleh meninggalkan fungsi spesifik mereka.'
Perbedaan biologis utama antara kaum Pria dan Wanita, bermakna bahwa kedua jenis kelamin, tak saling menduplikasi, dimana masing-masing berjuang memenuhi peran yang sama dan berperilaku dengan cara yang sama. Sebaliknya, mereka saling melengkapi, masing-masing melatih kekuatan spesifiknya, dan menutupi kelemahan pasangan mereka. Kaum Feminis di berbagai negara Islam, telah menuntut agar kaum Perempuan terwakili secara penuh, sesuai dengan persentase penduduknya di segala bidang, seperti bidang Politik dan Peradilan. Kelompok-kelompok lain, juga menuntut, bukan cuma kesetaraan, namun seringkali superioritas berdasarkan Ras, Bahasa atau Prasangka-kedaerahan. Seruan demi 'diskriminasi positif' seperti ini, telah menjadi tempat berkembang-biaknya Kebencian dan Perpecahan di dalam umat Islam, dan tak memiliki tujuan yang nyata. Al-Qur'an berbicara tentang kaum Lelekai dan Perempuan, yang datang bersama, menjadi pakaian bersama, dan diikat bersama, oleh cinta dan kasih-sayang.
Kebencian terhadap kaum Lelaki yang diwartakan oleh banyak kaum Feminis, sama sekali asing dengan ajaran Islam. Bukannya saling bersaing, Islam mengajarkan gotong royong demi membentuk masyarakat yang harmonis dan adil, yang landasannya, kehidupan keluarga yang stabil.
Sekarang, mari kita perbincang tentang beberapa masalah dimana kaum Pria dan kaum Wanita, dipandang, diperlakukan tak setara, yang menuai banyak tanya dan kritikan.

Pertama, tentang Hijab. Muslim dan Muslimah, seyogyanya memenuhi persyaratan yang sangat berbeda tentang 'Satr' (Bahasa Arab: ستر, bagian tubuh yang intim, yang hendaknya ditutupi). Ayat berikut berkaitan dengan pelaksanaan 'Satr' bagi wanita di dalam rumah, dimana semata anggota keluarga dekat pria dan wanita, dapat berbaur dengan bebas,
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
'Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke seluruh Juyubihinna (yaitu, tubuh, wajah, leher, dan dadanya) dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang beriman, agar kamu beruntung.' [QS. An-Nur (24):312]
Dengan demikian, kaum Wanita dapat memperlihatkan objek kecantikan mereka, seperti make-up dan perhiasan kepada wanita suci lainnya dan para pria yang tercantum dalam Ayat tersebut saja. Di depan orang lain, para istri Nabi dan seluruh wanita Muslim, diperintahkan agar memenuhi persyaratan Hijab dengan mengenakan Jilbab, yaitu pakaian luar yang panjang, yang menutupi seluruh tubuh,
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
'Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' (yaitu, menyekat-diri mereka sepenuhnya kecuali mata, atau satu mata, guna melihat jalan). Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.' [QS. Al-Ahzab (33):59]
Islam tak memperkenankan percampuran bebas antara pria dan wanita, selain keluarga dekat, dan pencampuran gaya Barat, walaupun dengan mengenakan hijab, tak diperbolehkan, seperti yang terlihat di tempat-tempat pendidikan dan pekerjaan. Al-Qur'an menyampaikan kepada orang-orang yang beriman pada zaman Rasulullah (ﷺ),
وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ
'... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi qalbumu dan qalbu mereka. ....' [QS. Al-Ahzab (33):53]
Istri-istri Nabi itu, model bagi semua wanita dan dianggap sebagai Ibu dari seluruh orang beriman. Jika mereka hanya bisa disapa dari balik tirai guna menghindari godaan atau ketidakwajaran, tirai seperti apakah yang diperlukan bagi wanita biasa, yang bisa menjadi sumber godaan, yang jauh lebih besar? Jelas pula, sejak zaman Rasulullah (ﷺ), bahwa para sahabat tak memperlakukan Ayat ini cuma merujuk pada, para istri Nabi, melainkan juga, diterapkan pada wanita-wanita mereka, dengan persetujuan penuh dari Rasulullah (ﷺ). Dalil yang diberikan dalam ayat tersebut, terhadap tirai semacam itu, ialah "lebih suci bagi qalbumu dan qalbu mereka,' dan dalam ayat lain,
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
'Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya (dari melihat hal-hal terlarang), memelihara kemaluannya (dari tindakan seksual ilegal). yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' [QS. An-Nur (24):30]
Islam berkeinginan membangun masyarakat yang bersih, dimana tiada ruang, sekalipun itu, cuma perzinahan-mata. Campur-baur, laki-laki dan perempuan, tak diperbolehkan, dianjurkan menikah di usia muda agar dapat memenuhi keinginannya secara halal, dan semua diperintahkan "menurunkan pandangan" di depan umum, agar mata tak digunakan sebagai alat setan. Dengan berhijab, harkat dan martabat wanita terjaga. Pakaiannya memperjelas bahwa ia bukan objek obralan, mengiklankan kecantikan dan keberadaannya bagi mata Pria Hidung-belang dan Siutan-s'rigala. Kita perlu mencermati masyarakat amoral di sekitar kita saat ini, dimana jenis-kelamin berbaur dengan mengenakan pakaian tak pantas, dan perzinahan disukai bila dilakukan setelah menikah. Sebelum menikah, individu didorong agar menjajal pasangan yang berbeda, dan terjadilah ketidaksetiaan, kesengsaraan, kecemburuan dan ketidakamanan, sebagai hasil dari gaya hidup seperti itu. Kaum Muslimin mungkin merasa aman dan tenteram dalam moral dan aturan berpakaian Islami, namun mereka seringkali, banyak menjiplak orang-orang tak beriman, demi kepuasan diri sendiri.

Selanjutnya, tentang Poligini. Seorang Lelaki, diperbolehkan memiliki, maksimal, empat istri, dengan syarat, ia memperlakukan mereka dengan Setara dan Adil. Jika ia tak mampu menopang lebih dari satu istri atau takut bahwa ia tak bisa berbuat Adil di antara mereka, ia seyogyanya, tetap ber-Monogini. Tujuan utama di balik Poligini ini, agar menyediakan kebutuhan bagi para Janda-perang dan Anak-yatim. Jumlah kaum Lelaki, usai masa perang, dalam masyarakat manapun, pasti berkurang, maka Poligami, menyediakan satu-satunya solusi, yang layak bagi para Janda dan anak-yatim, yang sudah tak punya siapa-siapa. Dalam keadaan seperti ini, kaum Wanita, akan menempuh, salah satu dari dua kemungkinan, kehidupan gaya-monastik—cara hidup yang religius, terisolasi dari orang lain, dan disiplin diri—yang tak wajar, atau, bisa jadi, kehidupan yang tak bermoral dan bergelimang-dosa.
Islam secara tegas, melarang pula hubungan seksual di luar-nikah, dan, dalam kasus dimana seorang Lelaki menginginkan lebih dari satu partner, sekali lagi, Poligini, merupakan satu-satunya solusi yang memadai, dan masih dapat dibenarkan.
Praktek yang menyebar luas di masa-kini, kaum Lelaki, yang punya istri-istri dan sekaligus punya—maaf—gundik-gundik, merendahkan seluruh wanita yang tersangkut didalamnya, dan merupakan ketidakjujuran, serta menyebabkan kesengsaraan yang tak kunjung usai. Dengan menikah lebih dari sekali, maka, di satu sisi, wanita-wanita dan anak-anak yang terlibat, terlegitimasi, di sisi lain, sang Lelaki, diharuskan bertanggungjawab penuh atas seluruh jalinan, yang ia jalani.

Mengenai persaksian dari kaum Wanita, Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa kesaksian dua orang wanita, sejajar dengan kesaksian seorang pria, memberikan dalil bahwa, jika yang satu lupa, yang lain dapat mengingatkannya,
وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ
'... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tiada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. ....' [QS. Al-Baqarah (2):282]
Bersaksi di pengadilan, dapat menjadi pengalaman yang menakutkan, terutama karena sistem peradilan sebagian besar terdiri dari kaum Lelaki, sehingga kaum Perempuan dapat saling memberikan dukungan moral, dan juga, pengingat. Tanggungjawab ini, sangat kritis dan memberatkan, yang telah diringankan bagi kaum Perempuan.
Ada empat situasi dimana kesaksian diperlukan, pertama, Kejahatan yang berkaitan dengan ordonansi pidana dan qisas. Jika Lelaki dan Perempuan, keduanya ada, Lelakilah yang akan dipanggil bersaksi dan perempuan takkan dipanggil. Kedua, dalam urusan ekonomi, yang berkaitan dengan kekayaan dan harta-benda, yang umumnya menjadi domain laki-laki, diterima bukti dua orang lelaki. Andai kedua lelaki tersebut, tak ada, maka satu lelaki dan dua wanita, akan diterima. Ketiga, dalam urusan yang menyangkut, hanya wanita, semisal kehamilan, kelahiran, cacat seksual, maka cukup dengan kesaksian seorang wanita, sudah dapat diterima. Keempat, dalam kasus pidana, dimana hanya wanita yang menjadi saksi, Empat Imam Mazhab sepakat tak menerima kesaksian perempuan. Mereka beralasan bahwa dalam kasus-kasus seperti pembunuhan dan pemerkosaan, para wanita akan emosional dan mungkin, bimbang. Bukti-buktinya bakal menimbulkan syak-wasangka, dan prinsip Syariah menyebutkan bahwa kecurigaan apapun terhadap sebuah bukti, menjadikan bukti tersebut, batal demi hukum. Dalam konteks ini, mazhab Zahiri lebih kredibel.
Dinyatakan bahwa jika, hanya perempuan yang menjadi saksi dalam perkara pidana, kesaksian mereka dapat diterima, menurut prinsip pembuktian dua perempuan sama dengan satu laki-laki. Maka, dalam kasus perzinahan, kesaksian empat lelaki atau delapan perempuan, akan diterima. Mereka berpendapat bahwa menolak kesaksian kaum perempuan sepenuhnya dalam kasus-kasus seperti itu, akan memungkinkan banyak kejahatan tak terhukumkan.
Terdapat fakta ilmiah yang mapan, bahwa kaum wanita, tak dapat menjelaskan detail yang erat kaitannya dengan sebuah peristiwa, dibanding akurasi yang mampu dilakukan kaum pria. Fakta ini, telah dikonfirmasi oleh banyak penelitian, seperti penelitian Dr. Harding dalam bukunya 'The Way of All Women'.

Menurut sebuah hadits, Rasulullah (ﷺ) menggambarkan kaum wanita sebagai 'nuqsan' dalam hal berakal dan praktik keagamaan—ini cuma kekuranglengkapan di satu sisi dan bukan bermaksud merendahkan, sebab masih ada sisi lain dimana kaum wanita lebih baik dari kaum pria—perlu diperjelas, bahwa Abu Sa'id al-Khudri meriwayatkan:
 
Rasulullah (ﷺ), bersabda, 'Duhai para wanita! Bersedekahlah, sebab aku telah melihatmu sebagai mayoritas manusia di Neraka.' Mereka berkata, 'Mengapa demikian, ya Rasulullah?' Rasulullah (ﷺ) bersabda,
تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
'Engkau sering melaknat orang lain dan engkau tak mensyukuri penghidupanmu. Belum pernah aku melihat, manusia yang merosot akal dan agamanya, namun mampu menghilangkan keteguhan lelaki yang teguh, melebihi kalian, duhai para wanita.'
Mereka berkata, 'Apa maksud 'naqisat aql' kami itu?' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Bukankah kesaksian seorang wanita, semisal setengah dari seorang lelaki?' Mereka berkata, 'Tentu saja.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Itulah kemerosotan akalmu. Bukankah saat engkau haid, engkau tak shalat dan tak berpuasa?' Mereka berkata, 'Tentu saja.' Rasulullah (ﷺ) bersabda,
فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
'Maka, inilah dari 'nuqsan dien'-mu.' [Shahih al-Bukhari]
Kemerosotan (nuqsan) dalam hal berakal dan  beragama, berkaitan dengan kewajiban hukum seorang perempuan. Bukan pernyataan ontologis bahwa kaum perempuan selalu kurang cerdas atau religius dibandingkan kaum lelaki. Sebagai terapan dalam agama, kaum wanita tak diwajibkan shalat atau berpuasa, semasa menstruasi atau mengalami pendarahan pasca-melahirkan. Bila diterapkan sebagai akal-sehat, perempuan tak diwajibkan melakukan beberapa fungsi, seperti bersaksi di depan hakim dalam kasus pidana. Beberapa penulis telah keliru menerjemahkan nuqsan dengan menggunakan istilah-istilah yang memburukkan, seperti 'kurang cerdas', atau 'kurang akal'. Terjemahan ini, kurang pantas.
Nuqsan bagi kaum perempuan, merupakan manifestasi dari kelonggaran Islam terhadap kaum perempuan, dengan tak membebani mereka dengan kewajiban yang sama dengan kaum lelaki, sementara mereka, punya tugas dan perhatian khusus sendiri.
Dalam hal kesaksian, kaum Wanita di masa awal Islam, tak biasa melibatkan diri dalam kontrak bisnis, hutang, dan hal-hal lain. Mereka biasanya melakukan pekerjaan penting lainnya, merawat anak-anak dan orangtua mereka, yang telah lanjut usia, dan sebagainya. Akibatnya, ayat tersebut diturunkan guna mengurangi kewajiban seorang wanita, bersaksi dalam hal-hal seperti itu.
Ibn al-Qayyim menulis, 'Wanita itu, setara dengan pria dalam kebenaran, kejujuran, dan ketakwaan; jika tidak, bila ditakutkan akan lupa atau salah ingat, ia dikuatkan dengan orang lain seperti dirinya. Hal itu membuatnya, lebih kuat dibanding seorang pria lajang atau orang-orang sepertinya. Tiada keraguan bahwa manfaat keraguan yang diberikan pada kesaksian Ummu Darda dan Ummu Atiyyah, lebih kuat daripada manfaat keraguan yang diberikan kepada seorang pria, tanpa mereka atau orang-orang seperti mereka.'
Ibn Hajar menulis, 'Dibolehkan berkonsultasi dengan wanita yang berjasa, dan keutamaan Ummu Salamah dan kecerdasannya yang melimpah, sedemikian rupa sehingga Imam al-Haramayn berkata, 'Kami tak mengetahui seorang wanita yang mengungkapkan pendapat dan kebenarannya, sebanyak Ummu Salamah.'
Singkatnya, 'nuqsan' akal wanita itu, oleh pengurangan tanggung jawab hukumnya terkait dengan hal tersebut, bukan pada kecerdasan bawaannya. Banyak bukti lain yang menunjukkan bahwa perempuan mampu, sepadan cerdasnya dengan laki-laki dan, oleh karena itu, mereka hendaknya diajak berkonsultasi, dan perspektif mereka, dihormati.

Tentang Warisan, seorang anak perempuan menerima setengah bagian dari warisan dibandingkan dengan anak laki-laki, sesuai dengan perintah Al-Qur'an berikut,
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ
'Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. ....' [QS. An-Nisa' (4):11]
Jika sang anak perempuan tak memiliki saudara lelaki dan hanya perempuan yang menjadi ahli waris, maka prinsip ini, tak berlaku. Hukum memberi seorang wanita setengah bagian dari seorang pria, kesan awalnya, tampak tak berimbang, namun sebenarnya, kedermawanan bagi kaum wanita. Hal ini didasarkan pada prinsip Syariah 'Manfaat disesuaikan dengan skala tanggung jawab.'
Sebagai ilustrasi, seorang saudara laki-laki akan mewarisi dua kali lipat jumlah yang diwarisi saudara perempuannya. Apa yang saudara perempuan tersebut, terima sebagai warisan, akan disimpan sebagai miliknya, dan ia tak wajib membelanjakannya bagi siapapun, bahkan suaminya, kendatipun, mungkin, ia hidup dalam kemiskinan. Sedangkan saudara laki-lakinya, bertanggung jawab memelihara keluarganya, termasuk saudara perempuannya yang belum menikah, orangtua yang masih hidup, istri dan anak-anak. Pada saat pernikahannya, ia diharuskan membayar biaya pengantin kepada istrinya, serta menafkahinya, sepanjang masa pernikahan mereka. Maka, bila pada awalnya, ia menerima warisan lebih banyak di banding saudara perempuannya, saat kalkulasi akhir, sangat mungkin, ia nombok.
Sebaliknya, bagi saudara perempuannya, akan menerima uang pengantin dan akan dirawat oleh suaminya. Setiap penghasilan yang ia punyai, dan bagian warisannya, miliknya, secara eksklusif, yang tak dapat diganggu-gugat oleh keluarganya, atau siapapun.
Tampaknya, hikmah yang sama, ada di balik upacara 'Aqiqah, ketika dua ekor domba diqurbankan saat kelahiran anak laki-laki, dan satu ekor domba saat kelahiran anak perempuan. Asas manfaat menurut tanggung jawab ini, diterapkan luas dalam Islam. Misalnya, setelah peperangan, Rasulullah (ﷺ) akan membagikan rampasan-perang, dengan prinsip yang sama, dengan memberikan dua bagian untuk kavaleri dan satu bagian untuk infanteri.

Menurut prinsip 'Manfaat disesuaikan dengan skala tanggung jawab', Diyat atau uang-darah—kompensasi finansial yang dibayarkan kepada korban atau ahli-waris korban dalam kasus pembunuhan, kerusakan tubuh atau kerusakan harta benda. Hanya berlaku jika keluarga korban ingin berkompromi dengan pihak yang bersalah; bila tidak, qisas (pembalasan yang sama) berlaku—bagi perempuan, setengah dari laki-laki. Perlu diingat bahwa, Diyat bukanlah harga bagi nyawa orang yang terbunuh, sebab nyawa tak ternilai harganya. Ini bukan kompensasi kecil demi penderitaan keuangan keluarga almarhum. Laki-laki biasanya, pencari nafkah dan pemelihara keluarga mereka, sehingga penderitaan finansial lebih besar kala seorang lelaki dibunuh, namun bila korban pembunuhan tersebut, seorang wanita yang merupakan satu-satunya tulang-punggung keluarga, maka Qadi (hakim), berwenang memperbesar jumlah Diyatnya.
Sebuah preseden penambahan tersebut ditemukan dalam Al-Qur'an, dimana memungkinkan Qadi, menggandakan Diyat dari orang yang dibunuh di daerah al-Haram, Mekah dan Al-Madinah. Latarbelakang Kearifannya, bahwa sama seperti amal-shalih, akan lebih dihargai jika dilakukan di dalam al-Haram, demikian pula hukuman atas kejahatan atau dosa, di dalam Al-Haram, bertambah pula.

Tentang Perceraian. Kaum Lelaki, berhak menjatuhkan Talaq. Allah berfirman,
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
'Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.' [QS. Al-Baqarah (2):237]
Bila disimak sepintas, kesan awalnya, tampak tak adil, namun Allah telah memberikan perintah berdasarkan temperamen Pria dan Wanita, yang berbeda. Wanita lebih dikendalikan oleh emosinya dibanding nalar, dan ini jelas, merupakan aset dalam rumah-tangga. Sifatnya yang lembut dan kemampuannya, mengorbankan kenyamanannya sendiri demi anaknya, membuatnya menjadi orangtua yang lebih baik dibanding pria. Dalam situasi konflik perkawinan, sifat emosionalnya, akan lebih cenderung membesar-besarkan keseriusan konflik, dan dengan demikian, memicu perceraian. Lelaki akan lebih cenderung memikirkan situasiberpikir dengan tenang, sebelum melontarkan penilaiannya.
Tak satu pun dari karakteristik ini, lebih rendah atau lebih unggul dari yang lain; keduanya saling melengkapi dan sangat sesuai dengan peran yang harus dimainkan oleh keduanya. Agar mengurangi tindakan gegabah suami, Al-Qur'an dan Sunnah, telah membuat ketentuan terhadap kasus-kasus ketika kaum Lelaki, mengucapkan talak, tetapi kemudian, menyesalinya. Perceraian tak pernah mengikat dengan seketika, melainkan ada periode tiga bulan lunar ('Iddah atau masa tunggu wanita), dimana sang suami dapat mengendors perceraian, atau mencabutnya dan berdamai.
Perlu dicamkan, seperti yang diyakini secara luas, bahwa seorang wanita tak berdaya dalam masalah perceraian, kendatipun ia tak boleh mengucapkan talak seperti kaum lelaki, karena latarbelakang temperamennya, ia bisa memperolehnya, melalui Qadi atau arbiter. Proses ini disebut khul', dan sang wanita menggugat cerai sebagai pengganti kembalian uang pengantinnya atau hadiah lainnya kepada suami.
Di dunia Barat saat ini, tingginya angka perceraian, secara luas dikaitkan, antara lain, dengan kemandirian finansial kaum wanita dan kemudahannya memperoleh perceraian karena alasan yang bukan-bukan. Etos Islam mendorong pria dan wanita, agar menyelamatkan pernikahan mereka, demi anak-anak, dan demi menegakkan institusi keluarga.

Dan terakhir, tentang kaum Wanita dalam posisi otoritas, seperti para Pemimpin, Menteri, Duta Besar dan Anggota Legislatif. Perempuan boleh menjadi penguasa dan pemimpin dalam posisi apapun, yang sesuai dengan kualifikasinya, meskipun beberapa posisi khusus diperuntukkan bagi kaum Lelaki, seperti posisi Imam Shalat dan Panglima Tinggi angkatan bersenjata. Ada anggapan yang keliru oleh sebagian orang bahwa perempuan tak punya kewenangan dalam Islam, sebab laki-laki telah diberi tanggung jawab memimpin, membela, dan memelihara kehidupan perempuan, istri dan anak-anaknya.
'Kelebihan' laki-laki atas perempuan mengacu pada kekuatan fisik laki-laki, yang rata-rata, jauh lebih besar daripada perempuan, dan yang memungkinkan laki-laki melakukan pekerjaan fisik yang berat dan tugas-tugas militer dengan lebih baik. Sebagai imbalannya, wanita harus mematuhi suami mereka jika mereka memenuhi tugas mereka, yang menafkahi dan melindungi mereka. Perbedaan fisiologis antara pria dan wanita, dalam hal ini, tak dapat diabaikan, karena bahkan saat ini, liga olahraga profesional, memisahkan antara pria dan wanita, dan pekerjaan seperti pekerjaan konstruksi dan tugas tempur garis depan, hampir seluruhnya dilakukan oleh kaum pria.
Meskipun ada banyak pengecualian untuk pengamatan umum ini, karena beberapa wanita bisa jauh lebih kuat secara fisik dibanding pria, akan benar secara keseluruhan dan aturan dirumuskan berdasarkan sebagian besar kasus, dan bukan pengecualian.
Dalam masyarakat dahulu, sebagaian besar wanita, tak memenuhi syarat untuk memimpin militer, karena mereka umumnya tak punya kekuatan fisik yang dibutuhkan agar berhasil. Dalam konteks inilah, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
'Takkan berhasil suatu kaum, yang diperintah oleh seorang wanita.' [Shahih Al-Bukhari]
Pastilah ada pemimpin militer wanita yang sukses, tetapi sekali lagi, mereka itu, pengecualian. Bahwa kaum lelaki punya tingkat otoritas dan tanggung jawab, bukan berarti, dalam hal ini, kaum perempuan tak boleh bersuara. Bagian dari tatakrama Islam itu, bagi seorang suami, berkonsultasi dengan istrinya, atau bagi kaum Lelaki, berkonsultasi dengan kaum Wanita tentang masalah-masalah terkait, guna memperoleh manfaat dari perspektif unik mereka. Seorang wanita, boleh berselisih paham dengan suaminya atau pemimpin lelaki, selama kedua belah pihak, saling menghormati dalam tatakrama yang baik. Kaum Lelaki, sebaliknya, hendaknya berbesar-hati menerima bahwa mereka keliru, bila seorang wanita, menunjukkannya.
Tujuan dari aturan klasik, karenanya, agar memfasilitasi kaum lelaki dan perempuan, melakukan peran gender yang saling melengkapi, dan fleksibel sampai batas tertentu. Karena laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan fisiologis alami, peran gender yang lazim dan kondusif bagi masyarakat yang berfungsi. Namun, lantaran selalu ada pengecualian bagi pengamatan umum, maka diperlukan ukuran kemampuan beradaptasi terhadap perubahan kebiasaan dan keadaan; ada beberapa kasus potensial ketika seorang wanita, sangat memenuhi syarat melakukan apa yang biasanya dilakukan pria, di ruang dan waktu yang berbeda.

Rembulan menutup dengan menambahkan, "Tujuan akhir dari kaum Adam dan kaum Hawa itu, agar memenangkan keridhaan Allah dan nikmat-Nya yang tak terhitung jumlahnya kelak di Akhirat. Jika seorang Lelaki dapat mencapainya melalui Jihad, mematuhi perintah-perintah Ilahi dan terus-menerus berjuang melawan kekuatan Setan, maka bagi seorang Wanita, akan ada jalan yang lebih singkat, terbentang baginya, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah (ﷺ), 'Apabila seorang wanita, sholat secara teratur lima kali sehari, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, akan dikatakan padanya, 'Masuklah ke surga dari pintu mana saja, yang engkau inginkan.' Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Abdul Ghaffar Hasan, The Rights and Duties of Women in Islam, Darussalam.
- Abu Amina Elias, Can Women be Leaders in Islam?, abueminaelias.com